Rangkulan Ano makin dipererat, mulutnya kembali didekatkan ke telingaku lagi setelah sejenak tadi terlepas. "Gadis itu tadi kawan..., bagaimana sebetulnya? Ceritakanlah pada kawan kau ini!"
Kulirik jam tanganku, waktu tinggal 5 menit, biasanya aku sudah stanby di dalam ruang kuliah. Aku bimbang antara meladeni Ano atau segera berangkat. Kuambil keputusan cepat, kupilih untuk meladeninya, toh kalau kukebut juga sampai kampus bakalan telat. Aku terdorong rasa ingin tau pada keseriusan Ano terhadap urusan asmara, yang bagiku tak terlalu urgen buat dipikir. Juga rasa ingin tauku tentang Restu dari sudut pandang Ano si perayu wanita, playboy yang kutahu sudah 3 kali ganti pacar dari awal semester. Empat kali bahkan, termasuk mantan kekasihnya di kampung.
Kulepaskan rangkulan tangan Ano pelan-pelan lalu kugeser kursi tempatku duduk, agak serong biar bisa sedikit beradu muka dengannya. Otak sadarku sebetulnya berontak, sepenting apakah percakapan ini sampai harus korbankan waktu kuliah? Tapi bayangan senyum dan sikap Restu saat berpamitan tadi seolah mengganjal, mirip sederet barikade pasukan Brimob yang menahan laju demonstran lengkap dengan tameng dan pentungannya. Bayangan yang cukup kuat membuyarkan tiap detik waktu yang telah ku-schedule sedari malam.
"Kamu masih mau mengejarnya No'?" tanyaku mengejutkan Ano, sekaligus membuatnya menangkap informasi bahwa Restu sudah menceritakan kelakuannya di masa lalu.
"Nah! Ini baru masuk kau ke konteks..." jawab Ano sambil menggebrak meja, membuatku terkejut dan bertanya-tanya dalam hati. Jangan-jangan, Ano sebetulnya masih menaruh hati pada Restu? Sampai-sampai pagi ini dia ajak aku bicara serius empat mata.
"Tenang..., buat kau Ik, aku rela mengalah. Khusus buat kau!" jawab ano kali ini dengan nada rendah dan seulas senyum, tapi tatapan matanya garang. Seperti itulah yang kumaksudkan sebagai "meledak-ledak", tinggi rendahnya nada bicara Ano itu bisa silih berganti dalam tempo yang begitu cepat.
"Cangkemmu (mulutmu) No'!" kujawab sambil kudorong jidatnya dengan tiga ujung jari. Ano tertawa terbahak-bahak, girang rupanya dia dengan sandiwara singkatnya itu. Sandiwara yang dengan cepat dapat kutangkap sebab telah hapal bertahun-tahun.
"Yo wis ( ya sudah ), jadi gak ada masalah di antara kita brother", kataku kemudian sambil mengacungkan kepalan tinju ke Ano. Dia balas kepalan tinjuku dengan kepalan tinjunya pelan, melengkapi tanda kompak yang kuajukan.
Gerakan saling mempertemukan kepalan tangan seperti itu sudah populer di jamanku, demikian pula sebutan brother-hanya belum disingkat jadi bro saja.
"Terus setaumu, Restu itu kayak apa No'?" lanjutku.
"Beh! Kau tanya aku pula? Sudah tuli kau rupanya.Takdengar kau, aku berkali-kali menggodanya?"
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176