Mohon tunggu...
Dessy Try Bawono Aji
Dessy Try Bawono Aji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer Pemula

Pepatah bilang : life begin at forty, maka boleh dibilang saya ini sedang menjemput hidup. Dan karena masih lajang, bolehlah sekalian menjemput jodoh. Sebagai seorang lelaki berperawakan sedang dengan kulit sawo matang khas ras nusantara yang sedang gemar menulis, tentulah pantang menyerah untuk belajar dan terus belajar. Sebagaimana nenek moyangku yang seorang pelaut, kan kuarungi pula luasnya samudera. Samudera ilmu, samudera kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Tak Bisa Disalahkan

16 Juni 2019   01:46 Diperbarui: 19 Februari 2020   03:17 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber:https://paragram.id/berita/kata-kata-cinta-segitiga-ini-pasti-pas-buat-kamu-deh-4910)

PROLOG

Aku takmenyangka jika ternyata Restu menikahinya. Setengah terkejut aku sewaktu mendengar kabar itu dari kawan baikku, setelah hampir 3 tahun tak pernah berjumpa. Apa boleh dikata, cinta tak bisa disalahkan. Hanya saja baru aku sadar tentang arti pertanyaan-pertanyaan Restu yang terakhir dilontarkan, betapa bodohnya aku waktu itu. Tapi memang aku tidak merasa ada yang berubah dalam tiap sikap, senyum ataupun tawanya sebulan sebelum kami berpisah, semua tampak baik-baik saja. Ibarat petinju di atas ring, aku dipukul k.o. bukan oleh lawanku melainkan oleh rings girl yang berkeliling ring membawa piala kejuaraan.

Quote:

Cerita ini secara garis besar didasarkan pada kisah yang TS alami sendiri, dengan sedikit/banyak penambahan adaptasi cerita.
Semua tokoh dalam cerpen ini riil, hanya namanya disamarkan dengan beberapa karakter yang dipertukarkan.
Demikian pula setting lokasi juga riil, hanya beberapa tidak TS sebutkan namanya agar tak membatasi imajinasi pembaca.

Selamat Membaca !



Pindah Kost

Kisahku ini berawal sejak aku meninggalkan kost lama yang jaraknya terlalu jauh dari kampus. Setelah 4 semester kuliah, kawan baru pun semakin banyak. Salah seorang kawan waktu itu kasih kabar kalau di rumah tempat dia nge-kost ada kamar kosong karena penghuninya sudah selesai wisuda dan memutuskan pulang kampung. Tanpa pikir panjang, sore itu aku langsung menemui ibu kostnya sepulang kuliah dan memberi DP agar tidak disewakan ke orang lain sampai aku ada waktu untuk pindahan. Rumah kost kawanku ini banyak yang ngincer soalnya, sebab jaraknya yang dekat dengan kampus, strategis dan terletak di gang yang tergolong tenang.

Di semester ke lima ini jadwal ke kampus padat banget, cuman Minggu satu-satunya hari yang bersahabat. Maka kuputuskanlah hari itu untuk memboyong barang-barangku dari kost lama ke kost an yang baru, empat hari setelah ibu kostnya kutemui. Tak sampai 2 jam semua barang sudah terangkut, berkat bantuan junior yang masih semi diplonco di awal semesternya. Semasa itu begitulah tradisi yang berlaku di kampusku, mahasiswa baru dibuat bergantung pada seniornya sampai inaugurasi di akhir semester. Jadinya mereka mudah nurut jika dikasih tugas seniornya, apalagi aku waktu itu termasuk asisten dosen.

"Gimana man? Udah beres semuanya?", tanyaku yang datang belakangan. Aku meski berpamitan dulu baik-baik sama ibu kos dan 2 temen kos yang pagi itu telat bangun nggak ikut CFD. Dulu sih belum populer Car Free Day namanya, kami biasa menyebut "ngandong", soalnya kendaraan antik berbentuk gerobak roda 2 yang ditarik kuda (Andong) itu dijadikan ikon wisata tiap minggu pagi. Jadi mereka yang pada lari pagi di simpang lima ya berbagi jalan sama andong dan sepeda, khusus di hari minggu dari jam 5 sampai jam 10 pagi. Nah, cewek-cewek biasanya sampai lokasi pada males lari dan pilih naik andong keliling kota, jadilah istilah "ngandong" itu populer sebelum CFD.

"Beres bang! Semua sudah dibersihin, barang-barang sudah semua dimasukin kamar", jawabnya bak sersan lapor ke kolonel.

Ilman namanya, mahasiswa baru yang badannya paling kekar seangkatan. Bokapnya pedagang sayur yang lumayan sukses, punya 2 truk dan 1 pick-up. Nah, pick-up itulah yang dia pakai buat nganterin barang-barangku, makanya cepet kelar kerjaan.

"Oke, makasih ya Man udah ngrepotin", kataku dengan senyum puas.

"Iya bang, nggak papa. Saya malah seneng bisa bantu Abang. Kebetulan pick-up bokap lagi nganggur pagi ini", jawab Ilman dengan sangat sopan.

"Minum-minum dulu yuk di warung!", ajakku. "Kamu udah sarapan belum?", susul tanyaku.

"Eh, makasih bang. Enggak...eh...sudah, sudah sarapan tadi", jawabnya masih agak canggung.

"E..., ini sudah semua bang?" tanyanya kemudian.

"Uwis (sudah) Man. Yo mung kuwi (hanya itu) barang-barangku", jawabku.

"Kalau gitu, saya terus pamit aja Bang. Si adik minta dijemput tadi ikutan ngandong di simpang", alibinya. Anak ini memang kata kawan-kawan seangkatannya agak songong untuk urusan njajan, prinsipnya pantang ditraktir.

"Begitu ya? Okelah Man, besok-besok kalau ada kesulitan main-main aja ke sini", kataku.

Ilman hanya mengangguk sambil tersenyum, dijabatnya tanganku sebelum membalikkan badan dan melangkah menuju pick-up yang diparkirnya di ujung gang. Aku mengiringnya hanya sampai pintu pagar kost, melihatnya hingga menaiki pick-up dari kejauhan. Begitu mau berbalik ke kamar kos, terdengar teriakan melengking memanggilku dari arah rumah seberang jalan gang.

"Aaiiik...!" bunyi itu menyebut nama panggilanku, tak asing rasanya.

Cuitan Dari Atas Balkon

Aku memang biasa dipanggil Aik, nama panggilan semenjak kecil yang diberikan orang tuaku. Sebetulnya itu diambil dari nama belakangku, Aji. Buat mudahnya bagi lidah jawa, huruf "j" dihilangkan dan diakhiri konsonan "k", jadilah Aik. Demikian aku berkenalan sama semua orang di sini, nggak dosen, senior, pegawai kampus, tukang parkir, junior sampai orang-orang kampung mengenalku dengan nama Aik.

Yang tampak saat kutolehkan wajahku adalah sebuah rumah besar yang terletak berseberangan dengan rumah kost yang baru akan kutempati. Tertutup pintunya, semacam pintu garasi lebar bersegmen-segmen terbuat dari bahan kayu kayak di senetron-sinetron atau FTV. Tidak tampak seorangpun di depan pintu itu. Kudongakkan kepalaku segera mengikuti sumber suara, ternyata ada dua gadis yang senyum-senyum memandangku di teras balkon lantai 2.

Ya, rumah besar itu memang susun bentuknya, hanya 2 lantai. Lantai pertama yang pintunya tertutup itu garasi buat nyimpen motor anak-anak kost, lantai kedua adalah kamar kost dengan teras balkon los, tak bersekat, memanjang di depan kamar-kamar kos. Empat orang senior cewek, setingkat di atasku memang tinggal di situ. Dan salah satunya itulah yang memanggilku, namanya Ica. Rupanya sejak tadi dia mengamati proses pemindahan barang-barangku dari pick-up ke kamar kost, bersama kawan kostnya.

"Hai !", jawabku setengah berteriak. "Ngapain Ca pagi-pagi nongkrong aja di atas? Nggak pada ngikut ngandong?" tanyaku kemudian. Ica memang setingkat di atasku, tapi tahun kelahiran kita sama, makanya aku takpernah memanggilnya Mbak atau Kak sebagaimana kawan seangkatannya yang lain.

"Lagi males, begadang semalem", jawabnya dengan seulas senyum. Kawan di sebelahnya juga ikut senyum-senyum, malah tampak serius mengamati wajahku meski terkesan jaga image. Senyumnya manis juga dengan deretan gigi yang rapi. Hidungnya mancung lebih mancung dari hidungku, sedang matanya lebar - jelas lebih lebar dari mataku yang sipit ini. Mata kami sejenak beradu, aku menangkap kesan seolah ingin mengajakku berkenalan.

Kualihkan lagi pandanganku ke Ica yang lebih dulu kukenal. Baik anaknya, tergolong pinter dan rajin di angkatannya, aku sering pinjam catatannya atau minta keterangan untuk pelajaran yang aku kurang mengerti. Sebagai anak pintar, Ica tidak egois seperti kebanyakan, dia tidak pernah menolak berbagi catatan dan pemahamannya pada siapa saja.

"Udah sarapan Ca? Yuk!" ajakku.

"Udah dong, pagi tadi kami masak berdua", kata Ica sambil melirik kawan di sebelahnya.

"Widiiih, masak apa? Boleh dong ngicipin...", sahutku berbasa-basi, masih dengan mendongakkan kepala.

Disenggollah dengan sikut kawan di sebelahnya, dua kali. Merah padam mukanya, tawanya lepas sambil memegangi lengan Ica dan mengguncangkannya. Kepalanya digeleng-gelengkan menatap Ica, bahasa isyarat agar masakannya jangan dibagikan. Ica juga tergelak tawanya melihat tingkah itu, dengan sigap lalu dialihkannya pandangan kembali ke bawah - ke arahku.

"Restu malu Ik, kami masih belajar memasaknya, masih agak hambar rasanya. Ini nih chefnya...," kata Ica menunjuk kawan di sebelahnya sambil menahan tawa geli. Sedang kawannya itu mengangguk-angguk, isyarat mengiyakan jawaban Ica dengan ekspresi malu.

"Yo wis ( ya sudah ). Aku pegel ndangak ( aku capek mendongak) terus. Kalau mau lanjut ngobrol sini turun ke bawah", celetukku kemudian.

"Udah kamu sarapan aja dulu !", jawabnya.

"Oke !", jawabku langsung berbalik badan menghampiri motor di depan kamar kostku.

Lupa mengunci pintu kamar, turunlah lagi aku dari motor yang terlanjur sudah kustarter. Setelah yakin aman terkunci, kembali kunaiki motor dan kulajukan mengikuti naluri perut yang sudah keroncongan sejak tadi.

Sepanjang jalan, ingatanku pada percakapan tadi masih mengiang, terutama kesan pada ekspresi spontan kawan kost Ica saat aku berbasa-basi pengin mencicipi masakan mereka.

Pesan Tak Biasa

Hufff...! Akhirnya selesai laporan yang kukebut kerjakan sejak usai praktikum tadi siang. Tanpa terasa, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 4 lebih beberapa menit. Segera kubereskan buku-buku perpustakaan itu dan bergegas kukejar Mas Hend, asisten dosen Biokimia, sambil menenteng laporan yang baru saja kubuat.

Kutengok dari lantai 3 Gedung A tadi Mas Hend masih tampak di sekitaran halaman parkir. Berlarilah aku menuruni gedung A menuju halaman parkir. 3 x 36 anak tangga dengan segera kulewati, ditambah 5 anak tangga dari lantai satu ke baseman.

"Mas Hend, ma'af agak terlambat", kataku sambil menyerahkan tugas laporan padanya, masih dengan nafas terengah-engah.

"Yakin nih udah beres?", tanya Mas Hendarko

"Yah, paling nanti ada koreksi sedikit lah mas, biasa..hehe...", jawabku dengan sedikit merayu. Yang penting dalam pengumpulan laporan di kampusku adalah ketepatan waktunya, perkara isinya bisa dinegosiasikan dengan para asisten dosen.

Keterlambatan dalam pengumpulan laporan berakibat penolakan untuk mengikuti praktikum selanjutnya. Sedangkan 1 saja praktikum tidak kita ikuti, sudah bisa dipastikan nilai E tercetak di transkrip nilai, artinya tidak lulus untuk mata kuliah tersebut dan harus mengulang di semester berikutnya. Dan 1 mata kuliah saja tidak lulus, jangan harap bisa diwisuda.

"Besok ke kost ku ya...", kata Mas Hend setelah membaca sekilas laporanku. "Ada yang aku mau kau kerjakan," imbuhnya.

"Ya mas, siap! Kalau begitu, aku duluan yo mas. Awakku (badanku) gatel kabeh (gatal semua) mas, harus lekas mandi", jawabku sekalian mohon diri.

Mas Hend hanya mengangguk tersenyum sambil membetulkan kacamatanya. Dia mungkin teringat kenangan yang pernah dialaminya semasa setingkatku. Atau puas karena dapat junior yang kerap telat ngumpulin laporan seperti aku, sehingga bisa diperalat untuk membantu pengetikan skripsinya.

Kuhampiri motorku di ujung dekat pintu jaga parkir, posisi yang kupilih dari sejak awal kuliah untuk memberi rasa tenang atas keamanan motor. Logikaku sederhana, sebelahan dengan pos jaga dimana Kang Maman selalu siaga di situ.

"Ah kowe (kamu) iki (ini) lho Ik, anak muda kok jam segini baru mau pulang", kata Kang Maman mengomentari jam kepulanganku. Biasanya yang pulangnya ngelantur itu mahasiswa yang sudah semester tua, sebab sering berurusan dengan dosen dan birokrasi. Sedang aku semester 5, masih tergolong muda menurut Kang Maman.

"Iyo e Kang, semaleman diajak rapat di auditorium", jawabku beralasan tak perlu panjang lebar. Segera kustarter motor hendak melaju, tapi ditahan sama Kang Maman.

"Eh, mengko dhisik (nanti dulu)", katanya.

"Ono opo ( ada apa) Kang?", tanyaku.

"Kamu dicari si Ica tadi, dikongkon (disuruh) mampir ning (di) kost jarene (katanya)", jawab Kang Maman.

"Oh..., oke. Maturnuwun (terimakasih) Kang", kataku sambil narik gas motor biar segera melaju. Kang Maman membalas dengan menepuk jok belakang motor seperti biasanya.

Kang Maman adalah orang kampung asli dimana kampusku didirikan. Dia orang yang dari awal dipercaya menjaga proyek pembangunan beberapa gedung fakultas. Setelah kampus beroperasi, Kang Maman lalu diperkerjakan sebagai penanggung jawab keamanan di Fakultasku dengan gaji bulanan.

Untuk urusan parkir sebetulnya Kang Maman punya anak buah, tapi tempat nongkrong favoritnya di kampus memang di pos jaga parkir. Katanya pos jaga itu dulunya punden, semacam tempat keramat, dan dia yang bertanggungjawab atas pemindahannya akibat proyek pembangunan kampus. Si Embah, begitu Kang Maman menyebut mahkluk gaib penunggu punden, berpesan padanya agar menggantikan posisinya menjaga wilayah.

Ah, ada-ada aja memang... Tapi orangnya asik diajak bercanda dan mudah akrab dengan mahasiswa, termasuk denganku. Sampai-sampai kita ini sudah seperti paman-keponakan.

Kisah Sekotak Roti

"Iiicaaa!", teriakku setelah memencet bel di samping pintu garasi kost Ica. Bel pintu meski dipencet buat ngasih tanda kalau kita bertamu, dan nama harus dipanggil supaya penghuni kost tahu siapa yang kita cari. Begitulah aturan bertamu di kost an Ica yang hanya dihuni 10 cewek ini.

Tak selang berapa lama pintu garasi yang bisa dibuka selebar jumlah segmen itu terkuak. Icapun nongol masih dengan pakaian yang tadi dikenakannya di kampus, tanda kalau dia belum mandi.

"Ono opo (ada apa) Ca?", tanyaku.
"Kok jare (kata) Kang Maman....".

"Udah sini masuk dulu", sahut Ica memotong pembicaraan. Dibukanya pintu 4 segmen dan mempersilahkanku duduk di dalam. Di garasi itu ada 2 bangku memanjang yang disediakan si empunya kost bagi tamu anak-anak kostnya. Aku ambil duduk di bangku yang sejajar tembok garasi dekat pintu, Ica menyusul duduk di sebelahku sedikit jauh.

"Kamu baru pulang dari kampus?" tanyanya kemudian. Dalam pikiranku berujar, ini orang ditanya kok malah gantian nanya... Seolah tau yang kupikirkan, Ica segera menimpali kalimatnya tanpa menunggu jawabanku.

"Iya, aku tadi pesen sama Kang Maman supaya kamu mampir ke sini", katanya.
"Si Restu tadi masak kue yang dia yakin enak dan pengin kamu ikut mencicipinya. Sebagai ganti yang dulu kamu pengin ngicipin tapi dia tolak itu. Masih ingat?" lanjutnya.

Restu...? Gumamku dalam hati sembari otakku mencoba mengingat. Kejadiannya lebih kurang sudah 3 bulan lewat sewaktu awal pindah kost. Semacam ini aku seringkali sudah melupakan begitu saja kejadiannya, soalnya menurutku tidak begitu penting. Kesibukan tugas kuliah dan kiprahku di organisasi saat ini menuntutku meski me manage otak, memindah-pilah mana yang penting buat diingat dan mana yang segera harus dihapus. Yang kulakukan tiap mau tidur ya seperti mengscandan mendefrag hardisk komputer, sementara tidurku belakangan ini sering tidak teratur.

Ica rupanya sudah hapal sifat pelupaku, katanya kemudian : "Dulu waktu kamu baru angkut-angkut barang ke kost an sebelah kan pernah takpanggil dari atas balkon Ik. Masak lupa sih? Waktu itu aku bersama Restu, kawan sekamarku ngamatin kamu dari atas sini. Terus kamu nanya apakah aku sudah sarapan atau belum....".

"O..., ya ya udah inget aku Ca", sahutku gantian memotong penjelasan Ica.
"Ha ha ha ha....", lanjutku tertawa lepas, geli menangkap kejadian sore itu.
"Jadi kawanmu yang bermata lebar itu masih mikirin ya? Baik ya anaknya...", kataku.

"Menurutmu cantik nggak Ik?", tanya Ica. Alih-alih membalas komentarku, dia justru balik melontarkan pertanyaan yang membuatku kembali serius.

"Ya cantiklah, namanya cewek. Kalau cowok ya ganteng", jawabku seenaknya. Maksudku sih menjaga perasaan saja, sebab sama-sama perempuan kalau diperbandingkan biasanya tidak suka.

"Yang serius dong Ik, cantik nggak?"

"Apaan sih Ca? Kamu juga cewek pasti cantiklah...", jawabku masih mengelak.

"Ik, kalau menurutku Restu itu lebih cantik dariku. Dia itu lebih sering dilirik lelaki kalau kita jalan berdua".

"Ntar ntar, maksudnya mau kamu bawa kemana nih obrolan? Aku jadi nggak enak lho..."

Sambil tersenyum seolah lagi-lagi tahu apa yang kupikirkan, Ica membalas : "Tenang aja Ik, ini bukan pernyataan bahwa aku iri. Toh, kamu juga tau kan kalau aku sudah punya Mas Ari? Dan aku tau kalau aku bukan selera kamu, kamu juga tau kalau kamu bukan tipeku. Kita dulu sudah pernah saling cerita kan bareng temen-temen sambil nunggu jam kuliah?"

Hufffhh...! Lega rasanya mendengar. Berarti aman, tidak ada indikasi seperti yang kukhawatirkan pikirku. Aku mengangguk dan masih menatap Ica serius, menunggu penjelasan berikutnya.

"Restu itu sudah lama mengamati kamu Ik. Sebelum kamu pindah ke sini, kamu inget udah berapa kali main ke kost sini?" tanya Ica.

"Ik...Aik!" katanya dengan meninggikan nada, menghenyakkanku dari lamunan.

"Eh! Iya...iya. Empat kali kalau nggak salah dari awal semester. Pinjem catatan sama nitip ngumpulin laporan ke Mbak Agatha waktu itu", jawabku sontak begitu lepas dari lamunan.

Ica menepuk lenganku agak keras sambil tertawa. Aku paham maksudnya, dia pikir aku melamun cabul.

"Tenang Ca, aku bukan melamun sebenarnya, wajah Restu yang kau maksud itu sudah pudar dari angan, dan otakku memprosesnya kembali bak menyusun puzzle. Maka jadi loading deh...", jelasku. Ica tertawa geli, kususul pula karena terpancing tawanya.

"Jadi gini Ik, Restu itu tertarik sama kamu sejak lama. Entah waktu yang keberapa kalinya kamu datang ke sini itu dia melihat kamu dan katanya dia langsung suka. Waktu itu dia langsung banyak nanya tentang kamu ke aku, ya aku jawab setahuku Ik..."

"Nah, waktu kamu rencana mau pindah ke sini, dia denger dan langsung ngerespon. Aku ditanya terus kapan kamu mau pindah ke sini", sambungnya.

"Emang kamu tahunya aku mau pindah dari siapa Ca?" tanyaku menyela.

"Ya aku ngikuti kabar dari Ano. Justru aku yang kasih tau ke Ano tentang keinginanmu cari kost yang deket kampus, kamu sebelumnya pernah cerita kan? Nah, sewaktu Ano ketemu aku dan cerita kalau senior kostnya mau wisuda dan mau pulang kampung, langsung deh kuusulkan dirimu dikasih info", jawab Ica.

Ano adalah mahasiswa jurusan Teknik Mesin, kampusnya bersebelahan dengan kampusku. Sewaktu sama-sama mahasiswa baru, kami berpapasan di jalan dan saling berkenalan.

Ano asalnya jauh, Palembang, dia tidak punya persiapan yang cukup ketika harus ke Jawa untuk daftar ulang, sedang kampusnya tidak memberi waktu jeda antara tanggal daftar ulang dengan pelaksanaan ospek. Siang itu daftar ulang, besok paginya sudah mulai OSPEK hari pertama. OSPEK itu istilah jamanku kuliah yang berarti Orientasi Pengenalan Kampus, identik dengan perploncoan bagi mahasiswa baru kala itu.

Kegiatan OSPEK di kampus Ano mengharuskan memakai sepatu putih, sedang sepatu yang dia pakai hitam. Sewaktu berpapasan di jalan denganku yang kebetulan memakai sepatu putih, langsung dia utarakan masalahnya setelah sebelumnya berkenalan. Jadilah kita bertukar sepatu, kebetulan ukuran kaki kita sama. Sejak itulah kita bersahabat dekat sampai sekarang.

Melalui si Ano inilah aku punya akses menempati kost baru ini. Memang sudah sering aku main ke kostnya dari sejak semester awal, jadinya sekarang sudah langsung akrab saja dengan para penghuni lama kost ini. Maka bisa jadi memang Restu itu sering mengamatiku sudah sejak lama karena lokasi kostnya bersebelahan, cuman aku aja yang gak pernah ngeh.

"Oalah..., jadi ceritanya kamu mau nyomblangin aku sama Restu nih?" tanyaku kemudian ke Ica.

"Ye....ogah amat jadi mak comblang!" kata Ica gak terima.
"Kamu kan tau aku tu orangnya cuek, sama kayak kamu Ik. Malas kalau diajak curhat urusan asmara! Restu juga paham, orang kita temen sekamar, udah hafal karakter masing-masing", timpalnya.

"Aku cuma mau menyampaikan kue titipannya ke kamu. Tunggu sebentar tak ambilin".
Ica lalu beranjak dari tempat duduknya menuju tangga yang meski dilaluinya untuk nyampai ke kamarnya di lantai 2. Tak berapa lama, nongol lagi dia bawa kardus berisi kue yang terbungkus plastik.

"Nih, sudah taksampaiin ya amanahnya", kata Ica sambil menyodorkan bungkusan itu padaku.
"Udah sana pulang....", candanya sambil ketawa ngekek.

"Jiah, ngusir....!?", celetukku geram. Tau sih kalau Ica cuma bercanda.

"Sini duduk lagi dulu Ca," kataku sambil menepuk bangku tempatku duduk. Ica nurut masih sambil ketawa-ketiwi.

"Emang si Restu belum pulang? Gimana dong ngucapin terimakasihnya?", tanyaku beruntun.

Quote:

Buat para pembaca milenial jangan heran, jaman itu belum musim pada punya handphone, kocek anak kost nggak mungkin cukup buat ngebelinya. Jangankan hp, kartu perdana saja harganya masih 800.000 rupiah. Kalau bokapnya nggak tajir, punya handphone takpernah jadi keinginan. Kebayang aja mungkin jarang.

"Restu hari ini praktikum sampai malam, mungkin malah nginep di kampus Ik", jawab Ica kasih keterangan. "Udah besok-besok aja", tambahnya.

"Okelah kalau begitu, titip dulu ya makasihnya ke kamu. Lain hari kalau ketemu tak 'siaran langsung' ", kataku.

"Iya iya... Terus kamu nggak makasih ke aku?" katanya dengan mimik sewot.

"Iya makasih. Udah, pamit dulu aku", kataku sambil beranjak dari bangku. Tanpa pikir panjang langsung aku menuju kost di seberang jalan gang.

Kulirik jam di dinding kamar menunjukkan pukul 5 sore, bergegas kusambar handuk menuju kamar mandi. Kutenteng juga roti bikinan Restu untuk kutaruh di ruang tengah, tempat anak-anak ngumpul entah cuma ngobrol, nonton tv, main karambol atau main kartu.

Menyusun Puzzle

Hampir seperempat air bak mandi kuhabiskan sudah, disamping karena memang badan ini sudah gatal-gatal semua, mungkin juga karena terbawa perasaan senang usai ketemu Ica dan mendengar ceritanya tadi. Pikiranku terus mencoba menyusun puzzle wajah Restu yang sempat terekam 3 bulan yang lalu. Yang kuingat hanyalah senyumnya yang manis karena ditunjang gigi yang rapi, matanya yang lebar dimana sempat kita beradu pandang dan hidungnya yang lebih mancung dari hidungku. Tapi bak puzzle dalam kuis tebak wajah, sulit sekali mewujud secara utuh.

"Woi gantian woi...!" suara teriakan di luar kamar mandi membuyarkan pikiranku. Ditambah suara pintu yang digedor-gedor tiba-tiba menambah kagetku saja.

"Iya, iya, sabar bro... tinggal pake handuk", celetukku.

Rupanya kawan kos ini takmau sabar, pintu kamar mandi terus digedor berulang-ulang. Entah karena kebelet atau memang sedang stress berat kebanyakan tugas, sulit dibedakan biasanya. Kalau iseng sih kayaknya nggak, biasanya lebih parah! Langsung saja kulilitkan handuk di tubuh tanpa mengeringkannya terlebih dahulu. Begitu kubuka pintu, si Amin langsung menerobos masuk tanpa ba-bi-bu. Rupanya memang sedang mules perutnya.Takperlu kujelaskan siapa si Amin, yang jelas dia kawan kost baruku. Titik.

Seperti biasa kukenakan celana kolor panjang usai mandi sore, itu tanda kalau aku sudah seharian keluar rumah dan sekarang lagi pengin ndekem di kost an. Kurebahkan badan yang letih karena aktivitas seharian tadi di kasur. Kembali coba dengan tenang kupikirkan wajah kawan sekamarnya Ica yang namanya Restu. Lama sekali tak ketemu juga sampai terlelaplah aku dalam tidur.

"Ik, ik...bangun ik! Tak baik kau tidur jam segini", sayup-sayup kudengar suara Ano membangunkanku sambil mengguncang-guncang tubuhku.

Kulirik jam di dinding kamar, jarum pendek ada di angka 6 dan jarum panjangnya ada di angka 1. Terkesiap aku dalam duduk, masih di atas kasur. Kutatap wajah Ano yang penuh peluh, badannya basah berkeringat tanpa baju, cuma celana kolor pendek yang masih melekat. Dengan gampang kutariklah kesimpulan kalau Ano baru pulang main basket. Ano memang gemar berolahraga, basket adalah favoritnya sejak SMP.

"Mandi sana kau lah, gantian nanti. Biarlah keringatku kering dulu", katanya kemudian dengan logat Palembangnya. Aku takmenjawab. Kusambar handuk basahku yang masih tergeletak di atas meja dan kulemparkan ke arahnya.

"Beh! sudah mandi kau rupanya. Tumben kau tidur sore habis mandi?!" katanya.

"Sudah sana kau mandi, habis itu jalan kita beli makan di bundaran", kataku menirukan logat Palembangnya. Aku lalu beranjak meninggalkan Ano menuju ruang tengah. Aku teringat pada roti pemberian Restu melalui Ica yang tadi kugeletakkan di situ. Dan seperti kuduga, hilang sudah isi roti - tinggal kardusnya.

"Dasar buaya buntung ususnya!", kataku agak keras pada empat kawan kost yang duduk-duduk di situ menonton televisi. Tak ada yang bergeming, malahan mengalihkan pembicaraan.

Begitulah tradisi di kost baruku, sekali ada makanan di ruang tengah hukumnya adalah halal untuk dihabiskan, dan pemiliknya haram untuk menanyakan. Jangan sekali-kali meninggalkan makanan di ruang tengah jika belum betul-betul ikhlas untuk tidak kebagian. Ano yang menyusulku hanya menepuk-nepuk pundakku dari belakang sambil tertawa-tawa, lewat begitu saja menuju kamar mandi.

Jam 7.30 malam Ano baru nongol lagi ke kamarku bermaksud menagih janji cari makan yang tadi kuucapkan, sedang aku masih membaca catatan materi yang besok hendak diujikan sambil tiduran telungkup di kasur.

"Jadi kita jalan ik?" katanya sambil menghampiri komputer di meja kamar. Diraihnya mousepad di depan layar dan digerakkanya untuk mengganti daftar lagu winamp yang sedang mengalun. Terhentilah lagu Semua Tak Sama milik Padi yang dari tadi kudengarkan, berganti dengan lagu-lagunya Kids Rock idolanya.

"Masih ngambeg kau roti dihabisin anak-anak?" tanya Ano lagi karena aku taksegera menjawab pertanyaan pertamanya.

"Aku lagi nyicil ngapalin No'. Apa tadi? Kau nanya apa?" balasku malah bertanya balik.

"Ah, kau ini Ik. Tadi kau suruh pula aku mandi cepat-cepat...", celetuknya. Barulah aku teringat janjiku mengajaknya mencari makan.

"Ayolah berangkat, itu kunci motornya di samping kamu", sahutku dengan semangat. Perut memang sudah terasa lapar dari sejak bangun tidur tadi.

Kondisi lapar itulah yang tadi menuntun naluriku untuk segera menghampiri roti yang kugeletakkan di ruang tengah. Karena kecewa rotinya ternyata habis, rasa lapar itupun seolah pudar. Sekarang bergejolaklah lagi setelah diingatkan Ano.

"Ik, motor kau kok tak ada pula?" tanya Ano tergopoh dari luar. Tadi dia berencana ambil motorku di parkiran kost, letaknya di samping kanan rumah agak ke belakang.

"Astaga No', iya, aku lupa! Masih di depan kostnya Ica. Ayolah kita samperin", jawabku. Bergegas kita menuju jalan gang pinggir kost nya Ica, memang tampak dari depan kamar kost ku itu motor masih nangkring di tepi jalan gang.

Ano' yang dari tadi pegang kunci langsung naik dan memutar motor ke arah sebaliknya. Arah yang akan kita tuju untuk sampai ke bundaran. Bundaran adalah sebutan populer di wilayah sekitar kampus untuk lokasi yang disediakan khusus bagi para pedagang makanan. Sekarang mungkin istilahnya pujasera.

"Motor siapa itu No'?" seru suara dari balik pintu kost Ica yang hanya terbuka 1 engsel, itupun cuman separo. Suara yang sepertinya pernah kukenal, tapi seingatku suara itu bukan berbentuk kalimat melainkan tawa kecil.

Tak Kenal Maka Tak Ingat

Pandangan kami segera tertuju ke arah pintu yang terbuka separo itu, tembus ke dalam mendeteksi asal suara. Rupanya ada seorang gadis seumuran sedang duduk di bangku tengah mengawasi gerik kami berdua. Matanya lebar, hidungnya lebih mancung dariku, rambutnya agak ikal dikuncir ke belakang.

"Eh, Restu cantiek..." sahut Ano dengan rayuan dalam logat Palembangnya. Ini juga penanda khas kawan baikku, mudah sekali secara spontan menggoda perempuan.

"Ini motornya si Aik, mau jalan kita cari makan. Kau mau nitipkah?"

Gadis itu menggelengkan kepala sambil tersenyum. Senyumnya manis dengan giginya yang rapi. Cling! Mewujudlah bayangan utuh dalam benakku bak puzzle yang rampung tersusun. Rasa laparku sontak hilang seketika!

"No' kamu yakin itu cewek namanya Restu?" tanyaku berbisik dekat telinga Ano.

"Kurang keras kah tadi kubilang?!" tanya Ano. Pertanyaan yang bisa diartikan sebagai penegas jawaban mengiyakan. Dia pencet segera tombol double starter di setang kanan motor hingga mesin menyala. Kutepuk pundaknya berkali-kali.

" No'! No'! No'! ntar dulu, ntar dulu...!" kataku sambil meloncat dari boncengan motor berkabel kopling dengan tangki bensin berposisi di antara jok dan setang. Kuhampiri pintu yang terbuka separo itu lalu kulebarkan hingga terbuka penuh. Aku tetap berdiri di luar sambil sedikit membungkukkan tubuhku.

"Ma'af", kataku sopan pada gadis yang duduk di bangku di belakang pintu itu. Gadis yang dipanggil Ano dengan rayuan khas Palembang tadi.

"Betul kamu yang namanya Restu?" tanyaku kemudian.

"Iya, jawabnya tenang dan semakin melebarkan senyumnya. Gigi-ginya yang rapi semakin jelas terlihat. Bersih, tanda terawat dengan baik.

"Mmm..., boleh masuk?" tanyaku tanpa pedulikan Ano yang kutinggalkan di atas motor. Begitulah aku kalau sudah menemukan sedikit jawaban atas rasa penasaran, akan terus kugali jawaban hingga betul-betul gamblang.

Si gadis tidak menjawab, dia berdiri dari bangku tempat duduknya lalu menghampiri pintu. Dia buka grendel di bagian atas dan bawah pintu yang melekatkan pintu pada kusen. Empat segmen pintu kini terbuka lebar.

"Silahkan...", jawabnya lembut menggetarkan hati. Aku masuk dan mengambil posisi tempat duduk yang tadi kutempati saat menemui Ica. Sedang si gadis mengambil jarak dengan duduk di bangku satunya, yang berjauhan dari tembok dan menghadap lurus ke arah jalan gang. Ano yang penasaran turun dari motor dan segera duduk di sebelahku.

"Kamu diam dulu No'..." kubisiki telinga Ano. "Ini urusan penting, sepenting sepatu putihku yang dulu kau pinjam saat OSPEK!"

Ano pun terdiam dan merubah sikap menjadikan suasana bertambah formal. Aku sebetulnya geli melihat perubahan sikap Ano, mungkin dibenaknya ini urusan keluarga atau urusan laka lantas yang masih menggantung.

"Ano katanya mau cari makan?", tanya Restu sambil memberi kode mata kepadaku. Aku terkejut, Ano juga. Seperti menangkap pesan bahwa pembicaraan ini hanya boleh empat mata, tidak boleh ada pihak ke tiga. Makin mirip keadaan genting saja nih suasananya..., gumamku dalam hati.

"Oke, aku tinggal kalian berdua." kata Ano lantas berdiri. Dia tatap wajahku, katanya mengancam : "Jangan macam-macam kau Ik, lecek sikik saja Restu cantiekku ini, kubakar motor kau ini!"

Berpaling kemudian dia ke arah Restu, ganti tutur kata lembut : "Restu yang cantiek benar kah tak mau sekalian abang belikan makan?"

"Udah sana...! Nggombal aja kamu!", jawab Restu tegas. Kedua kalinya aku terkejut. Ano segera ngeloyor pergi setelah sesaat diinjaknya telapak kakiku. Aku cuma bisa meringis menahan sedikit sakit. Sementara Restu senyum-senyum saja melihatnya.

Aku takmenyangka jika dibalik sifat anggun gadis yang bernama Restu ini, terdapat sikap tegas dan wibawa. Dan tampaknya kita berdua punya sifat yang sama yaitu ambisius, selalu berupaya keras mengejar apa yang sedang kita mau, bahkan mungkin lebih besar Restu daripada aku. Kemauan Restu untuk berkenalan denganku takmembuatnya segan mengusir Ano secara halus, demikian aku tadi taksegan meninggalkan Ano di atas motor.

Selepas kepergian Ano, diulurkan tangannya padaku tanda meminta berjabat tangan. "Aku tadi sudah mengakui namaku Restu, kamu?" tanyanya mengiringi.

"Aku Aik, kamu sudah sering dengar kabarku dari Ica, nggak usah pura-pura...", jawabku sambil menjabat tangannya. Senyumnya berubah menjadi tawa kecil, persis suaranya yang terekam pertama kali di memori otakku.

"Kamu tuh nggak suka basa-basi ya orangnya", katanya masih sambil tertawa kecil.
"Tadi enak rotinya?" tanyanya kemudian.

Aku gelagapan merasa bersalah, kujaga sikap secepatnya, otakku berpikir seinstan mungkin mengolah kalimat yang sekiranya ridak membuatnya tersinggung. Dan... eureka (aku dapat)!

"Terimakasih ya rotinya, laris-manis tadi bareng temen-temen di kost", kalimatpun terucap. Kutatap matanya yang lebar tampak berbinar, legalah hatiku. Tanyaku pada diri sendiri, tidak suka basa-basi sama pandai ber-retorika beda nggak ya...?

"Tadi aku nanyanya enak nggak?" diulang pertanyaan Restu

"Tadi aku juga sudah bilang laris-manis, kupikir sudah jelaslah artinya", jawabku ber-retorika lagi dengan sama-sama mengulang kalimat.

Sejenak kami saling diam, aku sendiri sedang terus memutar otak, mencari kata demi kata yang pantas buat dirangkai jadi kalimat. Restu entahlah, aku tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya. Segera aku teringat tentang karakter perempuan yang cenderung lebih pandai menyimpan perasaan dengan memilih diam daripada bicara.

Dua kali aku pernah berpacaran sebelumnya, dan selalu dibuat pusing menghadapi sikap diamnya perempuan. Kini sudah 4 tahun aku tanpa kekasih, semua kenangan masa laluku mendadak kembali bermunculan. Mungkin dalam rangka membongkar lagi referensi-referensi kalimat yang sekiranya pantas diobrolin sepasang kekasih. Astaga! Saraf sadarku terstimulasi, menuntunku untuk kembali bersikap normal. Aku dan Restu belumlah sepasang kekasih, baru sebatas saling mengagumi.

"Mbak Ica cerita apa tadi?", tanya Restu membuatku terkejut untuk yang ketiga kalinya. Terkejut sebab kalimat tanya itu pula yang hendak kulontarkan, tapi rupanya Restu lebih cepat.

"Ah, tidak banyak. Ica cuma bilang kalau kalian kawan sekamar." jawabku. Pandanganku mendadak mengarah pada baju yang sedang dipakai restu. Atasannya kemeja lengan panjang motif bunga-bunga yang digulung bagian lengannya sampai ke siku, sedang bawahnya celana panjang berbahan jeans warna biru pudar, tanda sudah berulangkali dicuci. Busana semacam itu umum dipakai mahasiswi untuk ke kampus di waktu itu.

Sadarlah aku kalau restu baru pulang dari kampus, belum sempat mandi dan ganti baju. Gerak salah tingkahnya saat kupandangi baju dan celananya tambah menguatkan kesimpulanku. Aku tersenyum melihatnya dan mulai optimis menguasai suasana dan pembicaraan. Gadis anggun macam Restu, semalam ini kok belum mandi pasti merasa gak percaya diri.

"Aku tadi juga pulang kesorean tak seperti biasa. Hari ini aku meski mengumpulkan laporan, jadi ngebut tadi mengejar deadline dan ngejar-ngejar asdos (asisten dosen). Kamu baru pulang praktikum ya? Tadi si Ica cerita", kataku mencoba menghiburnya dengan sebuah kalimat pemakluman.

Restu mengangguk dan menunduk malu, percaya dirinya sedang di ambang kritis. Akupun semakin menguasai suasana.

Gayung Bersambut

"Kamu mau mandi dulu?" tanyaku.

Tanpa kusangka, diangkat wajahnya dan ditatapnya tajam mataku dengan matanya yang lebar itu. Aku bertanya-tanya dalam hati. Lhah kok malah melotot?

"Kamu nggak suka ya ngelihatnya? Laki-laki itu maunya perempuan harus selalu tertib ya?!" jawabnya tiba-tiba dan sekali lagi membuatku terkejut. Rupanya Restu ini tergolong perempuan yang punya jiwa pemberontak, menuntut kebebasan.

"Bukan begitu...", jawabku sabar, mencoba menenangkan. "Justru aku yang merasa bersalah kalau kedatanganku mengganggu waktumu untuk urusan pribadi", terangku kemudian.

Restu kembali tertawa kecil sambil memandangiku, membuat heran saja. Bagaimana mungkin keseriusanku itu justru membuatnya geli. Ah, dasar perempuan! Umpatku dalam hati.

"Aku jadi lega, kamu bukan tipe cowok yang selalu menuntut penampilan perempuan", jelas Restu kemudian.

"Aku itu tidak mau seperti ibuku yang suka diatur-atur. Bapak selalu menuntutku agar sama seperti Ibu yang penurut dan mudah diatur-atur penampilannya semau bapak," jelasnya panjang lebar.

"Ma'af ya, kalau kamu tidak suka ngobrol sama perempuan dekil, kita bisa cukupkan saja obrolan sampai di sini", katanya menggertak - bercanda. Mungkin sedang menyusun kembali rasa pe-de nya yang tadi memudar. Sebagai lelaki yang berpengalaman pacaran dua kali, aku hapal sekali reaksi seperti ini.

"Di kampusku juga sama, kegiatannya kadang menuntut kita tanpa kecuali, laki - perempuan untuk pulang larut. Apa kamu nggak pernah lihat si Ica pulang dari kampus malam-malam?"

"Iya pernah. Tapi kan aku belum kenal kamu? Aku pengin tahu kamu itu tipe lelaki seperti ap..." kalimat Restu diputus dengan dua telapak tangannya ditutupkan ke mulut. Mukanya merona, tampak jelas sekali buat gadis yang berkulit kuning langsat. Ditatapnya mataku dengan pandangan takut menyelidik.

Aku terdiam dan membalas tatapannya. Jidatku mengernyit tanda belum paham pada kejadian yang tengah terjadi.

"Aku kebablasan ya...?" tanyanya kemudian.

"Res..., eh! Gimana sih manggil kamu? Kalau takpanggil "tu" nggak pantes kayaknya." kataku kemudian mengambil alih lagi suasana.

Restu tersenyum, rona wajahnya mulai memudar. Aku memang sengaja mengalihkan pembicaraan. Wajahnya kembali menunduk. Kulanjutkan kalimatku.

"Kamu kenal akrab ya sama si Ano?"

Restu senyumnya melebar.

"Kita kan tetanggaan kost dari sejak pertama jadi mahasiswa. Ano itu suka menggoda dari dulu. Bawaan darah keturunan Sumatera kali ya? Suka tidak tahan kalau lihat perempuan yang dianggapnya menarik".

"Bukan cuma aku saja yang sering digodain, semua kawan kost dan kawan kampusku yang main ke sini, asal bagi dia terlihat menarik, digodain deh habis habisan!".

Sebetulnya tidak usah Restu jelaskan juga aku sudah paham betul karakter kawanku yang satu itu.

"Iya, aku tau sifatnya Ano. Kami berkawan sejak awal kegiatan daftar ulang di kampus".

"Aku sering kok main ke kost-an Ano dari semenjak awal semester. Aku juga sering melihat Ano menggoda cewek-cewek yang melintasi jalan gang ini. Tapi baru kali ini aku melihatnya menggoda kamu seperti tadi. Maksudku, kenapa dari dulu aku nggak pernah melihatmu ya Res...?"

Restu menciutkan lagi senyumnya, didongakkan lagi kepalanya. Nafasnya dihela, lalu menatapku kembali dengan matanya yang lebar.

"Itulah yang membuatku pengin kenal kamu, mmm...maksudnya penasaran aja. Kamu tidak seperti cowok kebanyakan yang kujumpai."

"Rata-rata cowok yang kujumpai begitu cepat tertarik dari sejak kesan awal bertemu. Sebagian besarnya langsung menggoda atau malah merayu. Ano hanya salah satu dari sekian persen.

"Om om sampai kakek-kakek di terminal ataupun di bis sudah biasa merayuku. Aku tuh dari ngerasa risih sampai akhirnya terbiasa".

"Eh, kok jadi sombong banget aku ya? Mm..maksudku bukan begitu. Aduh...gimana ya njelasinnya?"

"Pantes aja kamu tadi gampang banget ngusir si Ano. Jadi kayak udah punya list (daftar) jurus-jurus penangkal rayuan lelaki gitu ya?!" kataku menanggapi penjelasan Restu sambil gantian ketawa kecil.

"Ano itu dulu sering ngapel ke sini. Pernah nembak aku buat jadi pacarnya".

"O ya? Jadi kalian pernah pacaran?"

"Enggak!" jawabnya tegas sambil melotot. Matanya yang sudah lebar semakin melebar ditambah menonjol.

"Aku nggak suka sama cowok perayu!".

"Lho kenapa? Bukannya perempuan itu suka dirayu?" tanyaku, teringat pengalaman pacaran dulu.

"Lagian si Ano itu sifatnya terlalu kekanak-kanakan bagiku. Jadi ya langsung kutolak saja sewaktu dia menembakku. Dan bener, setelah kutolak itu si Ano nggak pernah lagi ngapel ke sini".

"Jadi maksudmu kekanak-kanakan itu tidak gigih begitu ya?"

"Bukan cuman itu...", jawab Restu menurunkan nada bicara.

Tanpa terasa jam di dinding sudah menunjukkan jam 9 malam. Jam berkunjung di kost Restu dibatasi hanya sampai jam 1/2 10 malam. Pak kostnya sudah terlihat melintasi jalan gang di depan kami, tanda peringatan lampu kuning bagi siapapun yang menjadi tamu anak-anak kostnya. Restu yang melihat makanya mulai menurunkan nada bicaranya.

Aku mencoba memilah lagi kalimat untuk menutup pembicaraan kami. Agar tidak terkesan buru-buru tapi juga jangan sampai diusir pak kostnya Restu. Jeda waktu yang tinggal 1/2 jam itu harus aku manfaatkan dengan baik. Rupanya terhadap Restu, aku mulai tertarik. Seru juga diajak ngobrol.

"Res, aku sebetulnya belum sedikitpun mencicipi rotimu tadi. Ma'af ya...", kataku membuka lagi pembicaraan.

"Lho, kenapa?!" katanya sewot, tapi sudah kuantisipasi sedari tadi.

"Kayak nggak tau kost cowok aja kamu... Ya nggak kebagianlah, biasa...", jawabku menimpakan kesalahan pada kawan-kawan kost.

Restu tertawa kecil lagi tapi kali ini dengan raut wajah yang tampak sedikit kecewa.

"Sudahlah, hitung saja jadi amal kamu. Yang penting kita sudah berkenalan malam ini. Itu kan yang kamu mau?"

Restu menunduk, entah malu atau sudah menduga kalau aku mau mengakhiri obrolan. Dan dia enggan.

"Kamu tadi sengaja nungguin aku ngambil motor Res...?" pancing tanyaku

"Nggak lah, aku cuman masih males naik ke atas tadi. Emang aku tukang parkir...", jawabnya ngeles tanpa bisa sembunyikan malu.

"Aku memang sering lupa kalau bawa motor. Beberapa kali bahkan motorku kutinggal di kampus taktinggal pulang kost jalan kaki."

"Masih muda udah pikun kamu! Gimana kalau pacarmu yang ketinggalan?" Giginya yang rapi saat tertawa meringis membuatku sejenak tertegun.

"Ah, aku kan free nggak punya pacar", kataku disambut binar mata Restu. Tapi tak berapa lama disimpannya kembali.

"Kamu?" tanyaku sekalian karena dia sudah lebih dulu memancing.

Tak menjawab Restu, hanya menggelengkan kepala.

"Masak sih? Tadi kamu cerita banyak yang naksir... sampai om-om dan kakek-kakek! Jangan-jangan....", godaku dengan kalimat yang tak kulanjutkan. Aku yakin pasti Restu sudah paham.

"Jangan-jangan apa? Aku normal tau..!", jawabnya membela diri seperti yang kuduga. Kali ini urat lehernya yang melotot.

"Aku cuma sedikit tomboy", lanjutnya.

"Tomboy? Menurutku, kamu itu cuma pengin terlihat tomboy saja Res. Bentuk sikap adaptifmu karena keseringan digoda kali...", tangkasku sambil tertawa.
"Kalau aku sih melihatnya kamu itu masih anggun, masih tampak jelas feminin. Menurutku juga, ekspresi wajah kamu itu sebenernya yang bikin menarik buat digoda Res", lanjutku polos.

Kepada kawan-kawan perempuan aku memang suka kasih komentar atas penampilannya, apa adanya. Tidak peduli apakah akan menyinggung perasaannya atau tidak. Tapi juga tanpa ada maksud merendahkan. Jadinya sering kawan-kawan minta testimoniku karena mereka anggap aku lebih fair.

"Kok kamu nggak pernah nggoda?"

Glek! Aku menelan ludah. Ini pertanyaan yang lolos dari prediksi. Kugaruk-garuk kepalaku, bingung mau jawab apa. Mau terus terang, nanti menyinggung perasaan. Mau nggak terus terang, kenyataannya memang begitu. Hadewh...! Gumamku dalam hati.

Tanpa dinyana pula Restu bicara : "Kamu memang beda, dan baru sekarang aku jumpai". Syukurlah, Restu bisa mengerti, gumamku lega.

"E...aku pamit dulu ya. Bapak kostmu bentar lagi bakal lewat nih", kataku sambil menunjuk arah jam dinding dengan kepalaku. Restu mengerti.

"Iya. Kapan-kapan kalau aku bikin roti lagi kamu masih mau?", tanyanya. Pertanyaan yang lucu buatku, tapi jelas itu pertanyaan cek & ricek atas ceritaku tadi. Dia mungkin masih beranggapan aku bohong, dia masih yakin kalau aku tidak mau memakan rotinya karena kurang enak. Bukti bahwa ia butuh dihargai, sudah bosan untuk hanya sekedar dikagumi.

Aku sengaja tak menjawab, hanya berdiri sambil mengulurkan tangan untuk saling berjabatan. Restu membalas dengan terpaksa dengan ekspresi penasaran berbungkus senyum yang dikulum. Lalu kubalikkan badanku kembali menuju kost yang hanya perlu sekitar 25 langkah saja. Taklupa kubungkukkan sedikit badanku sebagai tanda hormat saat berpapasan dengan Bapak Kostnya yang berdiri agak jauh di arah jam 3.

Dibalasnya salam hormatku dengan senyum lebar, tanda bahwa beliau respek sama pemuda yang sopan. Pengalaman sebagai pengusaha kost khusus cewek selama 5 tahun tentu cukup memberi beliau referensi tentang berbagai kharakter tamu anak-anak kostnya.

Bocoran Rahasia

Baru 35 anak yang bisa kuhitung, berderet dalam 4 baris menyamping. Tiap barisnya diisi 10 anak sehingga mudah untukku mengetahui bahwa masih ada 5 anak lagi yang belum sampai. Sore itu matahari belum terlalu condong ke arah barat, para junior kami kumpulkan di halaman parkir kampus. Kami yang kumaksud adalah aku bersama beberapa kawan seangkatan ditambah beberapa mahasiswa 1 tingkat di bawahku dan beberapa orang senior 1 tingkat di atasku.

Kami tergabung dalam Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru yang bertanggung jawab membina para adik angkatan untuk pengenalan kampus di 1 semester awal mereka. Begitulah tradisinya waktu itu, menyita banyak waktu tapi kami menikmatinya. Dan sekarang hampir selesai tanggung jawab kami, tinggal 2 bulan lagi untuk kemudian mengakhirinya dengan inaugurasi.

"Kemana temanmu yang lima dek?" tanya Abdul, ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dalam kepanitiaannya berperan jadi koordinator. Rambutnya yang keriting sudah lebih 1 semester tidak dicukur, mengembang bak busa sabun cuci. Sengaja dia piara rambut untuk kegiatan ini, biar terlihat garang katanya.

Lama tak ada yang menjawab pertanyaannya, dimajukan posisinya selangkah lebih dekat dengan barisan. Diulangnya pertanyaan dengan volume lebih tinggi 2 kali.

"Jawab woi!", suara bariton Andi menghentak tiba-tiba dari belakang barisan, mengejutkan sebagian besar junior. Semua kepala ditundukkan segera, beberapa wajah terlihat memucat.

"Jawab dek!!!" teriak Irin dari arah kanan barisan, melengking Cumiakkan telinga.

"Ayo jawab dek!" teriak Ayat dari arah kiri barisan.

"Jawab dek!" teriak Agus dari depan barisan agak ke kiri.

"Ayo dek, jawab!" teriak Retno sambil menyeruak dari belakang barisan.

Bersahut-sahutan akhirnya teriakan kawan-kawan senior yang lain, terpancing suara Andi dan Eni. Begitulah kami memanipulasi suasana untuk menurunkan mental para junior. Wajah-wajah pucat semakin bertambah, dua anak matanya berkaca-kaca hendak menangis. Seorang yang tadi tersenggol Retno benar-benar menangis. Kami yang berdiri terpisah-pisah mengitari barisan junior itu tak mengacuhkan sama sekali mereka yang cengeng, justru mimik wajah kami sepakat menggarang.

"Mana komting?!", tanya Agus campur teriak. Komting adalah singkatan dari komandan tingkat, semacam ketua kelas, pemimpin yang dipilih sendiri oleh para junior melalui musyawarah seangkatan.

Merasa dicari, si komting mahasiswa angkatan baru pun mengangkat 1 tangannya. Dalam kondisi seperti ini, si komting sedari awal kami didik untuk bertanggung jawab penuh mewakili kawan-kawannya.

"E..., mungkin belum selesai membereskan peralatan lab kak, masih di laboratorium...e...membantu kakak askum (asisten praktikum)", jawab si komting terbata-bata tapi lantang.

"Kenapa tidak ditunggu dulu o' ooon...!" kata agus sambil mengelus kepala si komting dan menggoyang-goyangkannya. O'on itu kependekannya blo'on alias bodoh, sebelas-duabelas dengan tolol.

"Kamu itu egois semua!!!" teriak Irin lagi lebih melengking dari yang tadi, sambil ditatapnya barisan junior dengan mata mendelik. Aku yang disampingnya mengumpat dalam hati, telingaku berdenging seketika. Lalu kugeser berdiriku sedikit lebih jauh dari Irin.

"Sana disamperin ting!" perintah Abdul kepada si komting, kembali ia coba kuasai suasana. Si komting langsung berlari menuju ke arah gedung laboratorium yang tampak dari lahan parkir, tapi lumayan jauh untuk dicapai dengan jalan kaki.

"Kakak-kakak senior mohon tenang", kata Abdul menenangkan kami yang sudah siap dengan sandiwara kekerasan, kecuali aku. Aku tidak suka bersandiwara, aku lebih suka langsung "hajar" di luar acara seremonial seperti ini. Saat berpapasan di kampus, saat diminta bantu tugas praktikum atau saat di kantin.

"Adik yang menangis hentikan cengengnya, justru itu membuat kakak senior di sini makin membentakmu", kata Abdul gantian kepada para junior.

"Kalian tau kenapa?" tanyaku dengan mengambil posisi sebelah Abdul, menyelanya tanpa interupsi. "Sebab kalau kalian cengeng, kalian nantinya akan merepotkan kakak-kakakmu yang jadi asisten dosen atau asisten praktikum. Kami tidak mau punya adik cengeng, manja dan pemalas, tidak disiplin. Lebih baik ambil keputusan dari sekarang, lanjut kuliah bersama kami atau pindah saja ke kampus lain!" imbuhku kemudian dengan nada akhir kalimat kutinggikan.

Junior yang menangis menyeka air matanya dan menahan tangis dengan sesenggukan. Tampaknya dia mulai paham arti bentakan-bentakan kami dari semenjak awal masuk acara OSPEK. Aku puas, mendapat peran juga akhirnya dalam sandiwara itu.

Si komting dan lima kawannya kembali dikawal Ica dan Darwati yang rupanya menjadi askum mereka. Ica lalu mendekat menghampiri Abdul dan memberi penjelasan. Abdul mengangguk-angguk, sedang aku menatap Ica masih dengan muka serius. Kutarik badanku menjauhi mereka berdua, aku ambil peran untuk tidak bisa menerima negosiasi Ica, jadi kubiarkan mereka berdua. Ya, semua sandiwara ini sudah direncanakan sebelumnya. Sandiwara yang membebaskan improvisasi sebebasnya asalkan masih di alur "benang merah".

Abdulpun menyuruh kelima junior dan komtingnya kembali ke barisan dan melanjutkan penjelasan-penjelasan. Kami para senior yang lain mulai berangsur dari mengerumuni barisan dan berkumpul-bernaung di bawah lajur bangunan lahan parkir motor. Ada yang lalu ngerumpi, ngobrol atau masih mengamati barisan junior dari tempatnya. Ica mendekatiku, senyum-senyum menyapa. Aku paham artinya, tapi pura-pura bertanya.

"Piye (gimana) Ca?"

"Aku dong yang semestinya bertanya...", jawab Ica. Kami memang belum bertemu sejak malam dimana aku berkenalan dengan Restu.

Quote:

Mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana Ica bisa tau benang merah sandiwara yang kami jalankan sore ini? Tidak perlu semua panitia berkumpul untuk bikin skenario sandiwa seperti ini, cukup 1 - 2 orang saja yang bikin rencana, yang lain cukup disamperin (dijapri) saja termasuk Ica. Sudah menjadi budaya yang mengakar waktu itu, jadi otomatis pasti berjalan baik.

"Alah pura-pura kamu Ca, mosok Restu nggak cerita", bantahku.

"Bukan tentang perkenalan kalian yang kutanyakan, respon kamu...gimana?"

"Baik, enak diajak ngobrol"

"I...iiih, Ai'! Bukan itu... Kamu gimana selanjutnya? Mau lanjut ke pacaran nggaaaak?"

"Ih! Kok kamu kayak wartawan infotainmen gitu? Emang Restu nitip pertanyaan ke kamu? Katanya ogah jadi mak comblang...."

"Enggak, penasaran aja...", jawab Ica sambil ketawa kecil.

Aku diam garuk-garuk kepala, sedang Ica matanya terus menatapku menunggu jawaban. Kuhela nafas, kulihat Abdul masih asyik memberi pengarahan ke para junior.

"Aku nggak bisa bilang Ca, cuma kayaknya beberapa hari ke depan aku ke kostmu lagi buat nemuin Restu", kataku. Ica tersenyum, puas tampaknya terjawab pertanyaan.

"Aku bilangin ya Ik, dari sejak awal semesternya, Restu itu se - kost - an dan sekamar sama aku. Sepanjang itu pula, banyak sekali yang ngapelin dan berusaha nembak dia. Tapi tak satupun yang diterimanya, artinya tak satupun yang membuat dia terpikat".

"Dia cerita malam itu kalau banyak laki yang mendekati, cuma memang gak cerita kalau belum pernah punya pacar sedari awal semester. Makasih infonya Ca", jawabku.

"Satu lagi takkasih bocoran mau?"

"Opo kuwi (apa itu) Ca'?"

"Ha...., traktir dulu dong....enak aja info gratisan!" celetuk Ica ngerasa di atas angin. Sialan nih anak, gumamku dalam hati.

"Ya udah, mau ditraktir apa kamu?" tanyaku ketus. Ica tertawa-tawa riang, ibarat anak kucing dapat buruan tikus terus dipakai mainan.

"Itu pe-er kamu, cari tau makanan kesukaanku, lalu antarkan kepadaku!" kata Ica kasih perintah seenaknya sambil alisnya dinaik-turunkan bikin tambah dongkol.

"Eh, apaan tuh pake dianterin segala?!", protesku.

"Eit! Aku itu sebenernya kan senior kamu. Harus nurut dong sama senior..., tuh!", tangkas Ica sambil menunjuk barisan junior dengan kepalanya.

"Okelah, deal!", jawabku tegas. Kupikir betul juga si Ica, selama ini aku jarang memperlakukannya sebagai senior. Sementara aku menuntut para junior yang pada berbaris itu untuk menghormati kesenioranku.

Diulurkan tangan Ica ke arahku. Kubalas menjabat tangannya dan kutarik hendak kugigit. Ica meronta, dikibaskan tangannya dengan muka sewot lalu ngeloyor pergi.

Bad Mood Day

Hari ini entah kenapa tak satupun kalimat Pak Arko nempel di kepala, seolah masuk telinga kiri terus menembus ke telinga kanan. Aku sudah berusaha pasang konsentrasi baik-baik. Kupelototi papan yang penuh dengan goresan kapur a-La Pak Arko dan kupasang telinga baik-baik untuk mendengar penjelasannya. Tidak sampai 5 menit, mataku sudah melayang pandang, tak mampu meneruskan bayangan nyata yang sudah ditangkap retina menuju otak. Dan telingaku bagai goa tanpa sekat yang ada di perbukitan, tembus dari satu sisi ke sisi lainnya. Yang salah adalah otakku, takmampu lagi kukendalikan kayak komputer yang lagi hang. Kondisi hang yang tetap takbergeming dengan perintah "ctrl+alt+del", hanya bisa di "shut down" paksa dengan jurus satu jari tekan lama tombol power.

Aku menyerah, kusangga kepalaku dengan telapak tangan yang bertumpu siku berpenyangga lengan, beralas board bangku kuliah. Bangku kuliah itu serupa kursi lipat yang dilengkapi satu lengan berpapan kecil di sisi kanan. Papannya berengsel sehingga bisa dilipat sebagaimana kursinya. Di atas papan kecil itulah buku dan pulpen bisa diletakkan, kami biasa menyebutnya board. Fungsi lainnya adalah sebagai tempat siku menopang lengan yang telapak tangannya nempel di pipi, jidat atau umumnya dagu.

Kubiarkan saja otakku tanpa kendali, berpikir liar menyusun rencana dan mengkalkulasi segala kemungkinan. Kalau jaman sekarang mungkin bisa diibaratkan helmnya iron man. Jadwalku begitu padat hari ini, termasuk rencana menemui Restu lagi. Jadilah otakku sekarang sedang menganalisa list schedul hari ini, menentukan skala prioritasnya dan memprosentase keberhasilan berbanding kegagalan. Sekali lagi persis kayak helmnya iron man.

Keinginan untuk menemui Restu takbisa dibendung, meronta menguasai otak. Mungkin memang aku yang salah, seharusnya yang berusaha kukuasai adalah keinginan itu, bukan otakku. Keinginan yang muncul akibat berpapasanku dengan Restu pagi tadi tanpa sengaja. Awalnya kecil saja keinginan itu, tapi seiring berputarnya jarum jam ternyata makin membesar. Menjebol penguasaan otak sadarku yang sedari malam telah mengatur secara rinci urutan schedul hari ini.

"Hai Res, tumben sudah rapih...", sapaku pagi tadi. Menyapa Restu yang berdiri di depan pintu kostnya, mungkin sedang menunggu kawannya.

Sejak semester 1 sampai yang ke 5 ini selalu ada jadwal kuliah pagi, tepatnya Jam 7.30 - jadwal terpagi di kampusku. Di kost baruku ini aku lebih bisa molor waktu berangkat kuliahnya, pasalnya jarak dari kost ke kampus lebih dekat. Meski begitu, takpernah sekalipun aku berpapasan dengan Restu. Tanda bahwa dia tidak ada jadwal kuliah pagi di semester ini. Sekali dua kali saat berangkat kuliah dan mendongak ke arah lantai 2 kost Restu, aku melihatnya masih mengenakan daster. Pertama yang kulihat, Restu sedang menjemur cucian. Kedua kali, bercanda dengan kawan kostnya dengan mulut ditutup tangan menjaga kesopanan.

"Eh, iya nih. Ada pertukaran jadwal", jawabnya. Senyumnya mengembang dan matanya berbinar. Terhadapku dia benar-benar tak bisa menahan rasa, terpancar jelas dari rona wajahnya.

Aku mendekat ke tembok pagar kostku agar jarak tak terlalu jauh darinya. "Mau bareng?" tanyaku sambil memantul-mantulkan kunci motor di telapak tangan.

"Emmm...aku nunggu dijemput temenku Ik, sudah janjian dari kemarin", jawabnya sedikit ragu. Kalimat lain bahwa dia sebetulnya mau, tapi kadung janjian sama kawannya.

"Aiiiiik!" Mendadak muncul suara dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan Ano. Ini tumben juga anak, jam segini sudah bangun. Pagi ini banyak kejadian langka kutemui, batinku.

"Pinjam helm aku ya?!" sambungnya. Berdiri Ano di teras kost, tangan kanannya memegang helmku yang berwarna biru tua polos, warna favoritku.

"Eh, ada dek Restu cantiek! Aduhai..., taksia-sia aku bangun sepagi ni" Lagi-lagi kalimat rayuan terlontar dari mulutnya. Yang dirayu membuang muka, kakinya sebelah kanan digerak-gerakkan dalam ritme beraturan.

"Mau kemana No' pagi-pagi gini?" tanyaku.

"Nemenin si Gembo mo cari sparepart seken ke bawah."

Ke bawah yang dimaksud adalah wilayah bebas perbukitan dari kota ini. Perlu sekitar 30 menit perjalanan naik motor hingga benar-benar bebas dari perbukitan. Wilayah yang kami tinggali sebetulnya adalah kaki gunung yang berbukit-bukit, jadi konturnya naik turun dan jalannya berkelok-kelok.

Bersamaan dengan penjelasan Ano, kawan Restu tiba dengan motor bebeknya yang berwarna hitam penuh aksesoris - dari spion sampai tutup pentil. Restu tampak girang jemputannya datang, tapi berpikir ulang sewaktu hendak duduk membonceng. Sedang kawannya tampak siap kembali memutar gas motornya, tanpa menetralkan posisi porsneleng - tanpa mematikan mesin motor.

Restu tanpa kuduga malah melangkah mendekat ke arahku, kawannya melongo ditinggalkan. Memperhatikan kami berdua yang hanya berjarak lima langkah dari balik kaca helm yang dikenakan. Wajahnya takterlihat jelas karena memakai masker penutup hidung, hanya matanya saja yang tampak.

Aku tertegun sesaat, segera kuatur sikap. Bersiap mendengar perkataan yang akan terucap dari mulut Restu yang bergigi rapi. Bersiap menatap lagi mata lebar Restu dari jarak dekat. Dengan cepat sikapku bisa tertata, sebab hingga detik itu memang terus terang aku masih belum ada rasa. Masih hanya sebatas mengagumi, seperti halnya mengagumi banyak kawan seangkatan di kampusku yang tergolong cantik. Dalam skor penilaianku atas kecantikan fisik perempuan, dari rank 1 - 10, Restu hanya menduduki peringkat 7.

"Aku berangkat kuliah duluan ya?" kata Restu sambil tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapih dan bersih. Berdiri dia takbergeming persis di depanku dengan sikap anggunnya, menunggu jawabanku. Sikapnya kutangkap sebagai bentuk sopan seorang anak yang berpamitan kepada orang tuanya, menunggu mendapatkan ijin untuk pergi. Aku terkesima! Kakiku bergetar.

Pada detik itu pulalah rasa itu menancap bak anak panah melesat dari busurnya - mengenai papan sasaran. Lelakiku tergugah, wibawanya memancar. Dengan senyum tertahan kuanggukkan kepalaku, mataku menatap kuat mata Restu yang lebar.

Restu semakin melebarkan senyumnya, senyum yang kini benar-benar memikat menggetarkan hati. Berbaliklah ia kemudian menghampiri kawannya yang sedari tadi menunggu dan mulai duduk di jok belakang motornya, membonceng. Gas motor ditarik, motornya mulai melaju.

Wajah restu terus diarahkan padaku, masih dengan senyum lebarnya ditambah lambaian tangan kanan. Kubalas lambaiannya, kakiku masih terasa bergetar sedang badanku terasa kaku. Kupandangi terus motor yang melaju itu hingga taktampak lagi dari pandangan mataku. Kemudian kubalikkan pula badanku dan kubawa melangkah menuju rumah kos.

Ano masih berdiri di teras, rupanya sedari tadi ia memperhatikan dari kejauhan. Tertawa dia sewaktu aku mendekat, dipukulnya dadaku dengan kepalan tangannya pelan. "Bisa juga kau Ik!" katanya membanggakanku. Lelakiku makin melambung, seperti ayam jago yang membusungkan dadanya dan berkokok kencang.

"Jadi sudah jadian kau sama Restu? Ah..., makan-makan nih kita! Kapan? Kapan?"

"Belum No' !" kujawab tegas. "Cepat kali kau tarik kesimpulan?" tanyaku lebih lanjut menirukan logat khas Palembangnya. Tawa Ano mereda berganti senyum simpul. Ditatapnya mataku kuat dan dipegangnya pundakku.

"Itu tandanya wanita sudah membuka diri Ik, segeralah kau tembak dia!"

"Bah! Kau ajari pula playboy macamku ini...", jawabku sombong - bercanda. Ano kembali tertawa lepas, lebih keras dari yang tadi. Tawa yang lebih dalam arti geli.

"Playboy cap kadal!", katanya. "Merayu cewek aja kau tak berani Ik...Ik....!"

"Ah, sudahlah! Aku harus berangkat, udah mau telat".

Kutinggalkan Ano menuju kamar, mengambil tas dan mengunci pintu. Ano rupanya tak mau begitu saja ditinggalkan, dia tahan langkahku dan menarik lenganku agar duduk bersamanya di sudut teras.

Ada dua kursi bersandar di sudut teras kost kami, lengkap dengan meja bulat dengan 3 asbak yang penuh puntung rokok. Di bagian lantai jangan ditanya, sampah plastik dan bungkus nasi berserakan di mana-mana. Sepagi ini, ibu kost belum mulai meninjau, dan selama belum terdengar teriakan marah beliau komentar tentang kebersihan, taksatupun dari kami yang bergerak mengambil inisiatif bersih-bersih lantai. Adat kebiasaan kami ini pula yang bikin si ibu kecanduan mengontrol kost miliknya. Dan sebaliknya, kami juga kecanduan teriak marah-marahnya si ibu.

Belum Ada JUDUL

Kuikuti dengan terpaksa kemauan Ano untuk duduk di kursi teras kost, meskipun waktu dimulai kuliah tinggal 15 menit lagi. Alamat akan telat kuliah atau bahkan bolos kuliah pagi ini. Duduklah kami bersebelahan, Ano merangkulku dan mendekatkan kepalanya - penanda khas kalau dia mau bicara serius. Kupasang telinga baik-baik yang sudah hampir menempel ke mulutnya.

"Kau, sudah lama aku kenal Ik. Kita berdua sudah saling kenal tanpa ada yang perlu disembunyikan", kata Ano sambil menatapku, tatapan yang berusaha meyakinkan. Aku menangkap dengan lirikan mata sebab posisi duduk kita bersebelahan. Seperti dejavu, sebuah kejadian yang serasa sudah pernah kualami sebelumnya padahal belum.

"Kamu butuh duit?" balasku bertanya setelah sadar bahwa ini bukan dejavu. Aku teringat waktu pertama kali Ano kehabisan uang saku lalu nyamperin ke kostku yang lama. Seperti itulah gayanya bicara, persis!

"Alamaaaak, kau ni keluar dari konteks saja rupanya!" seru Ano tiba-tiba sambil menggoncang-nggoncang tubuhku. Gaya bicara kawanku yang satu ini memang suka meledak-ledak kayak karburator motor kalau kemasukan air. Begini ini yang bikin gendang telingaku menderita.

Rangkulan Ano makin dipererat, mulutnya kembali didekatkan ke telingaku lagi setelah sejenak tadi terlepas. "Gadis itu tadi kawan..., bagaimana sebetulnya? Ceritakanlah pada kawan kau ini!"

Kulirik jam tanganku, waktu tinggal 5 menit, biasanya aku sudah stanby di dalam ruang kuliah. Aku bimbang antara meladeni Ano atau segera berangkat. Kuambil keputusan cepat, kupilih untuk meladeninya, toh kalau kukebut juga sampai kampus bakalan telat. Aku terdorong rasa ingin tau pada keseriusan Ano terhadap urusan asmara, yang bagiku tak terlalu urgen buat dipikir. Juga rasa ingin tauku tentang Restu dari sudut pandang Ano si perayu wanita, playboy yang kutahu sudah 3 kali ganti pacar dari awal semester. Empat kali bahkan, termasuk mantan kekasihnya di kampung.

Kulepaskan rangkulan tangan Ano pelan-pelan lalu kugeser kursi tempatku duduk, agak serong biar bisa sedikit beradu muka dengannya. Otak sadarku sebetulnya berontak, sepenting apakah percakapan ini sampai harus korbankan waktu kuliah? Tapi bayangan senyum dan sikap Restu saat berpamitan tadi seolah mengganjal, mirip sederet barikade pasukan Brimob yang menahan laju demonstran lengkap dengan tameng dan pentungannya. Bayangan yang cukup kuat membuyarkan tiap detik waktu yang telah ku-schedule sedari malam.

"Kamu masih mau mengejarnya No'?" tanyaku mengejutkan Ano, sekaligus membuatnya menangkap informasi bahwa Restu sudah menceritakan kelakuannya di masa lalu.

"Nah! Ini baru masuk kau ke konteks..." jawab Ano sambil menggebrak meja, membuatku terkejut dan bertanya-tanya dalam hati. Jangan-jangan, Ano sebetulnya masih menaruh hati pada Restu? Sampai-sampai pagi ini dia ajak aku bicara serius empat mata.

"Tenang..., buat kau Ik, aku rela mengalah. Khusus buat kau!" jawab ano kali ini dengan nada rendah dan seulas senyum, tapi tatapan matanya garang. Seperti itulah yang kumaksudkan sebagai "meledak-ledak", tinggi rendahnya nada bicara Ano itu bisa silih berganti dalam tempo yang begitu cepat.

"Cangkemmu (mulutmu) No'!" kujawab sambil kudorong jidatnya dengan tiga ujung jari. Ano tertawa terbahak-bahak, girang rupanya dia dengan sandiwara singkatnya itu. Sandiwara yang dengan cepat dapat kutangkap sebab telah hapal bertahun-tahun.

"Yo wis ( ya sudah ), jadi gak ada masalah di antara kita brother", kataku kemudian sambil mengacungkan kepalan tinju ke Ano. Dia balas kepalan tinjuku dengan kepalan tinjunya pelan, melengkapi tanda kompak yang kuajukan.

Gerakan saling mempertemukan kepalan tangan seperti itu sudah populer di jamanku, demikian pula sebutan brother-hanya belum disingkat jadi bro saja.


"Terus setaumu, Restu itu kayak apa No'?" lanjutku.

"Beh! Kau tanya aku pula? Sudah tuli kau rupanya.Takdengar kau, aku berkali-kali menggodanya?"

"Iki rak (ini bukan) masalah penampilannya No...!" terpaksa kujawab ketus. Aku paham Ano itu acapkali terjebak menilai perempuan hanya dari tampilan luarnya saja, makanya tidak pernah awet dia punya pacar.

"Utekmu kuwi isine (otakmu itu isinya) cuma wajah cantik dan bodi seksi thok (saja)!" Ano tertawa kecil mendengar lanjutan bicaraku, mengakui kelemahannya. Ya, setelah lama tinggal di sini akhirnya dia paham bahasa jawa, tapi tak bisa mengucapkannya.

"Kalian kan dari awal semester nge-kost di sini berdekatan, sudah saling kenal sejak lama, mosok yo weruhmu ki mung (masak ya taumu itu hanya) itunya saja. Aku perlu informasi lebih kawan...", kataku sambil kutepuk-tepuk pundaknya.

"Kau betul mau serius Ik? Kalau ya aku kasih tau, kalau tidak - malaslah aku menjawab".

"Kalian sudah kompak rupanya ya...", kataku sambil tersenyum lebar.

"He, kita yang tinggal di sepanjang gang ini sudah seperti saudara Ik, itulah maka aku betah. Kau kan baru 3 bulan ini..."

"Kalau begitu, ceritakanlah tentang Restu!" kuucap perintah sambil kutatap mata Ano kuat-kuat, tandanya aku sedang betul-betul serius.

"Tidak bisa! Aku dulu yang tadi minta cerita!" katanya sambil membalas tatapanku dengan lebih garang.

"Jadi kau pindah ke sini sebetulnya buat ngedeketin Restu?"

Pertanyaan itu membuatku sadar, inilah alasan sebenarnya kenapa Ano bersikeras menahanku di teras pagi ini. Rupanya dia pendam kecurigaan sejak malam lalu kutinggalkan cari makan sendiri, sedang aku berbincang dengan Restu di kostnya. Ditambah melihatku dengan restu pagi ini tadi.

Aku sadar, bagi teman se-setiakawan seperti Ano, upaya mendekati perempuan yang dekat dengannya secara diam-diam tanpa diketahuinya adalah sebuah pengkhianatan. Kalau kepindahan kostku adalah sebuah upaya mendekati Restu yang notabene tetangga kostnya, kenapa tidak bilang dari awal? Begitu pasti selidik dalam pikiran Ano.

"Jangan salah paham brother," kataku kemudian menenangkan Ano. "Seringkali aku main ke kost ini dari awal semester, ya baru sekarang ini aku tau Restu. Sumpah!"

"Lalu bagaimana kau malam itu bisa tiba-tiba mengkonfirmasi namanya untuk berkenalan?" tanya Ano dengan dahi mengernyit. Aku tersenyum, paham betul aku dengan logika mahasiswa Teknik Mesin yang saban hari dijejali matematik dan fisika.

"Kenapa kau lewatkan Ica dalam analisa logikamu? Bukankah sedari dulu kau tau kalau Ica dan Restu itu teman sekamar?"

"Ah, begitu rupanya. Jadi kau diberitahu sama si Ica?"

"Ya, dan malam itu pas sama kamu, aku tak ingat sama sekali wajah Restu, makanya aku lalu konfirmasi tentang namanya."

"Wis saiki (sudah sekarang) gantian kowe (kamu) cerita tentang Restu", lanjutku.

"Seriuslah Ik, aku sarankan kau untuk serius. Baru kali ini aku melihat Restu menatap laki-laki seperti tadi pagi dia menatapmu".

"Restu tidak pernah kulihat punya pacar selama ini. Aku sudah menyelidikinya dari dulu", lanjut Ano.

"Kowe (kamu) yakin No'?"

"Di antara yang berusaha mendekati Restu ada kawan-kawanku pula sekampus, hasil pengamatan kita tak jauh beda".

"Cewek macam Restu itu baik buat pasangan Ik, jangan kau pakai main-main!" kata Ano dengan semacam nada ancaman. Aku tertawa mendengarnya, ke-playboy-annya betapa bisa bercampur dengan ke-setiakawanan-nya. Lebih seperti cabe dan bawang yang telah menyatu sebagai sambal di atas cobek.

"Itu adik kau bukan, sepupu kau juga bukan. Kenapa kau ancam-ancam aku pula...?" kataku menggodanya dengan menirukan logatnya.

"Eh! Eh..., serius ini!", kata Ano tidak terima.

"Lantas bagaimana dengan gadis-gadis yang kau pacari selama ini? Kau selingkuhi - kau putus, cari lagi - selingkuhi lagi..." jawabku sambil tertawa. Kali ini aku betul-betul bisa menertawakan Ano atas segala kelakuan playboy-nya selama ini.

"Aku ini bukan kamu No'!" lanjutku masih dengan tawa. Ano hanya bisa diam memandangiku dengan pandangan penyesalan. Pandangan iri juga sebab takpernah berhasil mendapat hati Restu.

"Terus terang aja Ik, tiap kali lihat Restu, aku teringat emakku di kampung..."

"Mirip No'?" tanyaku dengan mata terbelalak.

"Bukan wajahnya, tapi pancaran wajahnya. Kalau lihat dia duduk Ik, kepala ni pinginnya aku taro' (taruh) aja di pangkuannya..."

"Ah, dasar playboy cap kadal!" tukasku. Aku tak menyangka, Ano yang punya tatapan mata garang itu ternyata masih memendam rasa rindu yang kuat kepada ibunya.

Bayangan itu kembali melintas, gadis dengan senyum manis dalam sikap sopan berpamitan, tak salah jika orang tuanya memberi nama Restu.

"Ada yang mau ditanyakan?" Pertanyaan Pak Arko sontak menggugah lamunanku.

Aku tak sadar jika posisinya berdiri sekarang tepat di depanku. Sengaja aku tadi memilih duduk di barisan paling depan. Dosen yang satu ini kalau sedang mengajar punya kecenderungan tebar pandangan pada deret tengah ke belakang, deret terdepan cenderung luput dari pandangan. Pikiranku sedang kacau, kalau duduk di tengah atau belakang akan mudah tertangkap perhatian, takutnya kalau tiba-tiba Pak Arko lempari pertanyaan.

"Jika tidak ada, saya akhiri sampai di sini kuliah hari ini. Tugas silahkan dikumpulkan ke komting, nanti tolong diantar ke meja saya ya...", lanjut Pak Arko sambil mengarahkan pandangan ke Tion, komting angkatan kami yang bertubuh pendek dan gempal. Kami sendiri lebih senang memanggilnya "Bantat", dulu si Mita yang pertama kali kasih julukan.

"Siap pak, segera", jawab Bantat.

Aku terkejut bukan kepalang mendengar ada tugas yang harus dikumpulkan hari ini juga. Betapa semua kalimat Pak Arko sedari tadi terlewatkan kecuali salam pembuka dan kalimat penutup barusan.

Begitu Pak Arko keluar ruangan, langsung kuhampiri Uya untuk pinjam contekan. Uya adalah kawan angkatan terbaik versiku, sebab takpernah bawel untuk kupinjam catatannya, kutitipin fotokopi materi, hingga kumintai tolong mengerjakan laporan praktikum.

"Ayo cepetan siapa yang nitip ngumpulin tugas!" teriak Bantat sambil mengacung-acungkan kertas jawaban miliknya.

Ruang kuliah sontak gaduh dengan teriakan-teriakan kawan yang merasa belum selesai mengerjakan tugas, termasuk aku. Secepatnya kusalin jawaban milik Uya dan kuberikan ke Bantat sebab tak lama lagi kuliah berikutnya akan dimulai.

Usai kuliah ke tiga, ada jeda sekitar 1 jam sebelum praktikum. Usai praktikum, aku harus berkumpul di ruang HM (Himpunan Mahasiswa) untuk rapat panitia inaugurasi. Lalu sore jam 4 - jam 5.30 ada praktikum lagi yang harus diikuti.

Aku menghela nafas, hari ini betul-betul hari dengan jadwal terpadat. Bayangan itu kembali melintas, seorang gadis dengan senyum manis dalam sikap sopan berpamitan. Membuatku menambahkan 1 lagi alarm schedul dalam otakku, yaitu menemui Ica siang ini di kantin. Khawatir lupa, maka kupindah tasku di sebelah Uya dan duduk di sebelahnya. Kukatakan padanya agar mengajakku ke kantin siang nanti untuk menemui Ica biar aku nggak lupa.

"Traktir yo Ik...", jawab Uya menawar.

"Beres!", tegas kujawab. Disamping aku memang lagi butuh banget, mentraktir Uya juga tak akan menghabiskan banyak uang. Dia takut gemuk, paling cuma ambil ceriping pisang dan pesan segelas es cendol.

INTERLOG

Kantor sudah sepi, kawan-kawan sudah pada pulang. Tinggal aku dan Yuna berdua yang stanby di kantor menunggu proses produksi yang belum juga kelar. Bertiga sebetulnya, hanya saja Andi tidak menetap duduk di kursi kantor. Mondar-mandir dia antara kantor dan ruang produksi. Target terselesaikannya proses produksi sore ini menjadi tanggung jawabnya. Sedang aku dan Yuna hanya mengamati kinerja pekerja dari layar monitor komputer, 8 CCTV dipasang di setiap titik ruang produksi yang terkoneksi ke komputer QC (Quality Control).

Sesekali kualihkan ke jendela facebook untuk mengatasi kejenuhan, sesekali juga kupantau microsoft outlook yang waktu itu jadi alat komunikasi grup karyawan via chat. Pemberitahuan pertemanan belum juga berubah, padahal perintah add as friend di akun Restu telah aku klik sejak pagi tadi.

Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kebahagiaan keluarganya, itu saja sebetulnya niatku. Tapi mungkin saja di Aceh yang punya hukum otonomi khusus, punya tradisi takmembolehkan perempuan yang sudah menikah sembarangan berteman dengan lelaki tanpa seijin suami, sekalipun hanya di medsos, begitu pikirku. Ya, Restu kini tinggal di Aceh mengikuti suaminya yang asli keturunan sana. Suami yang dulu adalah pesaingku selama kami masih berpacaran. Pesaing yang gigih bergerilya, menyerang diam-diam tanpa kuketahui secara pasti geraknya. Aku salut! Salut dengan strateginya.

Kubuka lagi jendela Winamp pada layar komputer, kucari folder album lagu Padi di memori hardisk lalu ku play. Kuputar volume speaker aktif di bawah meja kerjaku biar tambah kencang bunyinya. Yuna menoleh ke arahku, hanya bisa geleng-geleng kepala. Lalu kembali lagi pada monitor komputernya sendiri melanjutkan kerjaannya. Entah apa kerjaannya, aku dan Andi takmau kepo, sebab kepo di perusahaan kami justru bisa menjebak kita dengan kerjaan baru, sebagai sebuah bentuk solidaritas kawan se-kerjaan.

Quote:

Semua Tak Sama by Padi

Dalam benakku lama tertanam
Sejuta bayangan dirimu
Redup terasa cahaya hati
Mengingat apa yang telah kau berikan

Waktu berjalan lambat mengiring
Dalam titian takdir hidupku
Cukup sudah aku tertahan
Dalam persimpangan masa silamku

Coba 'tuk melawan
Getir yang terus kukecap
Meresap ke dalam relung sukmaku
Coba 'tuk singkirkan
Aroma napas tubuhmu
Mengalir mengisi laju darahku

Semua tak sama, tak pernah sama
Apa yang kusentuh, apa yang kukecup
Sehangat pelukmu, selembut belaimu
Tak ada satu pun yang mampu menjadi sepertimu...


Pikiranku kembali melayang pada kenangan 6 tahun yang silam. Melayang pada sebuah bayangan seorang gadis dengan senyum manis dan sederetan gigi yang tersusun rapih.

16 Juli 2009, Muara Baru - Jakarta Utara

Racun Kopi Nikotinamida

Kantin di kampusku ada 3, satu di dekat gedung D - area kekuasaan anak jurusan Matematik, satu di dekat gedung E - area kekuasaan anak jurusan Fisika, dan satu lagi di dekat gedung B - area bebas karena dekat Dekanat (gedungnya Dekan Fakultas dan para pegawainya).

Area kekuasaan yang kumaksud bukanlah sebuah bentuk premanisme, hanya berarti mayoritas dipakai kuliah oleh mahasiswa jurusan tertentu yang kemudian menjadi tempat yang sering digunakannya untuk kegiatan non akademik.

Semua kantin terletak di lantai satu, berupa bangunan tersendiri yang dibikin sendiri, yang bersebelahan dengan gedung kampus. Seperti kantin yang hendak kutuju siang ini bersama Uya, bentuknya hanyalah ruang bersekat calciboard dan terletak tepat di sebelah turunan tangga gedung B lantai satu. Sangat sederhana, semacam bangunan minimalis memanfaatkan ruang yang ada saja secara efisien.

"Ada apa sih Ik kok tumben kamu ngejar-ngejar ketemuan Mbak Ica?" tanya Uya selepas Bu Kus mengakhiri kuliahnya siang ini.

"Ada deh...", jawabku sekenanya. "Yuk, cepetan!" ajakku sambil berdiri duluan. Uya segera mengemasi peralatannya lalu menyusulku bangkit dari bangkunya.

Kami segera melangkah keluar ruangan, Vita yang se-kost-an dengan Uya turut pula membuntuti kami berdua. Tak sia-sia kami melangkah cepat-cepat sebab kantin masih belum terlalu ramai. Kutemukan Ica seperti biasa di sudut ruang kantin, tempat favoritnya.

"Udah sana Ya' mo pesen apa! Aku es kopi aja segelas!", kusuruh Uya dan kutinggalkan dia berdua bersama Vita tanpa peduli mau pilih tempat duduk sebelah mana. Aku ngeloyor mendekati Ica, mengambil satu kursi yang masih tersisa di dekatnya. Dua kursi yang lain telah diduduki Anty dan Lista, kawan satu gank-nya Ica - satu angkatan.

"Asyiii...k, ada yang mau ntraktir nih!" seru Ica melihatku duduk berhadapan dengannya. Anty dan Lista ikut girang mendengarnya, tampak dari senyum dan mata mereka yang berbinar. Dasar cewek! Maunya ngirit pengeluaran aja... Gerutuku dalam hati.

"Wah, ada apa nih Ik? Tumben...", tanya Anty segera.

"Ulang tahun ya Ik?" susul tanya Lista.

Aku tersenyum tapi membisu, diberondong pertanyaan cewek-cewek yang terkenal ceriwis di angkatannya itu sebenernya paling males aku. Makanya aku sering heran sama bapaknya Yuna, tukang sayur keliling yang sering dikerubutin ibu-ibu kompleks. Kok bisa ya ngejalanin hidup begitu? Pikirku selalu.

"Wis ojo do ceriwis (udah jangan pada cerewet), pesen opo wae sakkarepmu (pesan apa saja sesuka kalian)!" kataku tegas.

"Aku perlu ngobrol karo (aku mau bicara sam) Ica berdua". Berhamburan Anty dan Lista beranjak dari tempat duduknya segera, menghampiri ibu kantin menambah pesan hidangan. Tinggal aku dan Ica berhadapan, terpisah meja kantin persegi bertaplak merah yang besarnya takseberapa.

"Piye (Gimana) Ik? Informasi tak akan kubagi kalau permintaanku kemarin belum diantar ke kost-an", kata Ica mendahuluiku. Aku mengatur nafas, berusaha menguasai diri agar kalimat yang mau kuucapkan tertata baik.

"Soal itu pasti kutepati Ca' tenang aja, asal nanti kausampaikan ke Restu kalau aku mau main", jawabku.

"Kok langsung begitu? Nggak mau tau informasi rahasiaku dulu?"

"Justru itu, kamu minta makanan kesukaan sebagai ganti informasimu. Lah aku kan gak weruh (nggak tau)... Aku pengin tau dari Restu".

"Kue bandung spesial coklat-keju. Udah gak usah perlu tanya Restu kan?!"

"Ah, sialan kamu Ca' !", kataku kecewa. Ica ketawa ngakak, rupanya dia sudah mencium alibi licikku.

Ica tak mau kebiasaanku menerobos nara sumber sendiri berhasil kali ini. Dia sudah hapal kelakuanku yang organisatoris ini keluar-masuk gedung Dekanat maupun Rektorat untuk memastikan informasi sendiri, tak pernah yakin dengan cerita yang beredar di kampus.

Quote :
Jangan dikira sebelum ada medsos itu tak ada hoax, berbagai kabar burung itu sudah biasa beredar di kalangan mahasiswa waktu itu.

Jika sudah kudengar sendiri cerita dari Restu, informasi yang dipunya Ica tentu takkan jadi rahasia lagi, dan dia tak jadi bisa menikmati makanan favoritnya secara gratis. Begitu sebetulnya siasat yang ku utak-atik sedari tadi hingga tak sedikitpun penjelasan Bu Kus ada yang nyanthol, tapi ternyata Ica lebih cerdas dari perkiraanku.

"Oke, kue bandung akan sampai ke kostmu malam ini, asal aku bisa menemui Restu juga!" aku menawar.

"Bisa diatur....", kata Ica tersenyum bangga dengan kemenangannya.

"Kamu itu malas jadi mak comblang, malah sukanya jadi preman ternyata...", gerutuku.

"Bukan begitu Ik, wis tha (sudahlah)..., nanti kalau kamu sudah dengar ceritaku aku yakin pasti akhirnya bisa mengerti".

Obrolanku dan Ica sejenak terputus oleh pamit Uya dan Vita. "Ik, kami duluan ya... Beneran ditraktir kan? Semua sudah dicatat sama Ibu kantin."

"Lho, emang mau pada kemana? Praktikumnya kan masih lama?"

"Ke musholla dulu. Yuk Mbak Icaaa...!", pamit Uya dan Vita bersahutan sambil melambaikan tangan kepada Ica.

"Iya...iya, yuk....!" jawab Ica membalas lambaian tangan mereka.

Kami terdiam sejenak, Ica melanjutkan menikmati pisang coklatnya dan aku menyeruput es kopi yang sedari tadi kudiamkan setelah disuguhkan Mbak Pur asistennya Ibu Kantin. Nama Ibu kantin sendiri tidak pernah kita tau, sudah terlanjur nge-brandnya begitu, terwariskan dari generasi ke generasi.

Aku menoleh ke arah duduk Anty dan Lista, rupanya bertambah banyak saja kawan ngerumpinya. Yuna, Odik dan Agus tampak tertawa-tawa bersama mereka. Begitulah waktu jeda di kampus, bagi kita yang sudah terbiasa gak sarapan pagi, kantin akan menjadi tempat favorit buat ngisi perut sambil bercanda bersama.

"Kamu ditunggu Restu dari kemarin-kemarin, kenapa baru sekarang mau main Ik?", tanya Ica kembali mengawali obrolan. Aku tersenyum, pertanyaan ini sudah kuduga akan ditanyakan Ica.

"Durung kober (belum sempat) lah Ca, koyok gak tau (kayak nggak pernah) semester 5 wae (aja)", ucapku. Semester 5 adalah semester terpadat kegiatan kuliah maupun praktikum di jurusanku.

"Ah, kamunya aja yang kebanyakan urusan organisasi Ik! Apa untungnya sih?"

"Ye..., kamu ini berpikirnya untung-rugi aja Ca'! Jangan semua kamu analisa pake metode kuantitatif dong... Sekali-kali pakai kek analisis deskriptif..."

"Hemmm....gayamu Ik kayak mau cumlaude aja! IPK tuh dibenerin...!" balas Ica nyinyir. Ya, dia pernah lihat transkrip nilaiku di semester sebelumnya yang kayak rujak, mengandung nilai C, D dan 1 nilai E yang mutlak harus diulang.

Aku tertawa kecil lihat nyinyir khasnya Ica. Kusruput lagi kopiku lalu kulanjutkan lagi bicara : "Organisasi itu....".

"Wis hop! (Sudah, cukup!)", bentakan datar Ica memutus pembicaraan. Tanpa kuprediksi, Ica condongkan duduknya lebih ke depan dan ditatapnya aku serius.

"Yang mau kubocorkan ke kamu itu kisah masa lalunya Restu saat SMA, itu yang bikin dia belum mau berpacaran sampai sekarang! Dan kamu adalah lelaki pertama yang berhasil melepas belenggu trauma masa lalunya!", tegas Ica setengah berbisik.

Glek! Aku menelan ludah, mataku mendelik lalu jidatku mengkerut. Ica benar-benar menaikkan nilai informasinya jadi makin mahal. Ibarat media online yang sedang fokus pada kasus korupsi, apa yang dikatakan Ica seolah diucapkan oleh ketua KPK kepada wartawannya sebelum resmi jumpa pers.

"Kenapa nggak sekarang aja sih Ca....?!" rengekku.

"Heish...! Kamu bentar lagi meski praktikum dan aku ada janji sama dosen pembimbing. Kamu salahnya sendiri gak dari kemaren-kemaren....", tampik Ica atas rengekanku.

Aku menghela nafas, kuteguk segelas kopiku - tak lagi kusruput. Otakku makin butuh zat penenang seperti kafein, bahkan mungkin nikotin. Ica paham gelagatku, dia pastikan kalau aku sebentar lagi pasti menyulut rokok. Maka berpamitanlah dia, Anty dan Lista, kemudian meninggalkanku sendiri bersama semua kertas bon yang harus kubayar.

Prediksi Ica benar, kubayar semua bon ke Bu kantin plus kubeli sebungkus rokok, takperlu kusebut merknya. Lalu kuhampiri Yuna buat menemaniku merokok di tempat lain. Tak akan pernah ajakan merokok itu ditolaknya, kecuali sedang sibuk sekali dengan urusan pribadi.

"Tumben-tumbenan ada apa Ik?", tanya Yuna sepanjang perjalanan menuju lahan di sudut laboratorium yang ditumbuhi pohon liar tapi malah menyerupai taman. Lokasi paling aman buat merokok di kampus kami. Aman bukan terhadap larangan, tidak ada larangan merokok waktu itu. Tetapi aman dari cibiran dan penolakan dari para aktivis anti rokok di kampus yang kian hari kian bertambah saja jumlahnya, mayoritasnya mahasiswi.

"Ada urusan mendesak brother, aku kayaknya gak bisa menunda", jawabku sambil menghisap sebatang rokok perdana itu kuat-kuat. Perdana artinya yang pertama kali terambil dari bungkusnya, bukan merek.

Yuna semakin penasaran dan terus mendesak. Terpaksa kuceritakan sedikit kisah untuk mengurangi paling tidak 20 % beban pikiran di kepala. Dengan Yuna, aku yang tergolong introvert ini bisa terbuka. Yuna adalah anak sulung dengan 7 adik, cukup supel dan sabar berhadapan denganku yang notabene anak bungsu. Nasibnya tidak begitu baik, dia lahir di tengah keluarga yang minim penghasilan. Beruntunglah karena ada nikmat Ilahi yang begitu jelas tampak padanya, yaitu anugerah kecerdasan.

Yuna hanya perlu sekali membaca catatan untuk kemudian hafal dan siap mengikuti ujian. Kecerdasan itulah yang membuatnya tak perlu ketertiban waktu belajar sehingga jam berapapun siap jadi kawan ngobrol ataupun kawan keluyuran bagi kawan-kawan. Kecerdasan itu pula yang membuatnya tetap bertahan hidup selama ini dari ditraktir kawan-kawan yang dikasih contekan jawaban setiap ujian. Hampir tiap hari ada ujian di kampusku, mulai pre-test dan post-test (dalam praktikum laboratorium), ujian dadakan dari para dosen yang super sibuk, mid semester sampai ujian semester.

Quote:

Belakangan hari, Yunalah yang mengajakku bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta setelah mendapat posisi yang lumayan berpengaruh di sana.

Perjuangan Tak Sia-sia

"Berapa banyak Ik?" tanya Yuna setengah teriak sambil menoleh ke arahku. Dia berdiri di depan kios penjual kue bandung, sedang aku duduk di atas motor agak jauh di belakangnya. Dia sendiri yang mengajukan diri memesan kue bandung, kuberikan selembar uang 20 ribuan.

Pembaca millenial jangan heran, duit waktu itu belum terlalu jatuh nilainya kayak sekarang. Makan bergizi standard minimal a-la anak kost berupa nasi dengan lauk sayur plus telur saja cuma 2.000 rupiah. Sama teh manis hangat tinggal nambah 500 rupiah. Nah, menu spesial kue bandung waktu itu hanya dijual 6.000 rupiah satu porsinya.

"Tiga porsi!" jawabku setengah berteriak pula. "Spesial coklat-keju!"

Lalu-lalang kendaraan dengan kepulan asapnya makin menambah dekil kami berdua. Bayangkan saja, jam segini (18.10 wib) kita baru pulang dari kampus sedari pagi. Debu yang menempel di tubuh bertambah akibat perjalanan naik motor 15 menit menerobos kemacetan untuk sampai kios kue bandung. Dan sekarang, asap-asap knalpot itu mengirimkan molekul karbondioksida ke seluruh badan, bak bedak make up artis sebelum disorot lampu kamera. Lengkaplah wajah kami ini memancarkan aura yang teramat kusut.

Jadwal rapat HMJ pun spontan kucancel tadi, aku terhipnotis ucapan Ica di kantin yang bikin syahwat berorganisasiku luntur seketika, berganti dengan naluri detektif menguak misteri. Irin sebetulnya protes keras atas pamitku tadi, gak asyik dia kalau mbahas rencana acara tanpaku. Irin adalah mahasiswi 2 tingkat di bawahku yang sudah menganggapku seperti kakak kandungnya sendiri. Perlu waktu agak lama tadi buat menenangkan Irin agar gak ikutan bolos rapat malam ini.

Kulihat Yuna masih menunggu si abang tukang kue bandung memanggang adonan, tampaknya tinggal satu porsi lagi untuk menggenapi pesanan. Aku sudah taksabar rasanya, kakiku bergerak-gerak sendiri menghentak berirama. Ucapan Ica di kantin tadi seolah lagu yang diputar dalam mode auto reply, terus mengiang menembus bawah sadar. Seandainya kupakai tidur, pasti bakalan ngigau. Takmau aku jika itu menjadi ilusi, semua meski jelas malam ini.

"Yuk tarik bro !" kata Yuna menghampiriku lanjut naik membonceng di jok belakang motor. Kutoleh bungkusan yang dia bawa untuk memastikan jumlah yang dipesan telah sesuai kemauanku. Genap ada 3 kardus kecil di dalam bungkusan yang ditentengnya, artinya 3 porsi kue bandung spesial coklat-keju terbungkus sudah. Dua untuk Ica, satu untuk calon kekasihku Restu.

Meluncur kami berdua menuju kost Ica dan Restu, kutarik kencang gas motor mempercepat laju. Yuna terus pegangi pundakku sesekali memijit kuat-kuat, khawatir aku terbawa nafsu sehingga kurang waspada. Mungkin juga sambil senyum-senyum di belakang lihat kelakuanku yang sedang dibakar api asmara ini. Seperti api unggunnya anak Pramuka yang makin malam makin menyala-nyala.

Sesampainya, kuparkir motor di depan kost, tanpa mampir dulu ke kost ku sendiri. Sudah ada planning sebelumnya yang kurancang dengan Yuna. Dia akan menemaniku sebentar sampai berkenalan juga dengan Restu, lalu pamit duluan dan bawa motorku sama Ano ke game center.

Yuna dan Ano sudah kukenalkan sejak semester awal, langsung akrab mereka karena sama-sama berdarah Sumatra. Ano dari Palembang, sedang Yuna kedua orang tuanya asli Padang tapi tinggal di Cilacap. Berdua kalau sudah beradu main Counter Strike, se-ruangan game center akan segera heboh dengan teriakan-teriakan tabu. Para gamers pelanggan yang lain sangat hapal mereka berdua. Bahkan rencananya mau dijadikan ikon sama pemilik game center.

Pintu kost Ica sudah terbuka 2 segmen, tapi tak tampak ada orang. Kupencet bel 2 kali beruntun pendek, ulang lagi, lalu 1 kali agak panjang. Itu adalah kode khusus buat tamu yang cari Ica di malam hari, menghindari berteriak supaya tidak gaduh. Di gang kompleks tempat kost kami ada aturan jam tenang sebagai bentuk perhatian warga terhadap kenyamanan kegiatan belajar mahasiswa.

Ica pun muncul menuruni tangga dengan tawa riang menyambut kami, pastinya sedari tadi sudah menunggu. Tawanya bertambah keras saat menatap kami berdua yang tampak dekil dan lusuh.

"Ampuuuun! Pasti belum pada mandi deh... Sini masuk!"

Aku dan Yuna segera mengambil tempat duduk berbentuk bangku memanjang bersandar berbahan kayu jati itu. Seperti biasa, aku ambil posisi yang di dekat pintu. Yuna segera mengulurkan bungkusan kue bandung yang ditentengnya sedari tadi.

"Ye....! Masih anget!" teriak Ica girang bukan kepalang, bakal terpenuhi keinginan menikmati makanan favoritnya.

"Eeeniiii.....!" teriaknya kemudian, kencang sekali sampai menggema, terpantul tembok kost yang tinggi dan tebal.

"Ya mbaaa...k" sahut suara dari arah lantai dua.

"Sini doooo....ng turun sebentar!"

Yang dipanggil dengan nama Eni muncul, rupanya anak kost baru - tampak jelas dari tampangnya yang masih belia dan culun. Diulurkan bungkusan kue bandung di tangan Ica kepada Eni.

"Ini tolong ya ditaruh piring, terus nanti bawa ke sini yang satu porsi buat nyuguhin mas-masnya. Eh, kenalan dulu sini..."

Eni mengulurkan jabat tangannya padaku sambil membungkuk sopan sekali, perilaku seorang junior terhadap senior yang telah jadi budaya - gak di kampus - gak di kompleks. Artinya sudah begitu mengakar di wilayah seputar kampus.

"Eni...", katanya halus.

"Aik", balasku ja-im (jaga image)

"Eni...", katanya lagi gantian kepada Yuna dengan uluran jabat tangannya lagi.

Yuna yang berdarah Sumatra pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Sekalipun culun, si bocah ini menyimpan wajah manis yang mengundang gairah menggoda. Dijabatnya tangan Eni tak segera dilepaskan sambil berkata dalam nada rayuan : "Yuna. Emmm..., Eni siapa kepanjangannya?"

"Eni Rahmawati kak..."

"Ambil jurusan apa?"

"Saya di administrasi niaga kak..."

"Politeknik dong ?!" sambung Yuna. Yang ditanya mengangguk malu-malu.

"Eeeh, sudah..sudah!" bentak Ica sambil memaksa lepas jabat tangan Yuna - Eni, bermaksud melindungi junior kostnya dari rayuan berbahaya. "Sana! Cepet dikit ya En...!"

"Iya kak !" jawab Eni tegas, kesadarannya pulih oleh bentakan Ica. Loloslah dia dari nada rayu Yuna setelah sempat terbuai.

"Eiiit !!!" cegahku yang dari tadi was-was. "Yang satu kardus..."

"Yang satu kardus kasihkan Mbak Restu! Bilang kalau itu dari Mas Aik...!" potong Ica.

"Betul kan Ik?!" katanya gantian menatapku, meminta pembenaran bahwa dia paham maksudku. Akupun mengangguk meng-iya-kan.

Eni yang disuruh juga hanya mengangguk - takmenjawab, segera melangkah cepat membawa bungkusan menaiki tangga ke lantai dua. Yuna wajahnya kecut ditinggalkan Eni, rayuannya putus di tengah jalan. Diliriknya Ica tanda kecewa - protes, dibalas Ica dengan tatapan tajam mempertahankan diri. Aku senyum-senyum geli melihatnya, pengin kujengguk kepala Yuna tapi kuurungkan. Dia marah besar kalau kepalanya disentuh, katanya itu sebuah penghinaan bagi orang Padang.

"Kamu ngapain sih Ik bawa-bawa Yuna segala? Mosok laki gak berani sendiri..." sindir Ica lebih kepada Yuna. Sama kayak Restu, Ica juga sensitif sama lelaki perayu.

"Kamu tuh sentimen ya emang dari dulu...?!" kata Yuna kesal.

"Kalau iya terus kenapa ?!" jawab Ica ketus sambil berkacak pinggang.

"Uwis...uwis...( sudah...sudah... )!" kataku melerai. Terpaksa bangkit aku dari duduk lalu mengambil tempat di antara mereka berdua. Kusenggol Yuna agar bergeser biar agak jauh posisinya dari Ica.

Takberapa lama Eni nongol lagi dengan sepiring kue bandung spesial coklat-keju yang uapnya yang masih mengepul. Iklim di wilayah kita tinggal ini tergolong dingin dan lembab, sering berkabut kalau malam. Makanan dan minuman yang hangat saja akan menampakkan kepulan asap di atasnya. Wajah Yuna yang tadi kecut sementara cerah kembali, begitu juga kerutan wajah Ica mulai pudar. Yuna senang melihat Eni, sedang Ica senang melihat kue bandung favoritnya.

"Situ saja dek, taruh deketnya Mbak Ica !" kataku sambil menunjuk space kosong sebelah Ica. Sengaja kudahului sebelum Ica yang memerintah sambil kuinjak telapak kaki Yuna, sebuah kode biar dia nggak berulah lagi.

"Eee..., Mbak Restu nitip nanya mbak : bolehkah ikut bergabung?" tanya Eni sambil meletakkan sepiring kue dekat Ica.

Yang ditanya takmenjawab, hanya kasih kode pakai tangan tanda gak boleh. Lalu kasih kode lagi agar Eni segera kembali ke atas. Eni menurut. Dilempar pandangan Ica kemudian ke arahku. Aku mengerti, artinya sudah ada plan yang sudah diatur Ica. Yuna menghela nafas, urung terjawab penasarannya tentang seperti apa rupa Restu yang membuatku jatuh hati.

"Icipin Ca' kuenya, coba gimana rasanya menurutmu..." responku segera untuk menunjukkan bahwa aku sudah menangkap kode tatapannya.

"Ica aja yang kau tawarin Ik?" protes Yuna sambil menelan ludah.

"Aku nggak nawarin Yun, cuma minta testimoni aja. Kau sendiri yang kasihkan kue itu waktu masih bungkusan tadi ke Ica, berarti kan sudah jadi miliknya Ica. Ica dong yang berhak nawarin..."

Ica sementara takmenggubris, diambilnya sepotong kue bandung dan dinikmatinya penuh penghayatan. Satu gigitan dikunyahnya pelan-pelan sebelum akhirnya ditelan.

"Mantap Ik !" kata Ica dengan rona muka penuh kepuasan. Digigitnya lagi potongan kue dan dikunyah pelan sambil melirik menggoda Yuna.

"Udah Ca' habisinlah sendiri! Aku jadi hilang nafsu lihat kau makan kue", kata Yuna membalas. "Gak tega aku melihatnya..."

Aku tertawa-tawa menyaksikan tingkah kedua kawanku ini. Ica berdiri dari tempat duduknya, diambilnya sepiring kue itu dan disodorkannya ke Yuna. Yuna ambil sepotong. Disodorkannya padaku, aku menggeleng. Dibawanya lagi sepiring kue itu duduk bersamanya. Yuna geleng-geleng kepala melihatnya. Aku kembali tertawa-tawa terhibur tingkah Ica yang seperti anak kecil, yang tak begitu rela berbagi makanan kesukaannya.

Kulirik jam dinding yang tergantung di tembok, posisinya kali ini tepat di atas kepala Ica. Kurogoh saku celana menggapai kunci motor lalu kusodorkan ke Yuna. Kutatap matanya kuat-kuat, kode bahwa sudah waktunya ditinggalkannya kami berdua. Dimasukkanlah potongan kue terakhir Yuna ke mulut lalu disambutnya kunci motor yang kusodorkan. Mulutnya penuh kue tak bisa bicara sehingga hanya melambaikan tangan ke Ica untuk berpamitan. Ditinggalkan kami berdua lalu kabur bersama motorku sesuai rencana yang sudah kami sepakati tadi.

"Itu kue bandung yang kiosnya dekat kost lamaku Ca'. Dulu kawan-kawan kost lama kalau beli pada di situ. Aku pernah ikut nyobain, menurutku sih enak. Ya syukurlah kalau pendapatmu juga sama", kataku membuka pembicaraan sebelum nanti menuju ke serius.

"Ngapain sih Ik jauh-jauh? Di sekitar sini kan ada juga yang jual. Widiiih..., penuh perjuangan nih artinya?"

"Lha menurutmu lebih enak mana kalau dibandingin ?"

"Iya sih, lebih enakan ini. Kenyalnya kue pas gitu lho! Kejunya juga kayaknya pakai yang merek bagus deh".

"Berarti perjuanganku tak sia-sia kan ?!"

"Boleh juga perjuanganmu Ik. Makasih ya...?!"

"Nggak makasih aja kan?"

"Iya iya...", jawab Ica sambil tertawa kecil. "Terus kamu mau ceritaku apa mau ketemu ketemu sama Restu?" sambungnya sambil menunjuk jam dinding.

"Iya Ca', dilema memang. Perjuanganku membelikanmu kue bandung berakibat terpotong banyak durasi waktu yang tersisa".

"Dasar kamu itu Ik, jadi keliatan kan sekarang kalau kamu lebih cenderung memburu rasa penasaranmu daripada pengin ketemu Ica?"

Ah! Lagi-lagi betul ucapan Ica. Gumamku dalam hati. Aku menunduk sambil garuk-garuk kepala. Ica tersenyum.

"Nanti setelah dengar ceritaku, kamu anterin tuh si Restu ke kampus. Dia mau nge-lab, selesaiin UP (Usulan Penelitian) nya" jawab Ica kembali takterduga. Nge-lab adalah istilah bagi aktivitas mahasiswa pake ruang dan fasilitas laboratorium.

Aku terbelalak, kudongakkan kepala memandang wajah Ica. Senyumku mengembang, salut sama plan Ica. Kuulurkan jabat tangan dan dibalasnya dengan senyum bangga. Kalau sesama laki-laki mungkin sudah kupeluk si Ica.

Kurapikan sikap dudukku, kurapikan juga kerah bajuku. Tandanya aku bersiap mendengar cerita Ica dengan sungguh-sungguh. Ica menangkap perubahan sikapku, diusap mulutnya dengan tissue untuk juga bersiap memulai cerita.

Sepenggal Tabir Terpendam

"Jadi kamu sudah terkesan Ik sama Restu?" tanya Ica setelah menelan kunyahan terakhir kue bandung di mulutnya. Diseka lagi bibirnya dengan tissue.

"Yah, nanya lagi...? Ceritanya dong...!" protesku.

Ica takbergeming, bertahan dengan tatapan mata dan senyumnya yang tak berubah. Artinya memaksaku menjawab pertanyaannya.

"Kalau terkesan sih sejak dulu juga terkesan Ca', cuma nancepnya di hati baru sejak pagi tadi ".

Berbinar mata Ica, dicondongkan badannya lebih ke depan, disangga dagunya dengan kedua telapak tangan, sikunya bertumpu di kedua paha. Tatapannya makin kuat, tanda meminta lanjutan ceritaku.

"Sudahlah, ceritanya sepele saja kok. Gak bakalan menarik", responku.

"Pagi tadi ada kejadian apa?" tanya Ica bersikukuh dengan pendiriannya bahwa aku harus bercerita terlebih dulu sebelum dia buka informasi rahasianya.

Kuhela nafas sekali menenangkan diri, aku sebetulnya takbegitu suka berbagi cerita pribadi seperti ini kepada banyak orang.

"Tadi pagi sewaktu mau berangkat ngampus, Restu ternyata stanby di depan pintu situ nunggu jemputan kawannya. Setelah kawan yang ditunggunya datang, dia pamit berangkat. Begitu aja ceritanya Ca', gak menarik kan?"

"Mmmm..., kayaknya aku paham deh. Caranya berpamitan itu kan yang membuatmu terkesan ?"

"Iya Ca', sepagian tadi gak enek ( nggak ada ) pelajaran kuliah yang nyanthol di kepala gara-gara itu", jawabku sambil menunduk lunglai.

"Sikap itu mungkin sebuah bentuk usaha Restu merubah sikap Ik, dia pengin dapat respon dari kamu. Waktu SMA dulu dia agak badung. Dia sering melawan nasehat Bapak - Ibunya karena beda prinsip".

Aku teringat percakapanku dan Restu pertama kali saat berkenalan, dia memang menceritakan perbedaan prinsipnya dengan orang tua.

"O ya? Bukannya sekarang masih?"

"Kamu tau dari mana? O..., Restu udah cerita ya...? Ya berarti betul, dia pengin dapat respon dari kamu. Dan dia berhasil!" kata Ica sambil tertawa kecil. Geli campur bangga atas usaha junior kostnya.

"Oke oke, aku paham sekarang", kataku manggut-manggut. "Cuman itu saja rahasia yang mau kau sampaikan? Kalau Restu itu dulunya agak badung. Rugi dong aku bela-belain beli kue spesial malam ini..."

Ica makin keras tertawanya melihat mimik mukaku mengkerut tanda kecewa.

"Badungnya Restu itu karena pengaruh dari mantan pacarnya Ik, ini rahasia yang mau kusampaikan. Aku merasa perlu menyampaikan karena kamu kawan yang baik Ik, dan Restu aku sayang sebagai kawan sekamar kost yang sudah kuanggap seperti adik sendiri".

"Lanjut !" kataku mempersilahkan Ica agar lebih detil ceritanya.

"Intinya saja ya Ik, detilnya nanti kan Restu bakal cerita sendiri. Jadi mantannya Restu itu anak badung yang kelewat badung, arogan dan ugal-ugalan. Di semester awalnya Restu, mantannya itu dua kali main ke sini. Yang pertama kali, aku sendiri yang nemenin Restu menemuinya di sini. Restu yang meminta aku buat nemenin, dia ketakutan tapi tidak tega menolak kedatangan mantannya yang sudah jauh-jauh dari luar kota. Ya ampun Ik, nggak ada sopan-sopannya si mantannya Restu !"

"Masih pacaran apa sudah pisahan mereka waktu itu?" tanyaku penasaran.

"Sudah pisahan Ik, tapi sikapnya itu seolah-olah masih memiliki Restu."

"Nggak sopannya kayak gimana sih Ca' ?"

"Orangnya sama sekali tidak kenal basa-basi, aku yang nemenin Restu dianggep kayak nggak ada. Waktu itu si mantan ngajak Restu balikan, dia merasa pemutusan hubungan mereka tidak resmi - cenderung sepihak, dan mengancam akan terus bolak-balik ke sini. Aku yang sudah dari awal gak respect sama sikapnya, otomatis kan ngebelain. Sudah kucoba bicara sopan, pakai awalan ma'af - ma'af segala, eee...malah ngajak berantem!"

"Terus...terus...?" kataku makin penasaran.

"Ya kusuruh Ica naik ke atas dan manggil yang lain. Anty, Lista, Hasti dan yang lain langsung deh turun ke sini ngebantuin. Kita keroyok tuh cowok ampe minggat nggak pamit. Habis itu, kita sidang Restu rame-rame, minta klarifikasi tentang mantannya itu. Restu minta ma'af dan hanya membagikan sedikit saja kisah masa lalunya, belum betul-betul terbuka. Lalu kita ambil kesepakatan untuk menolak kedatangan cowok itu lagi di sini.

"Eh iya, Hasti ke mana? Tumben kalian tadi cuma bertiga di kantin?" sela tanyaku meredam Ica agar tak terlalu larut dalam bercerita sampai terbawa emosi.

"Lagi sakit tuh di atas tiduran aja dari pagi", jawabnya.

"Sakit apa?"

"Flu campur malarindu", jawab Ica sambil tersenyum. Pacar Hasti memang kabarnya lagi KKN ( Kuliah Kerja Nyata ) dan dapat posisi penempatan terjauh di luar kota sana.

Melihat senyum Ica aku menjadi lega, usahaku mengalihkan fokus bicaranya berhasil. Kalau sudah larut bercerita, ternyata Ica bisa sampai terbawa emosi. Saat emosinya terbawa, volume suaranya meninggi. Orang-orang yang lewat jalan gang sampai pada menoleh mendengarnya. Tapi rupanya pandangannya kabur kalau sudah larut bercerita seperti itu, pikirannya menerawang jauh melintasi waktu kayak Compact Disk film diputar ulang lalu matanya seolah proyektor yang memancarkan spektrum cahaya, dan objek di depannya menjelma jadi layarnya.

"Oke Ca', kayaknya sudah cukup informasinya....", kataku lagi-lagi terpotong.

"Eh, belum selesai! Masih ada sambungannya, kedatangan mantan Restu yang kedua kali lebih heboh...", sela Ica.

"Sssss....ttt! Ca', coba deh tengok atasmu itu !" seruku, gantian memotong bicaranya.

Ica menoleh dan mendongak ke atas, pandangannya tertuju pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sebentar lagi patroli Pak kostnya akan dimulai.

"Kamu bilang tadi kan intinya saja, kenapa malah ngelantur ? Ntar...ntar..., aku nggak lagi dijadiin temen nungguin seseorang kan...?" sindirku sambil mengedipkan sebelah mata.

Ica tersenyum malu, menyadari gelagatnya yang terbaca olehku. Padahal aku tidak sedang membaca gelagat, tetapi melihat fakta. Fakta bahwa pacar Ica tadi sudah lewat bersama serombongan kawannya jalan kaki, tapi Ica tak menangkap pandangan itu. Mas Ari namanya, sangat halus dan sopan serta mudah mengalah. Seperti malam ini, melihat sambil lalu tadi si Ica sedang menggebu bercerita padaku, dia lalu menunda niatnya ngapelin Ica. Dia lalu nongkrong di teras kost kawan sejurusannya yang terletak di sebelah kostku, sambil mengawasi dari kejauhan.

"Ca', aku juga punya rahasia tentang Mas Ari. Akan kuceritakan kalau kamu segera panggilin Restu", kataku bersiasat. Aku sedang melihat 2 peluang, peluang segera bertemu Restu dan peluang membuat sewot Ica.

"Apa Ik...?!" tanya Ica merengek.

"Pacarmu itu lagi sial hari ini, dia bilang lagi kecewa sama kamu", kataku dengan tampang kubikin serius.

"Iiii...iiih..., kenapa Ik...? Ada apa...? Kalian tadi ketemu di mana ?" tanya Ica beruntun. Pikirannya pasti sedang melayang mencoba memutar lagi rekam ingatan kejadian sepanjang hari ini. Barangkali ada janji yang terlupakan atau ada pesan yang terlewatkan.

"Tenang, sudah kuatasi Ca'. Makanya panggilin Restu dulu...!" tawarku.

Ica diam tak menjawab, tapi spontan berdiri lalu melangkah menaiki tangga menuju lantai 2. Aku sendiri lalu merogoh sapu tangan di saku, kuseka wajah, leher dan tangan yang tadi ditempeli keringat bercampur debu hingga mengering. Takpuas dengan sapu tangan yang juga sudah lusuh, kuambil berlembar-lembar tissue Ica yang tertinggal di bangku. Kuseka ulang wajah, leher dan tangan dengannya.

Diam-diam aku merenung, naluri mahkluk hidup ternyata dibikin sama kalau sedang berurusan dengan asmara. Tanaman, hewan sampai manusia akan memiliki gerak refleks bersolek untuk menarik pasangan atau menarik faktor penyebab tersampaikannya cinta. Kelopak bunga yang indah saat mekar akan menarik serangga yang membantu benang sari bertemu putik. Berbagai bangsa hewan dari tingkatan amphibi sampai mamalia, menjadi lebih menawan tampilannya saat musim kimpoi. Mamalia itu termasuk aku dan kalian, bangsa primata tertinggi.

Lima menit berlalu, Ica dan Restu muncul mendekatiku yang sedang duduk termenung. Restu menguntit di belakang Ica atau mungkin memang sengaja dihalangi Ica, berdiri mereka tepat di depanku. Aku pun bangkit berdiri, kuambil tas dan kusandang di bahu kanan. Kupandang Restu yang senyum-senyum di belakang Ica. Ica sendiri masih memasang tampang serius dan menatapku tajam, menagih cerita rahasia tentang pacarnya yang kujanjikan.

Aku pun duduk lagi, kuajak mereka berdua juga mengikuti duduk di kursi. Ica mengambil tempat di sebelahku, sedang Restu duduk di bangku satunya.

"Yakin Res malam ini mau ngelab?" tanyaku justru kepada Restu, mengabaikan Ica - sengaja.
Restu mengangguk dengan senyum yang hanya dikulum, padahal aku berharap lihat deretan gigi rapinya. Ica lebih mendekatkan duduknya, disenggolnya pahaku dengan lututnya. Tanda semakin kuat dia menagih janjinya.

"Bener mau kuantar Res?" tanyaku lagi ke Restu, masih tak kuacuhkan Ica yang tambah geregetan. Restu mengulangi sikapnya, mengangguk dengan senyum dikulum.

"Sekarang yuk, keburu malam !" ajakku sambil menunjuk jam dinding yang kali ini berposisi di atas kepala Restu. Aku bangkit berdiri, disusul Restu. Ica spontan berdiri juga menghalangi.

"Apa sih Ca' ?!"

Ica tak bergeming, wajahnya ditekuk, pandangannya semakin tajam padaku. Restu hanya terbengong.

"Mas Ari itu sebetulnya sudah lewat dari tadi, saat kamu cerita menggebu-gebu. Sekarang noh orangnya di teras kostnya Sandi ngawasin kita !"

"Iiiii...hhh! Aik! Kenapa nggak ngomong dari tadi...?!!!" serunya sambil memukul-mukul dadaku dengan kepalan tinju alay. Aku tertawa ngakak, puas ngerjain Ica. Restu yang mulai paham senyumnya berganti tawa kecil menambah kepuasanku sebab akhirnya bisa lihat deretan gigi rapinya.

Ica menghambur keluar melambaikan tangan ke arah kost Sandi, memanggil pacarnya agar segera mendekat. Kulempar pandang ke Restu, kode agar segera melangkah. Restu nurut mengikuti langkahku.

"Makanya, kalau cerita jangan terlalu hanyut Ca..., pacar lewat kok sampai ndak kelihatan. Beneran sayang nggak sih kamu?" sindirku sambil melewatinya. Dipukulnya pungungku keras karena geram, aku mengaduh kesakitan tapi masih sambil tertawa.

"Berangkat dulu ya mbak...", pamit Restu.

"Iya iya..., jangan pada macem-macem ya ?!" kata Ica sambil matanya mendelik dan berkacak pinggang.

"Btw (by the way), makasih ya Ca', yuk..." pamitku pula.

Dapat sekitar 20 langkah, berpapasan kami dengan pacar Ica, Mas Ari, yang melangkah menuju kostnya. Kusalami dan kusampaikan permintaan ma'af atas waktu ngapelnya yang terkorupsi karena urusanku. Mas Ari tersenyum, dibetulkan kacamatanya lalu menepuk-nepuk pundakku.

Kulanjutkan lalu langkahku bersama Restu setelah pula berpamitan kepada Bapak Kostnya yang sudah siap-siap berpatroli.

Satu Belokan Lagi

Jarak dari kost ke kampus Restu tidak terlalu jauh, lebih jauh jarak ke kampusku. Lagipula ngelabnya Restu tidak terpatok waktu karena untuk urusan sendiri, bukan jadwal akademis yang bersifat umum. Maka kami tak harus terburu-buru dalam melangkah, santai sambil berbincang sepanjang jalan.

"Kamu nggak capek Ik?" Restu mengawali percakapan.

Aku menghentikan langkah, kupandangi wajahnya. Kaget dia dan ikutan berhenti, dipandangnya pula wajahku. Dahinya mengkerut mengisyaratkan rasa ingin tau.

"Kamu mau diantar naik motor? Aku pinjem kawan kost dulu ya? Motorku soalnya dibawa Ano sama Yuna", jelasku dalam posisi hendak berbalik.

"Eh, eh...enggak...enggak, bukan begitu maksudku. Aku beneran nanya, soalnya kamu keliatan lelah..." kata Restu sambil menggenggam lengan bajuku.

Aku terpaku, kutatap genggaman tangannya. Genggaman jari-jari lentik berkulit sawo matang cerah, dengan cincin emas sederhana melingkar di jari manis. Kurasa genggamannya kuat juga, terkesan gerak refleks meronta. Terpakuku karena lama sudah takpernah alami peristiwa seperti itu, sejak putus hubungan dengan pacar kala SMA. Memori masa lalu mendadak melintas lagi di benak.

Restu buru-buru melepas genggamannya, dipandangnya aku dengan raut muka bersalah. Mungkin dipikirnya aku marah, padahal tidak sama sekali.

"Eh, ma'af....", katanya latah. Tak kugubris permintaan ma'afnya, karena memang taksalah.

"Jadi tampang lelahku keliatan ya? Gimana kalau kita mampir dulu ke warteg ( warung tegal )di ujung gang?" tanyaku justru dalam senyum dan alis terangkat.

Restu tampak lega, tapi masih dalam mimik serius. Senyum yang selalu kutunggu tak terimbas mengembang.

"Ayuk !" jawabnya.

Sampai di warteg langsung kupesan es teh dua gelas tapi Restu protes, dia minta teh hangat saja. Kami lalu ambil posisi duduk di sudut dekat pintu, kubiarkan Restu lebih dulu baru kususul.

"Aku memang ngampus dari sejak pagi Res, belum sempet pulang kost sama sekali".

"Begitu ya ? Ma'af deh.... Kalau bener-bener capek, aku nggak usah dianter nggak papa kok..."

Aku diam saja dan tersenyum. Pesanan es teh dan teh hangat sedang dihidangkan pelayan warteg. Langsung kuteguk es teh terhidang hingga sisa seperempat gelas. Sedang Restu hanya mengaduk-aduk teh hangatnya menunggu ucapanku. Aku berpikir sejenak seperti biasa, merangkai kata agar kalimat yang terucap menjadi baik kesannya.

"Aku yang seharusnya minta ma'af, harusnya tadi aku sempetin mampir kost dulu buat mandi dan ganti baju sebelum ke kostmu. Ica juga salah, nggak cerita dulu kalau kamu ada jadwal ngelab malam ini. Kamu nggak salah Res...", kujawab lembut.

Restu tersenyum menatapku lalu buru-buru mengeluarkan tissue dari dalam tasnya dan menyodorkan padaku. Rupanya habis meneguk es teh tadi, keringatku mengucur deras. Aku ikut tersenyum, malu, berkurang rasa pede ku.

"Kamu nggak malu kan dianterin cowok dekil? Jalan kaki lagi..."

"Ik, di kampusku cowoknya juga dekil-dekil. Praktek lab di jurusanku kan lebih berat daripada di jurusanmu. Nanti lihat aja deh kalau udah nyampe kampus", jawab Restu sambil ketawa kecil.

"Lagian dulu sewaktu kita baru kenalan, aku juga lagi dekil sama kayak kamu gini kan?" sambungnya.

"Ya nggak lah..., nggak gini-gini amat", tangkasku.

"Eh, kamu nggak buru-buru kan?" tanyaku sambil menyandarkan punggung dan meluruskan kaki hingga posisi dudukku agak melorot. Sejenak kubiarkan otot-otot dalam tubuhku mengendor, agar sel-selnya mengurai asam-asam laktat yang terlalu banyak mengendap jadikan rasa pegal.

"Engggak, santai aja. Sudah ada dua kawan yang stanby di lab. Paling juga udah pada mulai kerja mereka. Udah, ilangin dulu aja capeknya..." jawab Restu.

"Lho, nggak pada marah tuh ntar mereka?"

"Marah kenapa?"

"Lha kamunya telat gini. Udah pamit emang tadi?"

"Belum. Cuma tadi waktu Ucil bilang mau nyamperin takjawab ndak usah. Aku bilang ada yang mau nganter malam ini".

"O..., jadi udah biasa ya kamu ada yang nganter ke kampus?"

"Ya kawan-kawan kost itu biasanya. Kadang Mbak Lista, kadang Mbak Hasti, kalau Mbak Ica memang ndak pernah wong (orang) dia nggak bisa naik motor".

"Kawan cowok nggak pernah ?" pancing tanyaku.

Restu tersenyum dan menggeleng spontan. Aku masih belum percaya, diam kutatap wajahnya yang menunduk. Diamku sesaat lamanya mungkin membuatnya bertanya-tanya sehingga diangkatnya lagi dan membalas tatapanku.

"Apa? Nggak percaya? Ya udah terserah...", jawabnya atas tatapan ketidakpercayaanku.

Aku masih tetap diam dan menatap matanya, berharap ada lagi imbuhan pernyataan.

"Iya, banyak yang nawarin. Kan aku udah pernah cerita kalau aku banyak yang naksir... Tapi kutolak !", imbuhnya, muncul juga akhirnya.

"Kenapa ?"

"Males !"

"Kalau kawan sekampus ?"

"Kalau dianterin pulang pernah. Atau saat rame-rame pelesiran ke bawah".

Dipandangnya aku, mengharap untuk tak meragukannya lagi. Aku bernafas lega Restu mau jujur, makin besar peluang hubungan kita berlanjut lebih serius. Kuteguk lagi sisa es teh di gelas sampai habis.

"Kamu nggak mau nambah beli apa gitu buat kawan-kawan di lab ?"

"Nggak usahlah, nih udah tak bawain kue bandung dari kamu".

"Lho kok malah dikasihkan temen ?" godaku.

"Ah, kamu juga dulu kue bikinanku kamu kasih ke temen kostmu sampai nggak kebagian !" belanya.

"Kamu kecewa nggak waktu itu ?"

"Yang penting udah kamu terima aja, aku belum jago memasak kok...", jawabnya.

"Ya sama dengan kue bandung yang kamu bawa itu."

"Maksudnya ?"

"Buatku yang penting udah nyampe ke tanganmu aja. Selanjutnya terserah kamu..."

Restu tersenyum mendengar kata-kataku. Sedang aku tersenyum karena melihatnya tersenyum.

"Sudah hilang capeknya?" tanya Restu selang beberapa saat. Astaga ! Aku sampai lupa...Jeritku dalam hati. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Eh, iya iya ma'af... Itu nggak dihabisin dulu tehnya ?" tanyaku tergopoh-gopoh.

Dia mengangguk, lalu diteguknya teh hangat yang sudah taklagi hangat itu tapi hanya sampai setengahnya saja. Aku bergegas menghampiri ibu yang punya warung yang duduk di belakang etalase hidangan, lalu membayar dua gelas teh tadi. Tambah beli 1 bungkus rokok buat temen ngobrol nanti sama Yuna dan Ano.

Lanjut berjalan kami menuju kampus Restu. Dari warung di ujung gang tadi, hanya perlu melewati satu belokan lagi sudah nyampe. Masalahnya setelah belokan jalannya nanjak, lumayan untuk bikin nafas krenggosan. Tapi takmungkin terasa berat karena kami berdua sedang saling cocok, senang berbagi cerita sambil mencari tau apa kesamaan dan perbedaan di antara kita.

Malam temaram berhias jajaran lampu jalan yang tak begitu terang. Lalu lalang kendaraan menuju arah kampus atau sebaliknya sudah semakin jarang. Beruntunglah kami karena sang bulan sedang bulat-bulatnya, mengobral gratis cahayanya bagi siapapun pengguna malam dan membentuk bayang-bayang.

Win-win Solution

Turun dari bis kota di pertigaan lampu merah patung kuda, lanjut kulangkahkan kaki menyusuri trotoar hingga gapura gang III. Dari situ cukup berjalan sedikit lagi, maka sampailah aku di kost lama. Rumah yang dihuni hanya 4 orang anak kost, jadi satu dengan pemiliknya. Sengaja aku mampir sepulang dari rumah tadi.

Sepi tak terlihat ada orang selain anaknya bapak kost, sedang bersantai baca buku di teras rumah. Mendengar pintu pagar kubuka, diletakkan sejenak bukunya di pangkuan dan dipandangnya diriku. Setelah tau bahwa aku yang membukanya, kembali dengan cueknya dibaca lagi buku kembali.

"Kok tumben sepi Lan ? Pada pergi kemana ?" tanyaku pada Wulan, anaknya bapak kost.

"Pada diajakin pergi mancing mas sama bapak", jawab Wulan sekenanya sambil tetap membaca buku.

"Kamu sendirian ?"

"Iya mas, Ibuk pergi arisan".

"Tumben kamu mau jagain rumah sendirian...?"

Kutanya begitu karena Wulan itu manja sekali anaknya. Sewaktu masih SMP takpernah mau dia ditinggal bapak-ibunya pergi, pasti nginthil (ngekor / ngikuti) salah satunya. Kalau nggak nginthilin bapaknya ya nginthilin ibunya. Sekarang dia sudah SMA, baru saja masuk tahun ini. Mungkin sudah merasa dewasa, jadi sudah merasa malu.

"Aku numpang istirahat bentar ya Lan...", ijinku. Yang dipamiti diam saja tak menggubris.

Kumasuki pintu rumah yang bebas terbuka. Kulewati Wulan begitu saja menuju ruang tengah belok ke kiri sampai ke barisan kamar kost.
Kubuka pintu kamar Kuncoro yang takpernah dikunci, kurebahkan tubuhku di kasur yang tergelar bebas di lantai tanpa dipan. Badanku serasa capek sekali habis perjalanan jauh.

Dari rumahku sampai ke sini butuh waktu 4 jam perjalanan naik bis, melintasi 3 kota kabupaten. Kalau naik motor cukup 2,5 - 3 jam saja sih sebenernya, cuman aku lagi butuh jaga stamina. Setumpuk laporanku gak dilolosin review sama asdos. Jum'at sore kemarin dikembalikan lagi untuk direvisi, hari Seninnya sudah harus selesai dan dikumpulkan kembali. Dua proposal kegiatan organisasi juga harus selesai di hari Senin untuk diajukan. Sementara uang sakuku sudah menipis dan harus segera dicas lagi untuk bisa survive.

Untuk ngecas uang saku, tak ada jalan lain selain pulang ke rumah. Bapakku tidak mau menggunakan jasa perbankan ataupun jasa pos untuk kirim uang. Jarak yang belum terlalu jauh tak boleh memutus kontak langsung person to person, begitu prinsip beliau. Menurutku sih itu hanya alasan yang dibuat-buat saja untuk keperluan melepas kangennya. Tapi apa boleh buat, aku harus patuh dan cuma bisa nurut. Jadilah harus kukorbankan Sabtu dan Minggu untuk acara pulang-pergi ke rumah.

Tak selang berapa lama rebahan di kasur, akupun terlelap. Dan tak selang berapa lama pula aku terbangun oleh suara gaduh kawan-kawan yang pulang dari mancing. Lumayan sih meski hanya tidur sebentar, badan rasanya sudah balik segar lagi.

"Weh, ada penumpang gelap rupaya...!", kata Kuncoro. Penumpang gelap adalah sebutan populer untuk mahasiswa yang numpang pakai kamar kost kawannya.

Aku tertawa sampai tersedak melihat Kuncoro, kulit wajah dan lehernya memerah akibat terpapar sinar matahari. Begitu pula kulit lengan hingga ke jari tangannya jadi tampak semakin legam.

"Rupamu (wajahmu) Kun..., koyok (seperti) tempe gosong !" kataku sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Kuncoro segera menghadap ke cermin pintu almarinya, mengecek kata-kataku. Sontak ikut tertawa dia terpingkal-pingkal. Dibuka kaosnya, tampak perbedaan warna kulit yang menyolok antara dada sampai perut dengan leher dan lengan alias belang. Makin terbahak-bahak kami melihatnya, mengundang tanya Wahid, Hari dan Totok hingga berbondong ikutan masuk ke kamar. Bertiga lantas ikutan buka baju dan gantian bercermin. Jadilah kamar kost Kuncoro heboh dengan tawa geli kita bersama.

"Jadi begitu ceritanya ? Nantilah aku cek ke sana deh. Ada kok kawan yang ngekost juga di situ", kata Kuncoro sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Baru selesai mandi dia.

Sebelum dia mandi, kita sempat ngobrol sebentar. Aku cerita tentang mahasiswa yang ngekost di sekitar sini, tepatnya di gang III.

Mahasiswa Teknik Industri, cowok yang sering ngapelin Restu. Bukan karena merasa tersaingi, aku hanya khawatir kalau-kalau punya niat yang kurang baik. Pasalnya, informasi yang kudengar dari beberapa sumber, cowok ini asalnya satu daerah dengan Restu, satu angkatan tapi beda sekolahan. Dan kabarnya lagi, dia kawan dekatnya mantan Restu, sedang Restu sendiri belum tahu tentang itu.

Jadi selain Ano dan Yuna, Kuncoro adalah kawan lain yang kujadikan spionase. Ketiganya adalah mahasiswa yang tidak aktif di kegiatan kampus, tapi sangat giat di luar kampus. Kenalannya banyak, antar jurusan dan antar fakultas, bahkan mungkin antar universitas. Beda denganku yang agak introvert, mereka bertiga adalah orang yang sangat supel. Mudah sekali mendapat kawan baru dengan perbendaharaan cerita pengalaman yang mereka miliki.

Aku harus pasang spionase karena Restu itu bak bunga yang mekar lagi setelah layu. Atau mungkin sebelumnya belum mekar betulan, dan begitu benar-benar mekar, bau yang ditebarkannya begitu kuat hingga tercium di radius yang luas. Aku merasa harus mempersiapkan sistem pengamanan yang ekstra ketat. Jaringan kawan telah terbukti sebagai sistem pengamanan terbaik dan terefisien dalam pengalaman drama percintaan sebelumnya.

"Lha kamu gimana Ik sama si Restu? Pacaran apa cuman TTM an aja ?" tanya Kuncoro. TTM adalah singkatan dari Teman Tapi Mesra.

TTM sudah familier sebagai istilah di kalangan anak muda waktu itu, jauh sebelum dibikin lagu sama Maya Ahmad.


"Aku belum merasa siap buat pacaran Kun. Yang penting dia udah jelas-jelas suka kan ?"

"Pacaran aja kamu pikir pusing-pusing Ik, kalau menikah tuh baru pusing..."

"Iya juga sih... Masalahnya aku harus memperhitungkan pengeluaran Kun, pacaran itu pasti bakal nambah-nambahin. Ini tadi aja di rumah kenyang aku sama wejangan (nasehat) bapak".

Bapakku hanya seorang pegawai swasta, Ibuku juga, satu instansi. Hanya saja akhir-akhir ini perusahaan tempat mereka bekerja sedang dilanda masalah. Bahkan diperkirakan berada di ambang kebangkrutan. Hampir sepagian tadi Bapak tumben-tumbenan membuka obrolan khusus, berdua kami ngobrol di teras samping rumah begitu serius. Dimintanya aku mengkalkulasi biaya kuliah sampai akhir tahun, juga biaya hidup. Bapak juga memintaku untuk bisa mengerti keadaan, bersabar dan sering-sering berdo'a.

"Ya kalau pengeluaran bakal nambah, cuma ada 2 opsi, berhemat atau cari tambahan penghasilan", kata Kuncoro sok menasehati, hidungnya mengembang. Aku bilang sok karena dia sendiri tak pernah bisa berhemat.

"Yo wis ngerti (ya sudah tahu) aku, raksah mbok kandani (tidak usah kamu beritahu) Kun", jawabku.

"Kalau nambah penghasilan carane piye jal (caranya gimana) coba ?" lanjutku.

"Yo kerjo Ik", jawabnya sambil senyum-senyum dan hidungnya mengembang. Itu ciri khasnya Kuncoro kalau lagi ngomong asal-asalan. Aku tertawa seperti biasa saat melihatnya seperti itu.

"Wis tha ojo guyon (sudahlah jangan bercanda terus), ada ide nggak ?" tukasku kemudian.

"Sebentar, kayaknya kawanmu si Novi itu kerja part time Ik, njagain wartel (warung telepon) Bimatel di Jalan Kerajaan, aku pernah mampir dulu di situ. Coba aja tanyain barangkali ada lowongan di cabang lain, katanya sih lumayan salary-nya".

Jadi pembaca millenial, sebelum handphone itu populer, ada bisnis jasa menyewakan telepon yang disebut wartel. Biasanya modelnya sebuah ruko yang ruangannya disekat-sekat menjadi bilik-bilik kecil. Tiap bilik disediakan satu pesawat telepon yang terhubung memusat di komputer operator yang mencatat durasi waktu dan biaya pemakaian. Operator ini sekaligus berlaku sebagai kasir, begitu selesai telepon pemakai bayarnya ke dia. Lalu dia bakal kasih stroke seperti kalau sekarang kita belanja di mini market, isinya catatan durasi waktu dan biaya pemakaian.


"Mosok sih ?"

"Ah, kuper (kurang pergaulan) kamu !"

Aku garuk-garuk kepala. Novi itu kawanku seangkatan yang saban hari ketemu di kampus. Tapi Kuncoro lebih dulu tau informasi tentangnya, faktual lagi...! Gerutuku dalam hati.

"Yuk kita ke tempatnya Kun !" ajakku.

"Waduh...nggak inget wajahku masih merah gini... !" tolak Kuncoro sambil menunjuk mukanya dengan telunjuknya. Aku tertawa sambil kurangkul dia.

"Udah nggak papa, Novi udah biasa...!"

"Maksudnya ?"

"Dia anak Pe-A Kun..." jelasku. Pe-A adalah sebuah singkatan P dan A yang kepanjangannya Pecinta Alam, sebutan khas untuk mahasiswa yang hobi naik gunung. Setiap anak Pe-A pasti wajahnya merah sepulang dari muncak. Kuncoro sendiri getol muncak, minimal tiap semester dia punya planning.

"O ya? Ternyata Novi anak Pe-A juga ! Wah, boleh nih Ik..." katanya sambil berkedip sebelah mata.

"Boleh, siapa yang ngelarang... Asal bisa ngalahin si Andi kamu !" jelasku.

"Yaaah...uda punya pacar ya?"

"Kenapa ?"

"Males amat ! Kayak gak ada yang lain aja..."

"Ya udah jadiin temen muncak aja Kun... Si Andi pacarnya itu bukan anak Pe-A kok, nggak bakalan ngikutin, paling cuma nganterin ke pos kumpul biasanya"

"Wah, boleh tuh !"

"Gimana ? Setujukah dirimu kita nyamperin Novi sekarang brother ? Aku dapat informasi kerja part time, kamu dapet temen muncak baru yang hot..." kataku sekali lagi mengajak Kuncoro. Bukan mengajak lagi, lebih tepatnya sudah berubah jadi memberi penawaran win-win solution. Novi punya body yang cukup seksi bagi seorang anak Pe-A, tidak banyak mahasiswi yang tertarik sama kegiatan muncak, apalagi yang bahenol kayak si Novi. Bisa dihitung dengan perkiraan 1 dari 500 mahasiswi !

Singkat kata meluncurlah kita berdua menuju Jalan Kerajaan naik motor Kuncoro, tepatnya menuju wartel tempat Novi kerja part time. Sampai di lokasi ternyata Novi sedang jatah libur, operator penggantinya kasih penjelasan. Kuncoro kecewa, kutepuk pundaknya lalu kurangkul.

"Tenang brother, aku tau rumahnya. Kita ke sana, malah lebih enak nanti ngobrolnya. Ibunya ramah, selalu ada suguhan keluar kalau kami kawan kampusnya main ke situ", kataku menepis kekecewaan Kuncoro. Matanya berbinar, dengan semangat di starter motornya lagi dan kita meluncur lagi. Kali ini menuju rumah Novi, kira-kira tidak sampai 1/2 jam waktu yang kita butuhkan.

Kuncoro sering bimbang ketika kulewatkan jalan-jalan tembus alternatif menuju rumah Novi. Tiap dia ragu, kuyakinkan dengan menepuk pundaknya dan sedikit memijit, bahasa kode penegasan atas keakuratan ingatan otakku. Lalu lintas di Minggu malam tak kalah ramai dengan malam Minggu, kalau tak pandai-pandai ambil jalan pintas, habislah waktu kita dikorupsi kemacetan.

Secret Plan

Irin masih sibuk mengemasi barang-barangnya ke dalam tas ransel ketika aku masuk ke dalam basecamp. Aku mendekat bermaksud membantunya tapi lekas-lekas ditampiknya. Aku tertawa geli, memang beberapa diantara barang yang dia packing itu ada barang-barang pribadi yang menjadikannya malu kalau sampai terlihat orang lain, terutama cowok. Takperlulah kusebutkan dengan detail.

"Udah mas, sana aaaa...ahhh !" kata Irin.

"Iya iya...", jawabku sambil tertawa.

Begitulah aku dan Irin, layaknya kakak-adik kandung. Aku senang menggodanya, lumayan buat ngendorin syaraf setelah sepagian ndengerin ceramah para dosen. Sore nanti ada acara diksar (pendidikan dasar) pecinta alam untuk junior kami, jadi siang ini kami kumpul di basecampmempersiapkan apa-apa yang diperlukan nanti.

Diksar sore nanti bisa dibilang jilid 2, yaitu praktek tentang bagaimana untuk survive di alam bebas. Jilid 1 nya sarasehan membahas teknik-teknik survival secara teori. Riil-nya nanti kami akan menggembleng para junior yang minat bergabung di Pe-A dengan memperjalankan mereka di medan petualangan yang sudah kami survei sebelumnya. Tidak perlu jauh-jauh, bentang alam di sekitar kampus yang konturnya perbukitan dan variatif ini sudah cukup untuk kegiatan pelatihan seperti ini. Bukit, lembah, jurang yang curam, ngarai dan hutan semuanya ada di sini, di puluhan hektar tanah milik Universitas tempat kami menimba ilmu.

"Novi belum ke sini Rin ?" tanyaku.

"Udah mas tadi, tapi barusan keluar lagi. Emang masnya nggak papasan di luar ?"

"Nggak tuh..."

"Mang ! Novi tadi nggak pamit kamu ?" tanyaku gantian ke Omang. Bersila dia di sudut lain ruang basecamp bersama Ayat sedang mengasah pisau lipatnya.

"Ora ik (nggak tuh) mas... Kuwi (itu) buku-bukunya masih tersebar di situ. Tadi paling awal dia ke sini, tapi cuma ngerjain laporan. Paling lagi ngumpulin ke askum mas", jawab Omang sambil menunjuk empat buku berserakan di lantai dengan acungan pisau lipatnya.

Ah, kebiasaan nih anak, cuma pakai basecamp buat tempat ngerjain laporan ! Gerutuku dalam hati. Novi memang selalu paling ogah ambil peran di kegiatan persiapan, maunya terima bersih saat eksekusi di lapangan. Dalam kegiatan praktikum juga demikian halnya.

Kusingkirkan buku-buku Novi dari lantai, kuletakkan di atas meja. Supaya nanti tidak terinjak-injak kawan-kawan senior lain yang taklama lagi menyusul kita di basecamp. Lalu kukeluarkan semua peralatan inventaris Pe-A dari almari dan menggelarnya di lantai agar dicek kelengkapannya sama yang berkepentingan nanti.

"Rin, yang lain udah dikasih tau kan tadi ?"

"Udah dong mas, palingan masih pada makan di kantin, bentar lagi juga pada dateng. Sudahlah...mas Aik tenang aja, aku ma Omang lagi kosong jadwal kok sampai nanti sore. Biar kita berdua yang tanggung jawab di sini !"

"Yo wis (ya sudah) kalau gitu aku tak nyusul Novi dulu ya...", pamitku.

Bergegas kususul Novi menemui askum di laboratorium BSF Hewan, sampai harus berlari kecil demi tidak terlambat. Kalau tidak ketemu sekarang bisa repot soalnya, aku meski mengantarkan laporan hasil revisi ini langsung ke rumah asdos hari ini juga. Padahal ada empat asdos yang harus kusetori laporan kali ini, semuanya asli warga kota ini - tidak ada yang ngekost. Rumah mereka jauh-jauh dan posisinya tersebar di berbagai penjuru kota ini.

"Aiii...iik! Buruan !" teriak Novi sambil melambaikan tangannya ke arahku. Berdiri dia di teras lantai 2 gedung lab, tampak masih bersama kawan-kawan seangkatan yang lain.

Kupercepat langkahku agar lekas sampai di atas menyusul Novi. Beberapa junior yang berpapasan denganku dan mengucap salam kujawab sekenanya dan kulewati begitu saja. Sesampai di Lab BSF segera kuserahkan laporan ke masing-masing askum yang stanby menunggu. Lega rasanya belum terlambat buat ngumpulin laporan, inilah seninya kuliah di sini.

"Nov, kamu nggak laper ?" tanyaku ke Novi masih sambil mengatur nafas. Segera kuhampiri dia usai menyerahkan laporan.

"Mau ditemenin ke kantin ? Ayuk...!"

"Tumben kamu nggak sama Andi ?"

"Tuh masih kuliah dia di C ", jawab Novi sambil menunjuk gedung C lantai 3 yang keliatan dari lab BSF sini. Gedungnya saja yang tampak, orangnya nggak begitu jelas kalau melihatnya tanpa binokuler. Kadang kalau lagi pada kumat isengnya, kami pinjem binokuler inventaris lab buat mengintai kawan yang sedang kuliah dari sini atau lebih tinggi lagi di lantai 3.

Berdua aku dan Novi berjalan menuruni tangga lanjut mengarah ke kantin. Sepanjang jalan kami lanjut obrolan di rumah Novi Minggu malam lalu yang bersama Kuncoro. Novi bilang sudah bertanya ke bosnya soal lowongan kerja part time dan katanya ada tapi untuk awal bulan karena kebetulan ada operator yang mau resign. Aku senang bukan main mendengarnya.

"Okelah nggak papa, aku ambil Nov", kataku dengan riang.

"Ya kalau gitu kapan-kapan tak ajak main ke kantor interview sama bosku", jawabnya.

"Nggak perlu nyiapin berkas apa-apa kan ?"

"Paling cuma bawa foto kopi KTM (Kartu Mahasiswa) terus langsung wawancara".

"Oke ! Eh, gimana Kuncoro katanya? Jadi mau ngikut acara Diksar sore ini ?"

"Semalem nelfon dia, katanya nanti mau nyusul malem langsung di lokasi nge-camp aja".

"Wah, bakalan sering tuh anak ntar nelponin kamu...".

"Biarin aja, malah bisa jadi temen sambil jaga. Kalau pas sift malam kan kadang sepi".

"Nggak cemburu tuh ntar si Andi ?"

"Ya biarin aja, cemburu kan artinya sayang..."

"Gitu ya ?!" sahutku sambil garuk-garuk kepala. Aku termenung sejenak, menyadari diriku yang mulai muncul rasa tidak senang ketika melihat ada yang ngapelin Restu. Apa itu berarti aku mulai timbul rasa sayang ya ?

Kantin rupanya masih penuh dengan mahasiswa, campur tampaknya dari berbagai jurusan. Kuhentikan langkah, kutoleh Novi kode minta pendapatnya untuk lanjut masuk atau tidak. Novi mengangkat kedua bahunya tanda menyerahkan sepenuhnya keputusan padaku, dia ngikut saja. Beruntung ada sekumpulan mahasiswa yang berdiri setelah melihat kedatangan kami, lantas mereka tinggalkan kursi dan meja menuju kasir untuk berhitung. Segera saja aku dan Novi mengambil alih tempatnya. Kutinggalkan tasku di meja dan menghampiri asisten bu kantin memesan dua gelas es cendol dan jajanan.

"Aku nanti minta tolong ya Nov, kita tukeran tugas...", kataku setelah duduk kembali berhadapan dengan Novi.

"Awal perjalan menuju pos 1 ntar kamu yang pimpin ya ?!" lanjutku merayunya.

"Lho, kan itu harusnya bagianmu ?!" tangkisnya.

"Iya, maksudnya kita tukeran... Bagianmu yang di pos IV ntar ganti aku yang ambil alih", jelasku.

"Emang kamu mau ke mana ?"

"Ada deh...Ya ? Please[...!"

"Ampun deh Ik, medannya kan lumayan jauh...!" tangkisnya lagi.

"Iya, tapi kan datar aja sayang....", kataku kuimbuhin rayuan biar agak luluh hatinya. Kutatap matanya dengan pandangan memohon.

"Oke, tapi jelasin dulu dong alasannya !" Novi masih menawar, tapi aku sedikit lega.

"Mau alasan yang beneran apa yang dibuat-buat ?"

"Ihhh...!", jawabnya sewot, aku tertawa.

"Ya lagian apa pentingnya sih ? Kayak nggak kenal seribu satu alesannya anak Pe-A aja kamu ah..."

Tanpa kusangka Novi ikut tertawa, menertawakan dirinya yang kaya perbendaharaan alasan palsu buat ngibulin cowoknya ataupun para dosen.

"Iya ya...?! Ah, kamu jadi ngingetin aja Ik !" tukasnya sambil tertawa. Pikirannya mungkin melayang pada pengalaman-pengalamannya ngibulin dosen kalau terlambat datang, ngibulin asdos kalau terlambat ngumpulin tugas atau ngibulin cowoknya tiap habis diboncengin cowok lain. Yang mana yang paling berkesan aku tak tau, yang jelas ingatan itu memancing tawanya.

"Ya bukan aku ngingetin, kamunya tuh yang lupa diri...", kataku di sela-sela tawanya.

Mbak asistennya bu kantin mendekat, lalu meletakkan semua pesananku di meja. Novi mengajukan pesanan lagi, favoritnya pisang coklat, lalu mengucapkan terima kasih. Lanjut kami membahas kemungkinan-kemungkinan di acara diksar nanti yang harus diantisipasi sambil menikmati hidangan yang telah tersuguhkan.

Ada plan memang yang tak kuceritakan kepada siapapun rekan-rekan senior panitia Diksar, bahkan tak juga ke Irin. Sebuah plan yang membuatku bergairah selama seharian di kampus, mungkin sampai sepanjang sesi 1 acara Diksar nanti. Apalagi kalau bukan rencana buat mengajak Restu. Kemarin kusampaikan ajakanku, dan dia menerima dengan senang.

Yang kemudian menjadi masalah kemudian ada dua, pertama adalah bagaimana mencapai pos 4 nanti dengan motor. Untuk itu aku sudah survei medan dan menemukan jalan tembus, hanya belum kucoba betul-betul dengan naik motor. Yang ke dua adalah bagaimana caranya dari pos 4 menuju kamp perkemahan yang meski menyeberangi sungai dan mendaki bukit terjal. Apa Restu nanti mau menjalani, sedang dia sama sekali bukan peminat petualang ? Untuk yang itu aku masih belum belum nemu jawaban, dan otakku masih saja berputar mencari solusi. Mirip seperti processorkomputer yang tengah menjalankan tiga perintah sekaligus dalam waktu bersamaan.

Sunset di Medan Anarki

Matahari semakin condong ke barat, warnanya yang kuning keputihan mulai agak kemerahan. Angin di ngarai tak begitu kencang berhembus, hanya sesekali menerbangkan dedaunan kering taksampai setinggi betis. Suara air mengalir berpadu dengan gesekan dedaunan pohon membentuk alunan musik alam yang harmonis. Kicau burung cendet dan raja udang sesekali menyela seolah bunyi flute atau saxophone di tengah irama latar orkes biola. Benar-benar suasana yang mencandui anak-anak Pe-A hingga dibela-belain bolos kuliah bahkan bolos ujian.

Jalanan terjal menurun terpaksa kulalui dengan hati-hati sekali, hanya itu jalan satu-satunya yang bisa dilewati motor untuk sampai di dasar ngarai. Bukan perkara yang sulit andai aku sendirian, tapi menjadi soal berhubung di belakangku ada seorang gadis yang aku tak rela bila terluka, sedikitpun ! Maka begitu sukses kucapai dasar ngarai, segera kumatikan mesin motor lalu menoleh ke belakang.

"Kamu nggak papa kan ?" tanyaku kepada Restu dengan tatapan cemas. Hanya menggeleng dia sambil tersenyum.

Kulirik tangannya yang masih tampak berpegangan kencang pada behel belakang jok motor, tanda belum lepas dia sebenarnya dari ketegangan. Aku tersenyum, Restu buru-buru melepas pegangannya, menepis rasa tegang yang dialaminya.

"Ma'af ya...", kataku lirih penuh penyesalan. Aku terlalu memaksakan rencana ini untuk seorang gadis yang sama sekali taktertarik pada adventuring. Ya, aku tak beri keterangan apapun saat mengajak Restu untuk ikut.

"Nggak papa kok", katanya ngeles sambil turun dari boncengan.

Aku masih memandangnya tak yakin, mengkhawatirkan kondisinya. Ditariknya jaketku, kode memintaku agar segera turun dari motor. Kepalanya menunjuk ke arah Omang dan Ayat yang memandang kami berdua dengan bengong. Barulah aku kembali pada kesadaranku, lalu kuminta Restu agar mengikutiku menghampiri mereka.

"Piye (gimana)? Wis siap kabeh tha (Udah siap semua kan) ?" tanyaku pada mereka.

Taksegera menjawab mereka, kedua bola matanya mengarah ke Restu, sejurus lalu ganti ke arahku. Jelas heran mereka melihatku bawa orang baru, cewek dan tidak sekampus lagi. Restu merapatkan sisi tubuhnya ke tubuhku ketakutan, aku memakluminya.

"Iki kenalke mbakyumu (Ini kenalin kakak perempuanmu) Restu", kataku segera, meminta agar mereka segera berkenalan agar terhapus saling bertanya dan segera mencair suasana.

Ayat lebih dulu mengulurkan tangannya kepada Restu sambil tersenyum. "Ayat...", katanya.

"Restu...", dibalas perkenalan Ayat.

Lalu Omang menyusul. "Omang...", kenalnya.

"Restu...", dibalasnya sama seperti Ayat.

"Break ! Break ! Elang 4...elang 4, elang 3 sampai mana ? Ganti !" kata Ayat dengan walkie talkie nya.

"Dicopy ! elang 3 satu belokan lagi sampai, ganti !" jawab suara tak begitu jernih dari alat walkie-talkie Ayat.

"Siap mas, peralatan rapling wis kepasang (sudah terpasang), anak-anak bentar lagi tuh paling nyampe !" lapor Ayat.

Restu berganti-ganti memandang antara aku dan Ayat, menyimak peristiwa yang tidak familier baginya.

"Kamu istirahat aja dulu ya Res...!" kataku setengah berbisik kepada Restu. Dia mengangguk setuju.

"Mang, titip mbakyumu diamankan !" perintahku ke Omang.

"Siap mas !"

"Yuk mbak, di situ lebih teduh !" ajak Omang kepada Restu.

Restu menarik lagi jaketku sambil sisi tubuhnya kembali ditempelkan, aku tersenyum lagi melihat tingkahnya yang masih ketakutan. Maklum, Omang ini asli Maluku, rambutnya keriting dipiara hingga kayak brokoli dan kulitnya hitam legam. Tampangnya memang serem kalau baru kenal, tapi kalau sudah akrab ini anak lucunya bukan main.

"Res..., Omang ini junior 2 tingkat di bawah kita. Kalau macem-macem pukulin aja pakai kayu, nih !" kataku sambil meraih tongkat kayu sepanjang tinggi badanku dan menyerahkannya ke Restu. Maksudku berusaha menenangkannya dengan canda.

Restu, Omang dan Ayat tertawa melihatku. Akhirnya bersedialah Restu mengikuti ajakan Omang menuju lokasi tepi ngarai yang ternaungi pohon rindang. Sudah ada dua lembar matras yang tergelar di atas rerumputan, samping tenda dump milik Omang yang sementara didirikan di situ. Aku menghela nafas lega, lanjut mempersiapkan diri bersama Ayat menyambut peserta diksar yang sudah mulai berdatangan satu persatu.

Ayat segera ambil tindakan, dibariskan mereka dalam deret memanjang. Beberapa anak yang kecapekan mbalelo (tidak menuruti perintah) dan masih duduk-duduk di jalan turunan bukit dengan nafas terengah-engah. Irin yang mengikuti mereka dari belakang segera menghampirinya dan menendang pelan.

"Ayo ! Ayo ! Jangan manja dek !" bentaknya. "Udah mau maghrib nih, cepetan !"

Tiga peserta itu segera bangkit sambil meringis sambil mengatur nafas, lalu menyusul bergabung dalam barisan kawan-kawannya. Kutoleh kembali arah Restu beristirahat bersama Omang, tampaknya mereka sudah sedikit akrab. Aku kembali menghela nafas lega, kualihkan lagi pandangan ke arah rute jalan masuk lokasi - mengamati kawan panitia diksar yang masih tersisa di belakang. Ada 5 orang termasuk Irin yang sudah sampai, seharusnya 10 termasuk Novi - tapi belum juga tampak. Lalu kulihat Ayat yang masih menyapa peserta diksar yang berbaris dan memberi arahan.

"Omang sama siapa tuh mas ?" tanya Irin setengah berbisik setelah posisinya tepat di sebelahku. Kepalanya menunjuk ke arah Restu dan Omang, nafasnya masih agak tersenggal akibat perjalanannya tadi mengiring para peserta diksar dari pos III.

"Sana samperin aja ah..., kenalan sendiri !" jawabku. Bukan jawaban yang keluar dari mulutku, tapi malah perintah.

Irin bersama keempat rekan panitia segera melangkah menuju tempat Omang dan Restu kubiarkan berdua. Aku melangkah mendekat ke barisan peserta mendampingi Ayat. Sudah takperlu lagi kukhawatirkan Restu, 100 % aku yakin akan semakin aman kalau sudah kenalan dengan 2 rekan panitia cewek yang baru datang, khususnya Irin. Tinggal satu lagi masalah, bagaimana cara bawa Restu ke pos kamp perkemahan setelah semua ini. Otakku yang memikirkannya sedari pagi, belum juga nemu jawabannya.

Kuambil walkie-talkie yang tersemat di ikat pinggang Ayat. Sedang Ayat masih memberi arahan ke peserta, kucoba berkomunikasi dengan rekan panitia yang tak kunjung kelihatan.

"Break ! Break ! Elang 5 di sini, elang 1,2,3 posisi sampai mana ? Ganti !"

"Di copy, mereka aman bersama kami di kamp perkemahan Ik, lanjut saja kalian !" jawab suara di walkie-talkie mengejutkanku. Sialan ! Suara Bang Yulan yang terdengar itu, aku hafal sekali. Bersama senior kakak tingkat yang lain, rupanya telah mensabotase plan yang sudah kami rancang, atau kelima rekan panitia yang justru mengingkari hasil keputusan rapat.

"Break ! Break ! Kabarnya ada emprit nyusup di sarang elang ya ? Ganti !" tanya suara yang kali ini kukenal milik Bang Komar, dedengkot senior yang habis diwisuda. Glek ! Kutelan ludah, kaget betul tak menyangka.

Kulirik Ayat, ternyata sudah lebih dulu dia melirikku masih sambil bicara di depan peserta. Tersungging senyum di wajahnya sebentar, lalu buru-buru kembali serius dan mengarahkan lagi pandangan ke peserta. Sialan ! Umpatku kedua kalinya. Rupanya tadi Ayat diam-diam bocorkan rahasia lewat walkie-talkie soal keberadaan Restu yang kuajak menyusul ke sini. Aku mundur dua langkah sebelum menjawab suara Bang Komar agar tak mengganggu jalannya acara.

"Dicopy Elang Jambul, bukan emprit, tapi cendrawasih. Ada di dalam lingkaran teritori, jauh dari sarang. Aman. Ganti !" jawabku kemudian lantang.

Elang jambul adalah sebutan bagi senior kehormatan, mereka yang sudah lulus tapi masih suka ikut dalam acara Pe-A kami. Sedang teritori adalah istilah batas wilayah yang dimiliki burung sejenis elang, khususnya pejantan, untuk melindungi habitat hidupnya dari elang lain yang berpotensi mengganggu. Jika ada yang nekat masuk wilayah teritorinya, burung elang tak akan segan menyambar dan menyerang.

"Dicopy, elang 5 tampaknya mulai pucat...hahaha...", balas Bang Komar dengan canda tawanya. Mukaku merah padam seketika, kutoleh arah Restu, tampak kawan-kawan panitia yang duduk-duduk bersama Restu tertawa ke arahku. Mereka dengar dengan jelas percakapanku dengan Bang Komar lewat walkie-talkie tadi. Kulihat Restu hanya tersenyum kesetrum tawa kawan-kawan, tapi sebetulnya tak faham.

Bahasa kode khas Pe-A kita hanya digunakan saat berkomunikasi pakai walkie-talkie, tujuannya bisa hanya untuk iseng saja tapi juga bisa memang komunikasi rahasia agar tak dimengerti oleh komunitas lain. Dengan bahasa khas ini, Pe-A kita jadi cepat dikenal oleh Pe-A lain saat bertemu di even-even antar Pe-A, sehingga mudah mendapat perhatian dan cepat dapat kawan baru.

"Mas, giliranmu...", kata Ayat menoleh padaku. Aku mengangguk, lalu maju lagi ke posisi semula.

"Oke silahkan duduk. Ambil posisi paling rileks !" suruhku ke peserta. Aku ikut duduk bersila di depan mereka, sedang Ayat masih tetap berdiri.

"Haus nggak ?" tanyaku.

"Iya kaaak !" jawab para peserta kompak.

"Ada banyak air di belakang kalian, botol minumnya silahkan dipakai buat ngambil", lanjutku. Taksatupun dari mereka merespon, dan memang sudah sewajarnya karena kini sungai yang mengalir di dasar ngarai itu sudah banyak polutannya. Beberapa popok bayi bekas nampak tersangkut di bebatuan dan perakaran pohon tepi sungai.

"Kita sudah survei sungai ini dari hulu, kalian masih ragu ?" tanyaku menggoda. Mereka takmenjawab, kebingungan dan ragu-ragu. Pemandangan yang sudah biasa tiap diksar jilid II di Pos materi Survival seperti yang menjadi bagianku saat ini.

"Oke, kukira sudah cukup istirahatnya. Ada mata air di tebing atas situ, kalian ambil dan lanjut ke pos berikutnya", kataku sambil menunjuk tebing ngarai yang agak curam di sisi sungai. Semua peserta menoleh.

"Tali repling sudah dipersiapkan, kalian tinggal pakai buat sampai ke puncak bukit. Itu kelihatan kan aliran airnya ? Nah, sambil memanjat ke atas nanti, sempatkan untuk ambil air dan tampung di botol yang kalian bawa !" perintahku. Semua peserta diksar masih menoleh ke arah tebing.

"Bisa dimengerti ?" tanyaku.

"Belum kak !" jawab mereka kompak dan kembali menatapku. Aku berdiri lalu mengajak mereka juga berdiri.

"Jangan panggil kak !" bentakku mengingatkan mereka. Kita bedakan panggilan senior antara di kegiatan OSPEK dan di kegiatan Pe-A.

"Ulangi lagi jawabannya !"

"Belum Kaaang !"

Kang adalah panggilan untuk senior Pe-A yang cowok, sedang yang cewek wajib dipanggil Mbakyu. Beda dengan saat OSPEK yang mengharuskan mereka memanggil kami dengan Kak, terhadap senior cowok ataupun cewek. Demikian tradisi yang sudah berjalan turun-temurun di jurusan kami.

"Kang Ayat tolong diberi contoh !" kataku menoleh ke Ayat.

Ayat segera menyeberang sungai menuju tebing, meraih tali repling yang sedari tadi sudah dia persiapkan bersama Omang. Ujung tali itu terikat kuat melingkar pada sebatang pohon besar yang berada di puncak bukit, sisanya bebas ngelewer ke bawah.

Kawan panitia yang lain segera berdiri hendak menyusul membantu Ayat, Irin kutuding dengan jari telunjuk. Dari gerak menunjuk tepat ke arahnya, berlanjut menunjuk ke arah bawahnya, kode agar dia jangan beranjak dari tempatnya, menemani Restu yang tampak mulai gelisah.

"Mang ! Ngapain kamu masih di situ ?!" seruku kepada Omang yang masih asyik-asyik aja duduk di samping Restu, beda matras.

"Lha katanya mengamankan Cendrawasih...???!" seru jawabnya sambil tersenyum lebar - bercanda.

Restu hampir tertawa tapi segera ditutupi mulutnya dengan telapak tangan. Berarti dia baru paham bahasa kode "Cendrawasih" yang dimaksud adalah dirinya. Irin jangan ditanya, sudah ketawa ngakak dari sejak Omang selesai bicara.

Aku mendelik dan berkacak pinggang, Omang segera berdiri menyusulku. Membantu memasangkan safety harness pengamanan pada peserta yang bakal mulai menyusul Dayat.

"Nanti sampai di atas, ambil tanaman yang layak buat di makan !" perintahku lagi ke peserta yang sudah tak rapi lagi barisannya. Semuanya memperhatikan Ayat yang sedang berjuang memberi contoh pada mereka.

"Di atas sana ada 4 - 5 jenis sebagaimana sudah dijelaskan ciri-cirinya dalam Diksar I !" seruku lagi menambah keterangan.

"Mang, aku padamu !" kataku kemudian kepada Omang. Itu bahasa populer di kalangan kami yang berarti menyerahkan segala tanggung jawab dan kepercayaan kepada lawan bicara.

"Beres Kang !" jawab Omang masih sambil memasangkan pengaman di badan peserta urutan pertama.

Aku segera melangkah menghampiri Restu dan Irin. Senyum-senyum Irin menggodaku, dilingkarkan tangannya pada lengan Restu. Seperti yang kuduga, Irin akan segera memperlakukan Restu sebagaimana dia memperlakukanku seperti kakak kandungnya.

Aku berjongkok di depan Restu dalam sikap seperti memohon. Satu lutut menempel di tanah, lutut yang lain tetap di atas. Restu membalas tatapanku, alisnya mengkerut menyimpan tanya. Entah tanya ataukah sebuah penolakan ajakan, tak begitu jelas bedanya.

"Res..., aku nggak mungkin tega ngajak kamu seperti mereka." kataku lembut, menjadikannya tampak lebih tenang. Tapi alisnya masih tampak mengkerut.

"Sekarang kamu masih bersedia lanjut atau mau pulang saja ?" tanyaku. Irin tolah-toleh menatapku dan Restu bergantian - menyimak.

"Sory ya Ik..., tadi waktu kamu ngajak, aku nggak mbayangin..."

"Eh, nggak...enggak, aku yang minta ma'af !" tukasku lekas-lekas.

"Iya, maksudku nggak papa kok, aku malah jadi ngerti sekarang tentang kegiatannya anak Pe-A. Cuman aku mungkin nggak bisa kayak kalian yang banget menikmati kegiatan seperti ini", jelas Restu sambil mengusap lengan Irin yang mengempit lengannya dengan telapak tangan yang lain. Irin tersenyum memandang Restu, semakin serius caranya memandang. Seolah menanti-nanti lanjutan kalimat Restu diucapkan kembali.

"Aku minta ma'af karena malah jadinya ngrepotin...", kata Restu lagi. Sebuah penjelasan yang membuatku dan Irin lalu saling pandang. Sungguh di luar dugaan !

"Eh, mbak Restu kalau mau pulang Irin aja deh yang anter. Jadinya nggak ngrepotin Mas Aik kan?" kata Irin mencoba menawarkan solusi.

"Emang kamu bisa Rin naik motor laki ?" tanyaku cepat-cepat ke Irin.

Motor laki itu istilah untuk yang selain motor bebek dan memakai rem kopling. Jarang-jarang cewek di jamanku yang bisa pakai motor seperti itu.

"Yah Mas Aik, apa sih yang Irin kagak bisa ?!" jawabnya kayak anak kecil yang lagi disepelekan, membuat Restu tertawa kecil sekaligus membuatku bahagia bisa menyaksikan senyum yang selalu menawan itu.

"Buktiin coba !" kataku sambil melempar kunci pada Irin. Dengan sigap dilepas kempitannya pada lengan Restu dan ditangkapnya kunci yang kulempar tepat dalam genggaman. Itulah Irin, lincah dan sigap anaknya.

Irin bangkit berdiri dan bergegas menghampiri motorku, dinyalakan, masuk gigi kopling, tarik gas untuk putar motor ke arah sebaliknya. Begitu lihai ! Aku dan Restu tercengang, juga kawan-kawan dan peserta tersisa yang masih sempat menyaksikannya. Kami saling pandang, salut sama Irin yang serba bisa itu.

"Ayok Mbak Restu ! Kita ngecross !" serunya.

"Aku duluan ya...", pamit Restu padaku lalu melangkah cepat menghampiri Irin dan segera membonceng. Aku bengong saja, tak sempat bilang ya, tak pula bilang tidak.

"Pegangan sini Mbak!" kata Irin sambil menarik kedua tangan Restu agar dilingkarkan ke perutnya.

Aku berlari mendekat, khawatir sesuatu yang tidak baik terjadi. Tapi belum juga dekat betul, Irin sudah tarik gas motor, membawanya mendaki bukit yang jalannya masih bebatuan alami itu. Sesampai di atas sempat-sempatnya Irin berhenti dan menyilangkan motor, lalu melambai ke arahku - berdua bersama Restu. Aku menghela nafas lega, kubalas lambaian mereka. Dasar Irin ! Batinku.

Sejurus kemudian sudah taktampak lagi mereka berdua. Aku barulah tersadar, kalau Restu tadi takmenjawab waktu kutawari pilihan antara lanjut atau pulang. Dia juga takmenyebut mau pulang dalam pamitnya tadi. Jangan-jangan, Irin membawanya ke Camp perkemahan ? Pikirku. Waduh, celaka nih kalau Restu nanti dikerubutin sama para Elang Jambul...

"Ayo cepet...cepet...cepet...!!!!" teriakku ke arah peserta yang masih tersisa 2 menunggu giliran. Kawannya yang masih bergelantungan hampir sampai di puncak bukit. Senior panitia tersisa hanya tinggal Omang sendiri, yang lain sudah kelihatan santai-santai di atas.

Matahari semakin memerah, pamali buat dipandang kalau kata orang tua. Bisa menyebabkan mata sakit alasannya. Tapi bagi anak Pe-A, momen tenggelamnya matahari justru pemandangan yang indah. Dengan memakai kacamata hitam, mereka yang sudah bersantai di atas tampak menikmati Sunset dengan khidmad.

 

Manuver Terkendali

"Res, aku....".

"Kayaknya kamu sebaiknya minum dulu deh Ik. Ntar ya, aku ambilin...", potong Restu sebelum kalimat tuntas kuucapkan.

Restu bergegas naik ke lantai dua tanpa banyak berbasa-basi. Sejurus kemudian kembali dengan sebotol air putih kemasan ukuran 1,5 liter di tangan kanannya dan satu gelas kosong di tangan kirinya. Diletakkannya sebotol air dan gelas itu di sampingku, lalu dia ikut duduk pula di sampingnya. Baru kali ini kami duduk sebangku berdampingan di ruang tamu kostnya, biasanya selalu terpisah dan saling serong berhadapan.

"Minum dulu gih ! Mau dituangin ?" suruh dan tanya Restu beruntun sambil menatapku.

Aku terdiam, tak ada gairah malam itu. Kekecewaan masih menyelimuti hatiku, bercampur aduk dengan penyesalan. Ya, rencanaku menghabiskan seperempat malam di acara diksar Pe-A gagal total. Kedatangan para Elang Jambul membuatku takbisa memprioritaskan Restu, sedang habitat liar kami bukanlah habitatnya.

Restu segera mengambil botol, membuka tutupnya dan menuangkan di gelas lalu menyodorkan padaku.

"Kalau kamu sudah minum, baru aku mau diajak bicara", katanya mengancam.

Kuterima gelas itu lalu kuminum habis seketika, memang benar Restu, aku ternyata haus berat. Kusodorkan gelas minta dituangkan air lagi sambil kutatap wajahnya. Dia tersenyum dan menuangkannya lagi. Kuminum lagi tapi hanya separuh saja kali kedua ini.

"Tahu nggak kamu kalau kayak gini ini aku seperti mengulang masa lalu ?" tanya restu sambil menutup kembali botol mineral itu.

"Maksudnya ?" tanyaku membalas tanyanya.

"Tapi yang kutuang bukan sebotol plastik air putih, melainkan sebotol bir", lanjutnya sambil tersenyum.

Aku melongo menatapnya takpercaya, rasa sesal kembali menyeruak, bahkan terasa makin menyakitkan.

"Mmm...ma'af...", kataku lirih.

"Ma'af ma'af terus kamu dari tadi ah !" tepisnya.

Tak kusangka wajahnya lalu semakin ceria, senyumnya semakin mengembang dan menatapku serius. Aku campur aduk lagi antara takjub dengan senyum Restu yang selalu kurindu itu dan penyesalan, ditambah lagi penasaran. Dan restu menangkap sorot tatapan campur adukku itu dengan senyumnya yang manis berhias deretan giginya yang bersih dan rapih.

"Bisa bayangin kan seandainya botol air minum ini adalah botol bir ? Kayak apa kawan-kawanku dulu waktu SMA. Lebih parah ! Makanya aku dari tadi bilang nggak papa, kamunya aja yang nggak percaya. Jadinya terlalu baper kamu..."

"Bukan gitu..., eh iya bener..., eh gimana sih ?" jawabku kebingungan sambil garuk-garuk kepala. Setengahnya bukan garuk-garuk, tapi menjambak rambutku sendiri.

Restu mengambil gelas yang masih separuh isi, disodorkannya lagi padaku. Kutolak halus dengan senyum dan kode telapak tangan.

"Maksudku, ma'af yang barusan tadi adalah karena sikap diamku yang bikin kamu menuangkan air buatku, njadiin kamu keinget masa lalu...", jelasku akhirnya tertata baik kalimatnya.

"Lalu yang kubenarkan adalah ucapanmu tentang aku yang baper. Jadi artinya, sedari tadi tuh kamu bukannya gak betah ya tinggal di antara kita anak Pe-A ?"

"Kalau gak betah, sudah kusuruh Irin anter pulang ke kost aja dong, ngapain malah aku mintanya dianterin ke kamp ?"

"Lho, jadi tadi kamu sendiri yang minta ke kamp ? Takpikir dipaksa ma si Irin..."

Restu tertawa kecil, aku kembali jambak-jambak rambutku sendiri. Mulai lagi nih aku bakal berhadapan sama mahkluk yang bernama perempuan. Suka bermanuver, lebih menuruti rasa ketimbang logika dan pinter menahan diri simpen rahasia. Bikin logika pria kocar-kacir ! Gerutuku dalam hati.

"Iya ma'af... Berarti aku kan yang seharusnya minta ma'af, bukan kamu..." katanya masih sambil memamerkan senyumnya yang manis.

Aku geram tertahan, menghela nafas, menatap wajahnya serius. Selama ini tadi aku sudah salah sangka, terlanjur juga membenci kawan-kawan dan senior yang kuanggap gak bisa jaga sikap. Pantes aja banyak sejarah penguasa yang jatuhnya gara-gara perempuan. Betul-betul bisa jadi berbahaya nih mahkluk perempuan, batinku.

"Hampir saja aku berencana sepulang dari sini mo ngajakin duel para senior lho Res...", kataku lirih.

Dipegangnya lenganku, dihentikan senyum rayuannya.

"Ik, aku sudah lama tau kamu, tapi belum begitu mengenal. Begitu juga sama kawan-kawan kamu. Dengan trauma masa laluku, kalau aku berjaga-jaga, gak salah kan ?" bela Restu.

"Dengan begini aku jadi tahu kalau kawan-kawanmu ternyata memang baik, cuma selengekan di gayanya saja."

"Dan kamu sendiri yang tadinya baper terus, tapi setelah kujelaskan akhirnya bisa mengerti, berarti juga terbukti orang baik."

"Tapi kenapa ya permintaan ma'afku kok belum dijawab ?" sindirnya kemudian sambil melirikku, setelah panjang lebar kasih penjelasan. Pegangan tangannya dilepaskan, kulirik saja.

"Enak ya jadi cewek ? Bisa pegang-pegang seenaknya....", kataku disambut tawa Restu.

"Kuma'afkan tapi ada syaratnya !" kataku.

"Ih..., ma'afin kok gak ikhlas..."

"Lha kamu juga masih ngetes orang aja. Kalau gak yakin harusnya tadi jangan mau diajak dong...!"

"Iya deh iya..., apa syaratnya ? Kalau sulit aku ogah..."

"Kira-kira kalau syaratnya itu....hubungan kita ini berlanjut ke pacaran sulit nggak ?"

Restu terdiam, dibetulkan sikap duduknya. Kakinya yang tadi menyilang kini disejajarkan. Aku masih tetap dalam posisiku, tak kulepas pandanganku dari wajahnya. Kalimat itu meluncur begitu saja, takpernah kurencana sebelumnya. Betul-betul spontan !

Restu menatapku sebentar, lalu menunduk dan terdiam lama. Diangkat lagi wajahnya dan menatapku, aku tersenyum. Dia menunduk lagi, kali ini sambil tersenyum.

"Boleh aku minta waktu ?" tanyanya kemudian sambil kembali menatapku.

"Nggak boleh !", jawabku sekenanya dengan senyum sinis. Melihat responku ini Restu tertawa tapi cemas.

"Iii...ih, kok gitu sih...?!"

"Kelamaan !" jawabku sekenanya lagi.

Dia terdiam lagi, dialihkan pandangannya lurus ke depan, menerawang dan tampak semakin cemas. Aku merenung menangkap fenomena ini. Ternyata akhirnya gantian kondisinya, setelah sebelumnya aku yang berpikir seperti itu sampai berhari-hari.

Restu menelangkupkan kedua telapak tangan menutup wajahnya, sesaat kemudian dibukanya. Aku terkejut, ada bulir air mata yang hampir jatuh buru-buru diusapnya dengan jari. Matanya kini berkaca-kaca, membuatku tak tega melihatnya. Sikap dudukku kubenahi lebih sopan, begitu pula sikap pandangku. Tapi aku tak tau harus berbuat apa terhadap keadaan ini, hanya bisa terdiam dalam kerisauan.

Sejurus lalu aku tersadar, kulirik jam tangan, ternyata jam bertamu hanya tersisa 10 menit saja. Tumben bapak kostnya Restu nggak patroli malam ini ? Gumamku dalam hati. Aku harus segera ambil sikap, Restu takmungkin mengakhiri. Dia sedang hanyut dalam pikirannya yang campur aduk.

"Ya sudah Res, kamu..." kataku, lagi-lagi terpotong. Kali ini terpotong oleh pegangan tangannya di lenganku, seperti tadi.

Dua bola matanya yang lebar masih berkaca-kaca, menatapku serius. Mulutnya tetap terkatup takbisa bicara, cengkeraman tangannya yang makin dikencangkan. Tampaknya aku bisa memahami, kulanjutkan bicaraku.

"Iya iya, aku ngerti...", kataku lembut menenangkan. Kupegang lembut tangannya yang mencengkram lenganku.

"Simpan kalimatmu buat besok, aku sudah mema'afkanmu dari tadi tanpa syarat sebetulnya. Tentang pertanyaanku soal hubungan kita tadi spontan terucap begitu saja. Aku minta ma'af kalau malah bikin kamu menangis..."

Restu menggeleng, mulutnya masih terkunci tak bisa bicara.

"Sekarang sudah malam, kamu mungkin terlalu capek. Aku juga harus balik ke kamp ditunggu kawan-kawan. Besok kita lanjut lagi, ya...?!" ijinku.

Restu menjawab lagi dengan mengencangkan cengkeraman tangannya di lenganku.

"Waduh, coba deh lepasin tangannya...lihat ! lihat !" pintaku. Menurut Restu melepaskannya.

"Tuh...kan ?! Dikit lagi tembus berdarah nih..." kataku sambil meringis. Kutunjukkan kulit lenganku, tampak membekas merah akibat tertekan kuku jari-jemarinya.

Restu tertawa kecil, diusapnya lagi kedua mata dengan jarinya. Kini nampak sudah tidak berkaca-kaca lagi. Aku berhasil menghiburnya.

"Udah aku balik ah, di sini malah tersiksa..." kataku bangkit berdiri sambil mengusap-usap lengan yang berbekas merah-merah.

Restu makin keras tawanya, dipukul-pukulnya pundakku. Gemes dia dengan candaanku.

Kubalikkan badan, kutuju motorku yang terparkir di tepi jalan. Kunaiki lalu kunyalakan, kuputar balik ke arah kampus. Kutoleh dulu Restu sebelum kutarik gas, kusempatkan untuk melihat senyumnya yang masih mengembang. Senyum manis berhias deretan giginya yang bersih dan rapih.

Thriller "Keep Silent"

Lima belas menit sudah berlalu sejak aku mulai duduk-duduk di tangga pintu masuk Dekanat. Lalu lalang mobil angkot bermanuver di halaman depan dekanat, menurunkan ataupun menaikkan penumpang. Kegiatan nongkrong seperti inilah yang membuat kita kemudian familier dengan wajah-wajah penghuni kampus se fakultas yang gak satu jurusan. Sehingga ketika berpapasan di luar wilayah kampus kita bisa saling sapa dan mudah segera akrab.

Siapa lagi kalau bukan Yuna yang ngajarin. Kawan satu ini tak pernah mau berlama-lama di kampus, dia lebih suka habiskan waktu di luar kampus. Nah, supaya dia juga lekas familier dengan wajah penghuni kampus sefakultas ini, ya tongkrongan seperti ini aja caranya. Awal mulanya gegara sering kena ledek kawan2 mainnya ketika dikenalkan mahasiswa sefakultas di sebuah mall dan dia baru mengenalnya saat itu juga. Buat dia yang gemar berkawan, itu sangat memalukan.

Ada 2 lokasi nongkrong yang paling efektif untuk itu, satu di pos parkir dan satunya lagi ya di sini ini, di pintu masuk Dekanat. Tapi aku nongkrong bukan dalam rangka itu, aku menunggu motorku yang dipinjem Yuna sedari awal kuliah tadi. Dia bolos kuliah jam pertama, alasannya kata dia pokok penting banget, tak bisa dijelaskan saat itu juga. Dan sampai sekarang, Yuna belum juga kelihatan batang hidungnya, padahal aku butuh ke perpustakaan universitas buat ngembaliin buku dan meminjam lagi yang lainnya.

Posisi perpustakaan dengan kampus fakultasku tak terlalu jauh sebetulnya, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tapi kakiku rasanya masih pegel-pegel akibat acara Diksar kemarin. Sedang rute jalan kaki menuju perpus medannya naik-turun, menyeberangi jalan raya sekali lanjut melewati dua halaman gedung, yaitu gedung Rektorat dan gedung Lemlit (Lembaga Penelitian).

"Ngapain Ik kamu sendirian di sini ?" sapa Andi, pacarnya Novi, kawan seangkatan se-jurusan.

"Nunggu Yuna, motorku disilih kawit mou rung (motorku dipinjem sedari tadi belum) balik-balik", jawabku.

"Lha emang selak arep nang ndi awakmu (lha emangnya keburu mau ke mana dirimu) ? Arep bareng po (mau nebeng apa) ?"

"Arep nang perpus (mau ke perpus), lha awakmu dewekan po...(lha dirimu sendirian apa...) ?"

Andi mengangguk.

"Novi mana ?"

"Lagi bimbingan UP (Usulan Penelitian) sama Pak Sapta".

"Terus kamu mau ke arah mana ?"

"Lhah..., arah ke mana-mana juga lewat depan perpus kan bisa !", jawab Andi.

"Terus motorku piye (gimana) ?"

"Udah, biarin aja dibawa Yuna. Dia lagi njemput ortunya di terminal katanya tadi".

"Oalah..., gak crito dekne nang aku (dia nggak cerita ke aku) waktu pinjem motor tadi. Jadi ortunya main ke sini tha ?"

"Iya, tadi sebelum akhirnya pinjem punyamu, dia pinjem aku dulu. Tapi kubilangin kalau aku juga lagi butuh pakai motor siang ini juga".

Sama Andi cerita, sama aku kok dia gak cerita alesannya pinjem motor. Sentimen tuh anak ! Gerutuku dalam hati.

Andi seperti tahu gerutuku itu, katanya : "Kamu tadi pas dimintai tolong kan lagi sibuk ngejar bikin revisi laporan, Yuna takut ngganggu paling..."

"Wis tha ayo cepetan (sudahlah, ayo buruan) !"

Aku segera bangkit berdiri dan mengikuti langkah Andi menuju motornya yang terparkir di paling ujung deret parkiran motor depan Dekanat. Meluncurlah kami berdua sejurus kemudian di atas motor jenis sport yang boncengannya begitu miring ke depan, membuat siapapun yang membonceng pasti nempel bersentuhan dengan bagian punggung pengemudinya.

Sampai di kanopi depan gedung perpustakaan, Andi menghentikan motornya, aku segera turun. Kutepuk pundaknya dan ucapkan terimakasih.

"Ntar selesai urusan, ke kostku aja. Kita bareng cari motormu, paling posisinya di kost Yuna. Sekalian minta oleh-oleh ortunya", kata Andi sambil mengacungkan kepalan tangan dalam posisi mendatar.

Kusambut kepalan tangannya dengan pukulan pelan kepalan tangan pula, tanda sepakat. Kost Andi memang tetanggaan dengan kost Yuna, kira-kira hanya sekitar 70 langkah. Kost Andi mudah dicapai karena posisinya di tepi jalan raya utama menuju kampus, sedang kost Yuna agak masuk ke dalam, melewati lorong sempit yang berkelok-kelok.

"Bu, fotokopi lagi ya... Udah saya batesin tuh !" pintaku kepada librarian yang berdiri di belakang meja kerjanya. Di situ ada pula 3 mesin fotokopi lengkap dengan operatornya.

"Kamu tuh fotokopi melulu ! Beli aja di koperasi depan ada tuh, biar bisa jadi pegangan nanti sampai lulus kuliah !" katanya saking hapalnya kelakuanku yang rajin fotokopi dari semester 1.

"Peace bu...", kataku sambil tersenyum sambil mengacungkan dua jari, telunjuk dan jari manis. "Anak kost meski berhemat bu..."

"Kamu nggak ambil beasiswa ?"

"Beasiswa prestasi saya anti Bu, beasiswa tuh buat yang kurang mampu seharusnya menurut saya".

"Gitu ya ?"

"Iyalah, lihat aja daftar penerimanya ! Kawanku sefakultas, udah ortunya tajir, masih diongkosin negara pula kuliahnya ! Dipakai buat beli hape noh duit beasiswanya..." kataku berapi-api kalau sudah bersentuhan dengan idealisme seperti ini.

"Tapi kalau nggak berprestasi juga percuma dong dikasih beasiswa ?!" katanya beralibi.

"Ya maksudku yang kurang mampu dan berprestasi gitu bu. Jadi penekanan istilah beasiswa jangan di prestasinya, tapi di kurang mampunya. Prestasi tetep jadi acuan seleksi, tapi kondisi ekonomi lebih dulu jadi prioritas penentuan kriteria calon penerima. Yah..., ini opini saya aja sih Bu... Ibuk mau setuju boleh, kagak juga ndak kenapa-napa..." jelasku panjang lebar sok intelek.

"Betul juga sih... Eh, ini mau berapa kali fotokopinya ?"

"Seperti biasa bu, di pembatasnya sudah saya kasih tulisan halaman dan berapa kalinya".

"Oke, tunggu ambilnya sesuai nomer antrian ya...", katanya sambil tersenyum. Gaya pakem petugas yang didoktrin sejak training kerja yang akhirnya jadi habit (kebiasaan), sebelas-duabelas sama petugas teller bank atau pelayan swalayan gitu lah.

"Sip !" kujawab dengan mengacungkan jempol, kami mahasiswa akhirnya bikin habit pula untuk menjawab habit para petugas perpustakaan.

"Eh, ada yang ngeliatin kamu terus tuh...", katanya lagi sambil menunjuk arah meja baca bernomor 11.

Aku menoleh ke arah yang ditunjukkannya. Kuamati dengan seksama karena posisi pandangnya lumayan jauh. Ruang perpustakaan ini total luasnya mungkin ada kalau (25 x 30) - an meter persegi, hanya tersekat-sekat oleh rak buku, pembatas ruang baca dan official area. Jarak dari meja librarian dengan meja baca terpisah space kosong yang lumayan lebar, mungkin disengaja untuk lalu lintas pengunjung yang selalu padat setiap harinya. Penasaran karena belum yakin juga, akhirnya total kubalik badan dan melangkah mendekatinya. Yang kudekati melambaikan tangan tapi takberani teriak karena ada tulisan KEEP SILENT gedhe banget di dinding ruang baca.

Taksalah lagi, makin dekat makin tampak seorang gadis berambut ikal terurai. Pakai setelan celana jeans warna biru dan kemeja motif grafis kotak-kotak dalam paduan warna merah dan hitam. Matanya lebar, hidungnya lebih mancung dariku dan senyumnya manis berhias deretan gigi yang bersih dan rapih. Di sebelahnya ada gadis berkerudung merah motif bunga-bunga, berkemeja dan bawahan rok span panjang berbahan jeans. Posturnya lebih kecil dibandingkan Restu.

"Manggil saya bu ?" kataku pelan-pelan sesampai tepat di depan mereka. Kutunjuk dadaku sambil sedikit membungkuk, tatapanku lurus ke arah Restu sambil sesekali kulirik kawan di sebelahnya.

Restu dan kawan berkerudungnya tertawa sebentar lalu menutup mulut masing-masing dengan telapak tangannya sambil melirik kiri-kanan. Tersadar kalau lagi di ruang baca perpustakaan, dilarang gaduh !

Gaduh sedikit saja akan jadi pusat perhatian seruangan ini. Dan di luar ruang sudah ada stanby dua orang petugas security yang taksegan-segan ambil tindakan bagi pengunjung yang tak mau tertib atau pengutil buku yang tertangkap basah. Makanya gedung perpus ini menjadi tempat tersakral dalam habitat kampus raya kami.

Jadilah lantas kami berbincang dengan seperempat volume suara sambil sesekali menoleh kiri - kanan, menjadikan pengunjung lain sebagai indikator kontrol atas volume suara kami. Asal ada yang noleh ke arah kami, berarti sudah terlalu kencang volumenya - meski diturunkan.

"Ini kenalin, sahabatku...", kata Restu sambil memegang lengan kiri kawannya yang berpostur kecil.

"Aik...", kataku sambil mengulurkan tanganku.

"Dina...", kata kawan Restu tanpa menyambut uluran tanganku, tapi kedua telapak tangannya disatukan di depan dadanya sambil sedikit membungkuk. Seperti punggawa kerajaan kasih salam kepada atasannya, cuma yang ini pakai senyum.

Lekas kutarik uluran tanganku dengan agak malu. Aku tak begitu faham tentang hukum agama, tapi sangat menghormati mereka yang kuat pegang prinsip ajaran. Entah kenapa aku tak tau, salut saja bawaannya.

"Boleh duduk di sini ?" ijinku sambil menunjuk kursi di depanku yang posisinya masih menempel dengan meja. Meski digeser sedikit ke belakang sebelum diduduki.

Restu dan Dina hampir bersamaan mempersilahkanku dengan kode tangannya masing-masing, lalu saling pandang dan saling senyum. Aku segera menarik kursi pelan-pelan agar tak menimbulkan suara gaduh, lalu duduk. Posisi kami sekarang seperti seorang boss yang sedang memberi arahan kepada dua karyawatinya, atau seorang terdakwa yang sedang diinterogasi oleh dua orang polwan.

Kami terdiam sejenak. Aku sendiri masih lumayan lelah, jadi lagi buntu kreativitas otakku, malas disuruh berfikir.

"Ehem...!" dehem Dina, memecah suasana. Disenggol lengannya kemudian sama Restu pakai sikutnya sambil tersenyum malu.

Kulirik buku-buku yang ada di depan mereka berdua, sebagian besarnya kumpulan jurnal penelitian bidang peternakan. Persis di depan Dina, ada buku tak begitu tebal dengan cover yang aku familier sekali. Tiba-tiba saja muncul ide di kepala untuk membuka percakapan.

"Dina ternyata suka juga ya baca novel thriller...?" tanyaku.

"Eh, iya Ik... Kamu suka juga ?" jawab Dina agak terkejut, tak menduga bakal kutanya.

"Enggak..., aku heran aja ".

"Heran kenapa ?"

"Gak sesuai penampilan..."

Dina tersenyum lebar, mungkin sebetulnya mau tertawa tapi ditahan. Restu senyum-senyum sambil melirik kawannya. Dina membalas lirikan Restu lalu mencubit lengannya.

"Aduh !" teriak pelan Restu kesakitan.

Sungguh, aku takmengerti kalau dua mahkluk perempuan sudah pakai bahasa koding seperti ini. Tak lama Dina seperti terkesiap, dia lihat jam yang melingkar di tangannya. Dia lalu menoleh ke arah rak-rak besar berisi buku-buku yang berbaris rapi di urutan ke empat dari paling belakang. Badannya ikut memutar hingga terkesan depelintir.

Sebentar kemudian kembali lagi Dina pada sikap semula, lantas lengannya yang dilingkari jam itu ditunjukkan ke hadapan Restu. Sekilas dilihatnya jam tangan itu lalu tersenyum menatapku.

"Aik, kami gak bisa berlama-lama lagi kayaknya. Ada praktikum sebentar lagi", kata Restu.

"Kami apa kita ? Tuh, kawan-kawanmu yang masih sibuk cari buku gak dihitung ?" kataku sambil menunjuk ke arah rak yang ditoleh Dina tadi pake kepala.

"Iya Ik, kami serombongan ini tadi. Kita satu tim praktikum, jadi ke sini bareng-bareng", terang Dina.

"Tapi bukan yang terlihat itu Ik, nggak tau pada ke mana mereka ya ? Jangan-jangan kita ditinggal Res..." kata Dina menambah penjelasan lalu memegang lengan kanan Restu dan mengguncang-ngguncangnya.

"Udah tenang aja Din, anak-anak emang suka gitu..., kayak anak kecil. Sukanya nggodain, padahal nggak lucu dan kampungan. Lagian masih ada waktu seperempat jam kok !" kata Restu ke Dina.

"Ma'af ya Ik, tadi waktu kamu baru ke sini mereka ada kok di situ jelas. Salah satunya emang masih ngebet ma Restu, mungkin gak suka ada kamu bersama kami", jelas Dina membuat mataku terbelalak.

Restu gantian sekarang memposisikan duduknya serong ke arah Dina, tangan Dina yang pegang lengannya gantian dicengkramnya pake tangan kiri. Ditatapnya Dina dengan tajam dalam mimik serius. Dina mengangkat kedua bahunya dan tampangnya kelihatan menyesal.

Aku menarik tubuhku ke belakang, kutempelkan punggungku di sandaran kursi, lengan bawahku yang menumpang meja kusatukan jari-jarinya, yang kanan menumpang yang kiri dalam posisi horisontal. Mirip kaum Nasrani sa'at berdoa, tapi tak saling mengait satu sama lain. Pandanganku menunduk sebatas permukaan meja yang sebagian tertutupi buku. Restu menoleh ke arahku, lalu diluruskan lagi posisi duduknya menghadapku. Dipegangnya lenganku yang menumpang di meja, tapi buru-buru kutarik dan membuatnya cemas. Aku jelaskan maksudku dengan kode lirikan mata menunjuk ke arah Dina.

Tersenyum Dina, sepertinya paham apa maksudku, bukan seperti yang disangkakan Restu. Sejurus lalu didekatkan mulutnya ke telinga Restu dan berbisik, takbisa kudengar. Restu tampak mereda cemasnya, kernyitan di dahinya menghilang sudah. Berarti pemahaman Dina sesuai yang kumaksud, agar Restu tak seenaknya pegang tanganku seperti waktu di kostnya karena ada Dina di sampingnya. Memang aku berharap Restu punya rasa malu terhadap kawannya yang berjilbab itu.

"Udah, pokoknya aku mendukung Ik kalau kalian pacaran ", kata Dina kemudian kembali membuatku terbelalak. Sedang Restu senyumnya makin melebar.

"Dina itu baru-baru aja pake jilbabnya Ik, dulu waktu awal masuk kuliah juga sama kayak aku. Kamu belum tau aja kelakuannya...", kata restu dalam senyum tapi agak sewot sambil melirik Dina.

"Eh, nggak baik ya cerita tentang keburukan orang lain !" protes Dina.

Aku tersenyum lebar melihat tingkah mereka berdua, sedang Restu tersenyum mendengar protes sahabatnya.

"Udah Res, resmiin aja pacarannya, daripada kamu dipacarin si Anda, aku gak setuju !" kata Dina lagi, membuat Restu nampak makin sewot.

"Siapa Anda itu Din ?" tanyaku membuat Restu dahinya mengernyit cemas, pandangannya sinis ke arah Dina dan mukanya agak memerah. Tapi Dina kali ini tampak cuek saja, tak ada tampang menyesal kayak tadi.

"Ya...."

Ups! Kata-kata Dina terputus oleh telapak tangan Restu yang menutup mulutnya tiba-tiba. Tapi Dina masih berusaha memberi keterangan dengan menujuk-nunjuk ke barisan rak arah dia menoleh mencari kawan-kawannya tadi. Tak sia-sia usahanya, sebab aku segera tanggap mengerti maksudnya. Jadi yang disebut Anda adalah salah satu dari kawan mereka yang barengan tadi ke sininya. Kawan seangkatan dan se-tim praktikum sebagaimana tadi dijelaskan.

"Jadi kapan kalian nanti selesai praktikumnya ? Biar kutemui Anda nanti di kampus kalian", kataku datar dan tenang.

Restu makin menjadi-jadi kekhawatirannya, tangannya hendak memegang lenganku lagi. Buru-buru kutarik lenganku dari atas meja. Dipandangnya aku dengan tatapan memohon sambil tangan kanannya mencubit lengan Dina. Digeser badan Dina tapi sudah terlanjut tercubit kerja sama jari jempol dan jari telunjuk Restu. Dina merintih kesakitan dan buru-buru menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangan agar tak menimbulkan suara gaduh.

"Res...,wajar saja dong sikap si Anda itu, aku nggak marah. Kamu sendiri belum menjawab pertanyaanku soal keseriusan hubungan kita, nggak mungkinlah taksamperin si Anda terus tak ajak berkelahi...", jelasku atas kekhawatiran Restu.

"Jawabannya Aku nggak bisa Ik...", katanya lirih dan spontan, membuatku terkejut bukan main. Tubuhku yang memang sudah lelah, makin lemes aja rasanya. Wajahku makin menunduk sambil menghela nafas panjang. Melihat sikapku itu, Restu cepat-cepat mendekatkan mulutnya ke telinga Dina, lalu membisikkan sesuatu.

Dina tampak senyum-senyum mendengar bisikan Restu. Dikedipkan sebelah matanya ke arahku, membuatku bertanya-tanya. Sedang Restu menundukkan kepalanya dan tampak malu-malu.

"Restu nggak bisa Ik..., nggak bisa nolak katanya", jelas Dina kemudian.

Sontak badan ini serasa segar kembali, mataku berbinar. Tapi rasanya masih kurang yakin aku kalau bukan Restu sendiri yang mengucapkannya. Ngapain juga meski pakai perwakilan bicara kamu itu Res....Gumamku dalam hati.

"Begitu kan Res...?" tanyanya kemudian sambil merangkul sahabat di sampingnya.

Restu tak menjawab, malah menelangkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajah. Nafasnya dihela berkali-kali, tampaknya sedang berusaha menguasai diri. Aku dan Dina terus memperhatikannya dan hanya bisa diam menunggu.

Setelah cukup tenang, diturunkannya telapak tangan yang menutupi seluruh wajah tadi perlahan, tapi hanya separuh saja. Hidung dan mulutnya masih ditutup, hanya alis dan matanya yang lebar saja yang dibiarkannya terbuka. Sorot kedua bola matanya tepat mengarah kepadaku dengan tajamnya.

"Sudah terjawab kan ?"

Suara Restu keluar dari balik jari jemarinya yang masih menutupi mulut dan hidung. Dina senyumnya kulihat makin melebar sambil memperhatikan sahabat di sampingnya. Tangannya masih merangkul, dan kini telapaknya bergerak menepuk-nepuk lengan kiri Restu. Aku mengangguk dan membalas sorot tajam mata Restu dengan sorot mata tajam pula.

Dina mendadak melambaikan tangan ke arah pintu masuk perpus. Aku menoleh ke sana, kulihat salah satu kawan mereka tengah melambaikan tangan ke arah kami. Sepertinya aku sudah familier sama kawan mereka itu, kita pernah berkenalan sewaktu mengantarkan Restu malam-malam ke lab kampusnya.

"Kamu mau bolos praktikum Res ?!" tegurku ke Restu.

Lagi-lagi akhirnya aku yang harus menyadarkannya dari larut emosi. Restu sontak melepas total kedua telapak tangan yang masih menutupi separuh wajahnya, tersadarkan. Dia menggeleng sambil tersenyum. Dina segera mengambil tasnya dan menyandatkan di bahu kanan lalu hendak bangkit berdiri. Restu buru-buru memegang lengan sahabatnya itu, menahan sejenak.

"Kami pamit dulu ya...", katanya.

Aku tak menjawab, lebih dulu bangkit dari duduk lalu kuambilkan tasnya yang masih tergeletak di meja dan menyerahkan padanya. Disambut terima tasnya lalu bangkit berdiri bersamaan dengan Dina, ditatapnya lagi mataku kuat-kuat dan dikembangkan senyumnya seperti biasa. Kemudian berbalik dan melangkah berdua menggandeng tangan Dina. Meninggalkanku sendiri bersama buku-buku yang tergeletak di meja, menatap kepergian mereka berdua.

Dapat tujuh langkah berjalan, Dina tampak menoleh sambil tetap melangkah dan mengucapkan kalimat tanpa suara. Jadi mulutnya saja yang komat-kamit kayak dukun baca mantera, tapi mudah sekali terbaca. Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu kutelangkupkan kedua telapak tangan di dada seperti yang dilakukannya sewaktu berkenalan tadi sambil sedikit membungkuk.

Hingga mereka menghilang dari pandangan, aku masih berdiri menatap. Sambil menancapkan kalimat tanpa suara Dina ke otakku agar tak lupa. Yang kubaca dari komat-kamitnya mulut Dina adalah : "Jangan lupa makan-makannya ya......!"

Ah..., ada-ada saja kisah yang kualami ini, gumamku dalam hati. Semua terjadi betul-betul di luar rencana dan di luar dugaan. Kisah anak manusia yang tak berdaya melawan takdir Sang Raja Manusia.

Algoritma Cinta

Kuncoro kulihat masih betah banget ngobrol di pesawat telepon wartel. Kuperhatikan dari tadi sudah empat kali dia ganti nomor tujuan, kusimpulkan juga dari kumpulan stroke tagihan untuk KBU 5 yang dijajar di atas meja petugas operator. KBU adalah singkatan dari Kamar Bicara Umum, tiap bilik yang dilengkapi 1 pesawat telepon. Sedang angka menunjukkan urutan baris bilik di ruangan wartel. Jadi Kuncoro sedang pakai pesawat telepon di dalam bilik urutan ke - 5.

Operator wartel dekat gang II ini sudah familier denganku dan Kuncoro dari sejak awal kami tinggal di kost di sini. Hanya ada dua operator yang terbagi dalam dua shift jaga. Pertama adalah pemiliknya sendiri, Mas Marcel sebutannya, nggak tau nama aslinya. Kedua adalah anak buahnya, namanya Mas Joko. Mas Marcel jatahnya jaga siang, jamnya semau dia sendiri. Mas Joko biasa tertib mulai jam 5 sore dan selesainya kondisional, tapi tak sampai lebih dari jam 11 malam.

Indikator jam di layar komputer operator menunjukkan pukul 20.25 WIB, aku duduk di samping Mas Joko. Ngobrol kami berdua ngalor-ngidul (berbagai topik bahasan) sambil merokok seperti biasa. Dari bahasan teknologi nyampe bahasan mistis biasanya, kali ini masih di bahasan teknologi. Kebetulan harga hape sudah mulai terjangkau gegara barang second yang makin banyak beredar asal dari pelabuhan.

"Emang harga berapa yang seperti itu Mas ?" tanyaku sambil menunjuk hapenya yang tergeletak di meja.

"Paling sekarang cuma 600 ribuan, padahal dulu belinya 2 jutaan", jelas Mas Joko.

"Terus kartu perdananya ?"

"Ada tuh 300 ribuan yang merah, yang kuning 150 ribuan, mau ?"

"Hahaha..., hape ne wae (hp-nya saja) aku belum punya mas..."

"Yen gelem (kalau mau) berburu barang second di bawah lumayan miring harganya Ik, tapi ya harus hati-hati milihnya..."

"Emang nyampe berapa miringnya ?"

"Kisaran 250 - 500 ribuan banyak".

"Mosok sih Mas ?"

"Cek sono, nih takkasih alamatnya", kata Mas Joko lalu mengeluarkan dompet. Mencabut 3 lembar kartu nama yang terselip dan menyerahkannya padaku.

Kuterima kartu nama itu, kubaca sekilas, lalu kumasukkan dompet. Biasa, lumayan buat nambah tebelnya dompet, buat gaya-gayaan. Duitnya tak seberapa, kartu namanya yang bikin makin mengganjal kalau ditaruh di saku belakang dan dipakai duduk. Soal informasi tempat nyari hape second di bawah, lebih valid dari Novi yang memang warga bawah tentunya. Kalau Mas Joko jarang keluyuran sendiri ke bawah, paling dapet info dari sopir-sopir angkot.

Pemakai KBU nomor 2 tampaknya sudah selesai pakai, printer di meja Mas Joko sudah mulai gerak sendiri mencetak stroke pembayaran. Emak-emak muda nenteng radio muncul di depan kita sambil senyam-senyum, rupanya dia yang barusan pakai KBU 2.

"Lima Ribu Mbak !" kata Mas Joko menagih pembayaran.

Disobeknya kertas print out rangkap dua dari printer, satu diarsipkan - satunya diulurkan ke emak-emak itu. Di kertas itu sih sebetulnya tercetak tulisan Rp. 4. 520,- yang dibulatkan Mas Joko jadi 5000 rupiah biar nggak repot.

"Mahal amat Jok ? Perasaan menitannya sama kayak kemarin...", protes si penerima stroke.

"Lha itu baca sendiri ah tulisannya, mosok komputer bohong ?"

"Halah, yang begituan bisa diatur-atur kan ?!"

"Kalau gak percaya udah sono pulang, gak usah bayar...Tapi besok jangan ke sini lagi !"

"Yeee..., gitu aja ngambek Jok !"

"Ya udah, sini duitnya !"

Emak-emak itu segera mengulurkan uang yang diambilnya dari dompet panjang sambil mengempit radionya. Aku ketawa ngakak melihat tingkah mereka berdua. Operator yang emosian sama pelanggan yang bawel itu emang seru kalau adu mulut.

"Lagian kirim salam ke siapa aja sih ? Nyampe lama amat ! Noh, si Aik ngantri dari tadi", seloroh Mas Joko sambil kepalanya dipake nunjuk diriku.

"Bukan daftar salamnya yang bikin lama jo...k, suara penyiarnya itu loh, Aduh...bikin deg-deg serrrr !"

"Ah, dasar emak-emak ganjen ! Radio dibawa mondar-mandir, suami noh diurusin !"

"Ah, kalau bapaknya anak-anak sih jam segini main catur paling di pos ronda. Paling ntar tengah malem minta diservisnya..."

"Jiah...hahaha...haha...!" tawaku dan Mas Joko bersamaan.

Aku mulai membayangkan, kalau besok jadi kerja part time sebagai operator wartel, macam apa aja pelangganku nanti ya ?

"Udah aku pulang dulu ah, anak kecil - anak kecil pada tau apa soal urusan rumah tangga !" kata emak-emak muda ini sambil nunjuk-nunjuk aku dan Mas Joko bergantian.

"Iya iya, makasih ya Maaa..k", balas Mas Joko.

"Eh, sembarangan panggil Emak ! Masih kinclong tauuu...!"

"Udah sono ah, lekas pulang ! Dicariin anak-anakmu ntar kayak kemarin..."

Seperti dibangunkan pake alarm jam, emak-emak muda ini segera ngeloyor pergi.

"Emang pernah ya Mas nyampe disamperin anak-anaknya ?" tanyaku penasaran, masih dengan tawa geli.

"Itu namanya Mbak Asih Ik, rumahnya di gang V sana tetanggaan satu RT sama aku. Memang lebay orangnya sejak dari masih perawannya. Hoby nya akhir-akhir ini ngedengerin siaran radio, request lagu sama titip salam. Sering dia larut dalam percakapan telepon sampai dicariin anak-anaknya, dicariin suaminya juga pernah", jelas Mas Joko.

"Bisa nyampe gitu ya...?!" gumamku.

"Yang namanya kecanduan Ik, ya mungkin kayak kita sama rokok ini..."

"Kamu tuh yang udah kecanduan Mas, kalau aku sih seperlunya aja...", protesku.

"Udah kosong tuh kalau mau pake, jadi nggak ?"

"Eh iyo (iya) mas, lali (lupa)....", kataku lanjut bangkit berdiri cepat-cepat.

Kumasuki KBU nomor 2, kututup rapat pintunya. Pesawat telepon kuangkat gagangnya, kupencet angka sesuai ingatan di kepala. Nomor telepon rumah kost Restu.

"Halo..., dengan siapa mau cari siapa ya...?" tanya suara dari gagang telepon, suara yang aku familier banget.

"Dari Tata Usaha Rektorat Universitas..."

"Ah, udah-udah ! Ngaku nggak ?! Kalau nggak saya tutup nih!" ancam suara itu memotong kalimat bercandaku.

Suara ini adalah suaranya Lista, melengking, cepat pelafalannya, ceria tapi terkesan judes. Pas persis sama orangnya, bertolak belakang sama pacarnya yang pendiam, jarang tersenyum dan sedikit blo'on - lambat berpikir. Rupanya Lista sudah biasa dengan becandaan via telepon seperti itu. Beda dengan Restu yang masih sabar ngeladenin basa-basi seperti ini, kalau Lista langsung to the point !

"Restu ada Lis ?"

"Aik bukan ?"

"Iya, bener !"

"Penting nggak ?"

"Apa-apaan sih Lis ? Kalau nggak penting kenapa ?!"

"Kalau nggak penting banget mending ke sini aja deh...!"

"Ke situ aja bawa kue molen sama minuman bersoda gitu...?!"

"Hehe..., tuh udah hafal kamu sama kesukaanku...!"

"Ampun Liiis, Lis ! Cowok-cowokmu pada ke mana ? Nodong mlulu kerjaanmu !"

"Eh, cowokku cuma satu ya...!"

"Terus yang lain ?"

"Yang lainnya pemain cadangan...hahaha...!"

"Udah ah, mana Restu ?! Tolong panggilin !"

"Reees...! Restuuuu...! Ada yang nyariin nih..." suara Lista terdengar pelan, tanda kalau dijauhkan posisi gagang telepon dari mulutnya.

"Siapa mbak ?" suara Restu yang kini semakin khas samar-samar terdengar, sudah agak dekat gagang telepon.

"Nggak tau nih..., nggak jelas !"

Eh, sialan si Lista ! Gumamku dalam hati, dongkol. Padahal kalau sudah begini, bakal muncul ide-ide jahil balas dendam di otakku.

"Halooo..., dengan siapa ini ?!" suara Restu tegas bertanya, terpengaruh keterangan ngawurnya si Lista.

"Lista kurang ajar juga ternyata ya Res...?!" jawabku yang bukan jawaban tapi lebih pada mengumpat.

"Hahaha..., udah biarin aja ! Gak usah dipikirin...! Emang lagi di mana ? Kok nelpon..."

"Aku lagi sama Kuncoro di wartel deket kost lama".

"Kuncoro ? Ooo...h, yang kawan kost lama ? Yang ikut acara Diksar kemarin ?"

"Iya bener. Pinter kamu !"

"Hehe...Ya, kalau nggak disebutin tadi juga paling lupa, kalau wajah sih gampang diingetnya".

"Ya nggak gitu, berarti Kuncoro berhasil membuat kesan ke kamu..."

"Eh bentar...bentar..., yang sama Novi waktu itu bukan ?"

"He-em (Iya)".

"Ya bukan Kuncoronya yang punya kesan kuat, tapi Novinya..."

"Gitu ya ? Bisa juga kali ya ?!"

"Iyalah, siapa sih yang gak terkesan sama Novi ? Seksi banget gitu ! Yang disekitarnya otomatis kerekam juga kan ?"

"Eh, pacarnya bukan ?" imbuh tanya Restu.

"Maksudmu Kuncoro sama Novi ?"

"He-em".

"Bukan, baru aja takkenalin sehari sebelum Diksar".

"Kamu tumben nggak ada yang ngapelin ?"

"Mmm..., kok bisa narik kesimpulan begitu ? Kamu kan nggak ngeliat ?"

"Lha jeda antara dipanggil Lista sama terdengarnya suara kamu nggak terlalu lama...".

"Lha kalau ada yang ngapelin di bawah, lagi taktinggal ke atas ambil sesuatu terus ngepasin Mbak Lista manggil, hayo...???"

"Iya juga sih...", jawabku sambil garuk-garuk kepala.

Terdengar tawa kecil Restu seperti biasa kalau aku lagi garuk-garuk kepala menyadari kekeliruanku.

"Enggak ada malam ini, tenang aja... Aman ! Hihihi...!"

"Ada juga gak papa kok...", kataku.

"Kok gitu ?"

"Iya dong. Pacaran kan cuma hubungan sementara... Kalau menikah, baru tuh nggak boleh diganggu gugat !"

"Gitu ya prinsip kamu ?"

"Iya !"

"Buktiin ya ?!" tantangnya.

"Boleh, siapa takut ! Asal jangan mendua ya kamu...?!" jawabku.

"Maksudnya ?"

"Ya maksudnya punya pacar lain secara diam-diam".

"Hahaha..., emang aku berpotensi begitu ya ? Iya juga sih kalau potensi, tapi nggak mungkin kok aku begitu, nggak bakat !"

"Buktiin ya...?!" balas tantangku.

"Hahaha..., gantian nantang nih ? Oke, siapa takut !" jawabnya menirukan jawabku tadi.

"Nggak pakai syarat ?" tawarku.

"Ya sama dong, asal kamu juga jangan mendua !"

Kami tertawa bareng, geli dengan pembicaraan sendiri malam ini via telepon.

"Eh, aku ada syarat lagi...!"

"Apa tuh ?"

"Aku gak akan marah kamu diapelin siapa saja asal..."

"Asal bukan pacar selain kamu !"

"Iya itu kan tadi udah..., syarat yang pertama. Jangan dipotong dulu dong !"

"Hihihi..., iya iya...yuk, lanjutin !"

"Hhhh...eh! Jadi meski ngulangin lagi nih !"

"Ya udah nggak usah diulang, langsung aja syarat kedua adalah..."

"Nggak asyik dong.... Eh, ada Ica ?"

"Ada, kenapa ?"

"Pinjem hapenya gih !" suruhku.

"Buat apa ?"

"Udah pinjem aja dulu..."

"Iya iya, tunggu bentar ya...?!"

"Klek ! Tek !" bunyi gagang telepon diletakkan, tapi tidak di atas pesawatnya.

Aku menunggu dengan menggebu-gebu, ide itu tiba-tiba saja muncul. Tak berapa lama terdengar gagang telepon diangkat lagi.

"Udah nih, buat apa sih ?"

"Kamu pernah pinjem makai kan sebelumnya ?"

"Ya sering !"

"Berarti udah familier sama fungsi-fungsinya kan ?"

"Belum semua sih... Paling cuma..."

"Ada fungsi perekam di situ !" kataku cepat-cepat memotong kalimat Restu biar nggak bertele-tele. Dia suka terlalu panjang kalau sedang menjelaskan sesuatu, terkadang sampai ngelantur dan bingung sendiri sudah sampai di mana.

"Iya kayaknya pernah lihat deh..." katanya.

"Hah ! Maksudnya mau direkam ???" teriak Restu segera paham apa kemauanku.

"Iya, aku pengen kita bikin ikrar malam ini ! Ikrar yang bukan sekedar terucap, tapi terekam untuk selamanya !"

"Iiiih..., ada-ada aja kamu ah !"

"Kamu menolak ?"

"Enggak enggak, iya sebentar takcariin fungsi rekamnya..."

"Pencet tombol menu..."

"Hop ! Udah, biar takcari sendiri !"

Aku terdiam, satu lagi sifat asli Restu yang kukenal. Dia tidak mau dinasehati untuk perkara yang dia merasa sudah faham betul, atau paling tidak sudah pernah mengalami sendiri meskipun sudah lupa. Sebuah sikap mandiri dan gigih yang aku suka.

"Nah, sudah ketemu ini tinggal pencet !"

"Oke, kamu bilang ! Begitu sudah dipencet, aku langsung bicara".

"Satu...dua...sudah !"

"Aku Aik, berjanji tak akan marah kalau ada cowok yang ngapelin Restu, dengan syarat :
1. Cowok yang ngapelin bukan kekasih gelap.
2. Cowok yang ngapelin tidak menyakiti, baik secara fisik maupun batin.
3. Restu dalam kondisi tidak sedang ku apelin.
Udah !"

"Hihihi...., gitu ya ?" kata Restu dengan tawa girang.

"Sekarang giliran kamu !"

"Oke, eh...gimana tadi ?"

"Kamu janji gak akan mendua asal aku juga gak mendua, gitulah intinya..."

Tawa cekikikan Restu kembali terdengar, mungkin kawan kost yang melihatnya tampak seperti orang gila. Tapi ya memang betul, malam ini kami berdua sedang gila. Hanyut dalam luapan asmara yang mengalir sepanjang pembuluh darah muda, menerjang apapun yang mencoba menghalangi arus derasnya.

Sang Ratu Sudut Teras Selatan

Aku tak pernah mengajak Restu berpacaran di kamar, selain sekali dulu di awal pacaran. Tiap masuk kamar bawaannya Restu segera merapikan semuanya tanpa kecuali. Sepuluh menit saja dia di dalam, semua sudah bersih dan rapi. Masalahnya, aku punya ingatan pendek soal posisi barang, bakalan kacau aku jika barangku tiba-tiba dipindah tempat tanpa sepengetahuanku. Ini terjadi beberapa kali dan membuat kami sering beradu argumen. Itu alasan pertama, alasan keduanya adalah terkait psikologis Restu dengan trauma masa lalunya.


"Sini Res yuk, di luar aja !" ajakku ke Restu ketika kuperhatikan sikapnya yang tak bisa tenang.

Setelah dia keluar, segera kututup pintu kamar dan mengajaknya ngobrol di teras kost, sudut sisi selatan.

"Kamu keliatan gelisah banget tadi waktu di dalam", kataku diikuti anggukannya.

"Boleh aku tau kenapa ?" lanjut tanyaku, tak dijawabnya sama sekali. Dia hanya menunduk, diam, mulutnya seperti terkunci.

"Ada hubungannya sama trauma masa lalumu ya ?" tanyaku lagi.

Dan seperti yang sudah-sudah, dia malah menutup wajah tertunduknya itu dengan kedua telapak tangannya. Takhanya itu, menangis dia sesenggukan hingga tubuhnya terguncang-guncang. Aku mencoba menenangkan dengan gerakan memeluk pundaknya pakai lengan kanan. Kita sudah resmi pacaran, kupikir wajar untuk merangkulnya sebagaimana kawan lain saat pacaran. Tapi apa yang terjadi sungguh luar biasa mengagetkan. Sama sekali di luar dugaan !

Begitu telapak tangan kananku menyentuh pundak kanannya, refleks dia mengibaskannya lalu menamparku dengan tangan kanannya, kena tepat di mulutku.

"Plak !!!", suara tamparannya terdengar keras sekali.

Andaikan ada yang sedang lewat depan kost atau jalan gang di samping kost pas saat itu, niscaya segera menoleh. Untung saja tak ada, bakal panik aku karena pasti disangka yang bukan-bukan. Apalagi kalau yang ngeliat orang asli kampung sini, habislah riwayatku.

Sejurus, Restu sadar akan kekeliruannya. Alih-alih hendak mengucap ma'af, mulutnya justru tak bisa berucap kata sedikitpun dan yang dilakukannya kemudian malah bersimpuh di bawahku dan menangis sejadi-jadinya. Kedua tangannya memegang celana jeans ku yang sisi kanan, tepat di bagian paha dan jidatnya ditempelkan di situ juga, di antara kedua cengkraman tangannya. Diremasnya kain celanaku sekuat dia menggenggam dan sedikit tarikan. Betapa aku tak bisa berbuat apa-apa, selain berusaha menenangkan diriku sendiri. Akhirnya kudiamkan saja semau dia. Lagipula, suara tangisnya tak begitu keras dan sat kutolah-toleh ke sekitar tak tampak ada yang melihat.

Aku sebetulnya paham apa maksudnya, dia ingin menyampaikan penyesalannya. Tapi kondisi psikisnya masih terbungkus ingatan akan trauma masa lalu, sehingga mulutnya tak bisa digerakkan. Akibat tamparan tadi, tak berani sedikitpun aku menyentuhnya, cuman manggil-manggil namanya dengan lembut ketika tangisnya sudah agak mereda dan genggaman tangannya di celana sudah melemah.

"Res...Restu..." panggilku lembut.

"Hemmm...", jawabnya masih dengan sesenggukan.

"Restu..., Wulan..., Rahmawati..., yang dipanggil tetep di sini, yang lainnya nyingkir !" kataku mencoba melucu.

"Bwuuufhhh...! bwuuufhhh...! bwuuuufh !", tiupku tiga kali di kepalanya seperti mbah dukun yang lagi nyembur pasiennya, biar tambah lucu.

Restu mulai tertawa, pelan tapi terputus-putus. Ditarik kepalanya dari menempel di pahaku, juga tangannya yang tadi mencengkram kain celana jeans ku. Dihapusnya air mata yang membasahi hingga ke pipi sambil mencoba tersenyum stabil, masih dengan kepala menunduk.

"Ha ! Ha ! Berhasil juga akhirnya kuusir roh-roh gentayangan yang merasukimu...", candaku lagi.

Kali ini betul-betul bisa membuatnya tersenyum lebar tampaknya. Merasa sudah stabil, diangkatlah kepalanya sampai mendongak dan menatapku. Ekspresinya tiba-tiba berubah drastis setelah menatapku, terkejut berlanjut cemas.

"Astaghfirullah...! Ya Allaaa....aaahhh !" serunya tiba-tiba, membuatku mengernyitkan dahi penuh tanya.

Cepat-cepat dia bangkit dari bersimpuh lalu duduk di sebelahku, menempel ketat. Diraihnya tas yang tergeletak di meja, dibuka dan dikeluarkannya sekotak kecil tissue kering. Diambilnya selembar tissue lalu diusap-usapkan pelan pada bibir bawah hingga daguku. Kuhentikan dengan memegang tangannya itu, kuamati tissue putih yang kini ternyata bercorak merah. Baru aku tersadar kalau bibirku berdarah. Kutatap tajam mata Restu dan sekejap tampak mulai berkaca-kaca lagi.

"Sudah Res..., sudah ! Jangan menangis lagi, kamu jangan salah paham...", kataku buru-buru sambil tetap memegang tangannya yang menggenggam tissue berdarah itu.

"Ekspresi spontanku tadi bukan bermaksud marah, tapi kaget ! Ternyata kuat juga tenaga kamu...", jelasku lagi sambil tersenyum.

"Ma'af...aku...", katanya lirih, buru-buru kupotong.

"Sudaaah...! Sudah ! Nanti kamu malah nangis lagi kalau larut dalam penyesalan !"

"Tenang dulu..., rileks, sandarkan punggungmu di kursi lalu atur nafas pelan-pelan !" kataku lagi, berusaha kembali menenangkan.

Restu nurut, ditempelkannya punggung di sandaran kursi dan mengatur nafas pelan-pelan. Kuambil tissue yang masih digenggamnya dan kuusap sendiri bibirku sambil senyum-senyum. Belum pernah sampai seumuran ini ada laki-laki yang membuat mulutku berdarah, eee...ini malah perempuan ! Gumamku dalam hati.

Kugeser kursi tempatku duduk, kuserongkan ke arah Restu. Kumajukan posisi dudukku hingga lutut kananku bersentuhan dengan lutut kirinya. Kubungkukkan sedikit badan hingga kepalaku harus sedikit mendongak untuk bisa menatap kedua matanya. Kupegang kedua telapak tangannya, kusatukan - kugenggam.

"Aku yang seharusnya minta ma'af. Akulah yang mengawali semua ini dengan pertanyaan. Aku janji tak akan bertanya lagi, simpanlah kisahmu sendiri. Oke ?!" kataku kemudian.

Restu menggeleng, wajahnya masih serius tapi matanya sudah tidak berkaca-kaca lagi. Aku tersenyum sajalah akhirnya, berusaha memancingnya untuk ikut tersenyum, dan berhasil ! Senyum manisnya mengembang menampakkan deretan giginya yang bersih dan rapi.

Sejak itulah kemudian sudut teras kostku sisi selatan ini menjadi semacam restrict area bagi kami berdua. Siapapun kawan kost yang sedang pakai tempat itu, dengan sukarela akan segera menyingkir jika kami berdua datang. Tentu saja dengan konsekuensi, kami harus mengusahakan agar selalu ada camilan di ruang tengah. Ya tidak harus setiap malam, minimal tiga kali dalam seminggu, terutama jika ada siaran live pertandingan sepak bola di TV. Konsekuensi yang tak begitu berat buatku yang sudah mulai kerja part time, ataupun Restu yang hobi memasak.

"Hayo ! Bungkusnya jangan dibuang di bawah !" seru Restu sambil menunjuk tangan Ano yang hendak asal buang bungkus snacknya di lantai.

Ano nurut dengan terpaksa, bangkit dia dari duduknya lalu membuang bungkus itu ke kardus besar di ujung teras, sambil membungkuk mengulur badan dan lengannya biar nyampai.

Sabtu siang ini Restu dan Dina main ke kost, mengajak serta Eni yang sudah tak terlalu nampak culun. Ano bersama beberapa kawan kost nampak menemani mereka di sudut teras sisi selatan. Tampaknya pula mereka dapat tema ngobrol yang asyik kalau lihat tampang-tampangnya. Atau mungkin lagi sama-sama melepas penat masing-masing dari kegiatan akademisnya. Begitulah adegan di sudut teras kostku sekarang, tayangnya bisa seminggu sekali.

Setelah 5 bulan pacaran jalan, kini Restu sudah mulai akrab dengan semua kawan penghuni kostku. Kadang Restu sendiri yang berinisiatif main, kadang karena ada kawan kost yang mengundangnya main saat ketemu di jalan. Tak cuma akrab sama penghuni kost, Restu kini seolah kayak jadi Ratu penguasa sudut teras kost sisi selatan.

Diawali dari kebiasaannya yang tak bisa tenang melihat lingkungan yang kotor dan berantakan. Setelah bersepakat untuk tidak lagi membersihkan kamarku, sudut teraslah kemudian yang jadi sasaran kebiasaannya. Tentu saja kawan-kawan jadi senang, sebab bisa agak meredam suara marah-marah Ibu kost kala melakukan sidak (inspeksi mendadak).

Aku sendiri baru pulang dari lab, mbantuin Pak Surya menyiapkan peralatan praktikum buat besok pagi ke luar kota. Kumasukkan motor ke parkiran dulu sebelum ikut bergabung bersama mereka, bersama berbagi cerita, canda dan tawa. Betapa cara melepas penat kami dulu itu sungguh minim biaya, jika dibanding generasi sekarang yang meski keluar duit buat beli kuota.

Tisna si Gembala Sapi (Sekilas Sponsor)

Namanya Tisna Arvian, biasa kami memanggilnya Tisna atau 'Ntis. Dia adalah kawan cewek seangkatan - sejurusan paling tajir yang friendly dan solider. Maka jangan heran kalau angkatan kami paling sering touring ke luar kota, soalnya 'Ntis tak akan segan-segan nombokin iuran kawan-kawan kalau hasilnya yang didapet pas-pas an. Lebih-lebih bagi kami yang pecinta Pe-A, penahkluk puncak gunung, 'Ntis ini ibarat Dewi utama dalam kuil pemujaan kaum pagan dengan sesaji khusus. Berapapun kekurangan biaya yang tertera pada proposal, dia siap nambelin, dengan catatan, semua hasil dokumentasi orisinal harus diserahkan ke dia. Jadi 'Ntis ini hobiis fotografi, hasil jepretan yang bagus akan menjadi koleksi pribadinya atau dijualnya, entah ke mana kami tak tau dan tak pernah tanya.

Akhirnya setelah hanya setengah jam waktu jeda kupunya, berakhirlah audiensi jajak pendapat ini. Begitu moderator menutup acara, aku segera bangkit dan menyalami kawan-kawan pengurus HM dan kawan Panitia Suksesi, sekalian berpamitan. Termasuk juga kepada Tisna and the gank, pengacau jadwalku siang ini.

"Kamu mau ngejar setoran ya Ik? Kayak sopir angkot aja !" sindir Tisna usai kusalami dengan tergesa-gesa.

"Yah...mo gimana lagi Nok ? Sebuah konsekuensi...", jawabku. Cuman aku yang manggil dia Tinok, kuciptakan sendiri panggilan khusus buatnya.

"Kamu gitu ya udah tajir...", imbuhku nyinyir.

Tisna tertawa mendengar gerutu balasanku atas sindirannya.

"Iya ma'af, habisnya pada nggak bener gitu bikin rencana acara ! Ya aku nggak bisa diemlah..." katanya masih saja berargumen.

"Okelah, see you ya...!" kataku sambil melambaikan tangan.

"Eh, Ik ! Tunggu !" seru Tisna mencegah kepergianku.

"Kasih aja motormu ke Yuna, biar kamu tak anterin !"

"Weh, lha pulangnya nanti ?"

"Ya nanti suruh njemput Yuna, dia lagi butuh motor tuh kayaknya tadi".

"Terus, emang kekejar waktunya ?"

" Nih, takpinjemin hape, kamu telepon aja operator yang shift pagi ! Bilang nanti nyampenya agak telat, ntar biar tak kasih uang tips orangnya."

"Boleh juga..."

Kuambil hape yang disodorkannya, lalu kutelepon Mbak Dewi, operator shift pagi wartel tempat kami kerja. Kutekankan janji pemberian tips si Tisna dan disambut riang suara Mbak Dewi di hape. Tisna kembali kasak-kusuk dengan para anggota genknya yang masih enggan meninggalkan ruangan. Uma, Septi dan Mitha yang seangkatan, lainnya mahasiswi angkatan satu tingkat di bawah kami.

"Oke Nok, yuk !" kataku sambil menyodorkan hape kembali padanya.

"Ya kunci motor kasih dulu ke Yuna dong Ik, orangnya lagi di lab mbantuin si Ani tuh... ! Aku takmberesin urusan nih ma kawan-kawan bentar, taktunggu di parkiran depan", jawab Tisna kali ini sambil pegang kunci mobil. Hapenya sudah dia masukkan lagi ke tas yang lebih mirip tasnya emak-emak kalau lagi pada belanja ke mall.

Aku tak menjawab, segera berbalik arah menuju pintu keluar ruang dan cepat-cepat melangkah menuju Laboratorium Histologi, dimana Yuna lagi mbantuin Ani. Yang kutahu sih dua minggu lalu Ani bawa sekardus mencit putih, katanya buat uji hipotesa, entah tentang apa aku tak tau dan tak mau tau. Kali ini mungkin mereka lagi pada mbedah tuh mencit. Kasian emang hewan mungil itu, cuma dibeli buat dibunuh, dibedah lalu bangkenya dikasih makan ke ikan lele piaraan Pak Nano Laboran.

"Kamu butuh motor Yun ? Nih bawa aja punyaku !" kataku sesampai di lab dan menjumpai Yuna.

Aku setengah berteriak, terhenti termangu di depan pintu lab gegara Ani kasih isyarat verboddendengan kedua tangannya begitu melihatku mau masuk. Kulempar kunci motorku segera ke arah Yuna setelah dia mengiyakan pertanyaanku. Yuna terima lemparan kunci motorku dengan sigap.

"Lho kamu belum berangkat Ik ? Nggak telat ?" tanya Ani.

"Aku nebeng si Tinok, tanggung jawab dia, kebanyakan mbacot tadi di forum makan banyak waktu !" seruku sambil melambaikan tangan dan lekas ngeloyor pergi.

"Rasain kamu !", seru Ani dari balik dinding lab sembari tertawa bersama Yuna.

Tak kugubris tawa mereka, setengah berlari kulanjutkan langkahku kembali ke gedung dekanat. Jarak dari gedung laboratorium ke gedung dekanat lumayan jauh sedang waktu jedaku semakin sempit.

Tisna menunggu di dalam mobilnya yang terparkir di depan gedung, model SUV warna merah dengan sticker kaca depan bertuliskan THINKING FAST BUT KEEP CALM. Kubuka pintu depan sebelah kiri lalu ambil duduk di sebelahnya, nafasku terengah-engah. Tisna memperhatikanku sambil tertawa sebelum mulai memutar kunci menghidupkan mesin. Sejurus kamudian kami meluncur menyusuri jalan kampus. Tisna dengan lihainya kendalikan stir mobil, tancap gas dan ambil rute tercepat untuk sampai jalan raya.

Tak sampai 10 menit, kami telah berada di pintu tol. Senyum manis pegawai tol menyambut uluran uang dari Tisna. Segera ditutupnya kaca pintu mobil setelah uangnya diterima, kembali pegang stir dan tancap gas begitu palang pintu tol terbuka.

"Eh Nok, kamu tau nggak, penjaga tol yang shift malem itu nggak pernah pake bh lho...!" kataku.

"O ya ?!" jawab Tisna terbelalak. Ditolehnya aku sebentar lalu kembali sigap memandang ke depan.

"Iya, aku sering lihat".

"Lihat apanya ?"

"Ya bajunya lah, tepat bagian dada. Kelihatan jelas gak pake BH !"

"Ah, masak sih ? Perasaan kalau malem biasanya cowok deh setauku..."

"Lha iya makanya, mana ada cowok pakai BH ?!"

Tisna tampak berpikir sesaat, lalu tawanya lepas tak terkendali.

"Dasar kamu Ik !"

"Eh, aku dong yang mestinya bilang gitu !"

"Kok gitu ?"

"Lha ini, stiker gedhe di depan mata percuma kamu pasang di sini !" kataku sambil menunjuk sticker kaca depan mobilnya.

"Ah, bisa aja kamu ! Masih jengkel sama waktumu yang terpotong ya ?!"

"Enggak sayang..., mosok sih Aik jengkel sama kawan yang baik hati ?" jawabku merayu. Daripada diturunin di tengah tol ? Pikirku.

"Hiiiih....!" kata Tisna nyinyir sebibir-bibirnya.

"Eh iya Ik, kabarnya udah punya pacar ya ?"

"Kenapa nok ? Cemburu ya ?" candaku bikin dia tambah sewot.

"Ih ! Cemburu kok sama kamu !" katanya ketus.

"Lha kamu kan belum punya Nok, bisa aja dong diem-diem naksir aku...", jawabku tambah narsis.

"Emang kalau udah punya mesti disiar-siarin ?!"

"Kenapa sih Nok ? Lelaki macam apa yang kamu cari ?"

"Nggak ada ! Aku gak mau pacaran dulu, mau fokus studi dulu".

"Itulah yang bikin kamu lambat berpikir".

"Gara-gara nggak punya pacar ? Kesimpulan macam apa itu ? Huh !"

"Bukaaan sayaang..., karena terlalu serius. Terlalu studi oriented kamu, kadangkala justru bikin kamu malah jadi bodoh."

"Eh, jangan sembarangan ya ?! Nilaiku bagus-bagus aja..."

Aku tertawa mendengarnya, yang diketawain mulai mengernyitkan dahi.

"Jangan salah paham dulu dong... Kecerdasan itu bukan IQ saja, ada banyak macemnya. Dan kehidupan itu luas sekali, ada begitu banyak variabel keilmuan di jagad raya ini kawan".

Wajah Tisna kembali normal, tampak mulai tersungging senyumnya.

"Gitu ya Ik ? Iya juga sih... Sebetulnya kalau mau, aku malah gak sekedar pacaran Ik".

"O ya ? Udah ada calon suami rupanya ?!" seruku. Ganti aku yang kini terbelalak, Tisna mengangguk mengiyakan.

"Justru karena itulah aku pilih studi oriented."

"Maksudnya kamu dijodohin ma ortu ?"

"Iya, dan aku nggak suka !"

"Kenapa emang ? Kurang ganteng ? Apa kurang tajir ?"

"Sebaliknya Ik, yang dijodohin itu orangnya ganteng dan tajir. Jauhlah dibanding kamu !"

"Eh, sialan ! Membandingkan jangan langsung sama yang kontras dong, bertahap kek...! protesku gantian.

"Hahaha....!" tawa Tisna geli melihatku sewot.

"Iya, ma'af brother... Aku kalau keceplosan suka nyombong ya... ?!"

"Ya maklum sih..., orang kaya biasanya gitu emang", jawabku sambil melirik penuh sindir.

"Hahaha....! Jangan gitu ah, yang kaya kan ortuku, bukan aku !"

"Iya Nok, kamu emang beda. Aku salut sebenernya sama kamu, kaya tapi gak sungkan berteman sama kita-kita yang kekurangan."

"Jiah ! Kekurangan ?!"

"Maksudnya gak selalu ada kayak kamu. Aku aja nyampe mbela-mbelain kerja sambilan buat survive".

"Iya malah aku yang salut sama kalian, terutama sama kamu dan Novi yang masih bisa bagi waktu buat kerja part time. Kalau boleh tau, emang berapa sih Ik jatah bulanan kamu ?"

"Wah, wah...., mulai nyindir lagi nih ?"

"Eh, enggak...enggak ! Sensitif ya ? Iya deh, ma'af..."

Aku tertawa mendengar ungkapan penyesalan Tisna, geli tapi dibarengi rasa salut. Alangkah baik kawanku satu ini, tajir tapi jiwa solidaritasnya kuat, emansipatif dengan orang di sekitarnya.

"Nggak Nok, biasa aja, becanda doang tadi. Yang jelas, kalau ditambah kebutuhan untuk berpacaran bisa jadi minus Nok..."

"Gitu ya Ik ? Berarti aku mau pacaran, asal sama yang sudah mandiri !"

"Lha itu tadi yang dijodohin ortumu katanya orang tajir, gimana sih Nok ?!"

"Ya sama kayak aku Ik, yang tajir orang tuanya ! Dia nya sendiri aduh...., kekanak-kanakan banget ! Anak mami !"

"O..., gitu ya ? Itu alesan kamu menolaknya ?"

"Tuh pinter kamu..."

"Yeee...! Kumat lagi songongnya..." tukasku dengan sewot lagi.

Tisna tertawa lagi melihat mimik sewotku, diulurkan jabat tangan kanannya dan kutolak dengan tetap sewot, sengaja kubikin lebay kayak bencong lagi digodain. Tisna makin menjadi-jadi tawanya, lost control betul-betul. Aku sambil merenung juga sebetulnya, mungkin orang tajir itu sebetulnya lebih banyak masalahnya ketimbang kita yang pas-pasan hidupnya. Dan yang jelas, dia tak cukup kawan untuk bisa menghibur, kawan bersaing yang lebih banyak. Kalau ndak kuat jadi orang tajir mungkin repot juga, bisa konslet syaraf alias stress. Lihat saja ketawa Tisna yang super lost control, sepertinya banyak beban di isi kepalanya.

"Eh, Ik ! Katanya pacar kamu kuliahnya di peternakan ya ?"

"Iya, kenapa ?"

"Ajak main ke rumahku, ntar tak ajak jalan-jalan nengok kandang sapiku".

"Oh, boleh itu. Emang di mana lokasinya ?"

"Dari kampus kita, masih naik lagi sampai hampir di pos 1 pendakian kalian di gunung itu".

"Oke, nanti tak tawarin anaknya deh. Tapi ya mungkin gak terlalu menghiburnya Nok, tiap hari dia ketemu kandang ternak di kampusnya. Lagian, dia sebetulnya gak begitu minat dengan jurusannya. Kebetulan aja keterimanya di pilihan jurusan itu, jadi asal dijalanin aja kuliahnya."

"Tenang aja, pemandangannya indah kok... Kamu paksa aja atau kamu bo'ongin ! Sekali-kali nemenin aku kek...!"

"Lha emang kamu tiap hari nengokin kandang ?"

"Enggak sih, sebulan sekali paling".

"Sendirian ?"

"Ya kadang sama bokap"

"Emang ada berapa banyak sapinya Nok ?"

"Ah, nggak banyak, cuman 200 ekor..."

Glek ! Aku menelan ludah, takjub, belum bisa mbayangin aku. Sapi sebanyak itu gimana cara ngasih makannya ya ? Pikirku.

"Siapa nama pacarmu Ik ?"

"Restu".

"Nama jawa ya ? Apa artinya tuh ?"

"Iya nama jawa, artinya...mmm...ijin, atau lebih tepatnya pemberian ijin yang penuh ikhlas".

"Ridho' ?"

"Ah, iya kali ! Padanan bahasa arabnya kata itu."

"Emang kamu paham bahasa Arab Ik ?"

"Ah, enggak. Sering denger aja, itu kan kata yang umum dipakai, di sinetron-sinetron televisi kayaknya sering denger aku".

"Ya udah, bilang aja ke Restu, yang jadi teknisi kandangku itu Pak Seno, dosen seniornya dia. Siapa tau ada proyek penelitian dari Pak Seno, dia bisa ngikut buat bahan skripsi nanti kan ?"

"Iya iya, nanti aku bilangin. Eh, Nok ! Kamu ada foto kandangmu ? Aku jadi penasaran sama jumlah sebanyak itu..."

Tisna tersenyum, dibukanya dashboard di depanku dan mempersilahkanku mengambil sendiri album fotonya. Sepanjang jalan yang tersisa kunikmati dengan mengamati koleksi foto Tisna, ada satu yang membuatku terbelalak dan tertawa ngekek. Sebuah foto bergambar masa kecil Tisna dengan topi meingkar lebar sedang duduk di atas punggung kambing, bergaya bak koboy lengkap dengan pistol-pistolan tersemat di ikat pinggang yang melingkar di pinggangnya. Di belakangnya, tampak puluhan sapi sedang merumput di padang savana nan hijau dan luas.

Puasa Asmara

Selalu ada perasaan tidak terima ketika harus berpisah dengan Restu. Lalu oval wajah, rambut, alis, mata, hidung, bibir, senyum dan tawanya terus melekat di kepala sepanjang sisa hari, seperti tinta dalam bantalan stempel organisasi yang ditekankan menempel di atas kertas yang telah dibubuhi tanda tangan. Mengingatkan pada serial Kera Sakti, tepatnya pada quote dewa cinta yang dikutuk jadi siluman babi, kawannya Sun Go Kong yang bernama Cut Pat Kay itu. Dalam banyak segmen cerita dia sering berujar : "Begitulah cinta, deritanya tiada akhir..." Seolah tepat menyindir kondisiku saat ini bersama Restu, kalau berdua terus lama-lama ada kejenuhan, tapi untuk berpisah enggan. Andaipun sedang tak bersama, seolah tak berpisah, terkenang selalu dalam ingatan. Betapa sebetulnya menyakitkan yang namanya sedang dimabuk asmara itu.

Logikaku sebetulnya masih bisa berontak, jadi belumlah seperti kondisi Qois yang tergila-gila pada Layla dalam himpunan kisah 1001 malam yang populer itu. Aktivitasku yang beraneka ragam cukup bisa jadi pengalih perhatian sementara dari dihantui senyuman Restu. Yang merepotkan hanyalah saat sedang membaca atau menghafal, senyumnya seolah selingan iklan di televisi. Kadang durasinya panjang, kadang cuma sekedar lewat saja. Dan yang paling merepotkan adalah saat menjelang tidur, senyumnya itu seperti DVD film yang diputar dalam mode auto reply. Jadi, sesaat sebelum terlelap, wajahnya sedang berakting, begitu bangun tidur dia masih akting dalam tayangan ulang.

Terwujudnya keinginan kami untuk memiliki handphone itu juga makin membuat mabuk asmara ini bertambah parah. Bisa dibilang kami menjadi hampir tak punya waktu senggang. Tiap ada waktu senggang, kalau nggak gantian nelpon ya sms an. Sampai-sampai kami sering diprotes kawan-kawan dekat di kampus maupun di kost an. Kalau kupikir-pikir, ini lebih parah ketimbang di jaman SMA dulu. Padahal kegiatan kami sekarang ini cenderung lebih padat.

Siang ini, Restu ada bersama denganku di tempatku kerja. Duduk berdua kami berdampingan sejak jam 8 pagi tadi dalam kursi terpisah, di belakang meja operator yang di atasnya terpampang unit mesin fax, komputer dan printer. Hari ini hari Minggu, maka jadwal kerjaku di shift pagi, jam 8.00 sampai jam 15.00. Restu sendiri sedang tak punya jadwal apapun hari ini, karenanya semalem dia merengek minta ikut aku kerja, penasaran pengin tau bagaimana rasanya kerja part time katanya. Aku tak melarang, meskipun sedikit cemas kalau-kalau dia mengalami kejenuhan sebelum jam kerja berakhir. Dan dugaanku betul, ketika jam di dinding menunjuk pukul 10.20, dia tampak mulai gelisah.

"Iya kan..., udah gak betah kamu", kataku.

"Habisnya sepi sih..."

"Ya kalau hari Minggu ya begini ini, kan perkantoran dan toko-toko juga banyak yang libur..."

"Komputer juga nggak ada gamenya. Kamu kok tahan sih kerja begini mas ?"

Setelah genap satu semester berpacaran, Restu mulai mengajukan permintaan untuk memanggilku Mas. Katanya mulai sungkan untuk memanggilku dengan nama. Usut-punya usut, ibunya terpaut umur banyak dengan bapaknya, sehingga caranya bersikap dan berbicara kepada suami begitu sopan. Kota tempat tinggal orang tua Restu memang sangat kental dengan budaya Jawa kuno. Maka Restu maunya ngikut, memperlakukanku sebagaimana ibunya memperlakukan bapaknya. Untuk cara bersikap dan memanggilku dengan sebutan "Mas" kusetujui, tapi dalam hal berbicara memakai bahasa Jawa halus kutolak mentah-mentah. Juga tak kemudian membalas sebutan "Mas" nya itu dengan memanggilnya "Dik".

"Ya karena ada kamu", jawabku.

"Maksudku setiap harinya itu lho, bukan yang sekarang..."

"Lha iya, karena ada kamu", jawabku tetap.

"Maksudnya gimana sih ?" tanya Restu dengan tampang penasaran.

Aku tersenyum simpul sambil memutar otak, mencari kalimat yang tepat untuk bisa kasih penjelasan agar bisa dia mengerti.

"Mmmm..., kamu bener-bener nggak ngerti apa cuma pura-pura ?"

"Iiih..., gimana sih ? Kok malah balik nanya ?"

Aku tak menjawab, diam dan menatap kedua bola matanya yang lebar, bertahan menunggu jawabannya lebih dulu. Tak kusangka, dia malah tersenyum berlanjut ketawa kecil, geli. Gantian aku yang kemudian jadi bertampang penasaran.

"Ekspresimu yang datar itu tau nggak ? Unik dan ngangenin..." katanya sambil tersenyum dan menatap kedua bola mataku.

Mata kami saling beradu agak lama, senyum manisnya memancingku untuk tersenyum pula. Senyumku tak hanya senyum bahagia karena melihat senyumnya, juga karena menemukan ide kalimat untuk memberinya penjelasan.

"Nah, ketika kamu kangen, ada nggak muncul bayangan tentangku di benakmu ?" tanyaku mengawali kalimat penjelasan yang mulai terangkai.

"Ya iyalah...", jawab Restu.

"Terus, sewaktu bayanganku itu hadir, kamu ngerasa seolah aku ada di sampingmu nggak ? Kayak sekarang ini ?"

"Enggak..., makanya aku sering sms atau nelpon kan...?!" jawabnya polos, benar-benar polos - aku sudah hapal betul.

Tersenyumlah aku karena kini bisa ambil kesimpulan bahwa pertanyaan Restu di awal tadi itu serius, bukan pura-pura. Dan baru paham kalau ternyata aku ini lebih imajiner dibandingkan dia. Mungkin karena aku lebih seringnya mbaca karya sastra berbentuk roman, sedang dia lebih seringnya baca novel fiksi ilmiah.

"Kalau aku beda Res, kamu itu tiap saat serasa ada di sampingku. Itu yang membuatku semangat kerja dan betah sendirian di sini menunggu pelanggan".

"O...gitu maksudnya... Nggak sedang merayu kan ini ?"

"Ah, terserah kamu lah...!" jawabku agak sewot, dia tertawa.

"Iya iya..., aku cuman nggoda Mas...".

Dicubitnya lenganku pelan, mungkin karena gemes. Lalu diraihnya telapak tangan kananku, digenggamnya dengan tangan kirinya. Ditempelkan lengan atas sisi kirinya ke sisi kanan tubuhku, diletakkan kepalanya bersandar di bahu kananku. Begini ini nih yang makin nambah kondisiku dimabuk asmara, gumamku dalam hati. Seperti bumbu yang makin menambah lezatnya masakan, atau racikan saos penyedap tembakau rokok.

"Kosong mas ?" tanya suara di depan pintu, membuatku kaget setengah mati, demikian pula Restu. Seorang pelanggan ke 12 masuk begitu cepat, emak-emak kisaran 30 tahunan, tergesa-gesa untuk segera pakai telepon, mungkin penting sekali urusannya.

"E...eh, iya bu.... Silahkan !" jawabku sambil tersenyum malu dan garuk-garuk kepala.

Restu juga tampak tersipu malu, sontak diangkat lagi kepalanya yang beberapa saat tadi disandarkan di bahuku, dilepaskan genggaman tangannya dan dibetulkan lagi cara duduknya jadi lebih sopan. Emak-emak muda yang baru masuk itupun tersenyum geli melihat tingkah kami, sambil bergegas menuju KBU nomer 4. Layar monitor komputer di depan kamipun tak berapa lama menunjukkan angka nomer telepon yang dituju si pelanggan dan timer pencatat waktu yang mulai berjalan.

Quote:

Pembaca millenial tertawa ngekek kali ya membaca cerita ini. Ya beginilah gaya kami dulu, generasi yang terdidik ketat dengan ajaran jawa dari para tetua. Bermesraan seperti itu di tempat umum, kalau ada yang ngeliat bikin kami malu. Yang seperti itu sudah termasuk tabu dalam doktrin ajaran yang dijejalkan di kepala kami sejak kecil. Kecuali mungkin di taman-taman yang memang menyediakan bangku-bangku buat yang sedang pacaran.


"Eh, mas... Setuju nggak kalau kita mencoba sesuatu ?" tanya Restu.

"Apa tuh ?" jawab tanyaku, penasaran dengan kalimat yang tiba-tiba diucapkan Restu.

"Gimana kalau kita gak ketemuan seminggu ?"

Aku memandangnya dengan ekspresi heran. Ide macam apa apalagi nih ? Pikirku. Aneh-aneh aja memang ide Restu sepanjang satu semester ini kami berpacaran, ada yang kusepakati dan ada yang tidak.

"Nggak ketemuan langsung, nggak saling nelpon dan nggak saling sms-an. Gimana ?"

Aku garuk-garuk kepala, terdiam, belum bisa jawab. Otakku berproses secepat mungkin, mengakses probabilitas (kemungkinan) yang terjadi andai kujawab sepakat. Idenya kali ini rasanya sulit disepakati, tapi unik juga kalau dipikir-pikir. Tapi...

"Ntar dulu, sebelum kujawab, kamu coba jelaskan dulu tujuannya !" pintaku.

Restu tertawa kecil, geli melihatku yang mencoba memasang ekspresi datar tapi menampakkan kekhawatiran tersembunyi di baliknya. Restu sudah hafal betul rupanya setelah cukup lama mengenalku.

"Kenapa mas ? Curiga ya ? Justru dengan begini kita bisa saling menguji diri kita, sedalam apa kita saling mencintai satu sama lain", katanya, menyodorkan alasan.

"Semacam uji hipotesis gitu maksudmu ?"

"Mmm..., boleh, iya bisa dibilang gitu".

"Bener gak ada tujuan lain nih ?"

"Nah, kaaa..n ! Mesti curiga deh...!"

"Res..., kamu itu banyak yang ngincer, sedang aku tak ada yang kukejar. Apa adil ?"

"Emang iya ? Nggak lagi ngejar cewek lain ? Aku kan nggak tau... Sama kan berarti, aku juga bisa curiga".

"Kan kamu bisa tanya senior-seniorku yang satu kost sama kamu...?!"

"Kan mereka taunya pas di kampus aja, di luar kampus aku tau dari siapa ? Hayo....?!"

"Jadi selama ini kamu masih belum percaya sama aku ?!"

"Bukan begitu mas..., jangan melebar dulu dong konteksnya...! Kamu kan tadi nanya, adil apa nggak ? Kaitannya dengan pengetahuanmu bahwa aku banyak yang ngincer, berarti cenderung ke soal kecurigaan kaaa...n. Nah, aku coba membela diri dong..., kalau yang dipersoalkan tentang kecurigaan, logikanya, aku juga bisa saja curiga padamu. Berarti adil kan ?"

Mulai nih..., kalau sudah berargumen seperti ini, Restu itu seperti kesetanan. Bisa panjang dan lebar kalimatnya, kali tinggi bahkan ! Nggak salah petikan lirik lagunya Bang Iwan Fals yang : "kalau nona bicara, setan logika !" - "sedikit keras kepala, ah dasar betina !".

Aku mulai gak cuma garuk-garuk kepala, kujambak-jambak sendiri rambutku seperti biasa kalau lagi kalah argumen. Dan seperti yang sudah-sudah, Restu segera memukul pundakku dengan telapak tangannya. Khawatir kalau rambutku makin rontok katanya. Ya, adegan seperti ini berulang-ulang terjadi selama ini, hingga mirip dejavu bagiku.

Jeda sejenak aktivitas ngobrol kami, emak-emak muda terdengar membuka pintu KBU. Kami menoleh ke arahnya, memastikan bahwa kami tak salah dengar. Melangkah kemudian ia ke arah kami, membayar tagihan dan meminta print out yang baru saja tercetak. Restu menerima uangnya, memasukkan ke laci meja, ganti sekalian mencari uang kembalian lalu memberikannya pada si ibu pelanggan dengan sopan. Sedang aku menyobek kertas print out rangkap tiga dari mesin printer, yang satu kuberikan pada si ibu, satu lagi kuselipkan di buku catatan rekap dan yang terakhir kugabungkan dengan print out setanggal yang lain dalam ikatan karet gelang. Begitulah kesepakatan kerja kami hari ini, berbagi tugas melayani pelanggan.

"Yuk lanjut ! Sampai mana tadi ?" tanyaku menggoda.

"Iii...ih! Dasar pelupa !" sahut Restu gemes sambil meremas pundak kananku dan mengguncang pelan.

"Oke, kalau kamu bilang ini semacem uji hipotesa, parameternya apa nona manis ?" tanyaku sambil mencubit pelan hidungnya yang lebih mancung dariku.

"Ih ! Kok mulai jadi perayu sekarang ?"

"Kenapa ? Nggak suka ?"

"Mencurigakan !"

"Yee..., balik lagi ke situ deh...! Yo wis (ya sudah), monggo (silakan) ndoro putri (tuan putri) melanjutkan penjelasan..."

"Hahaha...., sama aja ngerayu !" seru restu sambil tertawa lepas. Berkali-kali pundakku dipukulinya sampai lumayan terasa.

"Udah dong..., ayo serius lagi kita !" katanya kemudian.

"E..., apa ya...? Indikatornya....mmm..., jangan disamakan dengan uji hipotesis deh...!" lanjutnya.

"Yah..., plin-plan !"

"Iya iya, aku ralat ! Maksudku dibikin asyik aja, jangan terlalu serius...!"

"Tuh, plin-plan lagi ! Tadi becanda di stop, ngajakin serius. Sekarang, jangan dibikin serius..., gimana sih ? Kamu sehat Res...?" kataku sambil menempelkan telapak tanganku di jidatnya, becanda.

"Ih !" teriaknya sambil menebas lenganku.

"Maksudku ide yang kuusulkan itu lho...! lanjutnya dengan nada meninggi.

"Iya, iya... Monggo, ndoro putri..."

"Hehe..., iya ideku itu buat asyik-asyikan aja. Maksudnya, kita beradu, siapa diantara kita yang lebih duluan gak kuat menahan rindu".

"Ooo..., gitu. Mmmm..., berat nih Res kayaknya..."

"Kan cuman seminggu, masak nggak kuat ?"

"Emang puasa, pakai kuat - nggak kuat..."

"Naaaaah..., itu ! Itu mungkin lebih pas jadi permisalan ideku ini. Dinamakan aja ya ideku ini : "puasa asmara" !" seru Restu, bagaikan seorang ilmuwan memecahkan misteri dalam penelitiannya.

"Maksudmu kita berlatih menahan nafsu gitu ?"

"Iya, nafsu untuk bertemu, baik secara langsung maupun via telepon".

"Gini aja, nggak usah pakai diperumpamakan puasa deh, terlalu religius. Lagian cuma seminggu aja, dan lokasi tinggal kita berdekatan. Terlalu murahan untuk dinamakan puasa. Kita jadikan aja waktu seminggu itu sebagai ajang perenungan, introspeksi diri...."

"Lha iya, kan sama. Puasa juga buat perenungan kan ? Dianjurkan supaya introspeksi diri sepanjang kita menjalaninya".

"Iya, tapi menurutku terlalu gimana ya...? Pokoknya nggak setuju aku kalau dibandingkan sama puasa !"

"Iya deh, manut (nurut) aja aku. Berarti setuju mas sama usulanku ?"

"Ntar dulu dong, tadi aku belum selesai ngomong udah kamu putus..."

"Iya, iya. Monggo (silakan) den bagus (tuan muda)...", kata restu gantian becanda.

"Mungkin selama kita intens ketemuan, banyak kawan yang merasa terabaikan. Kawan yang biasa kita perhatikan jadi kurang perhatian. Jadi seminggu itu kita pakai buat semacam penebusan atas kesalahan kita terhadap kawan-kawan yang selama ini terabaikan. Menurutku kalau tujuannya begitu lebih masuk akal".

"Bener juga sih buat kamu mas ya... Kawan-kawan dekatmu yang kukenal selama ini bener-bener baik deh, setia kawannya tinggi. Kalau kawan-kawanku sih kebanyakan cuek-cuek orangnya. Nggak banyak yang setia kawan."

"Ya mungkin iklim pergaulan di kampus kita beda, budayanya beda".

"Jadi gimana ? Setujukah ?"

"Okelah. Mau dimulai kapan ?"

"Kalau dimulai besok, keberatan nggak ?"

Tak segera kujawab, malah asyik kuperhatikan lingkaran hitam di kedua bola matanya. Beberapa hari yang lalu kubaca serial cerita detektif yang cukup populer di kalangan pelanggan persewaan buku di sekitar kampus. Di dalamnya aku tertarik tentang uji kejujuran dengan indikator pupil di kedua bola mata. Sang detektif diceritakan selalu mengamati dengan teliti lawan bicaranya, terutama saat sedang melakukan investigasi. Fokus pengamatan sang detektif saat menginvestigasi seseorang adalah pupil di kedua bola mata lawan bicara.

Terus terang saja memang aku masih menyimpan kecurigaan pada ide Restu, maka iseng aku mempraktekkan kebiasaan sang detektif itu siang ini. Sekalian menjawab rasa penasaran atas cerita sang detektif, apa sekedar imaginasi penulisnya atau memang sebuah fakta ilmiah.

Mantera Pemikat

Quote:

Wahai Layla...
Cinta telah membuatku lemah tak berdaya
Seperti anak hilang, jauh dari keluarga dan tidak memiliki apa-apa

Cinta laksana air yang menetes menimpa bebatuan
Cinta berlalu dan bebatuan itu akan hancur berkepingan
Berserak bagai kaca berpecahan

Begitulah cinta yang engkau bawa padaku
Dan kini telah hancur binasa hatiku
Hingga orang-orang memanggilku si gila yang suka merintih dan menangis pedih

Mereka mengatakan bahwa aku telah tersesat
Duhai, mana mungkin cinta akan menyesatkan

Jiwa mereka sebenarnya kering, laksana dedaunan
Diterpa panas mentari siang

Bagiku cinta adalah keindahan
Yang membuat mata tak bisa terpejam
Pemuda mana yang bisa selamat dari api cinta ?

Layla Majnun - Nizami Ganjavi

Kuletakkan buku yang baru sedikit terbaca di atas dadaku, sebuah buku boleh pinjam dari kawan kost Yuna yang religius. Aku sedang tiduran di atas kasur tanpa dipan yang tergelar di kamar kost berukuran 3 x 3 meter. Ada sebuah almari kuno sederhana tak berukir di dekat pintu kamar. Almari berpintu dua dengan cermin di salah satu pintunya. Di balik pintu terdapat papan gantungan baju, berbagai pakaian mulai dari celana jeans, kemeja, jaket sampai dasi tergantung memenuhi tiap cantolan hingga tak bersisa. Di sudut dekat jendela kamar yang posisinya berlawanan dengan pintu, terdapat meja belajar yang ditumpangi satu set unit CPU dan monitor lengkap dengan printernya. Bidang meja yang tersisa dipenuhi tumpukan buku-buku, alat tulis dan berlembar-lembar kertas.

Aku masih belum bisa tidur, sedang Andi sedari tadi telah terlelap di sampingku. Ya, aku sedang berada di kost Andi, pacarnya Novi. Sudah 3 hari ini aku pindah tinggal sementara di situ, jadi "penumpang gelap". Mandi di situ, tidur di situ, makan juga di situ. Bukan karena apa, hanya demi menjalani komitmenku bersama Restu untuk tidak saling bertemu selama seminggu. Sebetulnya sih tak harus sampai mengungsi begini, toh aku dan dia tak tinggal dalam satu kost. Tapi karena terlalu dekat jaraknya, kupikir tidak sempurna nanti dalam menjalani komitmen. Terlalu besar peluang saling bertemu kalau masih tetap tinggal di kost an, sangat naif bagi kami yang sedang bersepakat buat tak saling jumpa.

Kulihat jam di dinding kamar bergambar lambang salah satu klub sepakbola Italy itu sudah menunjukkan pukul 01.33 wib, tapi mataku belum juga bisa terpejam. Padahal buku yang kubaca itu lumayan tebal, jadi sedikit terbaca yang kumaksud tadi ya sebetulnya sudah lumayan menghabiskan banyak lembar halaman. Buku dengan judul "Kisah 1001 Malam" tercetak pada hard cover nya.Dan sore hari tadi, aku sudah berlelah-lelah main sepak bola bersama kawan-kawan kost Andi di sebuah tanah bidang yang konturnya sedikit miring, berlokasi di belakang gedung Fakultas Kedokteran jurusan Psikologi. Karena konturnya yang sedikit miring itulah, kami biasa menyebut sebagai "lapangan miring".

Selama tiga hari kulalui masa pengungsianku di kost Andi, tiap malamnya selalu begini ini, susah buat mata ini bisa terpejam. Meskipun telah berganti suasana, tapi faktanya otak ini masih terpaku pada memikirkan Restu. Begitu sulit untuk menghapus sementara atau menyembunyikan bayangan wajahnya, tak semudah mensetting file di hardisk komputer yang cukup dengan mengaktifkan fungsi hidden file atau membuang ke recycle bin. Jika di kostan ku sendiri bayangan wajahnya bisa jadi pengantar tidur, di sini malah jadi pencegah tidur. Kayak zat kafein yang terkandung dalam kopi.

Segala kekhawatiran dan kecurigaan terus berputar-putar dalam otak, silih berganti menghasut pikiran hingga susah tidur. Maka seperti dua malam sebelumnya, kuputuskan untuk nongkrong saja di warung kucingan di dekat kost Andi yang minuman tehnya tersohor di area seputar kampus. Kuletakkan buku di kasur dan kutinggalkan kamar Andi, melangkah keluar jalan kaki menuju warung angkringan yang kami juluki "warung sebeh". Pasalnya, penjualnya yang sudah paruh baya dengan banyak uban di kepala itu memang panggilan populernya "sebeh" atau supaya agak terhormat dipanggil Pak Sebeh. Sebeh artinya mantera pemikat, bahasa jawanya demikian. Julukan itu muncul tanpa ku ketahui sejarah pastinya, cuman pernah denger dari orang kampung situ tentang kisah kesaktiannya mengobati anak warga kampung sekitar yang sedang sakit demam dengan mantera jawanya. Tapi "sebeh" itu bisa juga berarti bapak dalam bahasa tradisi setempat. Mangkanya kalau ada mahasiswa baru memanggilnya Pak Sebeh, bermaksud menghormatinya, kami yang sudah hafal tradisi setempat pasti ketawa.

Sesampaiku di warung Sebeh, segera kupesan segelas teh panas lalu ikut bergabung dengan rombongan kawan kost Yuna yang sudah lama kukenal. Sudah kuceritakan sebelumnya bahwa kost Yuna itu tetanggaan dengan kost Andi. Maka kedua kawan seangkatan ini, kawan-kawan kostnya pun kukenal dengan baik. Beberapa bahkan sangat akrab, seperti Edi yang sekarang ada di sebelahku bersama dua kawan kost barunya. Duduk bersila kami di atas tikar yang digelar di atas trotoar tepi jalan raya arah pulang dari lokasi kampus.

"Yuna rak melu (nggak ikut) Ed ? Wis turu po (sudah tidur apa) ?" tanyaku ke Edi.

"Iyo (iya) bro, lagi wae mapan (baru aja tiduran) tadi sewaktu tak ajak ke sini. Dia tolak ajakanku tadi, katanya sih besok ada kuliah pagi. Emang bener ?"

"Iya kalee..."

"Lho kan kalian semester ini sudah jarang ada kuliah ?"

"Iya untuk paket SKS (Sistem Kredit Semester) begitu, cuma sedikit. Tapi mungkin Yuna tambah mata kuliah yang perlu diulang karena nilainya jelek".

"O..., betul juga kali ya...".

"Lha awakmu (dirimu) nyahpo yahmene rung turu (ngapain jam segini belum tidur) Ho ?"

"Hehe..., biasa, revisi gambar..." jawab Edi sambil tertawa agak malu.

Edi ini mahasiswa D3 yang di luar kewajaran. Harusnya tahun kemarin dia sudah tamat pendidikan. Berhubung pernah ngalamin depresi berat akibat revisi gambar yang menumpuk, pihak manajemen kampusnya kasih dispensasi khusus buat dirinya seorang. Jurusan yang diambil adalah teknik perkapalan, tapi hobynya bukannya ke laut malahan mendaki gunung. Bersama Yuna cs., dia sering ekspedisi menakhlukkan puncak-puncak gunung di seantero pulau Jawa. Kawan-kawan kostnya sering menyindir Edi sebagai cucu Nabi Nuh yang tersesat, sedang aku kerap memanggilnya Laksamana Cheng Ho.

"Lha awakmu juga nyahpo rung turu ?" balas tanya Edi padaku.

"Biasa..., depresi !"

"Hah ! Sialan kamu !" serunya sambil memukul dada kananku pelan.

Aku terbatuk-batuk, pura-pura. Edi dan kedua kawannya tertawa terkekeh. Obrolan kami berlanjut sampai tinggal kami bedua, kalau Sebeh diikutkan dalam hitungan ya jadi bertiga. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Sebeh sudah menunjuk angka 03.15 wib, kutengok sembari memesan tambah minuman lagi dua gelas. Aku dan Edi sepakat untuk menghabiskan waktu hingga subuh, sekalian nemenin Sebeh, daripada ditemenin dedemit (hantu) lokal sebagaimana dia biasa bercerita.

"Beh, apa manteranya supaya cewek itu kanthil (nempel, gak bisa dipisah) sama kita ?" tanyaku ke Sebeh setengah berbisik di sampingnya, tapi karena sepinya suasana jelang subuh, Edi pun bisa mendengarnya.

"Ha o.., gampang kuwi (mudah itu ) Mas, main ke kontrakan nanti tak ajarin !" jawab Sebeh serius, padahal niatku cuman bercanda.

"Sip Beh ! jawabku sambil mengacungkan jempol.

"Jangan di bawah jam 12 siang, saya masih tidur. Antara jam 1 sampai jam 3, kalau sore saya sudah harus persiapan jualan..."

"Hahaha..., siyap Beh !"

"Kenopo rak saiki wae (kenapa nggak sekarang aja) sih Beh ?!" celetuk Edi.

"Ha o..., rak wangun (nggak wajar/kurang baik) tha Mas. Yen yahmene iki (kalau jam segini ini) okeh dhemit sing nguping (banyak hantu yang mencuri dengar) malah ciloko (malah celaka) !"

"Hahahaha.....!" tawaku kompak bersama Edi.

Memancing komentar-komentar Sebeh yang bicara dengan logat khas daerah asalnya, jadi hiburan tersendiri bagi kami para pelanggannya. Buatku sendiri malam ini, sungguh candaan ini betapa mengendorkan urat syaraf pusat kepala yang sedang terkontaminasi racun-racun asmara.

"Lha arep diparani po piye (lha mau ditemuin pa gimana) ?" tanya Edi, kami menyambung pembicaraan yang sejenak tertunda tadi.

"Rak sah (nggak perlu) lah Ho. Prinsipku bebas saja, aku bukan golongan orang yang possesif", jawabku.

"Lha udah bikin Restu sampai ketakutan gitu...?!"

"Lebih tepatnya bukan ketakutan sih..., sory, ku ralat, khawatir aja katanya".

Jadi ada cerita dari Restu tentang kawan cowok sekampusnya, beda jurusan, yang akhir-akhir ini getol ngejar-ngejar dia. Paling tak kenal menyerah dibanding para fans yang lainnya. Cuman si cowok ini terkenalnya playboy, bahkan Restu tau sendiri kalau dia sudah punya pacar. Restu berceritanya sudah jauh-jauh hari dan tidak terlalu sering. Sama seperti cerita-ceritanya tentang cowok-cowok lain yang baru seneng ngapelin dia atau meneleponnya sampai lama. Seperti seorang tentara bawahan, dia selalu lapor padaku tiap kali habis ada yang ngapelin atau nelepon. Dan aku seperti atasannya yang manggut-manggut saja tiap mendapat laporan. Berikutnya tinggal melanjutkan informasi ke "pasukan intelligent" yang kurekrut dari kawan-kawan dekat.

"Moderat aja bro, yang penting ada tanggung jawab menjaga", lanjut terangku ke Edi.

"Menjaga keselamatan ibu negara ? Haha..., iso wae kon (bisa aja kamu) ! Aku kok dadekke (aku kamu jadikan) Paspampres, asem tenan (sialan) !" tanggapnya.

"Wis tha (sudahlah), kurang berapa gambar lagi sih ? Tak kancani nggarap wis (tak temenin ngerjain)..."

"Gak usah, malah gak konsen aku yen dikancani (kalau ditemenin) !"

"Yo wis (ya sudah), butuh apa ? Pulpen gambar ? kertas kalkir ? ..."

"Rokok aja !"

"Oke, mau disponsori merk rokok apa ?"

"Hahaha...! Eh, tembakau kalau bisa !"

"Alaaahhh..., gampang kuwi (itu) ! Takpesenke si Agung, bapaknya kan juragan tembakau tuh...!"

"Wah, iya bro ! Boleh, boleh..."

Obrolan kita akhiri dengan kesepakatan tembakau orisinil terbaik dari daerah Agung. Sepertinya tak perlulah kujelaskan detil siapa Agung itu, hanya salah satu kawan sesama hobiis pendaki gunung. Puji-pujian di beberapa tempat ibadah sudah mulai bersahut-sahutan, tanda mau masuk waktu subuh. Kami selesaikan minuman teh khas Sebeh yang masih tersisa sampai tetes terakhir seperti biasa. Nikmatnya rasa teh Sebeh ini bagi kami berdua terlalu mubazir untuk di sia-siakan, sudah kadung nyandu di lidah. Sebeh sendiri juga tampak tengah beberes, kami bantu menggulung tikar-tikar yang tergelar di beberapa titik sebelum berhitung bayar dan berpamitan. Edi lebih dulu berpamitan, melangkah pulang segera untuk melanjutkan revisi gambarnya. Aku menyusul tak lama kemudian setelah terima uang kembalian, kutinggalkan Sebeh yang kembali sibuk beberes.

"Beh, ojo lali (jangan lupa) ! Mantera pemikat cewek biar nempel terus kayak perangko !" seruku sambil menoleh kembali ke arahnya, refleks saat sudah dapat sepuluh langkah berjalan.

"Woo..., beres Mas !" sahutnya serius dalam keluguan.

Candu Terbaik di Dunia

Sore ini rame banget pemakai wartel, dari semenjak ambil alih shift jaga dari Mas Andi. Bangku antrian di samping meja kerjaku nyampe penuh diduduki orang, kayak ruang tunggu praktek dokter. Lumayan sibuk aku mengumpulkan kertas-kertas print out supaya tidak tertukar sambil terus mengawasi 12 KBU yang baris berjajar saling berhadapan per 6 baris. Kalau ndak teliti dan cekatan di sini, bisa repot ntar ngitung tagihan pelanggan. Tiap pemakai KBU sebagian besar soalnya tampak menghubungi lebih dari 1 nomor tujuan.

Kondisi padat pelanggan seperti ini juga kerap dipakai kesempatan bagi pelanggan yang curang. Berpindah-pindah ruang KBU kadang tanpa sepengetahuan operator, saat membayar mereka lalu ingkari pemakaian KBU sebelumnya. Operator bisa nombok setoran kalau ndak teliti dan tegas. Jadi, bekerja sebagai operator wartel itu sebetulnya besar resikonya jika ada banyak KBU di dalamnya. Yah, sepadan juga sih dengan gajinya, sudah diperhitungkan sama pihak manajemen dengan teliti.

Kini yang nambah bikin repot adalah ditambahnya wartel dengan penjualan kartu perdana dan kartu gesek isi ulang pulsa. Aku kadangkala sampai kerepotan, melayani pengguna wartel plus melayani pembeli kartu perdana ataupun kartu gesek isi ulang, ditambah lagi kalau ada yang ngefax (kirim faxcimile). Tapi buatku ini sebuah tantangan, kujadikan sebagai latihan ketangkasan, mengasah ingatan serta ketelitian. Toh ketegangan itu biasa hanya berlangsung 2 - 3 jam dari durasi total 8 jam kerja. Dan berakhir dengan uang tambahan dari potongan rekapitulasi total tagihan. Pelanggan yang baik hati biasanya tak mau ambil uang kembalian yang mereka anggap recehan, sepanjang durasi total jam kerja itu terkadang bisa terkumpul hingga 50 ribu rupiah. Belum lagi potongan resmi prosentase perhitungan total yang memang diberikan sebagai bonus langsung buat operator menurut kesepakatan di perjanjian kerja yang kutandatangani dulu di kantor pusat. Mangkanya jangan heran kalau dalam sebulan kerja aja aku udah bisa beli handphone baru yang harganya waktu itu sudah jatuh di kisaran 600 ribuan, dari yang sebelumnya di atas 1 jutaan. Dan hampir tiap hari aku bisa traktir kawan-kawan dengan sekedar camilan berupa gorengan atau makanan ringan kemasan.

Pukul 4 lebih 45 menit sore ini, baru aku bisa bernafas lega, tapi tetep tak boleh lengah. Jika siangnya ramai kayak gini, ntar malemnya juga biasanya padet pelanggan lagi antaranya jam 7 sampai jam 8 malam. Rasa lapar mulai kerasa lagi di perut setelah kesadaranku pulih, tak banyak bercabang pemikiran seperti sebelumnya. Naluri untuk memuaskan lapar dan dahagapun mendorongku untuk beranjak dari tempat duduk dan keluar sebentar memesan makanan dan minuman. Cukup dengan memberi isyarat tangan dari depan pintu kepada anak-anak Mbok Inah yang biasa mangkal di trotoar pertigaan lampu merah samping kiri wartel. Memintanya agar memesankan sepaket dagangan ibunya, satu porsi nasi koyor plus kerupuk dan es teh. Cukup menunggu tak sampai lima menit, biasanya paket makanan sudah diantar ke wartel.

Baru saja hendak kuangkat pantatku dari kursi kerja, telepon di atas meja berbunyi. Maka kuurungkan, khawatirnya itu telepon dari si bos di kantor pusat. Biasanya nanyain stok kartu perdana dan kartu gesek isi ulang, jika jumlahnya sudah di bawah 20 an, selepas maghrib biasanya sudah ada perugas kurir yang menyuplai dengan stok baru lagi.

"Sore, dengan Bimatel cabang Mataram di sini, ada yang bisa dibantu ?" tanyaku dengan kalimat standard yang diwajibkan perusahaan. Gagang telepon kutempelkan bagian speakernya ke telinga kananku, sedang bagian mikrofon menempel di sudut bibir.

"Hihihi..., mas...!" jawab suara dari speaker telepon. Suara khas yang beberapa hari ini telah menghilang.

Suara itu selalu saja membuat detak jantungku tiba-tiba berdegup kencang, perlu sekitar sepuluh detik untuk kembali normal. Normapun tak stabil, menguat-melemah tergantung topik pembicaraan. Sudah bisa ditebaklah itu suara siapa, takperlu kujelaskan.

"Lho ! Kayak pernah kenal nih suara...?!" jawabku dengan canda.

"Hahaha..., aku kaaangeee...een. Nyerah deh, aku ngaku kalah..."

"Heeemmm...., piye tha (gimana sih) Res..!" jawabku, kutata dengan intonasi yang lembut, sembari menguasai detak jantungku yang tak menentu.

"Iya iya, aku yang punya ide, aku juga yang ngelanggar kesepakatan. Tapi kamu seneng juga kan...?"

Aku tak tau harus bagaimana menjawab, senyumku mengembang total. Perasaan bahagia itu takbisa kusembunyikan, wajah dengan senyum manis berhias deretan gigi yang rapi Restu kembali membayang nyata di benakku. Seperti menonton layar televisi yang antenanya diganti, dari yang sebelumnya pakai antena duduk, sekarang pakai antena parabola, gambarnya lebih jelas dan tajam.

"Mas ! Kok diem sih...? Eh, lagi ada temennya ya ? Apa lagi ramai ? Aku ngganggu ya ?" tanya Restu beruntun gugup dengan nada tinggi lalu melemah. Itulah salah satu yang kusuka darinya, sopan dan tau kondisi serta menghargai privasi laki-laki.

"Enggak, nggak ! Lagi sendirian. Kebetulan sudah mulai sepi pelanggan, tadi ramai banget kayak pasar malem..."

"Yah..., capek dong kamu ?"

"Ya lumayan..."

"Mau dipijitin ?"

"Ndenger suaramu aja udah cukup, hilang udah capeknya".

"Ah, yang bener...? Jadi ilang capeknya apa malah jadi sebel...?"

"Lhah, kok gitu pertanyaannya ?"

"Ya barangkali aja jadi kehilangan kebebasanmu. Kamu kan biasa lonely coboy katanya, kayak si Lucky Luke..."

Lucky Luke adalah komik favoritku, cerita koboi yang menembak lebih cepat dari bayangannya sendiri itu biasa kupakai buat mengendorkan syaraf otakku pasca ujian di kampus. Beberapa kali Restu kuajak ke persewaan buku untuk meminjamnya lalu ikut-ikutan mbaca.

"Seandainya iya, terus kamu gimana ?"

"Eh, kok gitu ! Jadi bener nih ?!" balasnya agak sewot kedengeran nadanya.

"Seandainya non..., se - an - dai - nya", jelasku.

Maksudnya biar dia bertanggung jawab atas pertanyaan spontan yang nadanya terlalu optimis dengan prediksi tebakan jawabannya. Memang benar, jawabanku pastinya adalah : nggak, tapi sengaja kuputar balik dulu biar asyik.

"Seandainya benar kamu justru kehilangan kebebasan, aku..."

"Kamu mau melanjutkan komitmen sampai tuntas betul ? Masih ada sisa waktu dua hari lho..."

"Yah..., kan aku udah bilang tadi kalau aku nyerah...", katanya dengan nada sedih.

"Yo wis..., wis... (Ya sudah.., sudah...), jadi udah batal ya perjanjiannya..."

"Iyo (iya) mas, aku nggak tahan pengin cerita sesuatu".

"Ya kamu yang ke sini, aku kan nyampai jam 10 ntar baru bisa pulang..."

"Nggak bisa Mas, gak ada yang nganterin..."

"Ngapain dianterin ? Sendiri kan biisa !"

"Ah, ogah ah... Jauh ! Besok aja ya ketemunya ?"

"Lho, lha iya terserah kamu dong... Kan yang mau ketemu kaamu ?"

"O..., gitu yaaa...? Jadi kamu gak pengin ketemu nih..."

"Ya nggak gitu Res..., kalau kamu kalimatnya : besok aja ya ketemunya, kan seolah-olah aku yang minta..."

"Padahal ?" tanyanya memancing jawabku.

"Padahal kamu kan ?!" jawabku terpancing.

"Padahal kamu juga pengin kan ?"

"Iya juga sih..." kataku sambil garuk-garuk kepala dan sedikit mengumpat dalam hati karena masuk dalam perangkap retorikanya. Ungkapan jujur ingin juga bertemu yang coba kutahan akhirnya keluar juga. Sialan !

"Hihihi..., kena deh !"

"Sialan kamu !"

"Iiih..., kok mengumpat ? Pamali Mas, nggak baik ! Hih !"

"Iya iya..., ma'af".

"Masak pacarnya sendiri diumpat ?!"

"Iyaaaahhh..., ma'af !"

"Iya Mas, jujur aku pengin ke situ nemuin kamu. Berangkatnya sih masih bisa mbayangin, tapi pulangnya itu lho yang males. Kerjanya jangan jauh-jauh dong..."

"Kamu maunya gitu ?"

"Eh, jangan ! Jangan ! Ntar penghasilan kamu berkurang..."

"Ih, kamu ini ! Dulu kan udah pernah kita bahas ?"

"Iya iya..., aku cuman becanda".

"Eh, kamu nelpon di wartel mana ?"

"Yang di deket kost itu lah, biasa."

"Hapemu ke mana ?"

"Habis pulsanya, hehehe...!"

"Mau diisi ?"

"Eh, gak usah ! Gak usah !"

"Masih ada stok nih isi ulangnya..."

"Ii..iiiih ! Harus dijelasin gimana lagi sih Mas ?!"

Jadi, Restu itu tak pernah mau ditraktir selain makan. Itupun terkadang maksa gantian dia yang traktir. Dia berprinsip tak mau dikasihani orang lain. Lagipula, dia tau kondisiku yang sedang butuh banyak pengeluaran di semester ini. Dan aku tak bisa menahan ceritaku tentang kondisi orang tuaku yang perusahaan tempat kerjanya sedang gonjang-ganjing (tak menentu - hampir bangkrut).

"Pokoknya awas ya ! Kalau pulsaku diisi in, pulsamu juga kuisi in !" katanya mempertegas.

Begitulah prinsipnya dari awal, dan aku tak bisa tak sepakat. Pernah sekali ku isi pulsanya, tak berapa lama pulsaku juga di isinya. Ditambah sms yang bunyinya : "Silahkan kalau kamu mau boros, tapi jangan aku dijadikan alasannya ! Sekali lagi di isi, kita sudahi saja hubungan ini !" Coba, mana mungkin aku tidak menyepakatinya ?

Bisa jadi juga karena trauma masa lalunya dengan pacarnya sewaktu SMA dulu. Pacar Restu tergolong anak orang tajir (kaya), segala apa yang diinginkannya dengan mudah terpenuhi. Mungkin dulu dia terikat oleh pemberian-pemberian dari pacarnya itu hingga sulit terlepas walau sudah tak ada rasa. Tapi itu hanya dugaanku saja, aku tak berani bertanya, dan memang sudah janji untuk tak mengungkit masa lalunya dengan pertanyaan-pertanyaan menyelidik. Kecuali cerita dari inisiatif dia sendiri, ditambah keterangan dari Ica, tak ada lagi informasi tentang masa lalunya yang kudapat.

"Jangan sensitif gitu dong...! Oke, nggak bakal kuisi pulsanya, tapi apa salahnya aku kasih info stok jualanku ? Kan jadi tugasku juga buat nawarin produk perusahaanku ? Barangkali Nona mau beli...?"

"Hahaha...., iya ya ?! Tapi..., apa nggak sia-sia usahamu ? Orang di sini juga banyak yang jualan pulsa..."

"Ya, itu kan persoalan rejeki Non, udah ada yang ngatur. Banyak faktor alasan orang mau membeli sebuah produk, tak cuma karena jaraknya yang dekat, kedekatan rasa dengan si penjual juga bisa jadi faktor kok..."

"Hahaha..., iya iya, tapi ma'af ya Koh... Kedekatan rasaku ini tak boleh terkontaminasi dengan urusan bisnis !" jawab Restu tak terduga.

Aku ikut tertawa mendengar refleks becandanya yang cukup kreatif. Baru kali ini dia memanggilku dengan sebutan "Koh", aslinya sih "Koko", sebutan untuk pedagang Cina yang cowok.

"Iya bener juga kamu ya Res..., tinggal mutihin kulit dikit, udah kayak koko-koko aku ya...?!"

"Baru nyadar ?! Aku udah dari awal...hihihi..."

Kami terdiam sejenak, masing-masing kami sedang memikirkan kalimat-kalimat apalagi yang hendak dipakai biar ngobrolnya jadi asyik. Aku sendiri sambil mengurai kesadaran, perutku yang tadinya lapar kini tak terasa. Badan yang tadinya terasa capek, kini serasa ringan tanpa beban. Mungkin inilah yang dimaksud salah satu pelanggan wartelku, ngkong-ngkong yang sudah uzur yang dulu kala mudanya gemar main perempuan, kata dia wanita itu adalah candu terbaik di dunia ini, melebihi segala macam produk narkoba yang pernah dia konsumsi. Lalu selalu menutup obrolan dengan nasehat-nasehat dan petuah-petuah bijak tiongkoknya.

Pelanggan wartelku itu macem-macem, ada yang lucu, ada yang unik, ada yang pemarah, ada yang pelit, ada yang jahil, pokoknya macem-macemlah. Hampir semuanya sudah pernah kuceritakan ke Restu, dan kini aku belum nemu yang unik-unik lagi, habislah stok ceritaku maka aku terdiam.

"Res...", kataku mencoba mengawali.

"Mas..." kata Restu terpaut hanya sepersekian detik, boleh dikata tepat bersamaan dengan ucapanku.

Kami saling terdiam lagi, masing-masing menunggu, memberi kesempatan lawan bicara untuk melanjutkan kalimatnya lebih dulu. Adegan seperti ini juga biasa terjadi, hingga mirip seperti dejavu.

"Udah kamu duluan Res...!" kataku mempersilahkan.

"Nggak, kamu aja yang duluan...! jawabnya seperti yang sudah-sudah.

"Udah berapa rupiah tuh angka di indikator teleponnya ?" lanjutku akhirnya.

"A...ah, nggak usah dipikirin sih !"

"Widiiih, lagi banyak duit nih..."

"Lagi banyak duit kok nggak punya pulsa...! Nggak lah Mas..."

"Jangan boros lho !" kataku menasehati, menirukan caranya biasa mengingatkanku.

"Hahaha...! Nggak, udah aku jatah kok, masih ada waktu. Gayamu sok hemat Mas...!"

"Apa tadi ? Kamu mau cerita apa ?"

"Nggak mau ditelepon ah, kalau ketemuan langsung ajah...!"

"Ooo...ya udah, kalau kamu nggak bisa ke sini, berarti kita bisanya ketemuan besok. Aku besok cuma ada 2 jam kuliah, jam 10 nyampe jam 12. Kamu gimana ?"

"Hihihi..., akhirnya...!"

"Yeee..., jadi dari tadi diem nungguin aku duluan bikin janji temu ? Dasar..., curang !"

Tertawa puas Restu mendengar kalimatku, aku paham apa maksudnya. Sekalipun dia yang lebih dulu ngelanggar kesepakatan untuk saling tak bertemu, tapi sebisa mungkin jangan dia yang duluan menemui secara langsung. Bahkan janji temu pun kalau bisa jangan dia yang duluan mengawali.

"Aku pagi hari kosong, setelah jam 12 siang baru ada jadwal", jawabnya kemudian setelah reda tawanya.

"Oke, berarti aku pulang kost an malam ini".

"Eh iya, kemarin ngungsinya ke mana ?"

"Apa ceritanya nggak enak besok aja Res...?"

"Iya Mas, kamu ke tempatku kan ?"

"Itu dia Res, aku takutnya molor bangunnya kalau di kost an. Beberapa hari ini aku sudah begadang terus", jawabku.

"Kenapa ?"

"Mikirin kamu !".

"Ya Allah..., sampai segitunya ! Ma'af deh..."

Aku tak bisa bicara kalau nada bicaranya sudah mulai mengiba, meskipun betul dia penyebab masalahnya. Tapi tidak terlalu sering, boleh dibilang hampir tak ada masalah dalam hubungan kami. Tak pernah ada pertengkaran sedikitpun selama ini. Tak hanya Restu yang punya trauma masa lalu, akupun mengalami sedikit kemiripan dengannya. Mantan pacar kami waktu SMA sama-sama keras kepala, jadilah kami berdua kini bisa lebih saling mengerti, tidak saling memaksakan kehendak. Mudah berkompromi dengan argumen-argumen secara dewasa, tidak kekanak-kanakan, tak saling menyakiti.

Quote:

Jika kalian punya pengalaman buruk di masa sekarang ini, yakinlah bahwa semua itu adalah pembelajaran untuk menjadikanmu lebih baik di masa yang akan datang.

Selembar Testimoni

Sampailah pada bagian tersulit dalam menuliskan kisah asmaraku di masa lalu ini, ialah pada bagian-bagian akhir. Ibarat lukisan, kisah-kisah di segmen akhir itu tak bisa dituangkan dengan gaya naturalis ataupun gaya-gaya realis. Aku sempat menduga hasil akhirnya bisa mencapai gaya surealis, tapi tampaknya bukan demikian, melainkan abstrak. Apa sebab ? Sebab rincian detil gambarannya sudah begitu memudar dari ingatanku. Tinggal garis-garis besarnya saja yang tersisa, itupun terhapus di banyak bagian, samar-samar terlihatnya. Sehingga untuk menafsirkan tepatnya gambar apa, saking sedemikian banyaknya sudut pandang, membuatnya jadi multi tafsir.

Jujur saja, yang lekat dalam ingatanku hanya tinggal dua segmen saja, pertama adalah momen ketika aku berkenalan dengan mahasiswa pemburu Restu yang gigih, yang kini jadi suaminya. Dan yang ke dua adalah momen dimana kami memutuskan hubungan. Meskipun akulah memang yang sebetulnya memutuskan, tapi kurasa adalah sebuah kesepakatan bersama. Jika saja aku mau, bisa saja kurunut kembali potongan-potongan puzle sejarah dan menyusunnya lagi secara utuh. Bisa saja kuminta "Sang Diva" beserta semua saksi sejarah untuk turut serta menyumbangkan pemikirannya.Tapi semua usaha itu bakalan menguras banyak energi dan membuang waktu yang sudah makin terbatas ini.

Untuk itu, kusarankan pada para pembaca agar tak menganggap part - part terakhir ini nanti sebagai sebuah fakta yang obyektif, semuanya sangat subyektif, hanya dari sisi sudut pandangku seorang. Tak adil jika kalian membenarkan penilaian yang hanya bersifat sepihak.

Meskipun begitu, yang hendak kusuguhkan berikutnya lebih cenderung orisinil, tanpa poles sana-poles sini atau bisa dibilang lebih apa adanya. Uniknya lagi, kondisiku di waktu-waktu itu begitu mirip dengan kondisiku saat ini. Sama-sama berada di tapal batas kekuatan menghadapi realita kehidupan. Pada titik inilah sebuah absurditas itu terasa begitu nyata.

Betapapun imaginasi ini kukembangkan, toh tetap saja terjebak dalam frame data-data faktual yang tak bisa kuingkari. Sebaliknya, betapapun fakta itu kuburu hingga seilmiah mungkin, tak akan mampu menggambarkannya secara tepat, hingga pada akhirnya kembali menjadi imaginasi belaka. Sebagaimana teori struktur double helixnya DNA atau teori-teori model atom, tak mutlak benar, masih bisa disangkal sampai kapanpun.

Terimakasih bagi para pembaca yang masih setia mengikuti kisahku ini, selamat menikmati part penutup rangkaian cerita. Tapi kuingatkan agar jangan kecewa jika tak sesuai dengan yang kalian harapkan.

Selamat melanjutkan baca !

Dilematika Sebuah Predikat

Kost Yuna sedang sepi, mayoritas kawan-kawan kostnya lagi pada KKN (Kuliah Kerja Nyata), tersebar di luar kota. Ya, mayoritas kawan kost Yuna adalah mahasiswa satu angkatan di atas kami dan semester ini ada KKN dalam paket kurikulumnya, berlaku buat seluruh fakultas dan wajib diikuti. Hanya Yuna dan Edi yang satu angkatan, sedang dua lainnya adalah mahasiswa baru yang jadwal kuliahnya masih penuh seharian. Karena itulah pagi ini rumah kost tampak lengang. Edi masih tidur, Yuna mencuci pakaian di belakang dan Aku sendirian di ruang tamu menyambut pagi hari.

Secangkir kopi panas kubuat sendiri tadi, bersama sebungkus rokok di atas meja tamu menemaniku menikmati pagi. Jam di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 07.30 wib, tapi mentari pagi ini masih malu-malu menampakkan diri. Semalam turun hujan tak begitu deras, tapi durasinya panjang hingga tinggal tersisa gerimis selepas subuh. Kabut tipis yang menyelimuti pagi tadi pun meski kusibak bersama Restu. Berboncengan motor kuantar dia ke gedung transit, menyusul kawan-kawan seangkatannya yang berkumpul menunggu bis pariwisata menjemput. Semester ini, Restu bersama kawan-kawan sejurusannya ada kegiatan yang umum disebut sebagai KKL (Kuliah Kerja Lapangan) dalam kurikulum yang tak wajib diikuti. Menurutku sih nggak tepat sebutan itu karena sebetulnya tak lebih dari semacem kunjungan aja ke beberapa perusahaan untuk sekedar melakukan observasi. Usai mengantarnya tadi, aku males pulang ke kost, berakhirlah diriku nyanthol di kost Yuna dan berakhir menikmati kopi pagi sekarang ini.

Kuseruput kopi dan kuresapi betul nikmat rasanya, lalu kuhisap rokok kuat-kuat dan kubiarkan asapnya masuk paru-paru biar nikotinnya nyampur sama darah, ngimbangin caffeinnya kopi. Cara dudukku di kursipun kubikin serileks mungkin biar darah di tubuh ini sempurna mengalir nyampai ujung pembuluh, menghantar paduan coffein dan nikotin ke seluruh tubuh hingga berdifusi ke dalam sel-sel syaraf.

Berhubung nggak ada kawan ngobrol, kubiarkan aja pikiran ini bebas mengembara ke mana-mana, mulai dari menganalisa adanya kemungkinan tugas akademis yang belum kuselesaikan. Analisa seperti itu biasa kulakukan sesaat sebelum tidur malam atau sebangunnya dari tidur, berhubung semalam tubuhku capek banget hingga langsung tertidur sepulang kerja dan sebangunnya dari tidur langsung nganterin Restu, maka tak sempatlah kuberpikir sedikitpun.

Analisa kemungkinan adanya tunggakan tugas akademis clear, aman terkendali. Pengembaraan pikiranku berlanjut ke tanggungjawabku sebagai assisten praktikum (askum) salah satu mata kuliah, tampaknya clear juga tanpa masalah, tinggal sekali pertemuan dan post test aja - enteng. Soal organisasi sudah tak perlu kupikirkan terlalu rumit, dua bulan lalu udah selesai proses reorganisasi, udah ada sertijab (serah terima jabatan) kepengurusan, tak ada lagi tanggung jawab yang kini kuemban.

Lanjut tentang persoalan ekonomi, nah..., ini nih yang lumayan rumit. Berarti caraku menghisap rokok dan menikmati kopi yang lebay ini dipicu oleh sub pokok pikiran ini. Begitulah akhirnya kusimpulkan. Berawal dari telepon Bokap dua hari lalu yang menjelaskan bahwa perusahaan tempat kerjanya kini akhirnya benar-benar bangkrut. Berimbas pemangkasan separuh lebih jumlah karyawan dan pemangkasan gaji bagi karyawan yang masih aktif. Ibuku termasuk salah satu karyawan yang dirumahkan, sedang bapak mulai kini hanya akan dibayar 60 % dari gaji awal.

Atas penjelasan itu sebetulnya aku masih optimis, masih ada kakak sulung yang siap bantu meski tak akan bisa banyak karena karirnya sendiri belum bagus dengan gaji yang pas-pasan. Yang kemudian menjadikanku galau adalah permintaan beliau yang menuntutku agar lekas-lekas menyelesaikan kuliah, berhenti kerja part time agar lebih fokus belajar serta tidak dulu pacaran. Aku tak pernah cerita bahwa aku sedang pacaran, tapi tampaknya Bokap bisa menebaknya. Mungkin saja ada anak kawannya yang tau tentang ceritaku di sini, entah siapa kutak tau.

Seperti yang sudah-sudah, kupilih Yuna rencananya sebagai kawan berkeluh kesah, untuk sekedar jadi pendengar ataupun penyumbang ide solusi. Restu sendiri belum kubagi perihal masalahku ini, aku masih bingung gimana caranya ngomong. Aku tak ingin dia ikut pusing, juga masih tak rela berpisah. Kegalauanku masih bisa kusimpan dua hari kemarin, tapi hari ini tampaknya sudah tak tahan aku simpan sendirian. Obrolanku dengan Restu pagi tadi sembari menunggu bis jemputannya datang tentang schedulnya untuk semester mendatang, bikin aku teringat lagi permintaan Bokap yang dulu pernah memperhitungkan segala kegiatan akademis sampai lulus kuliah, berikut biaya yang diperlukan.

Detik itu pula bertambahlah kesadaranku tentang predikat "mahasiswa" yang kami sandang, predikat yang penuh konsekuensi dibalik segala kebebasan yang kami miliki. Dulu waktu masih SMA, aku iri jika melihat mereka yang sudah berpredikat mahasiswa, tapi kini, menghadapi tingkat kesulitan yang makin tinggi, pengin rasanya kembali SMA lagi. Meski tak banyak kebebasan, tapi tak banyak konsekuensi yang harus ditanggung. Gak perlu ngatur-ngatur jadwal karena udah pakem, gak perlu ngotak-atik keuangan karena makan tinggal ngambil dan gak perlu sewa kost. Rasa berhutang budi sama ortu makin terasa nampar kesadaran, betapaku udah ngerasa dewasa tapi nyatanya masih jauh, cuman beda tipis aja sama kanak-kanak.

"Woi ! Ngelamun wae kon (ngelamun aja kamu) !" seru Yuna sambil mendekatiku, menghentikan pengembaraan pikiranku.

Aku tertawa melihatnya, cuma pake celana pendek kolor bermotif bunga-bunga setinggi paha, tanpa baju. Tangan dan kakinya masih tampak lembab. Ada sedikit busa sabun cuci yang masih nempel di rambut tanpa disadarinya. Tanpa mempedulikan ketawaku, langsung diambilnya segelas kopiku di meja dan ikut nyeruput begitu saja tanpa bisa kucegah. Kemudian ikut ambil duduk di kursi ruang tamu yang posisinya berhadapan denganku.

Setelah kopi yang diambil, ganti sekarang sebungkus rokok dikeluarkan tiga batang isinya. Dua di selipkan di telinga kiri dan kanan, satu diselipkan di bibir dan dinyalakan. Bagaimana ketawaku gak makin menjadi-jadi ? Tinggal kasih coretan pensil hitam tepat di bawah hidungnya lalu disampirin serbet di bahunya, sudah menjelma sempurna dia jadi pelawak Srimulat ! Dan sempurna pula proses pengendoran syaraf tegangku pagi ini selain di bagian perut. Kaku perutku menahan tawa terpingkal-pingkal.

"Tumben-tumbenan kon isuk-isuk wis mrene (kok tumben kamu pagi-pagi udah kemari) ?" tanya Yuna padaku setelah agak mereda tawa.

"Lha iki (ini), ndelok (nonton) Srimulat...hahaha...", jawabku sambil kembali tertawa.

"Kon iki pencen (kamu ini emang), mrene mung pas stress thok (ke sini saban stress doang) !" jawabnya sewot.

Melihat muka Yuna yang sewot, kuhabiskan sisa tawa sambil menepuk-nepuk perutku yang kaku. Ini harus segera dihentikan, pikirku, kalau tidak malah bisa jadi sakit perut.

"Aku habis nganterin Restu tadi ke gedung transit, terus mau pulang kost kok males, jadinya mampir ke sini aja cari suasana lain".

"Lha iya, lagi stress kan kamu ? Piye (Gimana) ? Ada apa dengan pacarmu ?"

"Nggak ada apa-apa brother, rukun-rukun wae (aja), gak pernah berantem kok kita".

"Ah, kamu Ik...! Pacaran kok gak ada berantemnya ? Gak seru !"

"Kok bisa ?"

"Berantem itu bisa saling mendewasakan, saling tau perbedaan lalu berusaha saling memahami satu sama lain. Jangan cuma nyari persamaannya thok !"

"Yun, Restu jangan kamu samain ma si Mey pacarmu itu !"

"Ya jelas beda lah ! Cakepan si Mey dong...!"

"Sakkarepmu (semau mu aja) yen perkoro kui ( kalau soal itu), maksudku kalian berdua terlalu kontras, lain aku sama Restu. Ibarat sample penelitian, kalian terlalu jauh range perbedaan, kegedean faktor galat !" protesku.

Faktor galat yang kumaksud adalah faktor yang ikut mempengaruhi pengujian sebuah sample di luar kendali si peneliti. Seperti sering berlaku dalam hubungan Yuna dan Mey, ada saja masalah yang terjadi di luar kendali mereka berdua. Bahkan datangnya rasa saling suka pun di luar kendali ! Unik memang dua kawan seangkatan yang saling jatuh cinta sejak semester 2 itu. Cuman arah pulang kampungnya aja sama, dari jalur tengahnya Jawa Tengah menuju jalur selatan, lainnya itu kontras semua. Tapi salut juga sih, sepanjang berpacaran, mereka memang bisa saling bersabar lantas saling menyesuaikan diri membentuk kesamaan-kesamaan dari perbedaan yang ada. Contohnya si Mey yang akhirnya ikutan getol muncak gunung dari yang sebelumnya "anak manis" anti keluyuran. Sedang si Yuna jadi anak kost paling rajin cuci pakaian dari yang sebelumnya kalau ngerendem cucian ampe berminggu-minggu...

"Terus gimana sekarang hubunganmu ma si Mey ? Lagi nyambung lagi pa udah putus lagi...?" sindirku melanjutkan penyangkalan atas pendapat Yuna.

"Yo wis, yo wis (ya udah)..., rak perlu ngertilah awakmu (nggak perlu tau lah dirimu). Terus lagi punya masalah apa kamu ?"

"Biasalah..., lagi silang pendapat ma ortu", jawabku.

"Lho, kenapa ? Disuruh cepet lulus ? Halah ! Samalah kupikir, kita semua paling juga terima nasehat begituan..."

"Gak cuman kuwi Yun, disuruh berhenti kerja part time biar lebih fokus kuliah !"

"Hahaha..., ya udah, bohongin dijawab iya aja apa susahnya sih ? Mereka gak ngelihat juga kondisi kita di mari..."

"Terus tambah lagi, dilarang pacaran !" lanjutku.

"Lhah, selama ini kamu nggak pernah cerita kalau udah pacaran ?"

Aku menggeleng. Kuhisap lagi kuat-kuat rokok yang nyalanya tinggal seperdelapan bagian hingga mentok kena gabusnya, lalu kumatikan dengan menekan ujungnya di asbak. Asap terakhirnya membumbung di udara, seolah mengucap selamat tinggal lalu lenyap entah ke mana.

"Kamu pasti belum cerita sama Restu kan ? Terus sekarang bingung cari kalimat yang tepat buat ngawalin percakapan ? Terus ke sini mau cari ide ?"

Aku tak menjawab, hanya menatap kedua mata Yuna dengan sorot memelas. Dia emang udah hapal gelagatku sejak mulai akrab dulu di semester 3, setelah pernah satu tim dalam pendakian puncak gunung berapi dan beruntung terhindar dari malapetaka yang hampir menyambar nyawa.

"Hahaha...! Ide itu mahal bung... Sarapan dulu lah kita, yuk !"

"Ah, ide bagus ! Kon (kamu) sing ntraktir tha (yang ntraktir kan) ?" godaku, aku tau kalau itu musykil.

"Lho..lho..lho..., kon sing butuh ide kok aku yang ntraktir piye tha (gimana sih) ?"

"Lho, kan aku tamu ? Kau yang tuan rumah...?!" pancingku pakai niru logat Padangnya.

"Hahaha...! Tamu emang raja bung, tapi tuan rumah kali ini adalah ibu suri !"

"Ah, geblek !" kataku sewot.

Yuna tak menggubris umpatanku, segera beranjak dia dari duduknya menuju kamar berganti pakaian. Siulannya terdengar merdu, tanda hatinya sedang gembira. Aku senyum-senyum sendiri melihat tingkahnya, sekalipun agak dongkol tapi ikut bahagia denger siulan girangnya. Siulan Yuna kali ini sepenggalan lagu Sheila on 7, grup band idolanya semenjak SMA.

Quote:

Sebuah Kisah Klasik by Sheila on 7

Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi

Bersenang-senanglah,
kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan
di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah,
kar'na waktu ini yang 'kan kita banggakan di hari tua

Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan


Kanopi Kayu Putih

Pohon kayu putih itu paling besar diantara yang lainnya, mungkin sengaja tak diremajakan buat dijadiin icon wana wisata tempat kami berhari Minggu. Penduduk sekitar sini sendiri seringnya tak menyebutnya "kayu putih", melainkan "gelam". Pohon bernama latin Malaleuca leucadendra itu tampak gagah menjulang, daunnya yang mirip daun jambu karena memang tergolong suku Myrtaceae itu begitu rimbun, membentuk kanopi yang mengayomi lingkungan di sekitar batang pokoknya dalam radius cukup luas. Kesan teduh, sejuk dan nyaman akan dirasakan siapa saja yang berada di dekatnya. Makanya aku tak berpikir panjang lagi buat mempercepat laju motor ke situ, segera mengambil tempat biar nggak keduluan wisatawan lain. Agak jauh letaknya dari lokasi parkir dan pos jaga, tapi sudah tampak dari kejauhan saking besarnya ukuran pohon, lagipula posisinya berada di tepi jalur utama jalanan masuk wana wisata.

Restu yang membonceng di belakang memukul-mukul punggungku karena kaget gegara kutarik gas motor terlalu spontan dan kencang, aku mengaduh dan meminta ma'af tanpa mengurangi kecepatan. Omang yang berboncengan dengan Irin kutinggalkan karena masih berbasa-basi dengan petugas pos jaga, memberikan surat ijin resmi berikut menjelaskan proposal kegiatan Pe-A yang rencananya diadakan minggu depan di wana wisata ini. Jadi hari ini sebetulnya aku numpang kegiatan survei lokasi mereka berdua, kebetulan akhirnya Restu menyepakati setelah lumayan repot membujuknya.

Seperti pernah kukisahkan sebelumnya, dia tak begitu bisa menikmati alam bebas, apalagi petualangan. Kontras denganku, dia lebih menikmati taman yang teratur dan tertata rapi sekalipun tak begitu luas bahkan sempit sekalipun kayak di sudut interior rumah. Bagiku, taman yang sengaja diatur dan ditata itu justru sudah kehilangan nilai seninya, aku lebih suka taman alam yang tanamannya tumbuh liar dengan sendirinya, membentuk taman secara alami. Tapi pada dasarnya kami berdua sama-sama pecinta tanaman, kalau lagi cari suasana lain buat ngobrol berdua, selalu kami pilih tempat-tempat yang ada tanamannya, minimal tanaman hias dalam pot. Restu biasa memilih kafe sederhana dengan nuansa tanaman atau taman-taman kota dan kampus, sedang aku memilih wisata landscape seperti pantai atau wisata hutan, kalau toh yang ada tanamannya yang sengaja diatur, sekalian kupilih wisata perkebunan.

Sebetulnya aku memang butuh menceritakan segala permasalahan yang sedang kuhadapi sampai tuntas, makanya sengaja aku ijin kerja hari ini. Bahkan jika memang harus berakhir dengan putusnya ikatan hubungan pacaran, aku telah bersiap diri. Tapi aku tak mau niatku ini tertebak, karenanya kujaga senormal mungkin sikapku agar tak mengundang tanya. Asal kalian tau, perlu waktu hampir sebulan buatku mempersiapkan semua ini, setelah menghabiskan banyak waktu buat ngebaca buku-buku spiritual, psikologi, otobiografi para tokoh besar hingga nanggap cerita orang-orang yang udah berumah tangga yang punya kisah cinta unik di masa lalunya. Sampai akhirnya aku bisa setenang sekarang ini, lumayan serius usahaku sebelumnya.

Kuparkir motor di tepi jalan, keluar dari badan jalan di atas tanah berumput, berdiri disangga standard samping. Setelah kupastikan kokoh berdiri, segera kualihkan pandang ke Restu yang sudah lebih dulu turun dari boncengan. Tersenyum geli aku melihatnya menyandang carrier lengkap dengan matras tergulung di punggungnya. Setelan pakaian yang dikenakannya pun bermaksud menyesuaikan gaya anak Pe-A, atasannya kaos oblong dirangkepin baju lengan panjang yang kancingnya dibiarkan terlepas, sedang bawahannya sayang sekali celana jeans - bukan celana gunung dan alas kakinya sandal jepit rumahan yang warnya ngejreng. Aku tak begitu memperhatikan tadi sewaktu menjemputnya, sebab agak terburu-buru dipicu si Irin udah berkali-kali nelpon, baru sekarang kuamati dengan seksama.

Sampai dengan pengamatanku ke sandalnya itulah takbisa kutahan rasa geliku, merubah senyumku jadi tawa. Restu yang sedari kuamati udah salting (salah tingkah), ikut tertawa tapi berseling sewot. Kakinya dihentak-hentakkan, dilepasnya carrier dari punggungnya lalu dijatuhkan dengan jengkel.

"Eit...tet..tet..tet..! Jangan marah dong...! Kan kamu sendiri yang tadi nawarin diri mbawain tas, aku gak nyuruh lho ya...!" cegahku sia-sia, tas ransel itu sudah tergeletak di atas rerumputan.

"Iya habisnya...! Diketawain sih, aaahh...!" katanya dengan nada ngambek, kayak anak kecil nggak diturutin kemauannya.

Kuhampiri segera dan mengambil carrier itu sambil bergumam : "Kasihan kamu tas...tas, nggak salah tapi jadi korban...". Kulanjut dengan memondong tas itu sambil mengelus-elus, membuat Restu bener-bener ketawa dan hilang jengkelnya lihat becandaanku.

"Di sini aja ya kita ?!" tawarku.

"Iya, terserah...Kan kamu yang pilih tempat kali ini ?!"

"Yee... lagakmu berserah, kalau tak ajak ke semak-semak belakang situ, terserah juga...?"

"Ih, mau ngapain ?! Ogah !"

"Makanya...." kataku takselesai karena buru-buru dipotong Restu.

"Iya iya ! Udah, nggak usah dipanjangin sih mas mbahas ginian !"

"Kamu masih nggak ikhlas ya sama pilihan lokasi ini ? Apa kita batal aja, nggak jadi di sini ?"

"Eh, nggak...enggak ! Tuh kan..., malah gantian ngambek..., udah digelar aja matrasnya gih...!"

"Ngambek gimana maksudnya ? Justru aku tuh nggak mau kamu terpaksa..."

"Iya iya..., aku ngerti. Enggak, aku nggak ngambek soal lokasi, tapi karena kamu ketawain penampilanku..."

"Kan wajar Res, kamu nggak biasa tampil begini jadi terkesan culun, kalau aku geli...." kataku, lagi-lagi dipotongnya.

"Iya aku juga wajar kan mas ?! Ngambek sebagai perempuan karena penampilannya ditertawakan..."

"Iya deh, iya deh..., ma'af tuan putri" kataku sambil sedikit membungkukkan badan.

Restu tertawa, dicubitnya pipi kananku yang berlesung pipit. Dia sering gemes kalau ngeliat lesung pipitku ini, tapi apesnya justru malah sering kena cubit. Kulepas tali penahan matras pada tas, kuambil matrasnya lalu kugelar di bawah pohon kayu putih yang kaya manfaat itu. Kupersilahkan Restu lebih dulu duduk layaknya mempersilakan seorang putri raja, tapi ditariknya tanganku buru-buru agar duduk bareng. Jadilah kini kami berdua seperti biasa, duduk bersebelahan saling menempel dengan tangannya bergelayut pada lenganku.

"Eh, ini pohon kayu putih bukan ?" tanya restu baru menyadari setelah melihat batang pohon dari jarak dekat.

"Iya".

"Yang makanan panda itu bukan ?"

"Yup !"

"Waaah..., seandainya ada pandanya ya mas yah..."

"Kenapa ?"

"Lucu ! Aku seneng ngeliatnya, di rumah aku dan adikku punya banyak koleksi boneka panda".

"Ntar lagi dateng paling pandanya".

"Hah !? O ya...?" tanyanya.

Dengan penasaran Restu mendongak ke atas pohon, mengamati cabang batang hingga ke rantingnya. Aku tersenyum tapi segera kutahan biar nggak dulu ketahuan kalau berbohong. Restu rupanya bener-bener termakan bualanku, tampak celingak-celinguk mengamati dahan dan ranting pepohonan yang lain mencari-cari bentuk panda seperti dalam angannya. Seteliah sekian saat tak menemukan seekorpun, dia menoleh padaku. Tak tahan aku melihat tampang penasarannya, senyumku mengembang.

"Halah, bo'ong kamu ya mas ?!"

"Eh, beneran ! Tunggu aja sebentar, tadi ada sepasang di pos jaga, paling sekarang lagi ke sini..." tukasku mempertahankan kebohongan.

Tak berapa lama terdengar suara motor yang makin jelas tanda semakin dekat, lalu tampaklah Omang dan Irin berboncengan motor di kejauhan, makin lama makin jelas.

"Nah, tuh pandanya dateng !" kataku sambil menunjuk arah mereka.

Restu tertawa sejadi-jadinya sambil memukuli lenganku lalu mencubit keras, membuatku berteriak mengaduh.

"Cie cieee....! Seru Omang dan Irin kompak sesampainya di depan kami. Berdua segera turun dari motor, Omang memastikan motor terparkir dengan benar dan Irin segera menghampiri kami berdua dengan gaya khas riangnya.

"Eh, Mas Aik nakal apa Mbak ? Kok dicubitin gitu ?" tanya Irin dengan suara cemprengnya melihat adegan di depan mata. Tangan restu masih nempel mencubit lenganku, sedang aku meringis kesakitan.

"Ini nih ! Masak kalian dibilang panda ?!" kata Restu.

"Kenapa Mbak ? Panda kan lucu ?" tanya Irin lagi. Omang yang sudah mendekat hanya memperhatikan sambil tersenyum.

"Tuh, panda itu lucu, malah seneng kan mereka ?" kataku sambil mencoba menepis cubitan Restu. Dilepaslah kemudian lalu protes ke Irin.

"Ah, mentang-mentang seniornya di belain ya...!" katanya.

Irin hanya tersenyum sambil melirikku, carriernya diturunkan, dihunus gulungan matrasnya dan digelarnya di depan matras tempat kami duduk. Begitu pula Omang, sama kayak yang dilakuin Irin hingga kemudian tempat duduk yang tersedia makin luas. Irin segera ambil duduk, sedang Omang segera merebahkan badan, telungkup memenuhi selembar matras.

"Eh, kok malah tidur gimana sih Mang ? Tenda tuh didiriin...!" seru Irin sambil memukul pantat Omang.

"Ntar dong Rin, emang gak capek naik motor jauh...!" protes Omang.

"Iya nyantai aja sih Rin, orang masih pagi gini... Lagian ngapain pakai ngediriin tenda segala ?" kataku.

"Ntar kalau hujan Mas, kalian..." kata Irin terhenti dipotong Restu.

"Eh, kalau hujan kita berteduh di tenda Mas ?" tanyanya padaku.

"Hehe..., tenang aja Mbak, mana mau Mas Aik setenda ma cewek !" celetuk Irin sambil menatapku. Kubalas tatapannya dengan kedipan mata tanda terimakasih sebab udah mewakili jawabanku.

"Yang bener Rin ? Jangan ngebelain seniormu terus ya kamu !"

"Ih, swear Mbak Restu... !" tegas Irin sambil mengacungkan dua jari tangan kanannya.

Restu memandangku serius, tanda masih belum yakin dengan keterangan Irin. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

"Kamu jangan ngarang cerita Rin !" kataku kemudian ke Irin, sengaja biar jadi paradoks. Percuma menjelaskan sesuatu yang hanya bisa terbukti kebenarannya dengan menyaksikannya sendiri.

Irin hanya mengangkat kedua bahunya dan pandangannya menunduk, tandanya sudah mentok mau bilang gimana lagi. Dan betul kemudian, efek paradoks mengena di logika Restu, jadi berbalik yakin dia dengan penjelasan Irin. Tangannya kembali bergelayut di lenganku, membuatku makin campur aduk antara senang dan khawatir makin sulit melepasnya nanti. Kutahan sekuatnya perasaan ini, kuingat lagi petuah-petuah bijak tentang bagaimana tuk jadi orang yang berjiwa besar.

"Lagian langit kan dari tadi cerah Res, nggak bakalan deh kayaknya turun hujan..." ucapku kini melembut.

"Eh, belum tentu lo mas, bulan-bulan kayak gini suka berubah-ubah cuaca di sini", tukas Irin.

"Ya udah, kalian berdo'a aja semoga nggak hujan. Kamu bawa aja tendanya Rin, posisiku kan masih deket sama pos jaga pintu masuk, toh di situ juga banyak bangunan buat berteduh".

"Iya Mas".

"Mang ! Kamu kalau udah gampang capek mundur aja gih, gak usah jadi anak Pe-A !" kataku setengah membentak Omang.

Omang sontak bangun sambil ketawa kecil, duduk bersila kemudian dan membuka carriernya. Mengeluarkan perbekalan sarapan yang berupa roti basah, cokelat dan setermos kecil kopi panas. Aku juga kemudian meminta Restu membongkar tas, mengeluarkan perbekalan yang katanya udah disiapkan dari semalam dan baru tadi sebelum berangkat dimasukkan carrierku.

"Rin, kamu gak bawa perbekalan ?" tanya Restu menatap Irin yang pasif.

"Hehe..., itu yang dikeluarin Omang punya Irin mbak. Dia mah gitu Mbak, siap mbawain perbekalan siapa aja kerjaannya, aslinya mah numpang makan !" jawab Irin dengan logat sundanya sambil tertawa.

"Hah ?!" seru Restu kaget lalu ikutan tertawa.

Omang cuma senyam-senyum tanpa ada kesan malu, udah terbiasa dia dengan cibiran seperti itu. Sebetulnya Irin terlalu lebay ceritanya dan Restu menangkapnya serius. Aku sendiri tak menganggap itu perlu diluruskan, becandaan biasa anak-anak Pe-A, jadi kubiarkan saja.

"Terus tas kamu isinya apa tuh Rin ?" tanyaku gantian.

"Pakaian ganti, rain coat, ma perlengkapan masak Mas...", jawabnya.

"Nah, keluarin tuh alat masaknya ! Bikin kopi panas ya ?!" suruhku ke Irin.

Irin segera mengeluarkan portable stove sekalian tabung gasnya dari dalam carrier, lalu dirangkainya hingga mewujud kompor gas mini. Setelah di tes nyala, dia ambil set peralatan masak yang serba didesain praktis dan multifungsi. Restu yang melihatnya jadi tertarik, dilepas gelayutan tangannya untuk membantu Irin memasak air lalu menyentuh semua perlengkapan masak Irin dan mengamatinya dengan takjub, senang dengan ide kreatif si pembuatnya. Hampir semua peralatan itu bisa dilipat dan punya fungsi ganda. Aku sendiri kemudian ngebantuin Omang mengolesi roti basah dengan mentega dan selai.

Minggu pagi ini betul-betul berkesan bagiku, bersama kekasih dan dua adik angkatan di alam terbuka seolah keluarga kecil yang sedang liburan bersama. Cuaca yang cerah, kicauan burung yang merdu bersahutan, semilir angin yang membelai dedaunan, berbaur menyatu dengan canda tawa kami. Sesekali Restu menjerit bergidik karena beberapa serangga liar yang numpang lewat, disusul tawa geli Irin melihat gerak refleksnya. Aku dan Omang yang kaya perbendaharaan cerita humor bergantian menuturkannya, lalu suara tawa kami lepas riuh sedikit menggema, entah terpantulkan oleh apa.

Berkali-kali kulempar pandang ke Restu yang terlihat bahagia, membuatku lega karena tak seperti kemarin-kemarin, saat berada di lokasi alam bebas lainnya. Berarti aku tak salah pilih tempat. Dalam hati kuberharap, semoga tetap seperti itu saat nanti ditinggalkan Irin dan Omang melanjutkan tugas survei medan petualangan dan terus bertahan hingga sore nanti kutumpah-bagikan segala masalah yang sedang kuhadapi.

Kusapa pula pohon kayu putih itu dalam hati :

Quote:

Wahai sang kayu putih,
biarlah keteduhan kanopimu tak hanya lingkupi kami terlindung dari panasnya terik mentari,

tapi teduhi pula hati dan pikiran kami...

Sekali ini saja wahai kayu putih,
tak kan kuminta tuk kedua kali.

Benci Tuk Mencintai

Tak selang berapa lama Restu pun kembali, menuruni tangga penghubung lantai dua kostnya dengan ruang tamu ini. Headphone yang kupinjam tampak sudah dalam genggaman tangan kanannya. Aku sedang membutuhkannya buat ngedengerin rekaman seminar tadi pagi dengan lebih teliti. Pak Muh, dosen pembimbing PKL (Praktek Kerja Lapangan) ku meminta dibuatkan resume tertulis hasil seminar dimana beliau jadi salah satu keynote speaker nya. Ada beberapa bagian suaranya yang kurang bisa terdengar dengan jelas sehingga kuperlukan alat bantu dengar dan aplikasi audio khusus di komputer.

Raut wajah Restu kali ini tampak berubah tak seperti sedia kala, mengundang tanyaku. Setelah kembali duduk di sebelahku dan memberikan headphone miliknya padaku, tak bisa lagi kubendung rasa penasaranku.

"Kenapa Res ? Siapa tadi yang nelpon ?" tanyaku.

Kutanya begitu sebab kudengar samar-samar dia terima telepon saat di lantai 2 tadi. Kondisi di kost Restu sedang tak jauh beda dengan kost Yuna, lengang untuk beberapa bulan. Mayoritas kawan kostnya lagi pada KKN di luar kota, ya termasuk para seniorku yang tinggal di sini, makanya aku tau persis. Tinggal Restu, Eni yang penghuni baru dan satu lagi mahasiswi tertua yang tak pernah kuingat namanya karena ribet ngucapinnya. Lagipula orangnya terlalu introvert nyampe gak kelar-kelar kuliahnya.

"Temen Mas, mau ke sini katanya", jawab Restu.

"Temen apa fans...?!" godaku.

Restu tak menjawab, tersenyum sebentar tapi segera menegang lagi.

Sebentar kemudian terdengar suara motor berhenti di luar, gak kelihatan dari dalam karena terhalang pintu bersegmen ruang tamu yang cuma dibuka Restu satu segmen saja tadi.

"Sebentar ya Mas...", pamit Restu lanjut bangkit berdiri dan bergegas melangkah keluar ruang.

Kupastikan yang datang adalah kawan yang dimaksudkannya tadi nelepon. Kutunggu sambil menengok beberapa pesan masuk di hape yang belum sempat kubuka saat masih asyik ngobrol dengan restu. Rupanya ada 3 pesan dari tiga nomor berbeda. Satu pesan dari kakak sulungku yang mengkonfirmasi tentang pindah kerjaan dan domisilinya di Jakarta. Satu pesan lagi dari Ano yang pamit mau minjem motor, berarti sekarang paling udah dibawa kabur tuh motor. Terakhir dari Ica yang nyindir kegiatan ngapelku malam ini, paling Restu tadi yang ngasih tau. Kudengar memang dua kali tadi dia nerima telepon waktu kebetulan pas di lantai dua ngambilin headphone pesananku.

Belum selesai kubalas semua sms, Restu sudah masuk ruangan lagi dan duduk di sebelahku. Buku yang dibawanya saat masuk tadi diletakkan di sebelahnya. Lagunya kemudian ngintip kegiatanku mbales sms, padahal aku cuek-cuek aja karena tak ada yang perlu kusembunyikan.

"Hayoo..., dari siap hayo...?!" godanya.

"Dari sephia (istilah pacar gelap yang dipopulerin group band SO7)..." jawabku sekenanya.

"Iya Mas ?!"

"Yee..., nih ! Baca sendiri nih !" kataku sambil nyerahin hapeku padanya.

Diterimanya hapeku lalu dibacanya sekilas.

"Eh, kok Mbak Ica ?!"

"Iya, kamu kasih tau kan tadi ?"

"Hehe..., he-em, tadi nelpon dari tempatnya KKN. Minta tolong besok dipaketin sepatunya yang ketinggalan via pos ke alamatnya sana".

"Kok nggak kupingnya yang ketinggalan tuh anak...?!"

"Hahaha..., dia berangkatnya nyusul Mas, nggak bareng rombongan. Mberesin urusan nge-lab nya dulu katanya, makanya buru-buru banget kemarin. Jadi gak teliti ngemasin barang-barangnya..."

"O...iya, dia ngikut proyek penelitiannya dosen kayaknya. Lah, gimana sih si Ica ? Terus penelitiannya siapa yang ngurusin kelanjutannya ?"

"Nggak perlu, udah selesai katanya, udah dapet datanya. Diprosesnya ntar habis KKN".

"O...berarti dia cuman mberesin peralatan yang dipinjem sebelum berangkat KKN. Kamu kok kayak jubir (juru bicara) nya si Ica malah..."

"Ya gimana sih ? Orang temen sekamar, ya pasti dibagi ceritanya dong...!"

Kulirik buku yang ditaruh di sebelahnya itu, tampaknya buku catatan kuliah.

"Temen kamu ngembaliin buku itu tadi ?"

"Iya, kemarin dia pinjem. Halah, formalitas, biasa..."

"Tuh kan..., fans kamu berarti itu tadi".

Restu mengangguk sambil tersenyum malu-malu.

"Eh, gimana tadi ceritanya ? Lanjutin dong...!" katanya kemudian.

Jadi pembicaraan kita kemarin di wana wisata terputus gara-gara do'a tolak hujannya Restu ma Irin gak manjur. Terpaksa kuhentikan lalu kuajak dia pindah berteduh di teras perkantoran wana wisata di samping pos jaga pintu masuk. Sesampainya ternyata tak hanya kita berdua yang bakal berteduh, di situ sudah ada beberapa orang wisatawan yang berteduh. Salah satunya bule cewek dari Perancis yang kacamatanya setebal kaca TV. Kami berkenalan awalnya, tapi ternyata si bule yang kulitnya kayak tokek itu lumayan fasih berbahasa Indonesia, jadilah kemudian kami ngobrol lama berempat dengan seorang guide yang disewanya. Gagal total akhirnya semua rencanaku yang telah kususun rapi sebelumnya.

Nha hari ini, sebetulnya aku tak ada rencana, Restu sendiri yang memintaku melanjutkan cerita, sekalian nemenin dia yang kesepian di kostnya. Lagi berperan jadi operator telepon kost-kost an katanya. Aku sendiri sedang sibuk ngedit video hasil shooting seminar Pak Moh di lab sewaktu dia nelpon tadi. Kutinggal aja kerjaan isengnya Pak Moh yang gak diburu deadline itu sekalian ngambil headphone ke kost Restu.

"Segitu aja dulu deh Res ceritanya, disambung lagi besok-besok aja ya...?!"

Kusampaikan kalimat itu sambil memandang jam dinding di ruang tamu yang sudah menunjukkan jam 8 malam.

"Emang mau balik lagi ke kampus ?"

"Iya kayaknya".

"Kan nggak penting kerjaannya, ngapain buru-buru ?"

"Enggak, nggak buru-buru. Lagian motor dipinjem si Ano, tadi sms dia."

"Terus ? Kenapa nggak mau ngelanjutin cerita ?"

"Nggak cukup waktunya Res..., aku nyampe jam 9 aja rencananya. Tinggal ada waktu 1 jam, gak bakalan tuntas".

"Emang di lab ada siapa aja temennya ?"

"Lagi rame, lantai 1 sama 3 ada yang pakai malam ini buat penelitian. Cuma lantai 2 yang gelap-gulita tadi".

Kami saling diam kemudian, sudah kuminta dia agar gantian cerita dan dijawabnya dengan menggeleng. Sekarang malah asyik dia mengamati telapak tangan kananku yang dipegangnya dari tadi. Kugerakkan tangan kiriku membelai rambutnya yang terurai, kurapikan agar tak banyak yang menutupi wajahnya.

"Mas, aku mau nanya ya...?"

"Soal ramalan telapak tangan lagi ? Ogah ah !"

"Eh, enggaaaak..., bukan itu. Aku kan udah tau kamu gak suka ramalan."

"Ya udah, apa ?" tanyaku melembut.

"Kamu percaya takdir kan ?"

"Iya, percaya, sekalipun gak bisa dijadiin alasan untuk membahas hasil penelitian".

"Seandainya..., takdirmu berjodoh dengan orang yang kamu benci gimana Mas ?"

"Widiiih..., dalem amat pertanyaannya non...!"

"Ya kan kita udah dewasa ? Sudah menikah mungkin kalau saja nggak kuliah. Wajar kan ?"

"Iya, kamu udah cerita juga kalau beberapa temen masa kecilmu udah menikah".

Restu mengangguk-angguk dan menatapku dengan senyumannya. Dia tampaknya mencoba perhatikan perubahan gestur wajahku atas pertanyaannya dan menunggu jawabanku.

"Ntar Res..., kamu lagi dijodohin nih ceritanya ? Atau ada yang melamar lewat ortu gitu ?"

"Haha...! Enggaklah..., mana berani Bapakku Mas..."

"Iya, karaktermu dari kecil udah pemberontak, dan kamu sebenernya yang paling beliau sayang dibanding kakak dan adikmu".

Restu masih menatapku dengan senyumnya, tanda menunggu jawabanku. Tiba-tiba di luar terdengar suara helm nggelinding dan suara sandal diseret dua kali. Sepertinya ada orang di luar, di sebalik pintu ruang tamu, bukan suara orang yang sedang lewat. Biasanya kawan penghuni kost sini kalau yang dicari gak muncul-muncul kemudian akan duduk menunggu sambil jongkok di depan pintu itu menghadap ke jalan. Kalau anak-anak kampung sini nggak mungkin, gak ada yang berani nongkrong di situ, segan sama Bapak si empunya kost.

Kulihat jam di dinding masih nunjukin angka yang aman, masih dalam range jam bertamu, tak mungkin bapak kost. Penasaran aku udah mau berdiri, tapi buru-buru ditahan sama Restu. Dia yang kemudian berdiri dan melangkah keluar, melihat ada siapa sebenarnya. Terdengar pelan sekali dan samar, suara Restu tengah bercakap-cakap dengan seorang lelaki sebentar. Lalu kulihat dia kembali masuk dan menyusulku duduk, tapi wajahnya agak tegang, setegang waktu ada kawannya datang tadi mengembalikan buku.

"Siapa ?" tanyaku penasaran, tak segera dijawabnya, malah menunduk.

"Siapa Res ?" ulang tanyaku.

"Temen", jawabnya singkat lalu mencoba kembali tersenyum.

"Kok nggak disuruh masuk ?"

"Biarin ah...!"

"Fans kamu lagi ?"

Restu mengangguk dan pandangannya masih tetap menunduk.

"Suruh masuk aja biar kita kenalan, nggak papa Res..."

Diangkat wajahnya menatapku dengan pandangan yang sulit kuterjemahkan. Mungkin memastikan bahwa aku tak marah, atau mungkin...ah, entahlah ! Baru kali ini kulihat tatapannya yang seperti itu. Tak tahan aku ingin bangkit berdiri, tapi lagi-lagi ditahannya.

"Res..., nggak papa, aku malah gak suka lho kamu mengabaikan orang, apalagi temenmu sendiri. Kamu bilang temen kan tadi ?"

"Iya, tapi..."

"Seangkatan ?"

"Iya".

"Sekampus ?"

"Iya".

"Kok nggak nyariin kamu nengok ke dalem ?"

"Dia udah dari tadi Maaas..."

"Maksudnya ?"

"Ya dia itu temen yang ngembaliin buku ini tadi...", jelasnya sambil menunjuk buku catatan yang tergeletak di sampingnya.

Aku menghela nafas sambil menatapnya serius, dia juga sama sebaliknya, membalas tatapanku dengan serius. Kupegang telapak tangannya gantian, kugenggam agak kencang.

"Jadi di luar itu temen kamu yang tadi nelefon terus ke sini ngembaliin buku, oke. Kamu khawatir mempersilahkan masuk karena komitmen kita dari awal dulu, maksudku tentang ikrarku bahwa aku tak akan marah kalau ada yang ngapelin kamu asal tidak sedang kuapelin. Begitu kan ?"

Restu mengangguk dan tersenyum karena aku mulai paham tentang kegalauannya. Kubelai lembut rambutnya lalu kupegang lengan kirinya. Aku sendiri sebetulnya bimbang bagaimana harus bersikap karena toh sebentar lagi aku harus tegas mengakhiri hubungan kami.

"Ikrarku waktu dulu itu sekarang kupikir kayak kelakuan anak SMA aja Res, waktu itu kita sedang saling tergila-gila satu sama lain, lama mengalami kekosongan dan tiba-tiba saling mengisi. Setelah sekian lama kita berhubungan, mestinya kita sudah mengalami banyak proses pendewasaan berpikir. Betul nggak ?"

Restu mengangguk lagi, dia sabar mendengar kalau aku sudah serius bicara sok kebapakan begini. Entah sabar entah memang inilah bagian diriku yang paling dia suka dari sejak awal, bahkan sebelum kami berpacaran.

"Terus sekian lama ini kamu sudah mengenalku, mosok kamu masih belum bisa mbedain mana aku, mana mantan pacarmu yang arogan dan possesif itu ?"

Restu makin melebarkan senyumannya, tapi kini tak berani kutatap senyum itu berlama-lama, sejak kemarin bahkan. Mengkonsumsi candu senyumnya yang manis berhias deretan gigi yang rapi itu meski aku kurangi.

"Jadi, boleh kan aku menemuinya dan berkenalan ?"

"Iya tapi...."

"Tapi jangan berantem gitu ? Alasannya buat berantem apa Res...? Apa salahnya dia ? Aku nggak ngerasa dia ganggu kita dari tadi kok. Dia bisa aja berdehem atau bikin gaduh apa kek kalau memang berniat ngganggu," jelasku panjang lebar.

"Kamu gak curiga dengan suara helem nggelinding sama sandal diseret tadi Mas?" tanya Restu mencoba menguji pendirianku.

"Kesannya sih nggak sengaja kalau menurutku".

"Tapi kan akhirnya obrolan kita terputus, mengganggu juga kan berarti ?"

"Ah, sudahlah ! Kalau menduga-duga terus kapan bisa narik kesimpulan yang tepat Res ? Biar kutemui saja", kataku, kuikuti dengan melepas pegangan tanganku dan memutar badan lalu berdiri.

"Mas...!" seru Restu pelan sambil memegang tanganku bermaksud menahan.

"Aku percaya kamu nggak marah, tapi aku memang nggak suka sama dia...", lanjutnya.

"Maksudmu...? Bukannya semua fans yang pernah kamu ceritakan padaku itu nggak kamu suka juga ? Tapi kayaknya kamu nggak setega ini deh memperlakukan mereka....!?"

"Yang ini kebangetan Mas, bukan cuma nggak suka, tapi benci !"

"Jangan berlebihan..., nggak baik ! Masih inget kan pepatah Jawa : 'gething kuwi nyandhing'(benci yang keterlaluan itu bisa membuat kita justru semakin dekat dengan yang dibenci) ?"

"Iya sih..."

"Ya udah, lepasin dong...!"

Aku melangkah mendekat ke pintu tapi tak segera keluar, melainkan membuka gerendel yang menahan empat segmen pintu di bagian atas dan bawah, lalu kubuka lebar-lebar ke empat segmen pintu itu. Begitu pintu terbuka penuh, tampaknya laki-laki yang sekilas kulihat masih duduk di depan pintu kini sudah berdiri penuh pula.

Rupanya lelaki fans Restu ini bukan wajah baru lagi buatku, sering aku melihatnya saat berpapasan di jalanan kampus. Namanyapun sudah kukenal, dialah yang kukhawatirkan saat dulu menyepakati ide Restu yang dia namakan "puasa asmara" itu. Mahasiswa yang sekampus dengan Restu tapi beda jurusan ini pula yang kutitipkan ke Edi agar diawasi.

"Eri kan ?!" sapaku sambil menunjuk dadanya.

"Eh, iya...", jawabnya terkejut, kami belum pernah berkenalan sebelumnya.

Kuulurkan jabat tanganku dan langsung disambutnya dengan sopan. Posisi kami kini sejajar di luar ruangan. Sekali-kalinya bertemu, kesan yang kutangkap dia ini lumayan sopan. Senyum dan gerak setengah membungkukkan badannya bahkan sudah seperti orang Jawa, padahal kabarnya dia asli dari Sumatra bagian utara, beda sekali dengan gaya-gaya Yuna ataupun Ano.

"Kenapa nggak masuk aja dari tadi Er...?" tanyaku berbasa-basi akhirnya, batal beraksyen tegas.

"Hehe...", jawabannya hanya tawa ringan yang sopan.

"Silahkan masuk !" kataku mempersilahkan, lalu kualihkan pandangan ke arah Restu yang masih duduk di dalam.

Bangkit berdiri Restu akhirnya melihatku melotot padanya, tapi tampak canggung. Kualihkan lagi pandanganku ke arah jam dinding bermaksud memberi kode ke Restu. Tanggap dia, ditolehkan kepalanya dan ikutan melihat jam dinding.

"Kamu selesaikan aja dulu urusannya...", kata Eri.

"Hahaha..., kalau kamu bilang urusan, aku cuman minjem ini lho !" jelasku.

"Sudah ?"

"Ya kalau urusan sudah dari tadi selesainya. Kamu urusannya ngembaliin buku udah juga kan tadi ?" tanyaku kali ini tetap berbasa-basi dengan senyuman tapi tatapan mataku kupertegas, kayak bos mafia kalau lagi menggertak di film-film.

"Hehe...", jawab Eri lagi-lagi dengan tawa ringan dan gestur sopan.

Coba, tingkahnya yang begitu sopan itu mana mungkin bisa memancing kemarahanku ? Bahkan andai dia mahasiswa baru sekalipun. Akhirnya langkah tegas kuambil, berpamitan dengan Restu dan memberinya kesempatan bertamu yang tinggal setengah jam. Tapi diam-diam aku salut dengannya, hampir dua jam total waktunya bersabar menunggu jika kuhitung-hitung.

Di kemudian hari, dialah orang yang kumaksudkan di Part 1, suami resminya Restu. Dan pertanyaan Restu soal takdir tadi, belakangan hari baru kusadari kalau mengarahnya ke hubungan mereka berdua, setelah kudapatkan kabar menikahnya dari seorang kawan baik yang bekerja di Semarang.

Restoe Boemi

Baru separuh dari total seluruh barang yang berhasil diturunkan dari kontainer truk, tapi mereka berdua kulihat sudah kelelahan, maka kusarankan agar istirahat sejenak , lalu kuberikan selembar duit 120 ribu ke Mas NCip dan kunci motor. Dia udah paham kalau maksudku minta tolong dibelikan makanan dan minuman buat semua yang masih berada di kompleks pergudangan sini, baik yang memang sedang lembur ataupun yang masih asyik internetan, belum mau pulang.

"Sampeyan (Anda) nitip e opo' o (nitipnya apa) Pak ?" tanya Mas Ncip dengan logat Maduranya setelah terima duit dan kunci motor.

"Kopi wae (aja) aku Mas, bungkuske loro (dua) ya...?!" jawabku.

Seperti biasa, Mas Ncip nggak njawab apa-apa kalau disuruh, semacem "siap" atawa "oke" gitu nggak pernah terucap dari mulutnya. Jawabannya kalau disuruh cuma meringis lebar lanjut balik badan ngerjain perintah, selama perintahnya jelas. Kalau perintahnya kurang jelas, dia minta diterangkan dulu maksud perintahnya sampai paham, baru beraksi.

Seperti ini tadi, karena perintahnya gampang, ya langsung aja balik kanan ambil motor. Ngajak si Tikno, lalu segera melaju keluar kompleks pergudangan menuju jalan raya. Nggak pakai baju mereka berdua bawa motor itu, kaosnya ditinggal tergantung di pintu gudang. Maklum, keringatnya masih deras bercucuran setelah separuh barang dalam kontainer truk dikeluarkannya dengan kompak berdua.

Aku sendiri lanjut melangkah masuk lagi ke dalam kantor yang tak begitu luas, hanya seukuran kamar kost sewaktu masih kuliah dulu. Tapi ruang gudang di samping kantor yang juga jadi wilayah kekuasaanku sebagai HOW (Head of Warehouse) sangatlah luas, 25 x 40 meter persegi. Isinya tumpukan berkarton-karton produk industri dalam berbagai bentuk. Mulai produk konsumsi hingga peralatan rumah tangga yang semuanya berlisensi SNI. Kuatur rapi sesuai SOP (Standard Operating Procedure) perusahaan, terkelompok - berderet dan bersusun. Ragam jenis produknya saja kalau dihitung ada 600 item, masing-masing item jumlah stok berbeda-beda tergantung banyak-sedikit market demand.

Lanjut kuteliti invoice dan surat jalan yang dibawa si sopir truk yang baru masuk kompleks jam 7 malam tadi. Blackberry Message dari si boss udah "klunthang--klunthing" dari tadi nanyain hasil checking beserta foto-foto barang yang baru datang. Begini ini aktivitas kerjaan tetapku di sebuah perusahaan distributor besar untuk distrik area Jember - Banyuwangi. Jadi skill komputerkulah yang sebetulnya dibutuhkan oleh perusahaan, sedang semua wawasan ilmu pengetahuan yang kudapat di bangku kuliah, tak banyak terpakai. Pengalaman berorganisasi justru yang dominan bermanfaat buat kerja di sini, bagaimana aku harus lihai mengkoordinir kerja petugas gudang dan 8 armada pengiriman biar kompak dan semangat.

"Kriiiing...kriiiing...kriiiing...!" bunyi ringtone blackberry yang kusetting pilih mode dering pesawat telepon antik jaman doeloe.

"Malem boss...! Ada yang bisa dibantu ?" kujawab telepon setelah kulihat gambar si boss bergerak naik-turun di screen bb dan kusentuh tombol terima.

"Malam Pak Tri, gimana ? Udah turun semua barangnya ?" tanya si boss, menyebutku biasa dengan panggilan Pak Tri. Tak seorangpun di sini yang tau kalau panggilan kecilku adalah Aik.

"Baru separuh boss, sabar dikitlah..., anak-anak masih pada kecapean itu. Biar istirahat bentar lah...!"

"Nggak masalah selesainya mau kapan Pak, ada info dari orang dalem barusan kalau ada 40an karton jatah retur diikutin di situ. You telititi baik-baik ED (Expired Date) nya ! Suruh bawa balik sopirnya !"

"Wokeh, siyap bos !"

Beginilah di bagian gudang, rawan kecurangan, meski teliti betul kalau gak pengin kena potong gaji. Sejak awal ditempatkan sini, kulihat personel tim kerja di distrik area sini sudah professional, aku tak meragukannya. Belum pernah terjadi kesalahan ampe sekarang ini. Kuakui, orang Jember kinerjanya luar biasa dibanding distrik lain, kalau belum selesai betul kerjaannya suka gak mau pulang, nggak tenang katanya. Meskipun tak dihitung kerja lembur. Mungkin itu juga yang jadi alasan BI (Bank Indonesia) bikin salah satu cabangnya di sini, pikirku.

"Sama nanti you siap-siap buat besok ikut meeting ke Banyuwangi !"

"Lha kok, rubah jadwalnya boss ?!"

"Besok kita ketemuan sama owner-nya langsung, bukan manajernya, mumpung lagi di sini. Kita meski cepet-cepet sebelum dia balik lagi ke Bali !"

"Oh gitu ? Okelah ! Trus saya naik apa boss ?"

"Haiyah ! Jangan manja ! Ngikut aja armada yang kirim ke sana seperti biasa, ntar I samperin !"

"Uang sakunya boss ? Kan belum jadwal dianggarin...?!"

"Alaaahhh ! Gampang itu, besok dipikirin di Banyuwangi".

"Okelah kalau begitu !"

"Yes, oke, see ya tomorrow !" pamit si Boss langsung dimatiin teleponnya sebelum sempat kubalas.

Begitulah lagaknya, sok kebarat-baratan, padahal sekolahnya cuma nyampe SMP. Dia menang di pengalaman, terkenalnya di sini anak emasnya si boss besar, CEO perusahaan. Kerjaannya bolak-balik terbang Surabaya - Bali untuk urusan loby sama investor, makanya bahasa Inggrisnya lancar. Salut juga kalau denger ceritanya, belajarnya otodidak, gak pernah ikutan kursus.

Kami lanjutkan lembur pekerjaan sesuai tupoksi masing-masing malam ini, jam 11 malam baru total kelar semuanya. Sopir truk segera menutup pintu kontainer lalu ambil surat jalan yang telah kukoreksi dan kutandatangani lengkap dengan stempel perusahaan. Mas Ncip tampak menutup pintu gerbang ruang gudang dan menguncinya, lalu menyerahkan ke Kang Yayat, satpam jaga shift malam ini.

Truk kontainer panjang itu lalu sebentar kemudian melaju pelan di komando Kang Yayat dengan semangat '45 nya. Biasa, habis dapat cuan (uang tips) dia dari si sopir. Mas Ncip dan Tikno menyusul di belakangnya, boncengan sama Tikno yang masih tetep gak mau pakai kaosnya, disampirin di pundak kanan. Kuseruput kopi terakhir lalu kututup satu-persatu semua jendela aplikasi komputer di meja kerja, sampai yang terakhir jendela facebook kuhentikan niatku karena kulihat ada pemberitahuan inbox.

Satu pesan dari kawan baik di Semarang, alumni seangkatan kuliah dulu yang dapet suami satu daerah denganku. Daerah yang dijuluki Ahmad Dhani sebagai "kota seribu paranormal". Isi pesannya ngasih tanya kabar sama ngasih tau akun fb Restu yang baru. Di main page juga tampak nge-share foto Restu bersama anak perempuannya yang kira-kira berumur 5 tahunan.

"Waduh ! Ngapain juga nih anak kurang kerjaan...", gumamku pelan.

Aku senyum-senyum aja memperhatikan gambar di layar monitor itu, Restu kini udah emak-emak, pakai kerudung putih seputih deretan gigi yang menghiasi senyumnya. Yang kemudian ada di pikiranku adalah keheranan, ini mantan udah bertahun-tahun gak pernah ketemu, lha kok masih ngikut aja kabarnya keliling Jawa, dari Jawa Barat nyampe ke Jawa Timur. Sudah lupa jadi keinget lagi, lupa - keingetan lagi, begitu berkali-kali. Ada apakah gerangan ?

"Pak Tri masih sibuk aja...?!" tanya Kang Yayat mengejutkanku.

"Nggak Kang udah selesai kok..., yang lain udah pada pulang semua ?"

"Sudah".

"Yang di Principal ?"

"Pak Helly? Wah udah dari tadi pak nganterin SPG (Sales Promotion Girls) nya pulang."

"Cakep-cakep SPG nya Kang ?"

"Hot ! Hahaha...!" jawabnya sambil mengacungkan dua jempol.

Aku tersenyum aja ngeliatnya over kegirangan, paling tadi kenyang nggodain SPG. Ya begini ini kondisi di tempat kerjaku yang baru, namanya juga perusahaan distributor, seharian konsentrasi kita seputar stok barang, harga dan even-even promo yang selalu melibatkan SPG. Mereka akan jadi hiburan tersendiri bagi karyawan cowok di kompleks ini, hampir tiap hari.

"Dapat cuan berapa tadi kamu Kang ?"

"Hehe..., lumayan Pak Tri, 50 ribu !" jawabnya sambil mengeluarkan selembar duit dari saku seragam satpamnya dan memakerkannya.

"Tapi, dibagi tiga ini sama Ncip dan Tikno", lanjutnya.

"Ya udah, nih tak tambahin ! Tulung dibeliin kopi sama rokok !" kataku lanjut ngeluarin dompet lalu mengambil selembar 20 ribuan dan memberikan padanya.

"Siap Pak Tri ! Lhah, Bapak nggak pulang?"

"Weh, ngusir nih ?!"

"Ya bukan gitu Pak...hehe..."

"Mene (besok) aku nong (ke) Mbanyuwangi, diajak si Bos. Dadi gak enek gawean isuk ( jadi gak ada kerjaan pagi), takkancani jogo (taktemenin jaga) gudang kon (kamu) mbengi iki (malam ini)", jawabku pake logat daerah sini.

"Wah, siyap pak !" kata Kang Yayat girang sambil hormat gaya militer.

"Laksanakan !" kataku sambil membalas hormatnya.

Lantas kami tertawa bareng seperti biasa kalau habis bercanda model begitu. Kang Yayat segera beranjak jalan kaki menuju warung 24 jam yang letaknya tak jauh dari kompleks pergudangan ini. Nggak kutawari naik motor karena dia gak bisa naik motor, malah istrinya yang mahir pakai motor. Jadi Kang Yayat ini sering sampai ke sininya justru dianter sama istrinya diboncengin motor.

Jadi teringat lagi deh kenangan saat Restu maksa-maksa mboncengin pake motornya yang baru dibawa ke lokasi kost untuk mengantisipasi padat kesibukan di akhir semester ini dan berikutnya. Dia sungkan kalau sampai merepotkanku yang kebetulan sama-sama sibuk, sesuai paket kurikulum di jurusan kami masing-masing. Setelah naik membonceng di belakangnya, aku jadi canggung rasanya.

"Ntar, ntar....! Terus aku pegangan apa nih Res ?" godaku sebelum dia tarik gas.

"Pokoknya jangan pegang pinggang !" jawabnya.

"Kalau pegang perut ?"

"Iiii...iih ! Nggak boleh ! Pokoknya nggak boleh di titik-titik sensitif !"

"Ya udah, pegang pundak aja deh...!" kataku lalu memegang pundaknya dan kupijit-pijit pelan.

"Aaa...aaah...! Geliii..., nggak mau !" jeritnya tiba-tiba, membuatku kaget dan segera melepaskannya sambil tolah-toleh kiri kanan.

Tampak beberapa penduduk kampung yang memperhatikan kami dari kejauhan, suara teriakan Restu terlalu kenceng, aku yang akhirnya dibikin malu.

"Hush ! Jangan teriak-teriak gitu dong...!" seruku pelan.

"Hahaha..., habis..., geli Mas...!"

"Udah, tarik gas Mbakyu !" kataku sambil pegangan behel samping kiri-kanan jok motor bebeknya.

Tertawa lagi dia denger kupanggil "Mbakyu", panggilan untuk senior cewek di organisasi Pe-A jurusanku. Motor akhirnya melaju membawa kita berdua hingga ke jalan utama menuju kampus.

Kang Yayat yang sedari tadi melihatku senyum-senyum sendiri mengamati gambar di layar monitor akhirnya penasaran lalu kursinya dipindahkan dan ikutan duduk di sampingku.

"Siapa tuh Pak ?"

"Hihihi..., mbuh iki (nggak tau nih) Kang, ngikutin aja dari Jakarta ampe ke Jember...!"

"Maksudnya nyusul ke sini Pak ?"

"Bukan Kang, kabar beritanya aja yang ngikutin".

"Janda ya Pak ?"

"Hish ! Ngawur, ada suaminya tuh...!" jawabku lanjut kubukakan gallery foto utama pada akun fb Restu, lalu kutunjukkan foto yang ada sang suami bersamanya.

"Kok cuma sedikit fotonya Pak ?"

Kujawab dengan mengangkat kedua bahuku.

"Eh, Kang Yayat bisa pakai komputer kan kulihat kemarin ?"

"Hehe..., cuma facebook an aja Pak bisanya...

"Ya udah sini, tukeran...!" jawabku lanjut bangkit berdiri, bertukar tempat duduk dengan Kang Yayat.

Karena banyak nanya, akhirnya kubagikan saja kisah masa laluku itu dalam obrolan di sela-sela Kang Yayat buka-buka fb, bersama segelas kopi, dua bungkus rokok mild dan nasi jagung khas Jember yang dibelinya tadi. Tak banyak kubagi kisah yang kukenang, sebab niatku sebetulnya lebih buat mancing dia aja biar gantian cerita tentang kisah asmaranya yang denger-denger dari karyawan lain cukup unik. Dan usahaku berhasil, akhirnya Kang Yayat tuturkan kisah-kisah asmaranya yang menarik. Tak kusangka, nggak cuma satu-dua kisah, dia ini dulunya seorang petualang lokal dengan banyak kekasih, seru juga ndengerinnya. Rupanya pandai mendongeng dia ini, seperti seorang dalang yang membawakan lakon wayang hingga subuh menjelang.

"Pak Tri kenapa belum menikah juga ?" tanyanya setelah tuntas ceritanya.

Di luar terdengar suara puji-pujian di beberapa masjid tampak sudah mengalun. Kukecilkan volume mp3 player di komputer yang dari tadi memutar lagu-lagu osing banyuwangian.

"Mbuh (nggak tau) Kang..., belum ada yang ngeklik dari Jawa Barat ampe Jawa Timur sekarang ini...", jawabku sambil memijit-mijit belakang leherku sendiri. Gerak refleks tiap kali ada "pertanyaan wajib" seperti itu.

"Lha ini, temen-temen fb nya Pak Tri banyak yang cakep lho !"

"Hahaha..., kok sing nong (kok yang di) dunia maya, lha saben dino nong kene (lha tiap hari di sini) SPG ne (nya) rak yo ayu-ayu tah Kang (kan ya cantik-cantik)....?"

"Iya udah, dicobain aja Pak satu-satu !"

"Hahaha..., dicobain apanya Kang ?"

"Ya maksudnya, dipacarin gitu..., saling mempelajari dulu..."

"Ah, males pacaran aku wis (sudah) Kang !"

"Eh, bentar-bentar Pak...!" katanya lanjut memainkan mouse pad dengan masih agak kaku.

Dikliknya perintah kembali ke tampilan sebelumnya hingga akun Restu lagi lalu berhenti. Dibacanya nama profil lagi dengan teliti. Aku sendiri penasaran apa maksud Kang Yayat.

"Kawan Bapak yang kabarnya selalu ngikutin ini namanya Restu ya ?" tanyanya kemudian.

Aku mengangguk sekali ditanggapinya dengan mengangguk berkali-kali alias manggut-manggut.

"Opo'o (apa maksudmu) Kang ?"

"Ini ma'af-ma'af sebelumnya ya..., Bapak boleh percaya boleh tidak..." kata Kang Yayat merendah, gaya khas orang sini jika sudah menyangkut keyakinan masing-masing, bikin aku makin penasaran.

"Ada mitos ???" tanggapku segera, mengingat di distrik area sini denger-denger kaya sekali dengan mitos, terutama yang Banyuwangi.

"Mungkin perlambang itu Pak Tri...".

"Lambang opo' o...?"

"Pak Tri diperjalankan dari Jawa Barat hingga Jawa Timur itu mungkin untuk meminta "restu" leluhur bumi Jawa. Pak Tri mungkin di kehidupan sebelumnya banyak melakukan pengrusakan di bumi Jawa...", jelas Kang Yayat panjang lebar dan bikin aku tertegun.

"Wah, wah, wah...boleh juga nih Kang Yayat ! Ada lagunya tuh..."

"Hehehe...Ma'af ma'af lho Pak..hehe...", katanya dengan menelangkupkan kedua telapak tangan di dadanya.

"Eh, iya nggak papa Kang. Maksudku pendapat Kang Yayat bisa jadi bener, siapa tau ?!"

"Jangan diambil hati lho pak...hehe..."

"Daripada diambil hati mending diambil buat ide tulisan sticker truk Kang, gimana ?"

"Maksudnya ? Mau dipesenin sticker Pak ?"

"Iya, keponakanmu katanya bisnis cutting sticker kan ?! Pesenin buat delapan truk armada kita, tulisannya " R-E-S-T-O-E B-O-E-M-I, tempelin di bawah tulisan : District Area Jember-Banyuwangi !" suruhku.

"Hehehe..., bagus Pak !"

"Iya udah, sms atau telepon keponakanmu Kang. Aku tak pulang dulu, nanti balik ke sini jam-jam 10 an sesuai jadwal armada yang ke banyuwangi. Stikernya kalau bisa udah nempel, bisa nggak ?"

"Siyyap pak !" kata Kang Yayat girang sambil hormat gaya militer.

"Laksanakan !" kataku sambil membalas hormatnya.

Lantas kami tertawa bareng seperti biasa kalau habis bercanda model begitu. Kutinggalkan Kang Yayat yang berpatroli keliling sendirian, menyelesaikan sisa jam kerjanya yang tinggal beberapa saat sebelum pergantian shift petugas jaga.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah kontrakan, sembari kurenungkan pendapat Kang Yayat yang agak condong ke teori reinkarnasi itu. Otak-atik logika asyik berputar-putar di otakku, kutambah sekalian dengan memutar lagu favoritku sewaktu SMA dan mendengarkannya melalui earphone yang terhubung ke blackberry di kantong jaket. Sengaja kusempatkan browsing lagu di mbah Google dulu tadi, sebelum beranjak dari masjid.

Laku Dewa Ruci si Lucky Luke

Kupandangi patung di tengah taman di depan kamar hotel itu agak lama, diantara beberapa patung mulai yang di depan gerbang depan, inilah yang paling berkesan. Patung tokoh pewayangan Bima yang berdiri dengan gagahnya memegang kepala ular, tangan kirinya menahan rahang atas sedang yang kanan menahan rahang bawah. Sementara badan hingga ekor si ular melilit tubuhnya dari kaki hingga dada. Aksyen Bima seperti ini sangat familier bagiku sedari kecil, menggambarkan adegan perkelahian Bima dengan seekor ular dalam lakon pewayangan berjudul Dewa Ruci.

Kubilang paling berkesan karena selalu mengingatkanku pada nasehat-nasehat Bapak kala masih kuliah dulu. Menuntutku untuk bersikap tegas ambil keputusan mengakhiri hubunganku dengan Restu.

"Elingono lakon ndewo rucine Bimo (ingatlah perjalanan Bima dalam lakon Dewa Rucinya) !" kata Bapak dulu.

"Sing pundi (yang mana) Pak ?" tanyaku berpura-pura tak mengerti.

"Dalam menuntut ilmu, kamu harus patuh pada guru. Selain itu, kamu harus bisa melawan dirimu sendiri dari keinginan-keinginan yang melenakanmu dari fokus belajar. Ular yang diperangi Bima hingga akhirnya tahkluk dan berubah jadi kalung yang melingkar di lehernya itu adalah lambang godaan dari dalam dirimu sendiri, yang sering menuntunmu menuruti kesenangan-kesenangan yang melencengkanmu dari fokus belajar".

"Contohnya Pak ?"

"Ya termasuk kerja sampinganmu itu, ndak perlu itu ! Kamu kalau sudah kenal uang, lama-lama bakalan malas belajar".

"Nggak kok, asal bisa mbagi waktu ndak masalah ! Buktinya di transkrip nilai bisa bisa dapet nilai A", protesku.

"Iya ada yang A, tapi ada CD dan D juga. Terus yang E dulu itu sudah kamu ulang ?!"

"Ya, kalau itu kan sampun takjelaske (sudah takjelasin) dulu karena faktor dosen pengajarnya yang terlalu killer (istilah buat buat dosen yang takkenal kompromi) Pak..."

"Nah, itu ! Jangan membenci guru, apalagi melawan ! Bima itu patuh dan tunduk sama gurunya, Resi Drona, tak pernah banyak protes dan tanya, padahal sesungguhnya gurunya itu mencoba membuat Bima terbunuh dengan tugas-tugas yang diberikan..."

"Iya iya sudah hapal ceritanya Pak, tapi sekarang kan jaman keterbukaan, demokrasi dijunjung tinggi. Orde baru sudah runtuh ! Mahasiswa sekarang boleh kasih penilaian atas kinerja dosen yang kurang berkualitas", jelasku.

"Ojo nang (jangan nak) ! Ndak usah ikut-ikutan ! Percayalah, pegang teguh ajaran leluhurmu !" jawab Bapak bersikukuh.

Aku hanya bisa garuk-garuk kepala kalau sudah dibenturkan ajaran leluhur begitu, mau dihantam argumen bagaimanapun gak bakalan mempan.

"Kalau pacaran Pak ?" godaku, sudah bisa kutebak jawabannya.

"Apa lagi itu ! Ular yang dilawan Bima itu ular betina, sangat dekat untuk ditafsirkan sebagai godaan wanita."

"Ah, darimana taunya kalau itu ular betina Pak ?" protesku menggoda, biar tak terlalu tegang.

"Sabar nang, kalau sudah selesai kuliah dan sudah kerja, soal gampang itu nanti..."

Nah kalau nasehat yang terakhir ini jelas tak akan kuprotes, pasalnya selama sekolah dulu beliau memang takpernah berurusan dengan asmara. Om Harun, kawan sekolah sekaligus rekan kerjanya yang sering menceritakan padaku tentang masa mudanya, tak bercacat sedikitpun. Dapetnya nyokap juga pas udah kerja, itupun kisahnya tanpa pacaran - langsung menikah.

Sewaktu kuceritakan nasehat bokap ini ke Restu, aura keibuannya mendadak terpancar dengan jelas. Bahkan tampak lebih keibuan dia daripada tampang kebapakanku yang sudah terkenal. Malah dia tambahkan dengan pemikiran bijak yang dipegang jadi prinsipnya.

"Kalau dipikir-pikir kita ini memang masih jauh dari dewasa Mas. Kita masih sering tak bisa menahan diri dari gejolak keinginan yang menggebu. Padahal dewasa itu adalah ketika kita bisa menerima kenyataan, mengalami keadaan yang tidak kita inginkan", katanya panjang lebar, aku sampai takjub memandangnya waktu itu.

Sadar kalau kuperhatikan dengan tatapan serius begitu, buru-buru ditutupnya wajahku dengan telapak tangannya. Dia pikir aku sedang menggodanya.

"Aaa...aah, jangan gitu-gitu amat dong...!" serunya dengan nada khasnya kalau sedang malu.

"Eh, beneran lho Res ini... Aku takjub tadi melihatmu !"

"Halah ! Bo'ong ah...!" katanya masih takpercaya, raut keibuannya kembali memudar.

"Jadi gimana Res ? Kita sahabatan aja mulai sekarang ?!"

Restu tak segera menjawab, tawanya mereda tinggal tersisa senyum dikulum. Rona keibuannya kembali memancar, tapi aku was-was kalau berubah jadi kesedihan.

"Res...!" kataku lembut, kurapatkan lagi dudukku yang sedari tadi sengaja kujaga jarak.

Tiba-tiba kedua telapak tangannya ditutupkan ke wajah, membuatku merasa bersalah. Waduh ! Gawat nih kalau sampai nangis..., gumamku dalam hati. Kuraih lengannya, tapi begitu terpegang, ternyata buru-buru dilepasnya telangkup telapak tangan yang menutup wajahnya. Tersenyum simpul dia sambil menatapku, tak ada tanda matanya berkaca-kaca. Legalah aku akhirnya.

"Ma'af ya...", ucapku lembut.

"Jangan khawatir Mas, aku bisa menguasai diri sekarang. Nggak tau kalau nanti...", jawabnya.

Mendengar jawabannya, malah mataku yang kini berkaca-kaca tanpa kusadari. Restu menatapku dengan pandangan heran.

"Lha kok malah gantian kamu yang cengeng....!"

"Eh, enggak..., aduh...!" kataku salah tingkah sambil mengucek-ucek mataku.

"Kelilipan nih...!" lanjutku bercanda.

"Hahaha....!", tawa Restu tak kuduga, kuikuti juga dengan derai tawa.

Hingga kemudian tawa kami mereda, berlanjut kemudian dengan saling diam lama sekali. Duduk kami merenggang lagi, masih sejajar, tapi pandangan kami kosong menatap ke depan. Masing-masing kami mencoba menguasai diri, melawan gejolak kesedihan dalam hati. Ruang tamu kost Restu dengan dua bangku panjang, jam dinding, anak tangga dan pintunya yang bersegmen adalah saksi bisu jika masih seperti sediakala, belum direnovasi.

Sejak malam itu, hubungan kami berubah tak lebih dari sekedar sahabat. Berakhir baik-baik seperti yang kuharapkan, saling tegur sapa seperti sedia kala jika berpapasan, tentu dengan senyum-pandang yang menyimpan sejarah. Beberapa kali aku masih main ke kostnya sekedar bertukar pikiran atau karena dimintanya saat butuh kawan curhat atas kelakuan para fans nya. Saling telepon atau sms kadang-kadang masih berlangsung, setelah aku terpaksa pindah kost lagi karena kesulitan buat melupakannya. Hingga akhirnya lenyap sama sekali hubungan kami, terlelap dengan kesibukan-kesibukan studi sampai lulus dan sesudahnya. Menguap begitu saja !

"Pak Tri, mau ngikut keluar nggak ?" tanya Pak Nana, Supervisor Marketing yang turut serta diajak si boss ke Banyuwangi.

Buyar lamunanku, semua memori kembali tersimpan rapat di folder otak. Kali ini kutolak ajakan Pak Nana tak seperti biasanya, kusampaikan alasan sekenanya. Jari-jariku rasanya gatal pengin ngetik, menambahkan catatan harian di blog pribadi atau sekedar mengetik status di fb. Seperginya Pak Nana bersama satu rekan divisi markertingnya, kukeluarkan laptop dari tas dan mulai berselancar aku di jaringan internet dengan bantuan modem.

Quote:


Wejangan Bapak tentang laku dewa ruci Sang Bima itu masih kuingat, tapi sepertinya terlalu sempit jika hanya dimaksudkan untuk masa-masa menempuh jalur pendidikan saja. Di dunia kerja, bahkan si ular berevolusi dengan wujud lebih mengerikan. Kepalanya tak hanya satu, bercabang banyak dan semuanya berbisa mematikan. Jika dulu si ular itu Bapak bilang betina, di sini lambang ular itu malah berkepala pria berkumis lebat, banyak terpampang sebagai patung atau sekedar desain grafis.

Jika bukan restu yang mengiringiku, tentulah sudah remuk tubuhku ini tercabik-cabik oleh taringnya atau ditelannya mentah-mentah. Terimakasih atas restu Bapak dan Ibu yang selalu mengiringi perjalananku mencari banyu panguripan (air kehidupan) di negeri-negeri antah berantah, dari ujung kulon (barat) hingga ujung wetan (timur).

Wahai restu, tersenyumlah. Lihatlah diriku yang tak sedikitpun ada luka membekas.

Telah kupintakan pula ampunan Sang Hyang atas kisah yang pernah kita lalui bersama dalam keterbatasan pengetahuan tentang batas-batas murka-Nya. Di atas sajadah panjang tadi telah kupintakan pula perjumpaan, walau hanya dalam dimensi batin, sebab dimensi ruang dan waktu telah lama menghilang dari hadapan kita. Jalanilah takdirmu bersama mereka yang kau sayangi, dan biarkan kujalani takdirku sebagaimana si Lucky Luke yang menembak lebih cepat dari bayangannya sendiri itu. Akan kulanjutkan pengembaraan dalam kekosongan hati ini hingga ada yang kembali mengisi, setelah hanya dirimu seorang tuk yang terakhir kali.

Banyuwangi, 25 Oktober 2010

Epilog

Ibu masih terlelap saat kuambil air untuk membasuh wajah, tangan dan kakiku. Suara puji-pujian di masjid yang khas itu selalu mengingatkanku pada bulan-bulan Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya. Tak terasa, sudah delapan tahun kulewati bulan suci di tempat kelahiranku sendiri, di Pati, kota seribu paranormal versi Ahmad Dhani. Sebelumnya, bulan suci ini kuperingati di berbagai tempat yang masih di seputaran kawasan Pulau Jawa, hingga terbentur kondisi yang mengharuskanku pulang dan menghentikan petualangan. Tak pernah kusangka kalau akhirnya pulang kembali ke rumah, bahkan sejujurnya tak pernah kuharapkan.

Lega rasanya setelah akhirnya bisa menuntaskan cerpen ini meskipun molor dari jadwal. Harapanku sih sebelum puasa sudah terselesaikan biar bisa beribadah dengan tenang. Apa boleh buat jika mood menulis mendadak "mbolos" selama berhari-hari. TS sampaikan terimakasih kepada agan-aganwati yang setia mengikuti penulisan karya sederhana yang jauh dari sempurna ini hingga bisa naik HT. Dan ijinlah TS lalui sebulan ke depan dalam tenang.

Quote:

Special Thanks to :

Sang Pengasih dan Penyayang yang berkenan meminjamkan waktu dan kesehatan bagi TS hingga terselesaikannya cerpen yang boleh dibilang sebagai "pengakuan dosa tertulis" ini.

Kaskus atas wahana penyaluran hobby menulis.

Suami Restu, atas ijinnya. Peace bro, hidup tak lebih dari sekedar permainan dan senda-gurau belaka.

Yuna, atas segala pengalaman yang menjadi inspirasi, motivasi dan kritiknya.

Semua kawan alumni kuliah yang tak bisa TS sebutkan satu persatu.

Kawan baik di Semarang, atas informasinya tentang Restu.

Facebook, atas penyimpanan foto-foto kita semua.

Kuucap sekali salam sambil kutolehkan kepalaku ke kanan, lanjut sekali lagi salam sambil kutolehkan kepalaku ke kiri. Belum genap kembali kepala ini mengarah lurus lagi ke depan, kudengar suara samar-samar di belakangku. Kuputar sekalian badanku untuk memastikan suara apa gerangan itu. Tapi rupanya taknampak apapun walau telah kuperhatikan dengan seksama.

Yang mencuat kemudian malah bayangan Restu kembali, seolah berada di belakangku dalam balutan mukenanya. Seperti waktu dulu, di sebuah musholla kecil di tengah perkampungan kumuh dekat wartel tempatku kerja part time. Musholla yang punya sumur keramat di sampingnya, yang tak pernah kering dengan airnya yang jernih dan segar hingga sering diambilin orang kampung sekitar, kata mereka air sumurnya pada keruh tercemar.

Quote:

Rupanya kau masih mengikuti Res ? Tak kau restuikah jikalau ada yang menggantikanmu duduk di posisi itu ?

Pati, 8 Maret 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun