Sejurus, Restu sadar akan kekeliruannya. Alih-alih hendak mengucap ma'af, mulutnya justru tak bisa berucap kata sedikitpun dan yang dilakukannya kemudian malah bersimpuh di bawahku dan menangis sejadi-jadinya. Kedua tangannya memegang celana jeans ku yang sisi kanan, tepat di bagian paha dan jidatnya ditempelkan di situ juga, di antara kedua cengkraman tangannya. Diremasnya kain celanaku sekuat dia menggenggam dan sedikit tarikan. Betapa aku tak bisa berbuat apa-apa, selain berusaha menenangkan diriku sendiri. Akhirnya kudiamkan saja semau dia. Lagipula, suara tangisnya tak begitu keras dan sat kutolah-toleh ke sekitar tak tampak ada yang melihat.
Aku sebetulnya paham apa maksudnya, dia ingin menyampaikan penyesalannya. Tapi kondisi psikisnya masih terbungkus ingatan akan trauma masa lalu, sehingga mulutnya tak bisa digerakkan. Akibat tamparan tadi, tak berani sedikitpun aku menyentuhnya, cuman manggil-manggil namanya dengan lembut ketika tangisnya sudah agak mereda dan genggaman tangannya di celana sudah melemah.
"Res...Restu..." panggilku lembut.
"Hemmm...", jawabnya masih dengan sesenggukan.
"Restu..., Wulan..., Rahmawati..., yang dipanggil tetep di sini, yang lainnya nyingkir !" kataku mencoba melucu.
"Bwuuufhhh...! bwuuufhhh...! bwuuuufh !", tiupku tiga kali di kepalanya seperti mbah dukun yang lagi nyembur pasiennya, biar tambah lucu.
Restu mulai tertawa, pelan tapi terputus-putus. Ditarik kepalanya dari menempel di pahaku, juga tangannya yang tadi mencengkram kain celana jeans ku. Dihapusnya air mata yang membasahi hingga ke pipi sambil mencoba tersenyum stabil, masih dengan kepala menunduk.
"Ha ! Ha ! Berhasil juga akhirnya kuusir roh-roh gentayangan yang merasukimu...", candaku lagi.
Kali ini betul-betul bisa membuatnya tersenyum lebar tampaknya. Merasa sudah stabil, diangkatlah kepalanya sampai mendongak dan menatapku. Ekspresinya tiba-tiba berubah drastis setelah menatapku, terkejut berlanjut cemas.
"Astaghfirullah...! Ya Allaaa....aaahhh !" serunya tiba-tiba, membuatku mengernyitkan dahi penuh tanya.
Cepat-cepat dia bangkit dari bersimpuh lalu duduk di sebelahku, menempel ketat. Diraihnya tas yang tergeletak di meja, dibuka dan dikeluarkannya sekotak kecil tissue kering. Diambilnya selembar tissue lalu diusap-usapkan pelan pada bibir bawah hingga daguku. Kuhentikan dengan memegang tangannya itu, kuamati tissue putih yang kini ternyata bercorak merah. Baru aku tersadar kalau bibirku berdarah. Kutatap tajam mata Restu dan sekejap tampak mulai berkaca-kaca lagi.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176