Ups! Kata-kata Dina terputus oleh telapak tangan Restu yang menutup mulutnya tiba-tiba. Tapi Dina masih berusaha memberi keterangan dengan menujuk-nunjuk ke barisan rak arah dia menoleh mencari kawan-kawannya tadi. Tak sia-sia usahanya, sebab aku segera tanggap mengerti maksudnya. Jadi yang disebut Anda adalah salah satu dari kawan mereka yang barengan tadi ke sininya. Kawan seangkatan dan se-tim praktikum sebagaimana tadi dijelaskan.
"Jadi kapan kalian nanti selesai praktikumnya ? Biar kutemui Anda nanti di kampus kalian", kataku datar dan tenang.
Restu makin menjadi-jadi kekhawatirannya, tangannya hendak memegang lenganku lagi. Buru-buru kutarik lenganku dari atas meja. Dipandangnya aku dengan tatapan memohon sambil tangan kanannya mencubit lengan Dina. Digeser badan Dina tapi sudah terlanjut tercubit kerja sama jari jempol dan jari telunjuk Restu. Dina merintih kesakitan dan buru-buru menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangan agar tak menimbulkan suara gaduh.
"Res...,wajar saja dong sikap si Anda itu, aku nggak marah. Kamu sendiri belum menjawab pertanyaanku soal keseriusan hubungan kita, nggak mungkinlah taksamperin si Anda terus tak ajak berkelahi...", jelasku atas kekhawatiran Restu.
"Jawabannya Aku nggak bisa Ik...", katanya lirih dan spontan, membuatku terkejut bukan main. Tubuhku yang memang sudah lelah, makin lemes aja rasanya. Wajahku makin menunduk sambil menghela nafas panjang. Melihat sikapku itu, Restu cepat-cepat mendekatkan mulutnya ke telinga Dina, lalu membisikkan sesuatu.
Dina tampak senyum-senyum mendengar bisikan Restu. Dikedipkan sebelah matanya ke arahku, membuatku bertanya-tanya. Sedang Restu menundukkan kepalanya dan tampak malu-malu.
"Restu nggak bisa Ik..., nggak bisa nolak katanya", jelas Dina kemudian.
Sontak badan ini serasa segar kembali, mataku berbinar. Tapi rasanya masih kurang yakin aku kalau bukan Restu sendiri yang mengucapkannya. Ngapain juga meski pakai perwakilan bicara kamu itu Res....Gumamku dalam hati.
"Begitu kan Res...?" tanyanya kemudian sambil merangkul sahabat di sampingnya.
Restu tak menjawab, malah menelangkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajah. Nafasnya dihela berkali-kali, tampaknya sedang berusaha menguasai diri. Aku dan Dina terus memperhatikannya dan hanya bisa diam menunggu.
Setelah cukup tenang, diturunkannya telapak tangan yang menutupi seluruh wajah tadi perlahan, tapi hanya separuh saja. Hidung dan mulutnya masih ditutup, hanya alis dan matanya yang lebar saja yang dibiarkannya terbuka. Sorot kedua bola matanya tepat mengarah kepadaku dengan tajamnya.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176