Mohon tunggu...
Dessy Try Bawono Aji
Dessy Try Bawono Aji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer Pemula

Pepatah bilang : life begin at forty, maka boleh dibilang saya ini sedang menjemput hidup. Dan karena masih lajang, bolehlah sekalian menjemput jodoh. Sebagai seorang lelaki berperawakan sedang dengan kulit sawo matang khas ras nusantara yang sedang gemar menulis, tentulah pantang menyerah untuk belajar dan terus belajar. Sebagaimana nenek moyangku yang seorang pelaut, kan kuarungi pula luasnya samudera. Samudera ilmu, samudera kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Tak Bisa Disalahkan

16 Juni 2019   01:46 Diperbarui: 19 Februari 2020   03:17 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber:https://paragram.id/berita/kata-kata-cinta-segitiga-ini-pasti-pas-buat-kamu-deh-4910)

Sejurus, Restu sadar akan kekeliruannya. Alih-alih hendak mengucap ma'af, mulutnya justru tak bisa berucap kata sedikitpun dan yang dilakukannya kemudian malah bersimpuh di bawahku dan menangis sejadi-jadinya. Kedua tangannya memegang celana jeans ku yang sisi kanan, tepat di bagian paha dan jidatnya ditempelkan di situ juga, di antara kedua cengkraman tangannya. Diremasnya kain celanaku sekuat dia menggenggam dan sedikit tarikan. Betapa aku tak bisa berbuat apa-apa, selain berusaha menenangkan diriku sendiri. Akhirnya kudiamkan saja semau dia. Lagipula, suara tangisnya tak begitu keras dan sat kutolah-toleh ke sekitar tak tampak ada yang melihat.

Aku sebetulnya paham apa maksudnya, dia ingin menyampaikan penyesalannya. Tapi kondisi psikisnya masih terbungkus ingatan akan trauma masa lalu, sehingga mulutnya tak bisa digerakkan. Akibat tamparan tadi, tak berani sedikitpun aku menyentuhnya, cuman manggil-manggil namanya dengan lembut ketika tangisnya sudah agak mereda dan genggaman tangannya di celana sudah melemah.

"Res...Restu..." panggilku lembut.

"Hemmm...", jawabnya masih dengan sesenggukan.

"Restu..., Wulan..., Rahmawati..., yang dipanggil tetep di sini, yang lainnya nyingkir !" kataku mencoba melucu.

"Bwuuufhhh...! bwuuufhhh...! bwuuuufh !", tiupku tiga kali di kepalanya seperti mbah dukun yang lagi nyembur pasiennya, biar tambah lucu.

Restu mulai tertawa, pelan tapi terputus-putus. Ditarik kepalanya dari menempel di pahaku, juga tangannya yang tadi mencengkram kain celana jeans ku. Dihapusnya air mata yang membasahi hingga ke pipi sambil mencoba tersenyum stabil, masih dengan kepala menunduk.

"Ha ! Ha ! Berhasil juga akhirnya kuusir roh-roh gentayangan yang merasukimu...", candaku lagi.

Kali ini betul-betul bisa membuatnya tersenyum lebar tampaknya. Merasa sudah stabil, diangkatlah kepalanya sampai mendongak dan menatapku. Ekspresinya tiba-tiba berubah drastis setelah menatapku, terkejut berlanjut cemas.

"Astaghfirullah...! Ya Allaaa....aaahhh !" serunya tiba-tiba, membuatku mengernyitkan dahi penuh tanya.

Cepat-cepat dia bangkit dari bersimpuh lalu duduk di sebelahku, menempel ketat. Diraihnya tas yang tergeletak di meja, dibuka dan dikeluarkannya sekotak kecil tissue kering. Diambilnya selembar tissue lalu diusap-usapkan pelan pada bibir bawah hingga daguku. Kuhentikan dengan memegang tangannya itu, kuamati tissue putih yang kini ternyata bercorak merah. Baru aku tersadar kalau bibirku berdarah. Kutatap tajam mata Restu dan sekejap tampak mulai berkaca-kaca lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun