Mohon tunggu...
Dessy Try Bawono Aji
Dessy Try Bawono Aji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer Pemula

Pepatah bilang : life begin at forty, maka boleh dibilang saya ini sedang menjemput hidup. Dan karena masih lajang, bolehlah sekalian menjemput jodoh. Sebagai seorang lelaki berperawakan sedang dengan kulit sawo matang khas ras nusantara yang sedang gemar menulis, tentulah pantang menyerah untuk belajar dan terus belajar. Sebagaimana nenek moyangku yang seorang pelaut, kan kuarungi pula luasnya samudera. Samudera ilmu, samudera kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Tak Bisa Disalahkan

16 Juni 2019   01:46 Diperbarui: 19 Februari 2020   03:17 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber:https://paragram.id/berita/kata-kata-cinta-segitiga-ini-pasti-pas-buat-kamu-deh-4910)

"Kakak-kakak senior mohon tenang", kata Abdul menenangkan kami yang sudah siap dengan sandiwara kekerasan, kecuali aku. Aku tidak suka bersandiwara, aku lebih suka langsung "hajar" di luar acara seremonial seperti ini. Saat berpapasan di kampus, saat diminta bantu tugas praktikum atau saat di kantin.

"Adik yang menangis hentikan cengengnya, justru itu membuat kakak senior di sini makin membentakmu", kata Abdul gantian kepada para junior.

"Kalian tau kenapa?" tanyaku dengan mengambil posisi sebelah Abdul, menyelanya tanpa interupsi. "Sebab kalau kalian cengeng, kalian nantinya akan merepotkan kakak-kakakmu yang jadi asisten dosen atau asisten praktikum. Kami tidak mau punya adik cengeng, manja dan pemalas, tidak disiplin. Lebih baik ambil keputusan dari sekarang, lanjut kuliah bersama kami atau pindah saja ke kampus lain!" imbuhku kemudian dengan nada akhir kalimat kutinggikan.

Junior yang menangis menyeka air matanya dan menahan tangis dengan sesenggukan. Tampaknya dia mulai paham arti bentakan-bentakan kami dari semenjak awal masuk acara OSPEK. Aku puas, mendapat peran juga akhirnya dalam sandiwara itu.

Si komting dan lima kawannya kembali dikawal Ica dan Darwati yang rupanya menjadi askum mereka. Ica lalu mendekat menghampiri Abdul dan memberi penjelasan. Abdul mengangguk-angguk, sedang aku menatap Ica masih dengan muka serius. Kutarik badanku menjauhi mereka berdua, aku ambil peran untuk tidak bisa menerima negosiasi Ica, jadi kubiarkan mereka berdua. Ya, semua sandiwara ini sudah direncanakan sebelumnya. Sandiwara yang membebaskan improvisasi sebebasnya asalkan masih di alur "benang merah".

Abdulpun menyuruh kelima junior dan komtingnya kembali ke barisan dan melanjutkan penjelasan-penjelasan. Kami para senior yang lain mulai berangsur dari mengerumuni barisan dan berkumpul-bernaung di bawah lajur bangunan lahan parkir motor. Ada yang lalu ngerumpi, ngobrol atau masih mengamati barisan junior dari tempatnya. Ica mendekatiku, senyum-senyum menyapa. Aku paham artinya, tapi pura-pura bertanya.

"Piye (gimana) Ca?"

"Aku dong yang semestinya bertanya...", jawab Ica. Kami memang belum bertemu sejak malam dimana aku berkenalan dengan Restu.

Quote:

Mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana Ica bisa tau benang merah sandiwara yang kami jalankan sore ini? Tidak perlu semua panitia berkumpul untuk bikin skenario sandiwa seperti ini, cukup 1 - 2 orang saja yang bikin rencana, yang lain cukup disamperin (dijapri) saja termasuk Ica. Sudah menjadi budaya yang mengakar waktu itu, jadi otomatis pasti berjalan baik.

"Alah pura-pura kamu Ca, mosok Restu nggak cerita", bantahku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun