Pagi itu Ribo menunggu di sebuah guest house di Khao San Road, Bangkok, Thailand. Khao San Road adalah sebuah tempat sangat popular bagi backpacker dunia di mana setiap malam mereka memenuhi jalan untuk menghabiskan waktu untuk makan, minum, belanja, pijat, atau aktivitas wisata lainnya.
Di lobby sebuah guest house yang terjangkau, Â Ribo hendak dijemput sebuah biro travel untuk melakukan wisata ke daerah Ratchaburi dan Kanchanaburi. Barang yang dibawa sudah dikemas dan segala urusan pembayaran sudah dilunasi. Sambil menunggu jemputan, Ribo berkenalan dengan seorang perempuan muda dari China, yang juga seorang backpacker.Â
Sambutan hangat diberikan perempuan itu dan mereka berbincang soal perjalanan masing-masing dan tempat wisata di Thailand. Selang setengah jam, tiba-tiba ada seorang berwajah Indochina masuk ke dalam lobby hotel dengan membawa sebuah catatan nama peserta wisata bareng lewat biro travel.
Entah karena tidak tahu orang dicari itu laki-laki atau perempuan, sang penjemput tadi mengira cewek dari China itulah yang akan ikut dalam rombongan. Setelah Ribo menjelaskan dirinyalah yang ada dalam catatan yang dibawa itu, akhirnya sang penjemput tadi paham dan mengajak Ribo ke tempat mobil yang di parkir, di mana dengan mobil itulah yang akan membawa ke tempat tujuan.
Di Khao San Road, sudah ada mobil sejenis van yang tersedia. Ribo menghampiri mobil itu. Dirinya berpikir van akan segera berangkat namun rupanya penjemput tadi masih masuk ke dalam guest house lain untuk memanggil peserta wisata lainnya untuk segera berkumpul. Setelah ada sekitar 6 orang, ada yang berkulit bule, berkulit kuning, berkulit hitam, masuk ke mobil, selanjutnya kendaraan roda empat itu berangkat.
Ribo berpikir kembali bahwa mobil itu segera meluncur ke tempat wisata. Rupanya dugaan itu kembali salah sebab mobil berkumpul lagi dengan mobil yang lain di tempat yang tak jauh dari tempat semula yang masih berada di lingkup tempat yang pernah dipopularkan oleh Leonardo DiCaprio lewat sebuah film Hollywood itu.
Di tempat itu ada 4 mobil, tempat itu rupanya pangkalan mobil wisata para pelancong. Peserta wisatawan di tempat itu dibagi sesuai dengan route ke mana arah wisata dan berapa ia membayar paketnya, ada yang sehari, dua, bahkan 3 hari. Sebab Ribo berada dalam paket sehari maka dirinya dikumpulkan dengan para pelancong lainnya yang sepaket.
Setelah semua sudah masuk pada masing-masing mobil sesuai dengan paket dan program wisata, kendaraan-kendaraan yang yang bercat putih itu langsung meninggalkan pangkalan yang biasanya menjadi titik kumpul para pelancong. Dalam perjalanan, pemandu wisata yang mengaku bernama Bun Chai mengatakan bahwa perjalanan ini akan menuju ke Floating Market di Dumnoen Saduak, Ratchaburi, War Museum, Â serta Tiger Tempel di Kanchanaburi.
Dalam perjalanan menuju Floating Market, orang-orang luar Thailand itu menikmati nikmatnya jalan tol di Kota Bangkok. Arahnya keluar kota, pada pagi hari jalan tol terlihat lengang, beda dengan sebaliknya yang menuju ke kota, meski padat namun tetap lancar. Kota Bangkok sepertinya giat membangun jalan tol sebab sepanjang perjalanan terlihat jalan yang bersimpang siur dan bertingkat sehingga enak dipandang dan mampu mengurai kemacetan.
Selepas keluar dari jalan tol, mobil memasuki jalan biasa, meski demikian jalan tetap lancar dan tidak semrawut. Bisa jadi penduduk Kota Bangkok dan sekitarnya terkendali sehingga aktivitas masyarakat tidak berjubel seperti di Jakarta atau sepanjang jalan Pantura, Jawa.
Menuju Floating Market, peserta wisata melihat di kanan kiri jalan banyak lahan pertanian dan berbagai kebun, seperti kebun kelapa. Masih banyak tanah kosong. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1,5 jam, tibalah di sebuah tempat pemberhentian mobil untuk menuju Floating Market. Di tempat itu sudah tersedia pangkalan perahu kayu bermesin motor yang akan mengangkut peserta wisata menuju pusat pasar apung.
Ribo bersama lima wisatawan lain menaiki sebuah perahu yang akan menyusuri sungai yang sepertinya bukan sungai asli. Floating Market bisa jadi sebuah tempat yang dibangun oleh pemerintah daerah Ratchaburi untuk dijadikan tempat wisata. Hal demikian terlihat dari kanan-kiri sungai dilapisi dengan beton dengan rapi. Dengan pembetonan itu maka air sungai dibendung sehingga volume dan tinggi rendahanya air bisa diatur. Awalnya tempat itu bisa memang pasar tradisional yang menggunakan laluan sungai untuk beraktivitas namun karena Pemerintah Thailand menggalakkan kunjungan wisata maka wilayah itu dikemas menjadi lebih menarik dan dijadikan objek wisata nasional dan internasional.
Melintasi laluan sungai yang lebarnya dua meter, perahu bergerak satu per satu. Banyak simpangan-simpangan sungai yang dibuat sehingga mengesankan laluan sungai panjang. Seperti jalan darat, bila ada pertemuan laluan sungai, pertigaan atau perempatan, karena lebar sungai 2 sampai 3 meter, perahu harus antri atau yang lain mengalah untuk mempersilahkan perahu yang lain untuk lewat duluan. Bila tidak ada yang mengalah bisa membuat perahu bertabrakan atau menghalangi lalu lintas sungai.
Selepas melewati sungai yang lebarnya 2 sampai 3 meter, perahu berada di laluan sungai selebar 10 meter. Di laluan inilah kapal ngebut, ngebut-nya perahu menyebabkan gelombang sungai tinggi, hal demikian terasa ketika simpangan dengan perahu yang lain, sehingga goyangan kapal menjadi terasa. Di sepanjang sungai ini terlihat beberapa toko yang menjual berbagai kebutuhan masyarakat, dari toko kelontong hingga bahan bangunan. Di tempat inilah mungkin Floating Market yang asli.
Selepas melalui laluan ini, selanjutnya masuk ke dalam laluan sungai yang lebarnya 2 sampai 3 meter. Sampai di sebuah tempat, seluruh penumpang perahu disuruh turun. Rupanya lokasi penurunan itu untuk masuk dalam jantung Floating Market. Pemandu wisata mengajak ke sebuah bangunan, bangunan itu kalau di Bali seperti pasar seni yang menjual berbagai produk kerajinan tangan hingga kaos khas. Selepas menyusuri tengah pasar seni, peserta wisata dihadapkan sebuah pangkalan perahu kayu. Pemandu wisata menerangkan bila ingin menyusuri jantung Floating Market harus naik perahu yang dikayuh oleh kaum perempuan, dengan ongkos 150 bath. Bila peserta wisata tidak naik, ia tidak dipaksa.
Ribo memilih naik perahu agar bisa menyusuri jantung Floating Market. Menyusuri jantung Floating Market memang sangat asyik, berjalan pelan, dan di kanan kiri banyak toko atau artshop yang menjual berbagai souvenir Thailand yang terbuat dari kayu, tempurung kelapa, perak, besi, dan lain sebagainya. Barang dagangan yang ditawarkan kepada pelancong seperti yang ada di Pasar Seni Sukawati, Kumbasari, Kuta, Sanur, Bali; Pasar Beringhardjo, Malioboro, Jogjakarta; dan tempat-tempat wisata di Indonesia lainnya.
Tak hanya di pinggir sungai barang dagangan itu dijual, ada di antara mereka yang menjual di atas perahu, tidak hanya souvenir wisata namun juga makanan, minuman, dan buah-buahan. Sebab laluan sungai hanya 2 sampai 3 meter, sering perahu-perahu itu bersenggolan meski demikian tak ada keributan ketika bersenggolan.
Para pedagang dalam menawarkan dagangannya tidak hanya menyapa dengan ramah namun mereka juga menarik dengan semacam gantolan, sebuah tongkat sepanjang 1,5 meter dan ada kait seperti pancing. Gantolan itu untuk menarik atau menepikan perahu merapat ke artshop-nya. Meski di-gantol namun wisatawan dan pengayuh perahu tidak marah.
Ribo berpikir ulang kalau Floating Market di Ratchaburi ini tidak asli pasar tradisional seperti Floating Market di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia, namun ada unsur keterlibatan pemerintah untuk mendesain sedemikian rupa sehingga menjadi tempat wisata yang menarik dan menyenangkan, terbukti mayoritas pengunjung orang-orang dari luar Thailand.
Selepas menyusuri laluan sungai, Ribo berjalan-jalan di pasar seni. Dirinya memandang kaos-kaos yang dijual yang semuanya bergambar dan bertuliskan hal-hal yang berbau Thailand, seperti gambar pagoda, Sang Budha, Grand Palace, gajah, dan gambar Floating Market itu sendiri. Semuanya menarik di mata Ribo. Setelah ditimbang-timbang akhirnya dirinya kepincut kaos yang desainnya bergambar Floating Market dan dibuat dengan bahan yang bagus sehingga bila dipakai awet. Ribo cocok dengan harga yang ditawarkan. Â Setelah membayar, kaos itu diserahkan oleh penjual dalam sebuah tas plastik hitam dan selanjutnya oleh Ribo dimasukkan dalam tas. Â
Selepas menikmati Floating Market, pemandu mengajak seluruh wisatawan kembali ke mobil masing-masing dan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan selanjutnya. Ribo naik mobil dengan nomor yang telah diingatnya agar tak salah tempat dan tujuan. Ribo menduga bahwa rombongan satu mobil ini tidak akan berganti penumpang lagi, ternyata di sebuah tempat semacam rest area, ada penumpang yang dinaikan dan diturunkan, karena paket wisatanya beda. Dan mereka yang diturunkan naik mobil yang lain.
Setelah makan siang dengan jatah yang sudah ditakar, sehingga tidak bisa menambah, perjalanan dilanjutkan menuju War Museum. Tempat itu berada di Provinsi Kanchanaburi, berada di samping Bridge River Kwai (Kwae). Masuk museum yang ditarik ongkos 40 bath, pengunjung bisa menyaksikan perjalanan bangsa Thailand dalam Perang Dunia II, di sini sangat jelas bagaimana posisi tentara Jepang di sana seperti saat di Indonesia. Selain kejam juga memobilisasi penduduk sebagai tenaga kerja, romusha. Di dalam museum terlihat berbagai peninggalan alutsista perang mulai dari kereta angkut buatan Jerman hingga mortir.
Tak jauh dari museum ada sebuah jembatan yang sangat bersejarah yakni Bridge River Kwai. Jembatan itu bukan jembatan penyeberangan manusia namun sebuah jalur kereta dari Thailand menuju Myanmar (Burma) atau sebaliknya. Jembatan untuk lewat kereta yang memiliki panjang lebih dari 100 meter itu menjadi saksi Perang Dunia II sebab pernah rontok atau ambruk karena kena serangan ledakan.
Di atas jembatan itu, wisatawan bisa melintasi dengan jalan kaki atau naik kereta wisata dengan tujuan bolak-balik melintasi jembatan itu. Terlihat jembatan itu meski tegak berdiri namun tidak kelihatan kokoh sehingga para wisatawan hati-hati saat melintas. Bagi yang phobia ketinggian, tentu tidak berani melintasi jembatan itu sebab di bawahnya menganga Sungai Kwai yang dalam.
Ribo bersama wisatawan yang lain melintas sungai itu dengan jalan kaki. Sesekali dirinya berpegang pada besi-besi yang menjadi pagar jembatan itu. Ada rasa ngeri saat tepat berada di atas sungai. Memandang ke bawah, sungai itu sepertinya siap memangsa orang. Sampai di ujung jembatan, dirinya melihat ada sebuah papan yang bertuliskan huruf kanji dengan latar bendera Jepang. Ribo berpikir papan itu sepertinya menunjukkan bahwa di tempat yang berada di samping jembatan besi itu adalah pos tentara Jepang.
Setelah puas menikmati tempat yang berada di ujung jembatan, ia kembali. Saat berjalan untuk kembali berkumpul dengan wisatawan lain, dirinya berpapasan dengan kereta wisata. Tak hanya Ribo yang minggir untuk mencari tempat yang aman agar tidak kesenggol kereta namun wisatawan yang lain juga melakukan hal yang sama, minggir mencari tempat yang aman. Untung tempat untuk menghindari senggolan dengan kereta, ada di jembatan sehingga wisatawan merasa aman.
Setelah menikmati tempat wisata di Museum War dan Bridge River Kwai, perjalanan dilanjutkan menuju ke Tiger Temple. Perjalanan ke sana yang berjarak 30 km ditempuh dalam waktu yang terbilang cukup singkat, selain karena jalanan lengang, jalannya cukup besar.
Memasuki area Tiger Temple, pemandu wisata menjelaskan ada aturan yang harus dipenuhi, misalnya pengunjung tidak boleh memakai pakai berwarna menyolok seperti merah, kuning, dan pink. Tak hanya itu, pakaian harus sopan. Saat itu ada pengunjung yang menggunakan pakaian terbilang seksi sehingga oleh pemandu disuruh menggunakan kaos penutup. Aturan kesopanan itu diterapkan bisa jadi karena memasuki tempat suci para biarawan Budha.
Bila pengunjung memasuki tempat wisata lain dengan senyum dan ceria, berada di gerbang Tiger Temple semua terlihat tegang sebab seperti dalam video atau brosur wisata, mereka tahu akan memasuki sebuah tempat di mana macan atau harimau berukuran besar dilepaskan. Mereka sadar bahwa mereka akan bertemu dengan binatang liar, buas, pemakan daging, dan tak bisa dianggap remeh dalam memberlakukannya. Hal demikianlah yang bisa jadi membuat pengunjung menjadi tegang.
Sebelum menjumpai binatang berkulit emas loreng itu, pengunjung masuk dengan berjalan kaki sejauh 200 meter dari gerbang. Dalam perjalanan terlihat bahwa area Tiger Temple berada di daerah tandus, tanahnya mirip seperti di Nusa Tenggara Timur atau daerah Bali bagian selatan seperti Jimbaran dan Pecatu, yakni tanah keras dan banyak batu karang.
Dalam temple, biarawan Budha tak hanya memelihara macan namun juga banyak memiliki hewan lain seperti sapi, kerbau, rusa, dan babi hutan. Hewan-hewan berkaki empat itu dilepasliarkan di area itu.
Setelah berjalan 200 meter dari gerbang, pengunjung mendapati Tiger Canyon. Tiger Canyon adalah sebuah tempat di mana dikelilingi oleh tebing cadas. Di area ini ada sekitar 5 macan besar dan 2 anak macan yang dirantai. Sebelum pengunjung diperkenankan masuk Tiger Canyon, pengelola Tiger Temple menjelaskan aturan-aturan yang harus ditaati, seperti demi keselamatan atau menjaga tingkah polah maka setiap pengunjung didampingi dua pemandu dari Tiger Temple, satu yang menuntun ke mana mereka harus berjalan dan satunya yang memotret.
Di Tiger Canyon inilah, pemandu menuntun pengunjung ke arah macan-macan yang dirantai dan pemandu lain memotret. Jadi pengunjung di tempat itu, tidak bebas mengambil gambar. Pemandu dengan sabar melayani pengunjung untuk mengelus-ngelus macan dan satunya memotret.
Selepas di Tiger Canyon pengunjung dibawa ke Tiger Island Area. Di tempat itu, atraksi terakhir wisata di Tiger Temple, yakni sebuah macan besar yang diikat di sebuah pohon kemudian salah satu biarawan Budha memberi susu kepada macan besar itu. Pengunjung bisa mengambil gambar diri dengan adegan seperti itu satu persatu alias antri. Tak heran di dekat biarawan Budha yang memberi minum susu kepada macan, antrian mengular untuk foto bareng.
Ribo merasa puas bisa mengunjungi Tiger Temple. Di tempat itu dirinya bisa melihat dari dekat bahkan memegang harimau.
Usai ngubek-ngubek Tiger Temple, rombongan wisata kembali ke Bangkok. Dalam perjalanan balik, tiba-tiba ada kegaduhan. Salah seorang peserta wisata, seorang perempuan dari Australia, mengadu kalau handphone-nya hilang. Dirinya ingat handphone itu tertinggal saat dirinya masuk di toilet. Seorang saksi mata memang mengakui dirinya melihat handphone itu tergelat di depan wastafell di toilet itu namun dirinya tidak mau mengambil sebab tak tahu milik siapa.
Perempuan yang kehilangan alat komunikasi itu ingin mobilnya kembali ke Tiger Temple. Karena mempunyai solidaritas, semuanya tidak ada yang protes namun setengah perjalanan menuju ke sana, seorang dari agen wisata menyatakan handphone itu telah raib. Akhirnya semua sepakat bahwa mobil harus kembali ke Bangkok sebab kalau ke Tiger Temple akan membuang waktu dan sia-sia saja.Â
Sebab sepulang dari Tiger Temple selepas sore maka perjalanan kembali ke Bangkok sudah malam hingga sampai di kota terbesar di Thailand, jam sudah menunjukkan pukul 09.00 PM.
****
Ojek yang mengantar Ribo berhenti tepat di depan Stasiun Hua Lamphong. Dirinya naik angkutan umum itu dari Khao San Road selepas ikut wisata bareng. Selepas ia membayar ongkos kepada tukang ojek itu, dirinya bergegas menuju ke dalam stasiun. Terperanjat melihat stasiun itu sebab bangunannya mirip dengan Stasiun Kota di Jakarta.
Bangunan Stasiun Kota karya Frans Johan Louwrens Ghijsels dengan sebutan Het Indische Bouwen, Â sebuah perpaduan antara struktur dan teknik modern barat dipadu dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Dengan dibalut art deco, rancangan Ghijsels terlihat sederhana namun bercita rasa tinggi.
Dari Stasiun Hua Lamphong, Ribo ingin melanjutkan perjalanan ke Kamboja. Dirinya memilih naik kereta api sebab ia mendapat petunjuk dari kawan backpacker-nya bahwa naik kereta api merupakan cara yang mudah dan murah.
Setelah berada di dalam stasiun, ia melihat jadwal perjalanan Bangkok-Aranyaprathet. Aranyaprathet adalah stasiun terakhir kereta api yang berada di Thailand bagian tenggara. Tak jauh dari stasiun itu adalah perbatasan dengan Poipet, Kamboja.
Ribo tahu kereta api ke Aranyaprathet mempunyai jadwal keberangkatan esok hari. Ia berada di stasiun itu memang untuk tidur malam. Sebuah kebiasaan bagi backpacker adalah mencari tempat tidur gratis yang biasanya dilakukan di tempat-tempat umum seperti stasiun kereta, terminal bus, pelabuhan atau bandar udara.
Dilihat dengan saksama jadwal-jadwal perjalanan kereta api. Terlihat puluhan jadwal kereta api ke berbagai wilayah di negeri gajah putih bahkan ada jurusan hingga Malaysia. Setelah tahu keberangkatan kereta api ke arah yang dituju berangkat pukul 06.00 AM. Â Ribo pun ingin membeli tiket namun keinginan itu tak bisa kesampaian sebab petugas bagian penjualan tiket mengatakan untuk tujuan esok hari dilayani esok juga. "Tak masalah," gumamnya.
Selanjutnya dirinya berkeliling melihat kemegahan stasiun itu. Dirinya tahu bahwa kereta api terakhir malam itu adalah kereta ke Pattani, sebuah provinsi di Thailand bagian selatan. Di Pattani mayoritas penduduknya adalah beragama Islam dan beretnis Melayu. Tak heran saat berada di ruang tunggu, Ribo banyak melihat perempuan berwajah Melayu dan menggunakan hijab.
Selepas kereta api terakhir berangkat, semua orang yang ada di dalam stasiun disarankan untuk keluar. Setelah seharian stasiun disesaki orang, selanjutnya akan dibersihkan dan dirapikan. Ribo sebenarnya ingin tidur di ruangan itu namun oleh petugas dilarang dan disarankan tidur di luar. Sebab itu aturan maka Ribo mematuhi. Ia melangkah meninggalkan ruang bagian dalam.
Begitu melihat di luar ruang utama stasiun, Ribo terperanjat. Dirinya melihat banyak orang, entah mereka para tuna wisma atau orang yang hendak melanjutkan perjalanan ke luar kota, tidur menggeluntung begitu saja di lantai dengan beralaskan koran atau terpal plastik yang dijual.
Sebelum Ribo tidur, dirinya menuju ke sebuah caffe yang berada di samping stasiun. Di caffe itu ada fasilitas wifi sehingga dirinya bisa berkomunikasi dengan teman-temannya yang ada di Indonesia sambil mengunggah foto-foto perjalanan di Tiger Temple dan Floating Market.Â
Di caffe itu dirinya memesan teh manis. Minuman untuk menghangatkan diri. Ribo merasa senang di tempat itu, sebab pemilik caffe itu, Sherin, sangat ramah dengan dirinya. Sherin seorang perempuan Thailand yang memiliki wajah enak dipandang. Ia mengajak dirinya ngobrol dan bertanya-tanya soal Indonesia. Bahkan Sherin memberi alamat email dan nomer handphone. Ribo sebenarnya ingin ngobrol lama dengan Sherin namun sepertinya caffe itu sudah mau tutup sehingga dirinya tahu diri harus meninggalkan tempat itu.
Setelah membayar minuman yang telah dibeli, selanjutnya Ribo menjabat tangan Sherin untuk berpisah dan Sherin pun mengucapkan salam perpisahan itu dengan ceria. Dirinya mengatakan ingin pergi ke Jakarta.
***
Malam itu Ribo tidak bisa tidur sehingga dirinya bisa melihat aktivitas di stasiun. Bagi yang bisa tidur, mereka menikmati mimpinya, para tuna wisma mungkin bermimpi menjadi orang kaya sehingga terlihat lelap; sementara yang tidak bisa tidur seperti Ribo, ia mondar-mandir tak karuan. Dalam kondisi yang demikian, ingin rasanya pagi cepat tiba agar segera bisa naik kereta api tujuan Bangkok-Aranyaprathet.
Meski jam sudah menunjukkan pukul 00.00 PM, Ribo tetap tak bisa tidur. Untuk mengisi ketidakbisa tiduran, dirinya membeli teh hangat di sebuah tempat yang kalau di Jogjakarta disebut angkringan yang berada di samping stasiun, tak jauh dari caffe Sherin yang sudah tutup. Di tengah menikmati minum teh, Ribo melihat Bangkok yang sudah sepi, sesekali terlihat taxi melintas atau bus yang mempunyai jurusan-jurusan tertentu. Di tempat itu pula dirinya  melihat dua orang Thailand asyik ngobrol dengan bahasa Thai yang cepat dan terbilang rumit. Dirinya tidak tahu apa yang diobrolkan.
Menjelang subuh, lelah mulai menghampiri, hingga terlelap sekitar 1 jam di dekat sebuah tiang bangunan di stasiun itu. Ketika sekitar pukul 05.00 AM, petugas stasiun meniup peluit sambil membawa sebatang kayu panjang, membangunkan para orang yang tidur di lantai. Mereka diminta bangun dan meninggalkan tempat itu. Petugas terlihat tegas sebab jatah waktu yang diberikan kepada orang-orang yang tidur di tempat itu sudah habis.
Tak lama kemudian, stasiun buka dan para calon penumpang pun banyak yang berdatangan untuk melakukan perjalanan. Ribo membeli tiket jurusan Bangkok-Aranyaprathet, sekitar 48 bath, cukup murah. Ribo sepertinya menjadi pembeli pertama dan selanjutnya  ada antrian orang membeli tiket dengan tujuan sama atau tujuan lainnya.
Selepas membeli tiket, Ribo memasuki ruangan di mana kereta api itu menuju Aranyaprathet berada di salah satu jalur. Di situ ada beberapa jalur kereta api. Melihat kereta api di Thailand untuk antarkota, antarprovinsi, sepertinya kereta api di Indonesia lebih bagus. Kereta api di Thailand terlihat tua, kursi tidak bisa diatur posisinya, dan jendelanya terbuka sehingga angin bisa leluasa masuk. Tak hanya itu, penumpang bebas memilih tempat duduk sebab tidak ada nomor kursi.
Sekitar pukul 08.00 AM, kereta api meninggalkan stasiun. Kereta api ini di setiap stasiun berhenti sehingga perjalanan menjadi lama. Di dalam gerbong, ada pedagang resmi yang berjualan makanan, minuman, dan buah-buahan. Sementara saat berhenti di stasiun-stasiun, ada pedagang kaki lima yang menawarkan dagangannya, semua seperti di Indonesia. Dalam perjalanan, bisa melihat aktivitas rakyat Thailand sehari-hari, di mana mereka juga banyak menjadi kaum urban di Bangkok. Di kanan-kiri rail, masih banyak terlihat sawah dan ladang-ladang.
Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, antara bosan dan senang menyatu, akhirnya kereta berhenti di Stasiun Aranyaprathet. Turun dari kereta itu selain penduduk lokal juga ada wisatawan, dan para backpacker. Begitu turun dari kereta api, sudah banyak tukang ojek dan tuk-tuk menawarkan jasa angkutan, entah ke wilayah perbatasan bagi mereka yang ingin melanjutkan perjalanan ke Kamboja, atau ke tempat lain.
Dihadapan puluhan tukang ojek, Ribo memilih tukang ojek yang dikemudikan oleh seorang perempuang. Tujuannya selain lebih kalem juga untuk memberi penghasilan kepadanya. Siapa tahu ia ibu rumah tangga sekaligus kepala rumah tangga yang menjadi tukang ojek untuk menghidupi anak-anaknya.
Kepada tukang ojek itu Ribo mengatakan agar diantar ke daerah perbatasan yang ada kantor imigrasi. Setelah deal dengan tukang ojek, ia langsung meluncur ke wilayah perbatasan. Jarak dari Stasiun Aranyaprathet ke perbatasan Thailand Kamboja lumayan jauh kalau untuk jalan kaki.
Setelah melintasi jalan yang panas dan berdebu, akhirnya tiba di perbatasan. Di perbatasan ini ramai orang beraktivitas, entah mereka berdagang, menawarkan jasa angkutan, hingga aktivitas yang tak jelas seperti menawarkan bantuan visa atau pengurusan surat perjalanan. Ribo tak mempedulikan semua sebab sebelumnya ia membaca di sebuah web tentang perlunya kehati-hatian di daerah perbatasan ini.
Agak susah untuk mencari Kantor Imigrasi Thailand di tempat ini sebab tidak ada petunjuk yang besar dan jelas. Ribo hanya mengikuti arus orang ke mana berjalan. Cara seperti itu rupanya benar sebab mereka menuju ke kantor imigrasi. Tempat yang dicari, kantor imigrasi akhirnya ditemukan. Setelah melakukan chek passport dan tak lama kemudian distempel tanda sah meninggalkan Thailand, Ribo beberapa langkah selanjutnya sudah menginjak Kamboja.
Tempat itu adalah Poipet. Suasananya di Poipet rupanya lebih parah. Kerumunan orang dan menawarkan berbagai macam jasa seperti transport ke Siem Reap. Suasananya seperti di Terminal Pulogadung, Jakarta. Ribo tak mempedulikan mereka dan mencari Kantor Imigrasi Kamboja. Ribo rupanya bingung tujuh keliling, sebab di mana kantor itu berada tidak terlihat. Ia harus rajin-rajin bertanya. Sempat memasuki sebuah kantor, eh ternyata kantor itu Kantor Imigrasi yang mengurus keberangkatan ke Thailand. Di tempat itu dirinya melihat ratusan orang Kamboja yang mengurus surat untuk bisa bekerja di Bangkok. Syukur Ribo segera sadar dan mencari kantor imigrasi yang memberi dia ijin untuk masuk ke Kamboja.
Akhirnya Ribo menemukan kantor imigrasi namun rupanya kantor ini hanya untuk yang mau mengurus visa, sebab Indonesia bebas visa maka disarankan di kantor satunya. Dengan berjalan tergopoh-gopoh dan agak cemas, akhirnya menemukan kantor itu, dan betapa kagetnya, kantor ini sangat beda jauh dengan check point yang ada di Malaysia, Thailand, atau Singapura yang nyaman dan lapang. Kantor check point ini terlihat ala kadarnya bahkan terkesan mengenaskan, bangunan sempit dan dibuat dari kayu.
Untunglah berada di kantor ini tak lama hingga akhirnya mendapat stempel resmi masuk Kamboja. Ribo melanjutkan perjalanan ke tempat titik tunggu untuk angkutan bus ke terminal. Lagi-lagi berbagai tawaran diajukan oleh orang-orang yang tidak dikenal dan Ribo tak mempedulikan tawaran itu.
Bus gratis yang disediakan pun datang. Penumpang bus gratis menuju ke terminal rupanya cukup banyak. Semua kursi hampir semuanya terisi.
Setelah semua ok, bus berangkat menuju terminal. Hanya sekitar 15 menitan untuk sampai terminal. Sesampai di terminal penumpang membeli tiket untuk naik angkutan ke Siem Reap. Angkutan berjenis mobil van ini dikelola oleh agent perjalanan wisata. Satu per satu pelancong membeli tiket dan ada yang beraneka tujuan namun mayoritas ke Siem Reap.
Perjalanan ke Sieam Reap tak ubahnya kalau kita melakukan perjalanan ke daerah-daerah di Indonesia, yakni kanan kiri masih banyak tanah kosong berupa sawah atau ladang dan sesekali rumah atau perkampungan.
Perjalanan dari Poipet ke Siem Reap ditempuh selama 3 jam. Ribo bersyukur dirinya dalam perjalanan itu bisa tidur sehingga tak merasa terlalu bosan di dalam angkutan yang membawa dirinya. Hingga akhirnya tiba di Siem Reap. Begitu sampai di sebuah pemberhentian di kota, agen-agen wisata menghadang dan langsung menawarkan berbagai paket wisata, mulai dari sehari hingga 3 hari. Wisatawan bebas memilih, boleh ikut tour itu atau jalan sendiri.
Rasa capek yang mendera membuat Ribo tak berdaya berhadapan dengan buaian manis agen wisata yang menawarkan jasanya. Ribo pun ikut tur dalam paket sehari. Dalam paket tour itu setelah membayar dengan harga tertentu akan mendapat fasilitas menginap di guest house semalam, keliling komplek candi di Angkor termasuk tiketnya, dan perjalanan ke Ho Chi Minh Vietnam. Setelah deal dengan tawaran itu, selanjutnya Ribo diantar ke salah satu guest house di sekitar tempat wisata malam di Siem Reap, Night Market. Di tempat ini selain banyak hotel, guest house, money changer, juga banyak restoran, pasar seni, serta tempat pijat.
Sesampai di sebuah guest house, Ribo mendapat kunci kamar. Ia segera menuju kamar sesuai nomer yang diberikan. Barang diletakkan dan selanjutnya ia membersihkan tubuh, mandi. Sebelum tidur malam, ia menyempatkan jalan-jalan ke Night Market. Di tempat itu pelancong bisa melihat berbagai aneka aktivitas malam yang menyenangkan seperti kuliner dan belanja souvenir.
Di tempat seperti itu ada yang menawari hal yang aneh-aneh. Ribo juga mengalami hal yang demikian, saat dirinya hendak menukarkan dollar ke mata uang Kamboja, tiba-tiba dirinya dihampiri tukang ojek yang menawari massage, pijat. Tak hanya sekali mendapat tawaran yang demikian, biasnaya tukang tuk-tuk akan menawarkan jasanya dengan mengatakan, "tuk tuk." Saat tawaran itu ditobak Ribo dengan mengatakan, "no." Tawaran tukang tuk-tuk diubah, "lady, lady, massage."
Meski mendapat tawaran yang menggiurkan, Ribo tetap mengatakan, "no." Meski demikian masih ada saja tukang ojek atau tuk-tuk yang ngeyel menawarkan jasanya itu. Malam itu sebuah malam yang dihabiskan oleh Ribo untuk menikmati meriahnya Night Market.
***
Sinar matahari yang menerobos jendela kamar yang ditempati Ribo membangunkan dirinya. Ia ingat pagi itu akan berkeliling ke komplek Angkor Wat. Sesuai dengan perjanjian, dirinya menunggu jemputan dari agent travell yang akan mengantarkan keliling ke komplek Angkor Wat.
Selepas mandi, Ribo menunggu di lobby guest house. Tukang tuk tuk yang bekerja sama dengan agent travell pun datang dan tak lama kemudian membawa dirinya ke komplek candi. Sesampai di gerbang penjualan tiket, terlihat kawasan wisata itu dibanjir oleh wisatawan dari Eropa dan Asia Timur seperti Jepang, China, Korea Selatan, Taiwan.
Setelah urusan tiket yang diurus oleh tukang tuk-tuk selesai, Ribo dibawa Angkor Wat. Oleh tukang tuk-tuk diberi tahu, Ribo dipersilahkan mengelilingi Angkor Wat dan dirinya menunggu di bawah pohon. Di tempat yang disebut tukang tuk-tuk itu memang terlihat puluhan tuk-tuk mangkal. Bisa jadi mereka menunggu orang yang diantar. Ribo mengiyakan apa yang dikatakan itu.
Semburat matahari pagi yang tertutup kabut membentuk sebuah siluet Angkor Wat. Terlihat begitu mempesona candi yang tersusun dan dibangun dengan bebatuan itu. Ribo saat masuk ke dalam candi, merasa takjub.
Candi itu dibangun Raja Suryawarman II, Raja Khmer yang berkuasa dari tahun 1113-1150, pada pertengahan Abad XII. Untuk menyelesaikan pembangunan candi itu dibutuhkan waktu selama 30 tahun. Disebut Angkor karena ia berada di dataran Angkor.
Candi itu dibangun sebagai bentuk persembahan kepada Dewa Wisnu. Pembangunan candi itu pernah mengalami jeda saat Suryawarman II mangkat. Setelah 27 tahun kepergian Suryawarman II, Angkor diserang Bangsa Champa, sebuah kerajaan yang pernah menguasai kamboja dan Vetnam pada Abad VII. Champa merupakan musuh bebuyutan Khmer. Setelah beberapa masa berada di bawah Champa, selanjutnya Khmer direbut kembali oleh Jayawarman VII.
Akhir Abad XIII, Angkor secara perlahan berubah, awalnya sebagai candi Hindhu menjadi candi Budha Theravada, sebuah.mazhab tertua dalam agama Budha.
Di area candi itu, banyak tempat yang menarik untuk diabadikan. Sebab Ribo sendiri maka ia sering meminta wisatawan lain untuk memotretkan dirinya.
Puas di Angkor Wat, Ribo meninggalkan candi itu. Saat menyelusuri jalan menuju di mana tukang tuk-tuk tadi mangkal, dirinya melihat tempat-tempat penjualan souvenir. Di tempat itu dirinya ditawari dengan ramah oleh para perempuan pedagang souvenir dan minuman ringan. Ribo selalu tersenyum mendapat tawaran-tawaran itu.
Sesampai di tempat mangkal tukang tuk-tuk, ia celingak-celinguk mencari di mana tukang tuk-tuk tadi berada. Setelah agak jauh berjalan, tiba-tiba ada laki-laki melambaikan tangan, "o itu dia," ujar Ribo setelah melihat tukang tuk-tuk tadi.
Selanjutnya, dirinya diantar ke Candi Bayon. Candi ini dibangun pada akhir Abad XII hingga awal Abad XIII. Candi ini merupakan candi resmi Kerajaan Khmer dengan sifat Budha Mahayana. Candi ini dibangun atas inisiatif Jayawarman VII.
Menarik dari candi ini adalah banyak wajah berukuran raksasa dengan ekspresi yang tenang, teduh, dan anggun, yang terukir di puncak-puncak candi yang mengelilingi puncak utama. Candi bayon merupakan candi terpenting yang menjadi pusat dan lambang kekuasaan Jayawarman VII.
Di Bayon, Ribo menyempatkan diri dengan petugas wisata yang berpakaian tradisional untuk foto bareng. Gratis? "Bayar 1 US$," ujar mereka. Di sekitar Bayon, wisatawan juga bisa naik ojek gajah dengan route mengelilingi Bayon.
Selepas di Bayon, tour selanjutnya ke Ta Phrom. Tukang tuk-tuk mengatakan, Ta Phrom merupakan paket wisata terakhir di komplek candi di Angkor.
Saat berada di Ta Phrom ada sebuah bangunan yang dikerubuti oleh wisatawan. Menarik di candi ini adalah adanya pohon ukuran besar tumbuh di atas bangunan candi dan akarnya melilit bangunan itu. Candi ini dibangun oleh Jayawarman VII dan digunakan sebagai tempat pendidikan Budha Mahayana.
Selepas menjelajahi dan menyusuri komplek candi-candi itu, Ribo mengatakan, "puas dengan wisata di Siem Reap."
****
Menjelang sore, bus yang dinaiki Ribo dari Pnom Penh, Kamboja; telah masuk Kota Ho Chi Minch, Vietnam. Suasana khas dari Ho Chi Minh, sebagaimana diberitahu oleh temannya benar adanya bahwa di kota terbesar di Vietnam itu jalan-jalan dipadati oleh sepeda motor. Sepeda motor menjadi pilihan masyarakat di kota yang dulunya bernama Saigon itu. Pilihan menggunakan sepeda motor bisa jadi alasannya sama dengan alasan orang Indonesia, yakni lebih cepat, efektif, dan efisien.
Meski demikian, pemerintah setempat juga menyediakan sarana transportasi umum, bus. Bus yang melayani masyarakat mempunyai jalur yang menyeluruh. Layanan yang diberikan juga lebih baik daripada angkutan umum di Jakarta. Bus jarang penuh sehingga sulit kita lihat ada penumpang yang berdiri. Tarifnya pun terbilang murah, dari 7.000 dong hingga 6.000 dong, mata uang Vietnam. Kalau di Indonesia antara Rp3.000 hingga Rp4.500.
Berbekal brosur soal Ho Chi Minh dari internet, Ben Thanh Market merupakan tempat yang sering dijadikan titik kumpul para wisatawan asing dan backpacker. Dan tujuan itu Ribo sampaikan kepada kernet bus. Tanpa banyak berkata, kernet itu hanya menganggukkan kepala.
Pada sebuah titik, bus berhenti dan memberi kode kepada Ribo untuk turun. Rupanya dia tidak sendiri, ada dua cewek dari Filiphina yang juga turun. Kernet pun mengatakan untuk mengikuti mereka sebab mempunyai tujuan yang sama. Beruntung dari perkenalan ini, sebab Ribo bisa bersama mereka menuju ke arah yang sama. Obrolan terjadi seputar backpacker.
Dalam perjalanan menuju Ben Thanh terlihat semakin menyakinkan bahwa jalan-jalan di Ho Chi Minch, di dalam kotanya tak terlalu lebar. Ada yang digunakan satu jalur, ada pula yang dua jalur dan semua dipenuhi oleh sepeda motor. Tak lama akhirnya taxi yang ditumpangi oleh Ribo dan dua cewek dari Filiphina itu tiba di Ben Thanh. Ribo turun dari taxi, sementara dua cewek dari Filiphina tadi meneruskan perjalanan untuk mencari alamat yang dituju. "Saya mencari alamat kawan," ujar salah satu di antara mereka.
Berada di Ben Thanh, serasa seperti di Jl. Malioboro, Jogjakarta. Ben Thanh Market seperti Pasar Beringharjo, di mana di tempat itu banyak dijual baju tradisional, kaos, makanan, minuman, dan berbagai barang seni semuanya khas Vietnam. Bila malam tiba, pasar itu tutup namun di luar suasananya tetap ramai. Banyak pedagang kaki lima yang menjual aneka pakaian dan kaos khas seperti bergambar bintang emas, palu arit, gambar Paman Ho, dan kaos bertuliskan Saigon, Ho Chi Minh, I Love Vietnam, dan lain sebagainya.
Tak hanya itu keramaian tercipta, banyak pedagang makanan, buah-buahan, beer, bahkan ada yang menawari pijat. Suasana yang demikian membuat Ben Thanh ramai dengan wisatawan asing. Terlihat wisatawan dari Eropa, China, Jepang, Korea, Malaysia, hilir mudik di tempat itu. Ho Chi Minh merupakan tempat wisata pilihan bagi orang Malaysia, terbukti di jalan-jalan di sekitar pasar, terdapat banyak rumah makan halal ala Malaysia.
Selepas menyelusuri pasar dan jalan sekitarnya, Ribo mencari tempat untuk menginap. Dicari tempat yang cocok untuk ukuran backpacker. Hingga ditemukan Cat Hotel, sebuah penginapan yang letaknya sangat strategis. Malam pertama di Ho Chi Minh lebih banyak digunakan oleh Ribo untuk beristirahat sebab esok hari mempunyai rencana ke Cu Chi Tunnels atau Terowongan Cu Chi.
Pagi hari Ribo bergegas bangun dan mencari tempat yang sudah diberi petunjuk oleh pegawai hotel untuk bisa mencapai Terminal Bus Cu Chi. Meski demikian kebingungan sempat dialami Ribo. Bahasa Inggris orang Vietnam yang tidak bagus kadang membuat dirinya terpontang-panting dengan informasi yang disampaikan. Bertanya kepada petugas di jalan, yang berpakaian serba hijau, mereka malah berdebat sendiri. Setelah ditunjukkan gambar Terowongan mereka baru paham. Disarankan dirinya naik bus No. 13. Rupanya bus itu berada di jalur di mana Ribo tidak jauh berdiri.
Lega hati setelah berada di bus itu, hanya dengan 6.000 dong atau sekitar Rp3.000, Ribo bisa melaju hingga Terminal Cu Chi. Jarak dari ia naik hingga ke terminal terbilang lumayan jauh sekitar 10 km. Meski demikian bus tak putar haluan, seperti kebiasaan Metro Mini atau Kopaja di Jakarta yang sering balik kucing karena alasan tak ada penumpang.
Akhirnya tiba di Terminal Cu Chi, sesampai di tempat itu Ribo menyempatkan diri untuk mencari makanan pengganjal perut sebab pagi hari ia belum sarapan. Setelah makan semacam roti yang tengahnya dibelah kemudian diisi oleh sayuran, ia mencari bus No. 79. Agar tak bingung maka gambar Terowongan Ribo perlihatkan ke sopir. Rupanya sopir sudah paham tempat itu karena banyak wisatawan luar Vietnam menuju ke Terowongan Cu Chi dan lokasi gerbang wisata perang itu hanya 10 meter dari laluan bus No. 79.
Jalanan yang sepi membuat jarak 10 km dari Terminal ke terowongan ditempuh cukup cepat. Ketika hendak tiba, sopir memberi tahu Ribo untuk turun. Setelah bus meninggalkan para penumpang yang turun, para penumpang menyeberang jalan sebab terowongan berada di sebelah jalan.
Memasuki lokasi itu, pengunjung akan melewati sebuah gerbang yang berwarna merah dengan tulisan bahasa Vietnam yang bagi orang luar Vietnam tidak tahu apa artinya. Setelah berjalan sejauh 20 meter, terdapat sebuah loket yang menerangkan harga tanda masuk. Untuk wisatawan tertera 90.000 dong atau Rp45.000. Tanpa banyak pertanyaan, tiket tanda masuk seharga itu Ribo beli. "Tidak ada pilihan lagi," ujarnya.
Kekurangan dari lokasi wisata perang ini adalah minimnya tanda petunjuk ke mana harus melangkah sehingga membikin Ribo bingung ke mana selanjutnya. Rajin-rajin bertanya adalah solusi untuk bisa menemukan di mana terowongan itu ada. Sebelum menuju ke terowongan, ada bangunan semacam temple yang besar dan bangunan pagoda yang tinggi. Di depan temple itu berkibar dua bendera merah ukuran besar, satu bergambar bintang emas dan satunya bergambar palu arit.
Temple besar itu rupanya adalah Temple Paman Ho. Paman Ho nama lengkapnya adalah Ho Chi Minh adalah bapak pendiri Vietnam. Di temple itu, banyak orang Vietnam yang bersujud depan Patung Paman Ho dan berdoa.
Selepas berada di dalam temple, Ribo berjalan sejauh 50 meter. Hingga tiba di pintu masuk terowongan. Di pintu itu sudah ada beberapa orang berpakaian serba hijau, pakaian khas pegawai di Vietnam, bisa jadi mereka adalah para tentara. Di pintu masuk tertera beberapa aturan untuk bisa menikmati wisata terowongan, misalnya seperti tidak mengidap penyakit jantung. Di papan pengumuman itu pula terlihat bahwa terowongan di bawah pengawasan seorang kolonel.
Meski ada beberapa pemuda yang berpakaian serba hijau, mereka tidak menjelaskan siapa dirinya sehingga membuat Ribo harus bertanya, "di mana pemandu?" Setelah ada pertanyaan itu, baru salah satu di antara mereka menjawab, "saya."
Selanjutnya ia mengatakan sebentar lagi akan menuju ke lokasi wisata perang Terowongan Cu Chi.
Tak lama kemudian, Ribo dengan pemandu mulai menyusuri sebuah jalan setapak di mana kanan-kirinya banyak pepohonan sehingga menciptakan suasana di tengah hutan. Hingga akhirnya Ribo menemukan sebuah patung plastik yang terdiri dari tiga buah, satu menggambarkan tentara wanita dan dua lainnya tentara pria. Mereka berdiri tegak dengan membawa senjata lengkap pertempuran. Mereka menggambarkan pasukan khusus dari Gerilyawan Komunis atau Viet Cong.
Setelah melintasi tempat itu, Ribo menemukan sebuah bangunan yang mirip gubuk namun masih berdiri tegak. Bertiang kayu dan beratap rumbai. Di tempat itu ada beberapa kursi dan ada sebuah layar televisi berukuran besar. Di bawahnya seperangkat alat elektronik yang biasa digunakan untuk memutar cd atau media rekam lainnya.
Pemandu menjelaskan bahwa di tempat itu akan diputar sejarah perjuangan bangsa Vietnam, Gerilyawan Viet Cong, ketika bertempur dengan Tentara Amerika Serikat dan Australia. Film yang diputar itu sama seperti film-film perjuangan bangsa Indonesia yang biasa diputar di TVRI pada masa-masa Orde Baru seperti Serangan Fajar atau film-film dokumentasi lainnya. Terlihat dalam film itu, bagaimana Tentara Viet Cong bertahan dari serangan tentara asing, bagaimana mereka menggali terowongan. Kemudian bagaimana mereka membuat jebakan. Terbukti perang gerilya yang mereka lakukan sukses, di mana banyak tank musuh yang terkena ranjau hingga akhirnya rusak parah dan tak berfungsi.
Selepas pemutaran film, pemandu menjelaskan gambar atau denah terowongan yang ada. Terlihat Terowongan itu menghubungkan satu tempat ke tempat yang lain. Terowongan itu dibuat tidak hanya untuk mereka 'menghilang' dari kejaran tentara musuh dengan cara masuk ke tanah dan keluar di tempat yang lain namun juga menggunakan terowongan untuk rumah, rapat, sarana transportasi, tempat menyimpan amunisi dan logistik, serta tempat operasi bila terkena peluru atau senjata musuh.
Menarik dari terowongan itu adalah adanya jebakan yang mematikan. Ini dibuat bila sewaktu-waktu musuh mengetahui letak persembunyian dan mengejarnya maka jebakan mematikan itu akan melumatnya. Menarik lainnya adalah terowongan itu tembus ke sebuah sungai, jadi para Gerilyawan Viet Cong itu bisa keluar masuk dari sebuah sungai. Seperti dalam film-film Hollywood yang menceritakan tentang film Perang Vietnam meski dalam film itu digambarkan Gerilyawan Viet Cong kalah. Hal demikian merupakan propaganda Amerika Serikat akibat misi yang gagal di Vietnam.
Setelah menjelaskan denah terowongan, pemandu mengajak pengunjung untuk melihat secara langsung tempat itu. Terbukti memang tempat itu bisa mengelabui Tentara Amerika Serikat dan Australia sebab pintu-pintu masuk Terowongan tersamar dengan daun dan ranting yamg terserak. Tempat masuknya pun susah di kenali, hanya Gerilyawan Viet Cong yang tahu, biasanya di dekat pohon.
Untuk menuju ke terowongan bagi orang yang bertubuh tambun atau gendut tidak bisa karena pintu masuknya tak lebar. Lebar dan tinggi Terowongan bisa jadi satu kali satu meter sehingga ketika melintas di dalam terowongan pastinya harus merunduk.
Suasana pengap menaungi suasana sehingga tak semua pengunjung mau dan berani berada di terowongan. Berada di dalam bawah tanah, hawa terasa panas sehingga kita bisa membayangkan bagaimana dulu Gerilyawan Viet Cong bisa bertahan dalam bunker itu. Untuk membuat sirkulasi udara, mereka membuat ventilasi dari bambu. Bambu yang mempunyai panjang sekitar 10 meter itu menghubungkan Terowongan ke permukaan tanah. Dari bambu itulah udara segar masuk dan udara kotor keluar.
Terowongan itu memang efektif dalam Perang Vietnam, dengan tempat persembunyian itu, Gerilyawan Viet Cong bisa 'menghilang' ketika dikejar musuh dan melakukan jebakan mematikan dengan serangan pendadakan saat musuh lengah dan tak sadar memasuki wilayah lawan. Saking asyiknya menikmati wisata perang itu, tak sadar kalau kunjungan sudah selesai.
Selepas meninjau Terowongan dan berbagai macam jembakan, pengunjung disuguhi beberapa potong ubi kayu yang sudah matang dalam piring dan semangkok kecil berisi garam. "Inilah makanan para gerilyawan ketika berada di dalam Terowongan," ujar pemandu itu. "Silahkan dihabiskan," ujarnya dengan ramah.
Usai sudah, pemandu mengucapkan salam perpisahan dan diberi tahu ke mana arah keluar lokasi wisata. Sebelum pengunjung keluar lokasi wisata, akan menjumpai semacam toko souvenir. Di toko itu dijual berbagai macam benda seni dan kaos khas Vietnam. Menarik dari toko itu dijual selendang kecil berwarna hitam di mana ujung dan pangkalnya berwarna poleng. Selendang itu dulunya sebagai penanda bahwa ia adalah tentara Vietnam Viet Cong.
****
Bus yang membawa Ribo dari Terminal Cu Chi telah masuk ke Kota Ho Chi Minh. Bus itu yang telah membawa kembali ke Ho Chi Minh setelah ia mengunjungi Terowongan Cu Chi.
Ia turun di sebuah pertigaan, di mana di tempat itu, seperti di tempat yang lain, terlihat ramai, berbagai kendaraan terutama sepeda motor lalu lalang. Untuk bisa menyeberang, perlu kewaspadaan yang tinggi sebab terkadang pengendara kendaraan terkesan mengemudikan dengan kecepatan tinggi.
Jalan-jalan di Ho Chi Minh diselusuri, terlihat di kanan kiri kalau tidak hotel, ya tempat usaha. Selepas dari terowongan, Ribo belum makan. Ia mencari restoran yang dirasa cocok bagi seleranya. Setelah jalan tak tentu arah, akhirnya ia menemukan sebuah makanan cepat saji, fried chicken, ayam goreng, namun restoran itu sepertinya bukan restoran global, meski demikian restoran itu menggunakan standar-standar internasional sehingga tak beda dengan McDonald, KFC, CFC maupun Texas Friedchicken.
Ribo memesan makanan dengan paket satu nasi, satu ayam, dan segelas soft drink. Setelah makanan itu tersaji di depan dirinya, ia membayar sesuai tarif. Makanan itu dibawa ke meja makan dan selanjutnya disantap. Perjalanan yang melelahkan dari terowongan rupanya membuat rasa hausnya demikian tinggi sehingga ia menambah satu gelas soft drink lagi. Gelas kedua yang diteguk itu membuat dirinya puas dan kenyang.
Biasanya di tempat seperti itu ada wifi, Ribo mencoba menanya apakah fasilitas seperti itu ada di sini. "Maaf, tidak ada," ujar salah satu pengelola restoran itu. Mendengar yang demikian, Ribo cemberut. Ia pun meninggalkan restoran itu sebab acara makan sudah selesai.
Jam menunjukkan waktu belum terlalu sore, dirinya berpikir kalau kembali ke hotel sayang sebab masih banyak waktu yang bisa digunakan untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Ho Chi Minh. Ribo bersyukur sebab dirinya memegang peta sehingga bisa melihat tempat mana yang paling dekat dengan dirinya saat berdiri di tempat itu. Rupanya tempat itu adalah Independence Palace atau Reunification Palace.
Dengan sedikit bertanya kepada orang yang duduk di pinggir jalan, Ribo menyusuri jalan menuju ke Reunification Palace. Tanda-tanda bangunan itu terlihat ketika ada sebuah pagar tinggi dan di dalam pagar terlihat tempat yang rindang. Ia segera mempercepat langkah ketika mengetahui tempat itu benar-benar tempat yang dituju.
Tepat di depan bangunan yang monumental itu, dirinya mencari tempat masuk. Rupanya jalan untuk tak jauh darinya. Di tempat itulah loket masuk Reunification Palace dijual. Ribo bersama puluhan calon pengunjung lain antri membeli tanda masuk hingga tanda masuk diperoleh setelah dirinya membayar sesuai tarif.
Ribo merasa takjub dengan bangunan yang megah itu. Bangunan itu merupakan istana, kediaman, dan kantor Presiden Vietnam Selatan ketika terjadi Perang Vietnam tahun 1973. Setelah Vietnam bersatu, bangunan itu sepertinya dijadikan semacam museum sejarah atau sebuah tempat yang terkadang digunakan untuk acara-acara seremonial kenegaraan, seperti Istana Bogor, Istana Cipanas, atau Istana Tampak Siring yang semuanya itu istana kepresidenan Indonesia.
Reunification Palace berada di area seluas 12 hektar. Di gedung yang terdiri beberapa lantai itu terdapat beberapa ruang pertemuan baik ukuran besar atau ukuran kecil, ruang peta, perpustakaan, mini teater, dan masih banyak lagi. Di gedung itu banyak gambar atau patung bapak bangsa Vietnam, Ho Chi Minh. Di depan gedung teronggok sebuah tank sebagai sebuah saksi dari terjadinya Perang Vietnam.
Seperti biasanya Ribo ingin mengabadikan di tempat-tempat yang ia kunjungi. Tiba-tiba ada seorang anak muda melintas di depannya. Ia langsung minta tolong pada anak muda itu. Setelah dipotret dengan latar belakang salah satu simbol negara Vietnam, palu-arit, Ribo mengucapkan terima kasih dan anak muda itu segera berlalu.
Ingin mengetahui setiap sudut di bangunan itu, Ribo terus menyelusuri, rupanya ia masih bertemu dengan anak muda itu. Dari situlah akhirnya mereka berkenalan, anak muda dari Vietnam itu bernama Tuan Anh Ars. Entah kenapa tiba-tiba Tuan ingin mengajak Ribo jalan-jalan dengan sepeda motor keliling Ho Chi Minh.
Mendapat tawaran itu tentu Ribo senang sebab dirinya tak mengeluarkan biaya untuk keliling kota. Meski demikian ada perasaan cemas pada diri Ribo sebab dia belum tahu siapa Tuan. Meski tahu Tuan sepertinya baik namun dirinya tetap waspada. Ia berpikiran bila Tuan berbuat jahat ia akan melawan.
Ribo mengiyakan ketika Tuan mengajak dirinya bermain futsal dengan teman-temannya lain namun ia meminta kepada Tuan agar mengantar ke Katedral Notre Dame. Disebut Notre Dame sebab miripan dengan katedral Si Bungkok di Paris, Perancis. Gereja ini dibangun pada masa kolonial Perancis tahun 1860-an. Gereja ini memiliki dua buah menara lonceng setinggi hampir 60 meter.
Di dekat katedral itu juga terdapat bangunan monumental dan juga merupakan jujugan bagi wisatawan ketika berada di Ho Chi Minh. Bangunan itu adalah Pusat Kantor Pos Saigon. Kantor pos itu dibangun ketika Vietnam masih berada di bawah kolonialisme Perancis, 1886 -- 1891. Bangunan itu berarsitektur gothik. Bangunan ini mempunyai langit-langit dengan bentuk melengkung.
Puas menikmati tempat itu, Tuan mengajak Ribo ke tempat kosnya. Ternyata Tuan adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Ho Chi Minh. Ia sendiri bukan orang Ho Chi Minh. Ia berasal dari sebuah daerah yang jaraknya dari Ho Chi Minh disebutnya jauh.
Dengan dibonceng sepeda motor, Ribo menyelusuri jalan-jalan di kota itu. Padatnya jalan sama seperti di kota-kota besar di Indonesia. Di setiap perempatan, Tuan selalu memperlambat sepeda motornya dengan tujuan untuk memwaspadai kalau ada polisi sebab Ribo tak menggunakan helm. Setiap bertemu dengan polisi Vietnam yang berseragam kuning, Tuan selalu mengatakan, "yellow dog." Ia mungkin benci kepada polisi sebab seperti polisi di daerah negara berkembang juga seperti di Indonesia suka memungut uang.
  Pada sebuah tikungan yang ramai, tiba-tiba ia menghentikan sepeda motor. Ia melihat polisi menghadang di depan. Sebab Ribo tak memakai helm maka ia disuruh turun dan Tuan berjalan dahulu menunggu di tempat yang tak jauh dari polisi itu. Ribo yang di Jakarta sudah biasa kucing-kucingan dengan polisi maka hal yang demikian sudah biasa dialami sehingga ia tahu maksud Tuan. Ia berjalan dahulu melewati polisi yang menghadang dan naik boncengan lagi setelah dirasa aman.
Siasat yang demikian berhasil. Mereka lolos dari hadangan polisi sehingga sampai tiba di kos Tuan. Di kos itu rupanya sudah ada beberapa teman lainnya. Seperti di kos laki-laki di manapun tempatnya, di dinding pasti ada poster, entah itu gambar bintang film, musisi, atau pemain bola. Di kos Tuan, poster yang terlihat adalah gambar pemain sepakbola dunia dan jadwal Piala Dunia Tahun 2014.
Tuan berbincang-bincang dengan teman-temannya itu dengan menggunakan bahasa Vietnam. Ia mengajak temannya itu untuk bermain futsal. Sore itu adalah jadwal mereka bermain futsal. Teman-temannya itu rupanya sudah siap sehingga tak lama kemudian, semuanya berangkat.
Dalam perjalanan menuju lapangan futsal, Tuan masih menghampiri temannya sehingga banyak yang akan ikut bermain. Saat menuju ke tempat acara, Ribo melintasi sebuah jembatan yang besar, mirip Jembatan Pasupati di Bandung, di bawah jembatan itu terlihat sungai yang luas, panjang, dan dalam. Sungai itu adalah Sungai Saigon.
Setelah sekitar 20 menit naik sepeda motor, sebuah jarak yang jauh di pinggiran Ho Chi Minh, akhirnya tiba di lapangan futsal yang disewakan. Di tempat itu ada 3 lapangan. Satu lapangan sudah disewa sekelompok anak muda, satunya lagi yang berada di tengah sepertinya sudah dipesan oleh Tuan dan kawan-kawannya, sedang yang berada di paling ujung kosong.
Di lapangan itu terlihat sudah banyak anak-anak muda. Perawakan mereka seperti orang-orang China, berkulit kuning dan bermata sipit. Seperti biasa, sebelum pemain bermain, mereka melakukan pemanasan. Ada yang lari-lari kecil, ada pula yang tendang-tendang bola. Ribo yang tidak membawa celana pendek, saat itu hanya duduk di pinggir lapangan. Antara ikut bermain dan tidak sama besarnya.
Setelah cukup melakukan pemanasan, mereka akhirnya bertanding. Terlihat mereka sangat cakap bermain futsal. Kocekan dan giringan bola dari mereka terlihat bagus. Di tengah jalannya pertandingan, tiba-tiba ada salah seorang pemain keluar lapangan. Melihat hal yang demikian, Tuan mengintruksikan pada Ribo untuk menggantikannya. Ribo yang ingin punya pengalaman bermain bola dengan anak-anak muda Vietnam senang diberi kesempatan itu. Rupanya Ribo sudah lama tak bermain bola sehingga nafasnya cepat ngosngosan sehingga ia tak kuat untuk bermain lama dan ia minta ganti.
Di tengah serunya pertandingan itu, tiba-tiba hujan mengguyur. Bagi yang tidak bermain, langsung mencari tempat berteduh sedang yang masih bertanding tetap menikmati permainan itu sambil diguyur dinginnya air yang turun dari langit.
***
Wajah yang basah kuyup selepas disiram air hujan tetap membuat ceria Tuan dan teman-temannya. Pertandingan futsal telah usai dan mereka berganti pakaian. Ribo yang sudah lama dengan mereka mengatakan ingin kembali ke hotel. Mendapat keinginan yang demikian, Tuan kurang berkenan, ia ingin mengajak ke kosnya lagi. Ribo sebenarnya sudah jenuh namun dirinya tidak bisa menolak kebaikan mereka.
Saat menuju ke kos, Ribo bersama yang lain melintas jalan yang terlihat banyak genangan air. Genangan air itu bisa jadi akibat hujan yang telah turun. Melihat hal yang demikian membuat Ribo berpikir, kok kayak di Jakarta saja ada genangan air.
Sesampai di kos, Ribo mengungkapkan keinginannya kembali untuk kembali ke hotel namun lagi-lagi Tuan mengatakan, "no." Selanjutnya ia menuturkan akan menjamu dirinya makanan khas Vietnam. Antara senang dan bosan menyatu dengan tawaran itu, senang sebab dirinya diperlakukan dengan baik, disambut bak raja, dan dijamu. Bosannya, dirinya sudah jenuh dan capek.
Selepas anak-anak muda Vietnam itu mandi, selanjutnya semua menuju ke sebuah tempat. Ketika tiba di tempat itu, sepertinya warung tradisional, terlihat banyak meja terisi penuh. Dihadapan mereka tersaji berbagai makanan di mana Ribo tidak tahu apa namanya. Makanan yang tersaji sepertinya beragam dari sayuran, daging, dan kuah. Bahkan kuah itu langsung dihangatkan di sebuah kompor kecil yang terletak di atas meja. Tak hanya itu dihadapan mereka, juga terlihat beer dengan berbagai merk. Beer merupakan minuman yang sudah biasa dinikmati seperti orang Indonesia yang setiap pagi dan malam minum kopi.
Tuan, Ribo, dan teman yang lain yang telah duduk di kursi dan berhadapan dengan meja, juga disajikan menu yang sama. Sebagai seorang Muslim, Ribo merasa senang mendapat jamuan itu namun dirinya terus terang bahwa dirinya tidak minum beer. Mendapat ungkapan yang demikian, semuanya mengatakan tidak masalah. Sebagai gantinya, Tuan memberi minuman semacam coca cola.
Mereka semua menikmati makanan yang tersaji bahkan untuk mengucapkan selamat atas pertemuan dan perkawanan dengan Ribo, dilakukakn tos gelas.
****
            Hari itu adalah hari terakhir bagi Ribo tinggal di Ho Chi Minh. Esok ia harus terbang ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk melanjutkan backpacking-nya. Untuk membuat banyak kenangan selama di Vietnam ia ingin menghabiskan waktu sehari itu dengan mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di kota itu.
Diselusuri kota Ho Chi Minh pagi itu, seperti biasa, kota itu selalu dipadati dengan ratusan sepeda motor yang melintasi. Ia mencari tempat yang dituju sesuai dengan peta, Antara peta dengan dengan keadaan sepertinya tidak sama sehingga membuat Ribo bingung dan bolak-balik bertanya. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Hingga akhirnya dipilihlah Musium Nasional. Masuk ke musium itu pertama kali adalah patung kepala Ho Chi Minh, bapak bangsa Vietnam. Selanjutnya memasuki bagian-bagian ruang yang ada di musium itu digambarkan bukti kehidupan manusia di Vietnam mulai dari jaman batu dan jaman-jaman kerajaan di masa Hindhu dan Budha. Melihat koleksi musium itu sama dengan bila kita melihat Musium Nasional Indonesia atau Musium Gajah.
Koleksi arca Budha, Wisnu, lembu, makara, Jatayu, yang kita lihat di Musium Gajah juga ada di Musium Nasional Vietnam. Dengan melihat apa yang ada di musium itu dengan musium di Jakarta menunjukkannya adanya hubungan antara Indonesia dan Vietnam sejak dahulu kala.
Puas melihat koleksi di musium itu, Ribo berkeinginan untuk kembali ke hotel dan selanjutnya pergi ke Bandara Udara Internasional Tan Son Nhat. Dirinya berpikir di bandar udara itu akan tidur. Dengan demikian pengeluaran dirinya lebih hemat.
Ia menyusuri jalan besar selepas musium. Di jalan itu tak terlalu ramai dibanding jalan lainnya sehingga terlihat lengang. Ribo tak memilik rasa curiga dan khawatir dengan hal-hal yang akan mencelakakan dirinya sebab selama ini ia merasa bahwa orang Vietnam baik-baik saja, terbukti sikap Tuan dan teman-temannya yang menyambut dengan ramah bahkan menjamu dan seolah-olah sudah menjadi saudara.
Perasaan tak curiga itulah yang membuat dirinya dengan santai melenggang di jalan besar selepas musium yang menuju ke arah Reunification Palace. Di jalan itu dirinya melintasi seorang tunawisma. Gambaran itu menunjukkan bahwa bangsa itu belum sejahtera.
Di saat dirinya melanjutkan perjalanan, dari arah berlawanan muncul dua orang yang menaiki sepeda motor. Ribo berpikir orang itu mau melintas namun ketika sudah di hadapan, tiba-tiba orang yang dibonceng itu menjambret tas yang dibawanya. Ribo baru tersadar kalau dirinya dijambret setelah sepeda motor itu tepat di belakangnya. Rasa kaget dialami. Sebab di dalam tas itu ada passport, dompet beserta atm, kamera, membuat ia stress. Ia langsung berteriak, "my passport, my passport."
Teriakan itu rupanya memancing perhatian orang yang berada di dalam gedung di samping jalan itu, Ribo pun meminta tolong kepada mereka namun anehnya mereka tak bersikap. Melihat hal yang demikian Ribo tambah stress. Sebab esok ia harus meninggalkan Ho Chi Minh.
Ia masih meminta tolong kepada mereka namun mereka hanya bengong dan pasrah, sepertinya kejahatan di Ho Chi Minh demikian sering dan ganasnya sehingga membuat orang takut memberi pertolongan. Bisa pula mereka tidak peduli pada orang yang mengalami nasib seperti itu.
Tak lama kemudian baru ada seorang pemuda yang menghampiri Ribo. Ia akan mengantarkan ke polisi dan ia bercerita penjambretan di Ho Chi Minh sering terjadi. Dengan demikian kota itu tak aman bagi wisatawan asing.
Sesampai bertemu dengan polisi, pemuda itu meninggalkan Ribo. Hal demikian dilakukan bisa jadi urusannya sudah selesai.
Polisi yang berada di depan Ribo bertanya bagaimana peritiswa itu terjadi. Ribo pun memaparkan saat dirinya berjalan, ada dua orang yang naik sepeda motor, dan secara tiba-tiba ia menjambret tasnya.
Mendapat cerita yang demikian, polisi itu mencoba menenangkan dan menyuruh ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan. Dari kantor polisi selanjutnya surat itu digunakan untuk mengurus surat laksana passport di Kedutaan Besar Indonesia di Vietnam.
Meski ditenangkan polisi, Ribo masih stress. Matanya menatap kosong dan pikirannya menerawang entah ke mana. Dirinya minta diantar ke hotel untuk mengambil tas. Polisi mengiyakan dan memanggil ojek. Ia berkata ojek tak perlu dibayar.
Begitu sampai hotel, tukang ojek itu bercerita dengan bahasa Vietnam. Mereka semua yang mendengar, front officer, cleaning service, security, dan tenaga administrasi mendengar seksama. Sepertinya mereka ikut merasa prihatin atas nasib yang dialami Ribo.
Di antara mereka ada Sarah, seorang gadis Vietnam yang berwajah cantik, berkulit kuning, berambut panjang, dan memiliki tubuh tinggi semampai. Ia mau mengantarkan Ribo ke Kedutaan Besar Indonesia untuk meminta perlindungan status dirinya.
Sebab hari sudah menunjukkan sore, maka Ribo dan Sarah bergegas menuju ke kedutaan besar. Seperti banyak perempuan lainnya, Sarah pun mengendarai sepeda motor. Ribo diboncengkan. Terlihat Sarah begitu cekatan dan terampil  dalam mengendarai sepeda motor jenis scoopy itu.
Sampailah dirinya di kedutaan besar. Di depan kedutaan terlihat ada pos polisi dan di pos itu terdapat seorang polisi yang menjaganya. Polisi itu sepertinya sebatas menjaga. Ia tidak tahu bagaimana menghubungi dalam kedutaan. Tiba-tiba pintu besi kedutaan membuka, bisa jadi dilihat dari CCTV ada orang Indonesia yang hendak mengurus sesuatu. Keluarlah salah seorang dari dalam, orang itu menyapa Sarah dengan bahasa Vietnam. Sepertinya orang itu adalah staff kedutaan namun diambil dari orang lokal.
***
      Malam itu Ribo duduk termenung di kursi hotel. Peristiwa siang tadi masih ada dalam pikirannya. Ia merenung mengapa hal itu terjadi sehingga membuat trips ke Kuala Lumpur menjadi batal. Tak hanya itu, bagaimana nasibnya kalau ada razia polisi, pasti ia bisa terkena sebab ia tidak memiliki identitas. Identitas dirinya yang diharap kepada kedutaan, masih dijanjikan esok hari.
Ribo berpikir saat itu apakah polisi Vietnam mengejar pelaku penjambretan setelah kejadian itu dilaporkan kepada polisi. Apakah polisi hanya sebatas menampung laporan dan tidak ditindaklanjuti seperti di Indonesia? Ribo tidak bisa menjawab pertanyaan itu, mengingat Vietnam dan Indonesia dalam beberapa hal memiliki persamaan.
Di tengah lamunannya tiba-tiba bunyi ada pesan masuk di facebook-nya. Dengan malas-malas, dilihat siapa yang mengirim pesan itu. Rupanya Sarah mengirim pesan kepadanya. Dibuka pesan itu dan tertulis bunyi, "hai gimana kabarmu? baik-baik saja kan." Dengan ogah-ogah, Ribo membalas pesan Sarah dengan tanda orang tersenyum.
Rupanya Sarah membalas pesan yang dikirim Ribo. "Sudahlah jangan bersedih, setiap orang mempunyai kisah yang menyakitkan. Biar tidak bersedih besok aku antar kamu ke kedutaan," demikian pesan yang ditulis oleh Sarah.
Ribo tetap malas-malasan membaca dan menanggapi pesan dari Sarah. Ia membalasnya dengan kalimat, "terima kasih." Â Â Â
Â
****
Pagi itu Ribo sudah berada di loby hotel, dirinya siap-siap menunggu Sarah yang katanya hendak mengantar ke kedutaan. Saat duduk dirinya diperhatikan oleh cleaning service hotel yang peduli padanya. Dengan ramah ia memberi roti. Cleaning service itu mencoba menghibur Ribo dengan harapan bisa melupakan kenangan pahit dan trauma yang menimpanya.
Di saat dirinya menggigit roti, tiba-tiba Sarah datang. Gigi Ribo menggigit roti itu lebih lama saat dirinya melihat Sarah, ia terlihat menggunakan ao dai, pakaian adat Vietnam, dengan pakaian itu ia terlihat sangat cantik. Wajah Asia Timur dengan bentuk oriental ditunjang dengan kulit kuning dan tinggi semampai membuat Sarah terlihat sempurna.
Ia kemudian memarkir sepeda motornya di depan hotel dan segera masuk ke dalam. "Hai gimana," sapanya dengan ceria. Mendapat sapaan dari perempuan cantik, tiba-tiba Ribo jadi bersemangat. "Baik," ujarnya.
"Sudah makan?" Sarah bertanya.
"Saya bawa pho bo."
"Mie sapi asli Vietnam. Halal buat kamu."
Mendengar tawaran seperti itu, Ribo kaget, Sarah kok tahu halal. Berarti ia tahu dirinya seorang muslim.
"Kamu kok tahu halal?" Ribo bertanya.
Mendapat pertanyaan yang demikian Sarah hanya tersenyum.
"Sudah makan saja pho bo kalau belum makan," ia malah mengatakan hal lain dari pertanyaan yang diajukan Ribo.
Sebab merasa menghormati dan diperhatikan dengan baik maka Ribo menyantap mie itu. Di lidah, rasanya enak sehingga mie itu habis disantap. "Terima kasih, rasanya enak," ujarnya.
"Kalau kamu mau lagi nanti aku belikan," Sarah menanggapi apa yang dikatakan.
"Sudah siap ke kedutaan?"
Sarah mengingatkan Ribo bahwa pagi ini harus mengurus identitasnya agar bisa pulang ke Indonesia.
"Ayo sekarang kalau mau antar," jawab Ribo.
Sarah dan Ribo bergegas meninggalkan hotel dan selanjutnya berdua menuju ke kedutaan. Sesampai di depan kedutaan seperti biasa ada polisi yang menjaga namun dirinya sebatas menjaga tidak mengurus tamu yang datang. Pintu pagar kedutaan tertutup rapat namun ketika dirinya berdiri di depan pagar, tiba-tiba salah satu pintu membuka. Ribo berpikir kedatangannya terpantau CCTV. Sebab kedatangannya memang ditunggu maka sepertinya petugas kedutaan telah siap.
Ribo dipersilahkan masuk dan menunggu di sebuah ruang bukan bagian dalam kantor itu. Selang sekitar 30 menit selanjutnya keluar petugas kedutaan dan membawa surat laksana passport, passport sementara. Bentuknya persis dengan passport namun masa berlakunya sementara. Setelah urusan selesai, Ribo disarankan ke Kantor Imigrasi Vietnam untuk mengurus visa. Memang Asean negara bebas visa tetapi kalau menggunakan surat laksana passport maka harus menggunakan visa.
Baik dari kedutaan itu adalah Ribo di antar oleh petugas kedutaan menuju ke kantor imigrasi. Dirinya bingung bagaimana menerima tawaran itu sebab Sarah telah mengantar dirinya.
"Sarah bagaimana, aku mau diantar petugas kedutaan untuk ke kantor imigrasi?"
Mendapat ungkapan yang demikian Sarah tersenyum manis.
"Ya sudah kalau mungkin prosedurnya seperti itu terima saja."
"Tapi aku tidak enak sama kamu karena kamu telah menunggu dan mengantar aku," Ribo menunjukkan wajah yang perhatian pada Sarah.
"Sudahlah nggak papa kok," Sarah menjawab kebimbangan Ribo.
"Nanti aku tunggu di sana, kan hanya diantar."
Ribo termangu melihat kemauan Sarah yang demikian baik. Dirinya berpikir apa yang hendak dibalaskan kepadanya untuk menggantikan kebaikannya itu.
Tiba-tiba mobil yang hendak mengantar dirinya ke kantor imigrasi sudah terparkir di depan. Ribo segera masuk ke dalam dan selanjutnya mobil yang bentuknya seperti fortuner itu meninggalkan kedutaan. Jalan-jalan Ho Chi Minh diselusuri, terlihat kepadatan jalan karena dipenuhi pengguna sepeda motor. Jarak antara kedutaan dengan kantor imigrasi tidak jauh sehingga Ribo cepat tiba di kantor tempat itu.
Berada di dalam kantor itu terlihat penuh orang, mereka sepertinya hendak membuat passport. Ribo bingung bagaimana mengajukan surat permohonan visa. Bingung sebab di kantor imigrasi itu tidak ada petunjuk yang jelas dan bahasa inggris orang-orang Vietnam kalau tidak bisa, ya terkadang susah dipahami, bisa juga orang Vietnam tidak bisa memahami bahasa inggris Ribo.
Ribo memberanikan diri menyerahkan surat dokumen ke sebuah loket dari beberapa loket yang ada. Dilihatnya dokumen itu, perbincangan bahasa inggris antara Ribo dan petugas tidak nyambung. Ribo menyerahkan nomer telepon petugas kedutaan dengan harapan ia menghubungi dan dari situlah pihak kedutaan bisa menjelaskan apa maunaya.
Jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Pukul 11.00-12.00 adalah jam istirahatdi kantor imigrasi dan pelayanan dihentikan. Petugas menyarankan Ribo kembali esok hari. Mendapat saran demikian, Ribo stress, kalau seperti ini kapan urusannya selesai apalagi trauma yang menimpa dirinya belum hilang.
"Please help me," ujar Ribo.
"Saya ingin pulang ke Indonesia."
Mendapat ungkapan yang demikian sepertinya petugas imigrasi merasa tersentuh dan ia menerima dokumen itu. Bisa jadi sebenarnya ia tahu maksud Ribo mencari visa. Dan ia tahu bahwa passport-nya hilang karena tindak kriminal namun mengapa mereka tidak secara cepat menanggapi dan merespon. "Entahlah," gumamnya.
Petugas imigrasi itu akhirnya menerima dokumen itu dan mengatakan besok atau lusa permohonan visa akan kelar. Ribo tidak gembira dengan pernyataan tersebut sebab semuanya belum jelas apalagi dirinya sudah memesan tiket pesawat tujuan Jakarta. Jangan-jangan tiket sudah dibeli namun visa belum keluar.
Ribo keluar dari kantor itu dengan jalan gontai. Ia tidak tahu di mana Sarah menunggu. Ia melihat Sarah berada di bawah pohon di sebelah jalan. Ia melambaikan tangan ketika melihat dirinya berdiri di depan kantor imigrasi. Ribo pun menghampiri. Jalan Ho Chi Minh yang tidak lebar dan selalu padat menghalangi gerakannya. Ia mau menyeberang namun selalu ada sepeda motor dan mobil yang melintas.
Di saat jalan di rasa sepi ia melangkah namun tiba-tiba saat di tengah di jalan, banyak orang berteriak, "woooiiii." Ribo sadar rupanya di sampingnya sudah ada sebuah truck besar. Truck itu rupanya bisa mengendalikan remnya sehingga tidak menghantam tubuhnya. Kalau tidak, bisa jadi dirinya sudah terpental jauh karena ditabrak. Dirinya heran tadi sepertinya jalan sudah sepi namun kok dirinya bisa mengalami hampir terkena musibah.
Sopir truck itu keluar kemudi dan menghampiri Ribo dengan mengucapkan kata-kata yang dirinya tidak tahu apa maksudnya namun Ribo paham sopir itu marah sebab nadanya tinggi. Sarah bergegas mendekati Ribo dan mengatakan sesuatu kepada sopir truck. Setelah mendapat penjelasan dari Sarah, sopir itu paham dan kembali ke kemudi.
Sarah menuntun Ribo ke pinggir jalan. Orang-orang yang berkerumun melihat peristiwa itu pun bubar. "Kamu ada apa sih kok menyeberang di saat ada truck melintas," Sarah menjelaskan.
"Ada truck melintas?" pikiran Ribo menerawang.
"Bukannya tadi jalan sepi."
"Ya Allah, apakah aku melamun karena masalah yang menimpa sehingga pandanganku jadi tak jelas."
"Sudah, sudah, lupakan semua," ucapan Sarah menghentikan kebingungan pikiran Ribo.
"Nanti kalau menyeberang lagi hati-hati."
"Terus bagaimana visamu?"
Mendapat pertanyaan itu, Ribo menarik nafas dalam-dalam. "Pasrah," ujarnya.
"Kok pasrah?" Sarah bertanya.
"Dibilang besok atau lusa baru selesai dan aku sudah membeli tiket untuk pulang ke Jakarta," Ribo menerangkan apa yang dimaksud dengan kata pasrah.
"Kalau tiket sudah dibeli terus visa belum dikabulkan bagaimana?"
Mendapat paparan itu Sarah menatap Ribo dengan penuh arti. "Ya mudah-mudahan semuanya selesai pada waktunya," Sarah menyemangati.
"Kamu ke Ho Chi Minh kan mau jalan-jalan kan?"
"Nah sambil menunggu visamu, kita jalan-jalan saja."
"Aku antar kamu ke tempat yang belum pernah kamu kunjungi." Â Â Â
"Kita melihat Sungai Saigon."
Trauma yang menimpa Ribo rupanya masih membekas hingga detik itu sehingga dirinya masih saja terlihat linglung. Saat Sarah menawari hal yang demikian, hambar dan dingin terlihat pada muka Ribo. Biasanya ia kalau ditawari jalan pasti segera menyahut dan mengiyakan.
Sarah menarik tangan Ribo dan mereka meluncur ke Sungai Saigon. Letak sungai itu tidak jauh karena memang berada di Kota Ho Chi Minh. Bagi rakyat Vietnam, sungai yang lebarnya lebih dari 100 meter dan panjangnya ratusan kilometer itu sepertinya menjadi nafas kehidupan, dari sungai itulah sungai banyak memberi kehidupan. Sungai yang airnya tak pernah kering dan sepertinya selalu meluap. Pada siang hari, sungai di gunakan sebagai sarana transportasi dan angkutan wisata, bila malam tiba suasana wisata lebih menarik sebab kerlap-kerlip lampu yang ada pada perahu menambah meriahnya malam.
Di tepi Sungai Saigon terlihat Sarah begitu ceria. Ia mengumbar senyum yang ramah. "Indah bukan Sungai Saigon" ujarnya.
"Sejak dahulu sungai ini menjadi arti penting bagi rakyat Vietnam."
Sarah menjelaskan banyak hal mengenai sungai itu, Ribo tertarik dengan apa yang disampaikan. Suatu saat Ribo melihat Sarah begitu cantiknya saat ia memandang sebuah kapal yang melintas. Rambutnya yang terurai panjang, kulitnya yang kuning, wajahnya oriental, dan tinggi semampai. "Bidadari Kuning di tepi Sungai Saigon," gumam Ribo.
Angin yang bertiup kencang mengurai dan melambailambaikan rambutnya yang hitam dan panjang, sinar matahari yang menimpanya sepertinya menambah kuning kulitnya, percikan gelombang sungai akibat hentakan kapal membasahi wajahnya sehingga menjadi lebih sempurna.
Ribo terpesona melihat Sarah sehingga dirinya bengong. Saat Sarah diperhatikan, ia memandang wajah Ribo dan selanjutnya tertawa. "Sudah lupa ya sama traumanya," Sarah meledek. Ketahuan dari tadi memperhatikan Sarah, Ribo jadi malu dan ia tersenyum. Dalam hatinya sudah timbul ketertarikan pada Sarah gadis Vietnam yang cantik seperti bidadari.
"Sekarang saya jadi ingat sama kamu," Ribo mulai mengungkapkan perasaannya.
"Hah, ingat aku?" ujar Sarah.
"Emang saya siapa kok diingat-ingat," terdengar suara Sarah tertawa.
"Kamu cantik," Ribo berani memuji Sarah.
"Aku cantik?" Sarah merasa keheranan.
"Bukannya gadis Indonesia cantik cantik?"
"Wajah seperti saya di Indonesia kan banyak, karena kalau di Indonesia pasti saya disebut orang China."
"Di sana kan banyak orang China."
Ribo tersenyum.
"Pasti kamu melamun seperti saat hampir di tambah truck tadi ya," Sarah pun tertawanya meledak.
"Sudah, sudah nggak usah dibahas," Ribo merasa terpojok meski senang Sarah ceriwis.
"Ya penting saya sudah bilang kamu cantik."
"Kalau sudah mengatakan demikian stress-nya berkurang."
Â
     Â
****
Saat Ribo duduk di lobby hotel, tiba-tiba bunyi handphone berdering. Tanda suara panggilan masuk dipencet. Dari handphone terdengar suara pegawai kedutaan. Ia mengatakan sudah ditelepon petugas imigrasi dan mengabarkan bahwa permohonan visa sudah dikabulkan.
 Mendapat kabar yang demikian Ribo girang bukan main sebab dirinya bisa pulang ke Jakarta sesuai dengan jadwal. Jadwal pulang ke Jakarta sesuai dengan tiket adalah besok siang. Namun perasaan sedih juga menghampiri Ribo sebab dirinya harus berpisah dengan Sarah, gadis Vietnam yang baik hati. Haruskah dirinya mengurungkan niatnya untuk kembali ke Indonesia sebab dirinya sudah mulai mencintai Sarah.
Tentu tidak bisa dirinya mengurungkan niatnya sebab surat laksana passport yang dipegang ada batas waktunya. Bila dirinya tetap bertahan di Ho Chi Minh, tentu nantinya akan ada masalah dengan hukum. Bisa-bisa dirinya dideportasi dan selanjutnya tidak bisa datang ke Vietnam lagi. Untuk itu dirinya akan pulang ke Indonesia dan selanjutnya akan kembali ke Vietnam untuk bertemu kembali dengan Sarah.
Sebab visa sudah jadi, maka Ribo ingin mengambil surat laksana passport-nya. Pegawai hotel banyak yang empati dan simpati padanya sehingga ketika dirinya mengatakan ingin ke kantor imigrasi maka salah satu di antara mereka akan mengantar. Manh, office boy hotel yang akan mengantar ke kantor imigrasi.
Dengan sepeda motor, Manh membonceng Ribo menuju kantor imigrasi. Manh terlihat sangat cekatan ketika mengendarai sepeda motor. Sesampai tiba di kantor imigrasi, Ribo langsung menuju ke loket tengah. Setelah membayar visa, petugas memberikan surat laksana passport yang di dalamnya ada tanda visa. Tak mau banyak urusan lagi, ia segera meninggalkan tempat itu.
Di luar Manh sudah siap untuk membawanya kembali ke hotel. Tak lama jalan yang dilalui, akhirnya sepeda motor itu sudah berada di parkiran hotel. Direbahkannya badan Ribo di sebuah kursi, ia segera menghubungi Sarah. Namun tak ada respon. Dihubungi sekali lagi namun hasilnya sama. Ribo kecewa. Namun dirinya masih berpikiran positif. Ia selanjutnya mengirim sebuah pesan, Sarah lagi di mana, kapan bisa bertemu?
***
Di ruangan kelas terlihat Sarah dan beberapa mahasiswa lainnya sedang mengikuti kuliah. Seperti biasanya jam dan hari itu Pak Binh memberi kuliah mengenai model-model ekonomi. Ia sangat semangat pada hari itu. Setelah setengah jam memaparkan materinya, ia lalu mengatakan, "ada pertanyaan?"
Di antara mahasiswa saling pandang, mereka melihat siapa yang akan mengajukan pertanyaan. Tiba-tiba Sarah mengangkat tangan. "Pak mau bertanya, apakah sistem ekonomi kapitalis cocok diterapkan di Vietnam?" Mendengar pertanyaan seperti itu semua yang berada di kelas terperanjat. Sebagai negara komunis sosialis tentu sistem negara yang dianut oleh negara itu adalah sistem ekonomiyang terkendali, di mana negara yang lebih dominan mengatur sistem perekonomian daripada oleh kekuatan swasta. Mungkin ada yang berpikir bahwa pertanyaan Sarah itu terlalu kritis.
"O pertanyaan yang bagus," ujar Pak Binh. Ia selanjutnya secara panjang lebar menjelaskan sistem tata negara Vietnam dan selanjutnya menjelaskan apa itu sistem ekonomi kapitalis. Dari situ kemudian Pak Binh menarik sebuah kesimpulan. Dari kesimpulan itulah maka semua mahasiswa menjadi mengerti dari jawaban yang diajukan Sarah.
Tiba-tiba bel berbunyi tanda kuliah usai. Pak Binh langsung berkata, "ok sekian dulu kuliah kita dan minggu depan sepertinya kita mengadakan midtest." Setelah itu dirinya keluar ruangan. Setelah Pak Binh tak ada di ruangan, suasana kelas menjadi gaduh. Mereka para mahasiswa sepertinya melepaskan penat dan ketegangan setelah berhadapan dengan dosen yang terkenal killer itu.
Ketika teman-temannya asyik dengan kegaduhannya, Sarah membuka handphone yang dari tadi dimatikan karena sedang kuliah. Ada aturan saat kuliah dilarang menghidupkan handphone. Bila melanggar akan dikenai sanksi. Saat handphone dihidupkan, selanjutnya terdengar beberapa kali bunyi yang pesan masuk. Sarah kaget ketika melihat ada tanda yang menunjukkan beberapa kali Ribo menghubungi dirinya. Dirinya melihat juga ada sms darinya.
Dibuka sms itu dan terbaca sebuah kalimat pesan dari Ribo, Sarah lagi di mana, kapan bisa bertemu? Setelah membaca pesan itu ia segera mengetik huruf-huruf yang ada di handphone sehingga terangkai sebuah kalimat, maaf tadi lagi kuliah jadi handphone dimatikan. Kalimat itu kemudian dikirim ke Ribo. Â Selanjutnya ia menulis pesan lagi, kamu lagi di mana?
Mendapat respon dari Sarah lewat handphone, Ribo begitu senang. Ia langsung mengirim sebuah pesan dengan kalimat, di hotel habis mengurus visa. Tak puas dengan kalimat itu, selanjutnya ia mengirim pesan lagi, kapan bisa bertemu?
Nanti malam saja ya, di tepi sungai saigon, demikian balas Sarah lewat pesannya. Ribo kembali menerima pesan dengan kalimat, aku capek habis mengikuti kuliah Pak Binh yang terkenal killer di kampus. Mendapat pesan yang demikian Ribo tidak berkomentar ia hanya mengirim sebuah pesan dengan tanda J J. Tanda itu menunjukkan dirinya tersenyum mendapat kabar dari Sarah.
***
Kerlap-kerlip lampu yang terpancar dari perahu kayu yang melintas di Sungai Saigon malam itu menambah terasa sahdu. Sinar lampu yang menerpa air di sungai memantul dan membiaskan cahaya bening. Bila dilihat dari langit Sungai Saigon malam itu seperti dipenuhi kunang-kunang.
Di tempat itu Ribo dan Sarah berjanji untuk bertemu. Mereka sepertinya hendak melepaskan rasa kangen setelah sehari tidak bertemu. Di tepi Sungai Saigon, di sebuah tempat yang tidak jauh dari keramaian, dua orang beda bangsa itu duduk saling menghadap. Perbedaan agama, etnis, dan bahasa sepertinya tidak menghalangi mereka untuk saling akrab bahkan mencintai.
"Gimana visamu, sudah beres?" Sarah berucap memecahkan keheningan.
Mendapat pertanyaan itu, Ribo mengangguk. Selanjutnya ia menatap wajah Sarah dengan seksama.
"He, ngapain lihat-lihat?" ujar Sarah dengan tersenyum.
"Ya aku memandangmu karena sebentar lagi kita akan berpisah," Ribo mengatakan demikian sambil mengalihkan pandang. Mendengar yang demikian, Sarah tertawa kecil.
"Terus kamu mau melupakan aku setelah di Indonesia?" tanya Sarah.
"Tidak," jawab Ribo.
"Saya akan kembali ke Vietnam untuk kamu."
"Meski ada orang Vietnam yang menyakiti aku, aku tetap ingin kembali ke sini karna kamu."
"Hah" Sarah keheranan mendengar perkataan itu.
"Kamu serius atau bercanda?"
"Terus kamu ngapain di Vietnam lagi?"
Mendapat pertanyaan yang beruntun dari Sarah. Ribo dengan tegas mengatakan," aku serius.
"Soal mengapa aku di sini, itu masalah nanti."
"Tapi kan nggak bisa kamu di sini hanya untuk bersenang-senang," Sarah mengatakan demikian.
"Kalau kamu di sini luntang-luntang nanti bisa menjadi beban negara Vietnam."
"Negeri ini sudah miskin, bila kamu berada di sini dengan status yang tidak jelas, kamu bisa menambah masalah."
"Sudahlah kamu jangan pikirkan aku, kamu konsen saja di Indonesia."
"Di sana kamu bisa bekerja dan hidup dengan enak."
"Di sini lapangan kerja sempit dan nilai mata uangnya rendah, lebih tinggi nilai mata uang Indonesia." Â Â Â
Mendapat ungkapan yang demikian, Ribo menatap tajam Sarah.
"Kamu nggak percaya sama saya?" ujar Ribo dengan suara meninggi.
"Aku di sini bisa bekerja sesuai keahlianku."
"Aku saja nggak masalah kok, kamu saja yang terlalu khawatir."
"Ih, siapa yang khawatir?" Sarah mengatakan demikian dengan sedikit jengkel.
"Aku hanya bilang kalau di negara orang lain jangan hanya bersenang-senang atau luntang-lantung."
"Kalau kamu di sini bisa bekerja, ya baguslah."
"Berarti kamu punya tanggung jawab."
"Lho kamu kok marah?" sepertinya Ribo mulai tersudut dengan pernyataan-pernyataan Sarah.
"Siapa yang marah, aku cuma memperhatikan kamu," Sarah berkatan demikian ketus.
Mendengar ungkapan yang demikian, Ribo menjadi kaget. Ungkapan itu  meski disampaikan dengan ketus namun membuat dirinya merasa tersanjung, berarti Sarah memperhatikan dirinya. Bila sudah demikian dirinya optimis bila suatu hari ia menyampaikan rasa hatinya tak akan bertepuk sebelah tangan.
"Percayalah aku tak seperti yang kamu khawatirkan," kata Ribo.
"Sudah, sudah, mari kita nikmati terang bulan di atas Sungai Saigon."
Sarah tersenyum manis mendengar apa yang dikatakan Ribo. Sinar bulan yang menimpa wajah Sarah menambah ayu wajahnya. "Ijinkan aku membaca puisi tentang malam ini," Ribo ingin mengungkapkan sahdunya malam itu.
Terang bulan menyinari Sungai Saigon
Cahayanya menerangi bumiÂ
Buah cinta bulan pada bumi
Air pasang membasahi
Hati ini tertambat pada bidadari
Berwajah ayu seperti para dewiÂ
Tak mau pergi jauh dari bidadari
Meski sakit mendera diri
***
Wajah Sarah terlihat sayu, terlihat ada air yang menggenangi matanya. Sifat ceriwis dan bawel yang biasa muncul padanya, pagi itu tak terlihat. Sekarang di mukanya memancar sebuah kesedihan. Sarah sedih sebab Ribo pagi itu harus meninggalkan Ho Chi Minh untuk kembali ke Jakarta. Tentu Sarah tidak ingin melepas kepergian Ribo begitu saja. Untuk itu dirinya mengantar pria asal Indonesia hingga boarding di Bandar Udara International Tan Son Nhat.
Ribo tahu Sarah sedih, melihat yang demikian dirinya bergembira berarti dirinya sangat berarti bagi Sarah namun kegembiraan itu disimpan di hati. Ribo bisa memahami hati Sarah, untuk itu dirinya juga memperlihatkan rasa sedih. Ribo juga menyimpan hati buat Sarah, tak heran dirinya juga merasa berat harus berpisah dengannya.
"Sudah jangan bersedih," ujar Ribo dengan lirih sambil memegang tangan Sarah.
"Aku pulang untuk kembali."
"Aku berjanji."
Mendengar ungkapan hati itu, Sarah langsung memandang wajah Ribo.
"Kamu berjanji untuk datang lagi ke Ho Chi Minh kan?" Sarah bertanya  yang demikian meski Ribo sudah mengatakan akan kembali untuk dirinya.
"Kamu tidak akan membohongi aku?"
"Bila waktu mengijinkan aku akan terbang bersamamu."
"Bukan sekarang tapi nanti."
"Tapi sudahlah aku akan menunggumu."
Mendengar ungkapan tulus Sarah, Ribo merasa terharu. Dirinya mengakui apa yang dirasakan Sarah juga dirasakan. Dirinya dalam hati mengiyakan apa yang diinginkan oleh gadis Vietnam itu. Dipeluknya tubuh Sarah dengan rasa sayang dan cinta dan dibisikan kalimat ke telinganya. "Percayalah bidadariku aku kembali ke sini lagi."
Mendengar apa yang dikatakan itu, Sarah memandang wajah Ribo dengan seksama, matanya terlihat bening, wajahnya terlihat serius, dan bibirnya hendak mengatakan sesuatu. Di saat Sarah hendak mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara panggilan penumpang pesawat yang mempunyati tujuan ke Jakarta diharap untuk segera masuk pesawat. Mendengar panggilan itu, Ribo memeluk kembali Sarah dengan erat-erat. Mendapat perlakuan yang demikian, Sarah berontak dengan berkata, "sudah, sudah, cepat pergi nanti ketinggalan pesawat." Setelah berkata demikian dirinya tertawa.
Ribo tertawa dan selanjutnya ia meninggalkan Sarah. Sarah memandangi terus Ribo sampai hilang ditelan kerumunan calon penumpang pesawat lainnya.
****
Pesawat yang dinaiki Ribo dengan route perjalanan Ho Chi Minh-Jakarta itu adalah pesawat yang sering delay untuk route-route dalam negeri. Entah karena pesawat itu memiliki route luar negeri atau karena tak ada masalah dengan mesinnya maka jadwal keberangkatannya tepat waktu sehingga dengan penerbangan selama 3 jam dengan transit di Changi, Singapura, dilalui dengan aman dan lancar.
Semua bergegas keluar dari perut pesawat selepas diberi ijin oleh pramugari untuk meninggalkan pesawat. Ribo dengan sedikit berdesakan dengan penumpang lain berebut untuk keluar dari lengkungan logam ringan itu. Setelah keluar dari pesawat selanjutnya diri dan yang lain harus antri untuk diperisak passport-nya. Ribo merasa tenang sebab dirinya sudah di negaranya sendiri, jadi komunikasinya gampang dan bila ada apa-apa dia langsung mengungkapkan masalahnya dengan jelas.
Saat berada di depan petugas imigrasi, Ribo menyerahkan surat laksana passport. Sepertinya petugas imigrasi itu sering menemukan atau menjumpai wisatawan dari Indonesia yang kehilangan passport di luar negeri sehingga tak heran atau bingung menerima surat laksana passport. Tak heran bila petugas imigrasi tak bertanya kenapa kok surat laksana passport.
Ribo hanya jengkel kepada petugas imigrasi itu saat ditanya di mana pintu keluar, ia menjawab tidak tahu. Sebuah jawaban yang aneh, ia kan setiap hari bertugas di tempat itu masa tidak tahu. Entah karena lelah atau tidak menghargai bangsanya sendiri membuat petugas imigrasi itu seenaknya.
Dirinya ingat di sebuah berita ada petugas imigrasi dipukuli penumpang pesawat sebab dirasa memberi pelayanan yang tidak adil. Ada yang menyebut petugas imigrasi itu lebih mengutamakan pelayanan kepada penumpang dari luar negeri daripada dalam negeri. Hal inilah yang membuat penumpang pesawat tadi marah dan melakukan tindakan pemukulan.
***
Ribo bersyukur bisa tiba dengan selamat di Indonesia sebab dalam beberapa hari di Vietnam, dirinya tidak memiliki identitas yang jelas. Aksi penjambretan yang dilakukan orang sana membuat dirinya menderita, tak hanya harta namun jiwa. Membuat dirinya pontang-panting mengurus identitas dirinya di Kantor Imigrasi Vietnam.
Dirinya yakin banyak wisatawan dari luar negeri mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Untuk mencegah hal yang demikian terulang menimpa pada wisatawan dari Indonesia, Ribo menulis di sebuah blog koran nasional, dengan tulisan, Berhati-hatilah saat Wisata di Ho Chi Minh Vietnam: di akhir tahun, saya melakukan wisata di Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Di kota itu saya mengunjungi beberapam obyek wisata seperti Cu Chi Tunnels, Independent Palace, Kantor Post, dan lain sebagainya. Sayangnya di tengah liburan yang mengasyikan itu, saya terkena di musibah, di mana saat berjalan di Jl. Lu Du Yen, tak jauh dari Kebun Binatang, saya dijambret oleh dua orang yang mengendarai sepeda motor. Hilang dalam tindak kejahatan itu passport, kamera, ATM, dan beberapa uang Vietnam, dong.
Perasaan sedih meliputi saya setelah kejadian itu. Selepas peristiwa itu saya diantar oleh seseorang Vietnam kepada polisi dan tentara, saya tidak tahu apakah aparat di sana mengejar pelaku setelah kejadian itu. Menurut orang yang mengantar saya itu, banyak kejadian penjambretan di Ho Chi Minh. Untuk itu saya sarankan bila anda melakukan perjalanan wisata di Ho Chi Minh dan kota-kota lainnya di Vietnam, berhati-hatilah.
***
Sebab segala identitas yang dimiliki Ribo hilang, membuat dirinya harus kembali mengurus surat-surat identitasnya. Untuk itu pertama kali menemui Pak RT untuk meminta surat keterangan diri guna bisa memperoleh KTP di kelurahan. Menemui Pak RT tidak susah sebab Ribo sudah sering bertemu dengannya sehingga prosesnya cepat dan lancar. Pun demikian saat di kelurahan tak mengalami hambatan sehingga urusan KTP-nya yang ikut hilang di Ho Chi Minh cepat selesai.
Hari-hari panjang dan melelahkan dirasakan oleh Ribo saat dirinya mengurus passport di Kantor Imigrasi. Dirinya harus bolak-balik ke kantor itu, mulai dari wawancara untuk membuat berita kronologi, meminta surat keterangan dari polisi yang menyatakan kehilangan, hingga harus ke Kantor Hukum dan HAM di wilayah untuk dicek apakah pengaju passport sedang dicekal atau memiliki catatan hitam.Â
Membuat Ribo deg-degan sebab ada yang mengatakan permintaan passport bisa tidak dilayani dengan alasan ada yang memperjualbelikan passport. Dirinya membayangkan bagaimana kalau ia tidak memiliki passport, hal demikian pastinya membuat ia tidak bisa melakukan kegemarannya, backpacker ke luar negeri. Namun dirinya mempunyai dalih yang kuat bahwa dirinya memang mengalami nasib yang apes, kejambretan, jadi passport-nya benar-benar hilang karena disebabkan ulah orang lain bukan karena dirinya.
Ribo tetap sabar dalam menjalani proses pembuatan passport, dirinya tidak mau marah-marah kepada petugas imigrasi yang menurutnya lamban. Bila marah-marah hal demikian justru akan menyusahkan dirinya, bisa-bisa akan semakin dipersulit. Kesabaran yang dijalani Ribo akhirnya berbuah hasil. Akhirnya Kantor Hukum dan HAM memberi catatan yang positif bahwa Ribo tidak memiliki catatan hitam apalagi dicekal. Dengan surat keterangan itu membuat kantor imigrasi harus membuatkan passport baru untuk Ribo. Bukti dari diberinya passport baru buat Ribo adalah dirinya harus melakukan pemotretan. Di sesi inilah sesi terakhir sebelum buku passport diserahkan kepada pemilik. Â
***
Lewat pesan facebook, Sarah menanyakan kabar Ribo. Sarah bertanya apakah Ribo sudah membuat passport lagi. Baginya itu penting sebab dengan passport yang sudah ada, ia bisa secepatnya kembali ke Vietnam untuk menemui dirinya.
Dengan cekatan Ribo membalas pesan itu. Ia menulis bahwa seluruh proses pembuatan passport telah dilalui hingga buku kecil itu sekarang sudah ada di tangan. Ia juga mengungkapkan ingin kembali ke Vietnam secepatnya agar bisa bertemu dengan Sarah.
Kedua orang yang berjauhan jarak itu selanjutnya asyik dengan perbincangan lewat media sosial itu. Di tengah asyiknya berbalas pesan, Arman tiba-tiba menyapa, "hai Ribo ke mana saja kamu, kok lama nggak kelihatan." Mendapat sapaan teman lama, Ribo teperangah dan langsung membalasnya, "hai Man."
"Ke mana juga kamu kok baru kelihatan."
Mereka pun salin berjabat tangan dan berpelukan. Terlihat sangat akrab di antara mereka. "Gimana kabarmu?" Arman bertanya sambil mengajak Ribo duduk di sebuah sudut caffe. "Aku baik-baik saja Man," jawa Ribo.
"Gimana kabar istrimu?"
Mendapat pertanyaan itu, Arman tersenyum.
"Dia baik-baik saja bahkan sudah hamil 3 bulan."
Mendengar istri temannya sudah hamil, Ribo terlihat langsung sumringah.
"Hebat kamu Man."
Arman tertawa dan balik bertanya pada Ribo. "Kapan kamu nyusul?"
"Jangan terlalu lama, rugi nanti," Arman berkata demikian sambil tertawa.
"Tuh di tunggu sama Vira."
Mendengar ucapan yang demikian, Ribo terperanjat.
"Vira?" gumamnya dengan lirih.
Vira adalah adik kelas Ribo namun beda jurusan dan fakultas. Vira seorang gadis yang manis. Di kampus ia kesohor tidak hanya karena cantik namun ia juga menjadi mayoret marching band kampus. Cantik dan posisi seperti itu membuat banyak mahasiswa berebut hati Vira termasuk Ribo. Meski Ribo bisa jadi kalah dengan mahasiswa lain yang lebih tajir dan tampan namun dirinya pantang menyerah untuk bisa mendekati Vira.
Anehnya, Vira sepertinya membuka hati kepada Ribo. Buktinya Vira dan Ribo telah beberapa kali bertemu di mall dan terkadang dilanjutkan dengan nonton film bareng. Mereka semakin lama semakin akrab. Namun entah kenapa tiba-tiba Vira tidak mau lagi dihubungi Ribo.
Sebab Ribo tak mau terlalu larut dengan masalah itu, dirinya pun juga cuek dan tak mau ngejar-ngejar Vira. Mengejar-ngejar Vira menurutnya akan membuang tenaga dan waktu.
"Ah sudahlah," ujar Ribo kepada Arman.
"Dia kan cantik, masih banyak yang mau sama dia."
Arman tertawa terbahak-bahak mendengar apa yang diucapkan itu.
"Saat kamu menghilang dia sempat bertanya di mana kamu."
"Vira bilang kamu dihubungi katanya handphone-mu mati."
Ribo antara ragu dan yakin atas apa yang diucapkan Arman. Bisa saja Vira menghubungi dirinya namun tidak tersambung karena dirinya sedang berada di luar negeri. Tetapi dirinya berpikir, ngapain Vira mencari dirinya, bukankah selama ini ia telah menjauh darinya. Ribo berpikir bisa jadi Vira sedang jinak-jinak merpati.
"Ah sudahlah," ujar Ribo lagi.
***
Tabungan Ribo sudah cukup. Dengan demikian dirinya ingin pergi ke Vietnam. Ia ke Vietnam sesuai janjinya untuk menemui Sarah. Agar perjalanan hemat, ia mencari tiket yang harganya murah, syukur-syukur tiket promo. Pengalamannya menjadi backpacker membuat dirinya lincah mengklik-klik web maskapai penerbangan. Setelah berselancar selama satu jam mencari tiket yang harganya diinginkan, akhirnya tiket itu didapat.
Pesawat yang hendak membawa Ribo ke Ho Chi Minh itu adalah pesawat dari maskapai di mana salah satu pesawatnya jatuh di laut Kalimantan yang mengakibatkan seluruh penumpangnya tewas namun Ribo tak peduli. Ia mempunyai prinsip bahwa mati adalah urusan Tuhan.
Setelah ok dengan harga tiket dan jadwal jam dan hari keberangkatan, selanjutnya dirinya menghubungi agen penjualan tiket. "Hallo, agen tiket pesawat?" Ribo bertanya meski nomer yang dituju sesuai dengan petunjuk.
"Iya betul, ada yang bisa dibantu?" jawab salah seorang karyawan agen tiket pesawat.
Ribo pun mengungkapkan keinginan membeli tiket ke Ho Chi Minh dan selanjutnya  menyebut jam dan tanggal.
"Baik tunggu akan saya chek lebih dahulu," ujar karyawan agen tiket pesawat.
Setelah menunggu tak sampai 2 menit, selanjutnya ada suara keluar dari telepon yang mengatakan, "terima kasih telah menunggu."
"Tiket yang bapak inginkan masih tersisa. Bila bapak memesan, pembayarannya lewat kartu kredit atau cash dengan mendatangi kantor kami?"
"Saya lewat kartu kredit mbak," jawa Ribo.
"Baik tolong disebutkan nomer kartu kreditnya," balas karyawan penjualan agen tiket pesawat.
Ribo menyebut angka-angka kartu kreditnya. Tak berapa lama, terdengar suara, "Baik, tiket pesawat yang bapak pesan sudah kami cetak dan nanti akan dikirim kurir ke alamat rumah," karyawan agen tiket pesawat itu mengakhiri proses transaksi.
***
Ribo membuka fasilitas facebook di handphone-nya. Tak seberapa lama muncul deritan pesan masuk. Dilihatnya Sarah telah mengirim pesan kepadanya. Dia menanyakan kabar. Ribo girang menerima pesan dari Sarah. Ia langsung membalas dengan menceritakan telah membeli tiket ke Ho Chi Minh pada jam dan hari yang sudah ditentukan. Ribo juga menulis dirinya tidak sabar lagi untuk ke sana agar bertemu dengan Sarah.
Untuk menyakinkan Sarah, ia memotret tiket pesawat dan selanjutnya dikirim kepadanya. Tak lama kemudian, Sarah membalas pesan dengan menunjukkan sikap yang senang dan gembira. Seolah-olah ia ingin Ribo cepat datang.
Selanjutnya dua orang itu saling berbalas pesan. Entah apa yang mereka ungkapkan. Mungkin mereka saling mengungkapkan rasa rindu.
****
Pesawat yang membawa Ribo telah mendarat dengan sempurna di Bandar Udara Tan Son Nhat. Setelah berhenti sesuai dengan petunjuk pemandu, garbarata bergerak mendekati pintu pesawat. Begitu terhubung selanjutnya pilot memberitahu kepada pramugari agar pintu dibuka. Begitu pintu dibuka, satu persatu penumpang menghambur keluar.
Ribo yang sudah merasa bosan duduk dalam pesawat, ditambah dengan rasa rindu yang demikian hebatnya pada Sarah, membuat dirinya buru-buru keluar dari angkutan yang terbuat dari logam ringan itu. Saat menuju keluar, gerakannya agak terhambat sebab ratusan penumpang yang lain juga ingin keluar. Untung semuanya berlaku tertib sehingga gerakan orang keluar menjadi lancar.
Seperti biasanya, penumpang dari negara lain diwajibkan untuk melakukan check keimigrasian. Terlihat orang mengular di check keimigrasian. Mereka antri satu persatu untuk dilihat passport-nya. Bagi orang yang menikmati bebas visa, check yang dilakukan lebih cepat. Hal demikian dialami Ribo, sesama negara Asean adalah bebas visa.
Setelah distempel tanda keimigrasian Vietnam, dirinya langsung bergegas meninggalkan tempat itu. Begitu tiba di terminal kedatangan dilihatnya Sarah dengan pakaian ao dai, pakaian tradisional Vietnam, berwarna putih tengah melambaikan tangan kepadanya. Dengan pakaian itu, Sarah terlihat begitu cantik, apalagi rambutnya terurai. Hembusan angin membuat rambutnya tergerai indah.
"Ribo....," teriak Sarah sambil berlari menghampiri. Muka Sarah terlihat gembira melihat Ribo berada di depannya. Ia langsung memeluk pria dari Indonesia itu. Ribo juga membalas pelukan hangat Sarah. Mereka selanjutnya tertawa semua.
"Gimana penerbangannya?" Sarah menanyakan hal demikian karena penerbangan di Indonesia terkenal tidak aman. Ribo tersenyum dan mengatakan, "syukur aman."
"Allhamdulillah," balas Sarah.
Mendengar perkataan yang demikian, Ribo heran kok Sarah tahu kata allhamdulillah.
"Kok tahu allhamdulillah?"
Sarah hanya tersenyum.
"Kamu pasti lapar kan?" Sarah balik bertanya
"Kita makan saja dulu."
"Pasti kamu cari makan yang halal makanya kita cari restoran Malasyia."
"Adanya di Ben Thanh Market. Dari bandara naik bis sekali jalan."
Entah karena lelah atau karena suka gaya bicara Sarah yang ceriwis membuat Ribo nurut sehingga mereka berdua langsung menuju tempat angkutan umum itu berada. Bus menuju jantung keramaian di Ho Chi Minh itu.
Menuju ke Ben Thanh dari Tan So Nhat ditempuh sekitar 30 menit. Jalan di Vietnam yang relatif tidak lebar membuat laju bus sering tersendat apalagi ratusan sepeda motor ikut menyesaki jalan. Meski demikian bagi Ribo hal demikian tidak membuatnya pusing, dirinya sudah sering mengalami di Jakarta, Bekasi, Tangerang, bahkan di Cileungsi pun juga sering terjadi hal yang demikian.
Akhirnya bus itu masuk di terminal Ben Thanh. "Ayo turun," ujar Sarah. Ribo saat dalam perjalanan kelihatan ngantuk sehingga terperanjat mendengar kata itu.
"Sudah nyampai ya?" tanya Ribo.
"Ih, kamu, sudah tiba makanya jangan tidur melulu," jawab Sarah.
Ribo pun digandeng Sarah menuju Ben Thanh Market yang jaraknya tidak jauh dari terminal bus. Di kawasan itu memang banyak restoran Malaysia. Orang Melayu yang tinggal di Vietnam mendirikan restoran bisa jadi banyak wisatawan Malaysia yang berkunjung ke negara itu. Jarak Malaysia dan Vietnam terbilang dengan, penerbangan hanya 1,5 jam. Faktor dekat dan biaya di Vietnam yang murah itulah yang bisa jadi membuat orang Malaysia banyak yang berkunjung ke sana daripada ke Jakarta.
Ribo dan Sarah masuk ke dalam restoran Malaysia yang di pintunya tertulis One Malaysia dengan latar bendera Malaysia, jalur gemilang. Ia duduk di meja tengah, mereka berhadapan.
"Kamu mau makan apa?" Sarah bertanya kepada Ribo sambil menyodorkan daftar menu makan dan minum. Ribo membolak-balik menu mencari makan dan minum yang sesuai dengan selera.
"Ih lama banget milih makannya," Sarah  jengkel pada Ribo yang terlalu lama menentukan menu. Meski Sarah jengkel namun Ribo tidak merasa terusik sebab saat seperti itu biasanya wajah Sarah tambah cantik.
"Nasi putih sama rendang saja," ujar Ribo.
"Nah begitu," balas Sarah.
"Lha kamu sendiri milih apa?" Ribo ganti bertanya.
"Saya makan nasi lemak," jawab Sarah.
"Saya sebenarnya suka makanan Indonesia namun di mana tempatnya di Ho Chi Minh saya belum tahu."
"Di keluarga kami semuanya suka dan sering membuat makanan Indonesia."
Mendengar ungkapan yang demikian Ribo jadi heran, Sarah sepertinya tahu banyak tentang Indonesia. Apa yang membuat gadis cantik itu tahu banyak Indonesia? Ribo untuk sementara waktu masih menyimpan pertanyaan itu dalam hati, sebenarnya dirinya bisa bertanya langsung dari mana Sarah tahu Indonesia namun hal demikian tidak asyik. Kalau ditanya paling Sarah hanya tersenyum.
***
Malam sahdu terasa di Sungai Saigon. Bintang-bintang terhambur di langit. Bulan sabit memancarkan cahayanya yang lembut. Lalu lalang perahu tradisional melintas memecah ketenangan Sungai Saigon. Beberapa penumpang terlihat melambaikan tangan kepada yang berada di tepi sungai. Seolah-olah mereka membagi kesenangan dan kegembiraan.
"Ribo..," ujar Sarah dengan lirih.
"Kamu ke sini kan tidak buat bersenang-senang."
"Ke sini pasti untuk melakukan sesuatu yang serius."
"Nah kalau kamu memang serius, sudikah kuperkenalkan dengan keluargaku?"
"Kalau kamu tidak serius mending hubungan ini tidak perlu dilanjutkan sebab akan membuang waktu."
"Waktu terbuang tidak hanya padaku namun juga padamu."
"Jauh-jauh ke Vietnam dari Indonesia hanya untuk bersenang-senang sangat rugi."
"Tempat wisata di Vietnam hanya itu-itu, tak sebanyak dan seragam di Indonesia."
Mendengar sindiran itu, Ribo terlihat tenang dan dipandangi wajah Sarah. Dihelanya nafas kuat-kuat. Dipegang tangan kanan Sarah. Dengan suara lembut Ribo mengatakan, "percayalah sama aku."
"Aku ke sini memang untuk kamu."Â
"Jadi apa keinginanmu pasti aku turuti."
Mendengar ungkapan tulus Ribo, Sarah langsung menyandarkan kepalanya di bahu Ribo. Dipegang tangan laki-laki itu kuat-kuat.
"Senang kamu berkata demikian," ujar Sarah dengan lirih.
Sarah kemudian mengungkapkan kalau keluarganya tinggal di Pulau Phu Quoc. Pulau ini terletak di sebelah barat Pulau Ko Thmei Kamboja. Berhadapan langsung dengan Laut China Selatan. Pulau dengan luas 574 km persegi itu berada di dalam wilayah Provinsi Kien Giang. Pulau ini memiliki panorama pantai yang indah, banyak resort menawan di sekitar pantai. Sebagai tempat wisata pantai tak heran bila di tempat ini banyak tersaji sea food yang  menggiurkan. Banyak wisataan asing mengunjungi Phu Quoc.
Dulu pulau itu merupakan tempat penjara bagi pejuang revolusi bangsa Vietnam yang melawan Perancis dan pada perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, tempat itu juga digunakan penjara untuk pejuang Vietnam Utara.
"Naik pesawat 30 menit dari Ho Chi Minh," Sarah menjelaskan
"Kalau naik ferry 1 hari."
Mendengar paparan yang demikian Ribo jadi tahu bahwa Sarah di Ho Chi Minh adalah merantau. Seperti dirinya di Jakarta juga sebagai perantau. Di Ho Chi Minh, Sarah selain kuliah juga bekerja. Ho Chi Minh seperti kota-kota besar di dunia lain, juga menjadi tempat orang mencari kerja. Banyak orang desa di Vietnam menyerbu Ho Chi Minh untuk mencari penghidupan.
"Ok, kapan kita ke Phu Quoc?" tanya Ribo memecah keheningan.
"Lusa saja," jawab Sarah dengan lirih.
***
Perjalanan dari Bandar Udara Tan So Nhat ke Bandar Udara Phu Quoc selama 30 menit sepertinya tak terasa. Serasa dirinya dan Sarah baru saja meninggalkan Tan So Nhat, tiba-tiba kok sudah mendarat di Phu Quoc. Hal demikian disyukuri oleh Ribo sebab dirinya tak perlu berlama-lama melayang-layang di udara.
Selepas meninggalkan bandar udara, dirinya dalam perjalanan melihat hamparan pasir putih yang tersambung dengan laut biru. Dirinya memandang keindahan pantai Phu Quoc dengan takjub. Melihat keindahan pantai di Phu Quoc dirinya ingat pantai-pantai yang ada di Indonesia, seperti Pantai Kuta, Pantai Pendawa, Nusa Dua, Pantai Sanur, Pantai Senggigi, dan pantai lain yang tak kalah keindahannya.
"Indah ya?" Ucapan Sarah itu memecah ketakjuban Ribo pada pantai Phu Quoc.
"Di Indonesia kan banyak pantai bagus."
"Selepas tiba di rumah kita bermain ke pantai."
Mendengar Sarah membandingkan pantai yang ada di Indonesia dengan pantai yang ada di Phu Quoc serta ajakan untuk bermain ditanggapi Ribo dengan tersenyum. Tanpa dijawab, apa yang dimaui Sarah pasti diiyakan oleh Ribo.
Mobil yang mengangkut dirinya bersama Sarah telah memasuki sebuah rumah yang sederhana. Dengan menenteng tas, ia turun dari mobil itu. Disusul Sarah. Sarah yang menggunakan celana pendek dan kaos tipis berwana orange itu juga menenteng tas. Dengan digandeng Sarah, Ribo dituntun menuju masuk rumah.
Di depan rumah sudah berdiri dua orang yang sudah berumur, seorang laki-laki dan seorang perempuan. "Papa, mama," sapa Sarah dengan akrab dan ceria kepada kedua orangtua  itu. "Ribo ini papa dan mama."  "Papa saya namanya Nguyen Van Manh dan mama saya namanya Thu Pham." Ribo langsung menjabat dan memeluk kedua orangtua itu.
"Papa, teman Sarah ini dari Indonesia."
Mendengar kata Indonesia, kedua orangtua itu terperanjat dan menatap langsung pada Ribo dengan seksama. Jarak antara Nguyen Van Manh dengan Ribo masih dekat, dengan maju dua langkah Nguyen Van Manh berhadapan dengan Ribo. Secara tiba-tiba, dengan tangan gemetar, Nguyen Van Manh memegang muka Ribo. Ditatap muka Ribo, tiba-tiba dari matanya keluar air mata. Ribo kaget mengapa orangtua yang sepertinya sudah sakit-sakitan itu menangis. Ikut terharu, ia mengalihkan pandangan ke  Thu Pham. Rupanya perempuan  yang rambutnya sudah memutih itu juga ikut menangis.
"Sudahlah papa, itu masa lalu," ujar Sarah tiba-tiba.
"Hah, masa lalu?" Ribo bergumam dalam hati. Teka-teki dari Sarah dan keluarganya membuat semakin penasaran dirinya. "Apa yang terjadi dengan masa lalu kedua orangtua itu sehingga membuat dirinya menangis saat berada di depannya?" beribu pertanyaan muncul di pikiran Ribo.
***
Sunset di salah satu pantai yang dekat rumah Sarah di Pulau Phu Quoc begitu indahnya. Duduk menghadap ke arah matahari yang sedang tenggelam, Sarah menyandarkan kepalanya di bahu Ribo. Mereka menikmati pergantian dari sore menuju malam setelah sebelumnya mereka menikmati pantai itu.
Sebelum duduk santai melepas lelah, mereka berkejaran dan berlarian di sepanjang pantai berpasir putih. Sesekali mereka berada di antara deburan ombak. Hari itu sepertinya hari yang menyenangkan bagi Sarah dan Ribo. Sekat bangsa, agama, etnis, dan bahasa sepertinya tidak menjadi penghalang bagi mereka.
"Matahari sudah tenggelam, ayo kita pulang," Sarah berdiri dari duduknya.
"Lima menit lagi," Ribo masih duduk di atas pasir.
"Ih, sudah malam, kamu kan capek," Sarah ngotot ngajak pulang.
"Kayak nggak pernah lihat sunset saja."
"Emang di pantai Indonesia nggak ada kayak gini?"
Ceriwis Sarah mulai keluar dan seperti biasa kalau gadis itu sudah ceriwis, Ribo pasti mengalah. "Iya, iya, kita pulang," sahut Ribo. Sarah dan Ribo menyusuri jalan pulang menuju ke rumah. Saat berpapasan dengan penduduk, mereka selalu menyapa, "Sarah kapan datang?" Sarah selalu menjawab kapan dirinya datang sambil tersenyum. Rupanya Sarah di kampung itu banyak yang mengenalnya.
Di tengah sapa ramah orang-orang kampung, Ribo dan Sarah tidak sadar kalau dirinya diikuti oleh beberapa orang. Mata mereka sejak di pantai menyorot tajam gerak-gerik Ribo dan Sarah. Dari semak-semak mereka membuntuti kedua orang itu.
Di sebuah pertigaan jalan menuju ke rumah, dirinya melihat seseorang kakek yang berdiri di sebuah rumah yang dindingnya terbuat dari kayu yang sudah lapuk dan beratap rumbai. Ia berdiri dengan ditopang oleh tongkat panjang. Saat melintas di depan kakek itu, tiba-tiba kakek itu sepertinya mengejar dirinya. Ribo heran mengapa kakek yang jalannya sudah tertatih-tatih itu ingin menghampirinya. Ribo berpikir apa hebatnya sehingga kakek itu ingin mendekat padanya, apakah karena orang asing atau karena faktor lain.
Merasa kasihan, Ribo menghentikan langkahnya, sedang Sarah hanya menunduk. "Ada apa kek?" Ribo menyapa dengan ramah pada kakek itu. Kakek itu kemudian memegang wajah Ribo. Sama seperti orangtuanya Sarah, tiba-tiba ia menangis. "Kamu dari Indonesia ya," ujar kakek itu dengan suara terbata-bata. Melihat yang demikian, Sarah dengan menggunakan bahasa Vietnam mengatakan, "sudahlah kek itu masa lalu."
Mengalami peristiwa yang demikian dan mendengar Sarah berkata seperti itu lagi, Ribo semakin heran dan penuh tanda tanya. Apa yang terjadi pada keluarga Sarah, kakek itu, dan mungkin warga kampung yang lain sehingga selalu menangis bila melihat dirinya.
***
Malam sudah menunjukkan pukul 11.00. Ribo belum bisa tertidur. Entah apa yang membuat dirinya tidak bisa memejamkan mata. Di rumah Sarah, ia tidur di kamar tengah, sedang Sarah di kamar yang lain. Sarah dan Ribo sepakat untuk menjaga diri meski mereka saling mencintai.
Hening malam membuat suara jangkrik terdengar begitu nyaring. Binatang itu sepertinya tak lelah-lelahnya mengeluarkan suara. Di tengah nyaring bunyi jangkrik sesekali terdengar bunyi kepak kelelawar. Binatang berwarna hitam itu sepertinya sedang berputar-putar di sekeliling rumah Sarah mencari buah-buah yang telah masak.
Sebab rumah Sarah tidak jauh dari pantai, benturan ombak yang menghantam pasir yang demikian dahsyatnya terdengar sampai di telinga.
Di luar rumah demikian hiruk pikuknya oleh suara binatang dan alam, sementara di dalam rumah diselimuti suasana yang demikian hening. Ribo yang belum tidur bangkit dan mencoba mengetahui apa yang terjadi di rumah Sarah. Ia keluar kamar mencari tahu hal-hal yang bisa dijadikan patokan apa yang sesungguhnya terjadi.
Ia mengendapngendap di rumah tamu. Di ruang tamu itu selain kursi dan meja, juga ada lemari. Dilihat lemari itu, sepertinya di tempat itu hanya ada barang-barang penghias biasa. Ia melihat ke arah yang lain. Ribo melihat ada beberapa foto lama. Foto yang sudah kusam warnanya itu memperlihatkan foto diri Nguyen Van Manh, Thu Pham, dan sebuah foto keluarga. Ribo tertarik dengan foto keluarga, terlihat di situ Nguyen Van Manh yang masih muda menggendong seorang anak kecil, di sampingnya ada Thu Pam. Di depan Nguyen Van Manh dan Thu Pham ada seorang bocah laki-laki dan perempuan. Menjadi pertanyaan dari Ribo dalam foto itu, mengapa keluarga Nguyen Van Manh itu sedang diapit oleh petugas UNHCR dan seorang Polisi Milter Angkatan Laut Indonesia. UNHCR atau  United Nations High Commissioner for Refugees atau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, berdiri 14 Desember 1950. Di manakah mereka di foto itu?
Di tengah rasa penasaran itu, tiba-tiba dari sebuah kamar terdengar rintihan mengiba yang mengatakan, "tidak mau pulang, tidak mau pulang, saya di sini saja." Mendengar hal yang demikian, Ribo langsung kembali masuk ke kamar untuk menghindari salah sangka. Tak lama kemudian rintihan berganti dengan kalimat, "pak tolong kami belum makan, pak tolong kami belum makan."
Ribo yang sudah berada di dalam kamar heran dengan rintihan itu, mengapa ia merintih seperti itu? Tak lama kemudian dari kamar sebelah keluar Sarah, ia masuk ke kamar di mana rintihan itu keluar. Selanjutnya terdengar, "mama, mama, sadar mama."
"Mama, ini Sarah."
Setelah Sarah mengatakan demikian, suara rintihan itu tak terdengar lagi. Mengalami hal yang demikian, Ribo menjadi sedikit ciut nyalinya, jangan-jangan di keluarga ini bahkan di kampung itu ada hal-hal yang tidak beres. Pikirannya menerawang, jangan-jangan Sarah mengajak ke rumahnya untuk mengorbankan dirinya agar kampung itu terbebas dari kutukan setan. Keringat dingin tiba-tiba membasahi tubuh Ribo.
****
Menyerahnya pasukan Vietnam Selatan yang di bantu oleh tentara Amerika Serikat kepada pasukan komunis Vietnam Utara di tahun 1973 menimbulkan kepanikan yang luar biasa di wilayah Vietnam Selatan. Sebagai pihak yang membantu pasukan Vietnam Selatan, Amerika Serikat paling repot dibuatnya. Seluruh warga Amerika yang berada di wilayah selatan lari ke Kedutaan Besar Amerika di Saigon untuk menyelamatkan diri dan meminta dievakuasi.
Ketakutan kepada pasukan komunis rupanya tidak hanya melanda warga Amerika namun juga mayoritas warga Vietnam Selatan, akibatnya mereka ikut lari menyelamatkan diri. Seluruh warga Amerika dan sebagaian warga Vietnam Selatan bisa dievakuasi lewat kapal-kapal Amerika yang disiapkan untuk operasi penyelamatan warga.
Warga Vietnam Selatan takut kepada pasukan komunis bisa jadi mereka trauma pada masa Perang Vietnam sebelumnya. Di mana banyak penduduk yang berada di kampung-kampung dibantai oleh tentara Amerika dengan tuduhan membantu pasukan komunis. Jangan-jangan dengan masuknya pasukan komunis, warga Vietnam Selatan akan dibantai dengan tuduhan ikut membantu tentara Amerika.
Wilayah Vietnam Selatan dikepung oleh pasukan komunis dari arah utara dan barat. Mereka sebenarnya bisa lari ke arah barat, Kamboja, namun negara itu juga dikuasai oleh pasukan komunis. Untuk bisa menyelamat diri, mereka tinggal di luar Saigon dan wilayah-wilayah selatan lainnya, langkah yang dilakukan adalah dengan menaiki perahu kayu dengan tujuan pertama adalah meninggalkan daratan Vietnam Selatan, selanjutnya tergantung gelombang hendak ke mana akan membawanya. Â Â Â
Nguyen Van Manh dan Thu Pham yang baru memiliki dua anak kecil, Tran dan Bui, pun panik. Ia bersama warga kampung lain ikut menyelamatkan diri. Sekitar 40 orang bergegas menuju ke arah pantai. Mereka berpikir di pantai ada perahu yang akan digunakan untuk meninggalkan kampung halamannya.
Antara berjalan cepat dan berlari mereka menyusuri hutan-hutan. Di tengah rasa takut dalam perjalanan mereka sering mendengar letusan senjata secara beruntun. Terlihat Nguyen Van Manh menggendong anak laki-lakinya, Bui; dan Thu Pham menggendong anak perempuan, Tran. Warga kampung lain yang memiliki anak juga menggendongnya agar gerakannya menjadi cepat tidak terkejar oleh pasukan komunis.
Sering terdengar dalam rombongan itu teriakan, "cepat, cepat, pasukan komunis mengejar kita." Suasana yang mencekam itulah yang membuat mereka melupakan rasa lelah, paling penting di antara mereka adalah segera di tepi pantai.
Menjelang sore, tibalah mereka di tepi pantai yang menghadapi ke Laut China Selatan. Tiba di pantai kepanikan mereka bertambah sebab pantai sangat sepi, tak ada perahu yang bisa digunakan untuk meninggalkan wilayah itu. "Gimana ini," ujar salah satu penduduk. "Kita bisa mati dibantai secara massal," ujar yang lain dengan gemetar.
Salah seorang yang sepertinya tetua terlihat sedang menenangkan kepanikan puluhan orang itu. "Tenang, tenang, coba beberapa laki-laki menyusuri semak-semak di pinggir pantai, siapa tahu ada perahu disembunyikan." Apa yang dikatakan itu bisa jadi benar sebab biasanya nelayan selepas menangkap ikan menempatkan perahunya tersembunyi agar tidak digunakan atau dirusak orang lain.
Mendengar perintah itu, lima pemuda segera bergerak menuju ke semak-semak. Di tengah para pemuda mencari perahu, terdengar bunyi letusan senapan. Tak dikomando, semua yang berada di pantai itu tiarap dan berguling di pasir. Semua terlihat menggigil ketakutan, khawatir ada peluru nyasar mengena tubuhnya.
Tiba-tiba ada suara teriakan, "hai ada perahu di sini." Mendengar hal yang demikian mereka bergembira meski suasana mencekam masih ada. Dengan merangkak dan berjalan merunduk, semua menuju ke arah teriakan. Dibuka semak-semak itu dan terlihat perahu yang sepertinya cukup membawa orang yang ada di tempat itu meski harus berdesak-desakan. Perahu dari kayu bercat biru itu memiliki panjang sepuluh meter dan lebar dua meter dengan satu tempat kemudi. Perahu itu sepertinya digunakan oleh para nelayan untuk mencari ikan di saat hari-hari normal.
Perahu itu kemudian diseret dan didorong menuju ke arah pantai. "Cepat, cepat," seru salah satu di antara mereka. "Kuat, kuat, kuat lagi," yang lain menyemangati agar dorongan yang diberikan lebih kuat. Setelah bersusah payah akhirnya perahu itu bisa dipindahkan dari daratan  menyentuh bibir laut. Kemudian terdengar teriakan, "ayo cepat naik." Semua berebut naik ke perahu, tinggal 4 pemuda yang belum naik. Salah seorang di antaranya mencoba menghidupkan mesin, ditarik kait penghidup mesin namun mesin belum menyalak. Kesekian kalinya kait penghidup mesin ditarik namun belum ada tanda-tanda mesin hidup. Kepanikan melanda sebab hari sudah mulai senja. Tak hanya itu, suara letusan suara senapan terdengar lagi. Kecemasan dan pasrah menyeruak lagi. Jangan-jangan mereka akan dibantai oleh pasukan komunis seperti warga lainnya.
Ketika mesin pengait ditarik lagi, menyalaklah deru motor penggerak. Melihat yang demikian, wajah cerah mulai menghinggapi penumpang perahu. Sang nahkoda dadakan itu selanjutnya mengatakan, "dorong sedikit lagi ke depan biar perahunya mengapung." Keempat pemuda yang berada di samping perahu langsung mendorong perahu maju dengan susah payah. Setelah perahu mengapung, mereka langsung naik. Dan perahu mulai bergerak meninggalkan pantai.
Tiba-tiba dari arah semak-semak keluar lima orang dan berteriak, "hai.. perahu itu milik saya, kembalikan, bangsat..."
Apa yang dikatakan oleh orang itu diulang, "hai kembalikan perahunya."
"Dasar pencuri."
Sambil berteriak-teriak mereka berlari ke arah pantai sampai menyentuh bibir air laut. Usaha mereka mengejar perahu sia-sia sebab perahu semakin menjauh. Di tengah rasa cemas yang masih melingkupi, para penumpang perahu melihat ada puluhan orang lainnya yang muncul dari semak-semak, sepertinya mereka juga hendak menyelematkan diri.
***
Di tengah kegelapan malam, sauara mesin perahu kayu itu semakin lama semakin melemah hingga akhirnya mati. Menghadapi yang demikian, nahkoda dadakan itu mencoba menarik pengait mesin. Cara itu dilakukan agar mesin hidup kembali namun sepertinya usaha itu sia-sia. "Bahan bakarnya habis," ujar pria yang berada di sampingnya.
"Waduh, kiamat," ujar nahkoda dadakan itu.
Mendengar ungkapan yang demikian, laki-laki dewasa yang berada di perahu itu terlihat kebingungan. "Memang tidak ada cadangan bahan bakar?" tanya pria yang memakai kaos oblong yang duduk di pojok badan kapal dengan suara cemas.
"Tolong cari di bawah ruang kemudi," nahkoda dadakan menyuruh pria yang berada di sampingnya. Pria itu langsung merunduk ke bawah dan mencari-cari siapa tahu ada bahan bakar cadangan. "Ada nih tapi cuma setengah," ujarnya dengan senang.
Melihat bahan bakar yang cuma setengah jurigen kecil, nahkoda dadakan menghela nafasnya kuat-kuat. Sepertinya ia kecewa dengan persediaan bahan bakar cadangan. Menurutnya bahan bakar itu tak akan bisa melanjutkan perjalanan yang berarti. "Ya sudah sini," ujarnya sambil meminta jurigen berwarna putih itu. Selanjutnya ia menguyurkan bahan bakar cadangan ke tangki motor perahu. Setelah itu, ia menarik pengait mesin. Begitu ditarik, mesin itu menyala. Hal demikian bisa jadi mesin masih panas sehingga mudah tersulut.
Perahu dengan tenaga yang tersendat-sendat itu akhirnya melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Gelombang satu meter menggoyang-goyang perahu dan yang berada di atasnya. Di tengah perjalanan, terdengar suara anak kecil merengek-rengek, "ibu lapar, ibu lapar." Rengekan itu sangat menyayat hati sebab terburu-buru mencari selamat membuat mereka tidak membawa bekal. Rengekan itu didiamkan oleh ibunya, "diam nak, tenang sebentar lagi tiba."
***
Sinar matahari pagi itu membangunkan seluruh penumpang perahu. Sinar matahari itu menyadarkan mereka bahwa semalam telah mereka lalui. Semua mengucek-ngucek mata dan terperanjat mereka berada di samudera yang luas. Sejauh mata memandang hanya air laut. Mereka sepertinya dikepung oleh lautan biru.
Mereka tidak tahu di mana mereka berada. Sisa cadangan bahan bakar sepertinya hanya bisa mengantar sampai di tempat itu. Ombak yang menggelombang mengombang-ambing mereka. Tiba-tiba ada yang mual dan selanjutnya muntah, "huueeekkk," terdengar suara seperti itu. Suara sama menyusul, "huuueekkk." Rupanya banyak penumpang yang mengalami mabuk laut.
Di tengah banyaknya penumpang, terdengar rengekan anak kecil, "ibu lapar, minta makan." Rengekan itu diulang. Rengekan itu ditanggapi oleh ibunya dengan mengatakan, "tenang ya nak, sebentar lagi tiba." Ibu itu kemudian mengatakan sesuatu kepada seorang laki-laki yang sepertinya suaminya. "Cari cara dong gimana bisa makan."
Laki-laki itu dengan badan yang lemah mengangguk. Kemudian bersama dengan laki-laki lain berunding. Selepas berunding, akhirnya mereka mencari sesuatu di bagian bawah lambung perahu. Mereka girang ketika menemukan jala. "Ini dia yang kita cari," ujarnya.
Tanpa berlama-lama, jalan itu ditebar ke samping kanan perahu. Jalan itu lamban laut tenggelam. Tak berapa lama, jala itu ditarik pelan-pelan hingga semuanya terangkat. Di jaring-jaring jala terlihat puluhan  ikan yang lumayan besar. Selanjutnya jala itu diangkat dan diletakkan di tengah perahu. Puluhan ikan menggelepar saat berada di atas perahu.
"Mari kita bagi rata," ujar salah satu di antara mereka. Puluhan itu dibagi kepada puluhan penumpang. Selanjutnya mereka, entah bagaimana caranya, menjadikan ikan itu menjadi santapan. Bagi seorang ibu, mereka harus merayu agar anaknya mau makan ikan mentah itu. Dengan cara seperti itu mereka bisa bertahan. Di tengah mereka menikmati makan ikan mentah, angin besar mendorong perahu itu entah ke mana.
***
Dari hari ke hari nasib penumpang perahu itu sangat mengenaskan. Rengekan dari anak selalu terdengar setiap saat dan suara menenangkan selalu menimpali. Tubuh-tubuh pria dan wanita dewasa semakin kurus. Ada di antara mereka terlihat tertidur lemas dan lunglai. Mereka tak hanya mengalami kelaparan namun juga dihidrasi. Pria yang tubuhnya lemas dan lunglai itu dikitari oleh orang-orang yang sepertinya saudaranya. "Inilah nasib kita," ujar pria yang berada di samping laki-laki yang terkulai lemas.Â
"Mengapa perang harus terjadi sehingga kita menderita."
"Haruskah kita yang berada di sini bersyukur sebab yang masih berada di Vietnam Selatan bisa jadi mereka sudah mati?"
"Kita tidak tahu sekarang berada di mana dan hendak ke mana."
"Angin dan gelombanglah yang akan membawa kita, entah ke tanah harapan atau justru kembali ke Vietnam Selatan."
Di tengah ungkapan-ungkapan semacam motivasi dan doa itu, tiba-tiba laki-laki yang terkulai lemas itu menutup mata. Pria yang memberi motivasi tadi meletakkan telinganya di dada pria terkulai itu. Tak berapa lama diangkat kepalanya dan ia meneteskan air matanya. Melihat yang demikian, semua tahu kalau pria yang terkulai itu telah tiada untuk selamanya.
"Mari kita berdoa agar ia bisa hidup bahagia di surga."
"Setelah berdoa mari kita larung ke dalam laut."
Semua berkomat-kamit membaca doa dan selanjutnya tiga pria mengangkat jenazah pria terkulai itu dan membaringkan di permukaan air laut yang tenang. Perlahan-lahan permukaan air laut yang tenang itu menenggelamkan jenazah itu. Melihat prosesi itu ada di antara mereka yang menangis sesunggukkan.
Peritiswa kematian di perahu kayu itu terjadi setiap hari, tidak hanya pria dewasa namun juga pada anak-anak, sehingga dari hari ke hari jumlah penumpang yang berada di perahu itu semakin sedikit.
Pada sebuah kejadian selepas, mereka melakukan prosesi melarung mayat, tiba-tiba 5 ekor hiu mengepung perahu kayu itu. Merasa perahu kayu yang ditumpangi dikepung 5 ikan hiu besar, semua penumpang panik. Hiu itu menyundul-nyundul lambung perahu sehingga perahu menjadi oleng. Ketika ada yang mendekat, salah seorang mengusirnya dengan menjolokkan galah bambu ke badan atau kepala ikan hiu. Jolokkan kasar galah bambu yang mengena tubuh ikan hiu membuat ikan pemakan daging itu menyingkir namun bukan pergi untuk selamanya.
Ikan hiu itu terus mengikuti ke mana perahu itu bergerak sebab perahu bergerak hanya mengandalkan dorongan angin membuat perahu seolah-olah tak berdaya menghadapi kepungan ikan hiu. Rasa cemas dan tegang menghinggapi semua. Apalagi hiu-hiu itu bersliweran dengan cepat. Sepertinya hewan bergigi gergaji itu hendak menggulingkan perahu agar bisa menyantap daging-daging yang sebenarnya sudah tidak berisi lagi.
Di tengah kepasrahan bila sewaktu-waktu kelompok hiu itu bisa menggulingkan perahu dan selanjutnya menyantap mereka, tiba-tiba terlihat puluhan lumba-lumba yang melompat-lompat. Puluhan lumba-lumba itu sepertinya sedang menuju ke perahu kayu itu. Mereka yang berada di atas perahu itu merasa mendapat pertolongan dari Yang Mahakuasa. Puluhan lumba-lumba itu selanjutnya mengitari perahu dan bersama-sama mengusir hiu-hiu. Sebab lumba-lumba termasuk mamalia yang cerdas, akhirnya hiu yang tubuhnya lebih besar dan perangainya ganas itu bisa diusir.
Lumba-lumba bukan binatang yang meminta balas jasa. Selepas mereka bisa mengusir hiu, mereka tidak kembali untuk meminta pengucapan terima kasih, namun juga menghilang entah ke mana.
Selepas peristiswa yang menegakkan itu, semuanya berkomat-kamit sepertinya mengucapkan doa terima kasih kepada Yang Mahakuasa yang telah menyelamatkan dari kepungan hiu dengan mengirim serombongan ikan lumba-lumba.
***
Di tengah terik matahari yang membakar manusia yang berada di atas perahu, dari kejauhan terlibat sebuah perahu besar. Perahu besar itu adalah perahu kapal perang Amerika Serikat. Melihat ada kapal besar, Nguyen Van Manh merasa senang. Dengan berjumpa dengan kapal itu dirinya berharap agar bisa ditolong. Ia pun melambai-lambaikan tangan. Tidak cukup dengan melambaikan tangan, ia melepas kaos putihnya, memasang dan mengikat di ujung galah sehingga menyerupai sebuah bendera.
Selanjutnya ia mengibarkan kaos putih itu. Berulang kali ia memutar-mutar galah yang dipegang namun sepertinya usaha itu sia-sia. Kapal perang Amerika itu tidak merespon. Nguyen Van Manh berpikir apakah nahkoda pelaut itu tidak tahu atau memang tidak mau memberi pertolongan pada manusia yang berada di atas perahu itu.
"Gimana pa?" tanya Thu Pham sambil memegang Tran dan Bui.
"Entahlah, mereka tidak tahu atau tidak mau membantu kita," ujar Nguyen Van Manh.
Pasangan Nguyen Van Manh dan Thu Pham serta dua anaknya termasuk orang yang bisa bertahan di atas perahu meski mereka sudah terombang-ambing di atas samudera luas berhari-hari.
***
Menjelang sore, langit di atas samudera terlihat gelap. Badai bertiup kencang hingga menimbulkan gelombang tinggi mencapai 5 meter. Gelombang raksasa itu membuat perahu itu seperti gabus di atas air, tak berdaya, terombang ambing tidak menentu. Perahu itu seperti dilemparkan dan dijatuhkan sehingga yang berada di atasnya terpental-pental. Bila tidak berpegangan kuat-kuat bisa membuat mereka terlempar ke laut yang sedang mengganas. Menghadapi badai dan gelombang yang tinggi semua berpegangan erat-erat di badan perahu. Kecemasan semakin memuncak ketika hujan turun dengan deras, petir yang menggelegar bersusulan seolah-olah hendak menyambar tubuh-tubuh kurus yang berada di atas perahu.
Derasnya hujan membuat bagian tengah perahu terisi air, sambil mereka berpegangan di badan perahu, mereka menyempatkan untuk membuang air yang masuk ke tengah perahu agar tidak membanjiri. Suasana di perahu itu benar-benar kacau. Gelombang yang dahsyat itu seolah-olah mau menelannya. Sebab salah satu di antara mereka kurang kuat dalam berpegangan membuat ia terpental laut yang sedang murka. Teriakan  minta tolong ditelan oleh suara gemuruh gelombang yang menderu dan petir yang menyalak. Peristiwa itu begitu cepat sehingga orang itu seperti ditelan oleh mulut raksasa yang lewat begitu saja.
Nguyen Van Manh dalam peristiwa itu selain memegang erat-erat juga memegangi Bui. Sedang Thu Pham selain berpegangan pada badan suaminya juga memegang badan Tran. Mereka saling mengunci agar tidak terpental ke laut.
Merasa malaikat maut telah berada di depannya, Nguyen Van Manh berdoa, "Ya Tuhan apa salahku sehingga cobaan ini sepertinya datang bertubi-tubi."
"Apa bila aku mempunyai salah maafkan aku."
"Ambillah nyawaku tapi selamatkan istri dan kedua anakku."
"Biar mereka yang nanti mendoakan aku di akhirat agar aku bisa selamat dari azabmu."
Di tengah khususknya berdoa, badai sepertinya tak mau reda, ia terus mengamuk menghempaskan gelomban setinggi-tingginya. Petir pun juga tak mau menghentikan jilatan apinya. Terlihat saat jilatan itu menyentuh air laut, air laut itu berubah menyala seperti bara. Â Â
***
Gejala alam yang demikian hebat itu rupanya membuat Thu Pham pingsan. Ketika pipinya ditepuk-tepuk oleh Nguyen Van Manh, ia siuman. Matahari yang menerpa wajahnya membuat dirinya kaget sadar bahwa badai hebat telah berlalu. Gelombang laut tampak tenang dan angin berhembus dengan wajar.
Thu Pham melihat kedua anaknya berada di kanan kirinya. Dirinya merasa kalah hebat dengan kedua anaknya itu yang mampu bertahan di tengah amukan alam. "Sudah sehat?" tanya Nguyen Van Manh dengan lembut.
Thu Pham membisu. Bibirnya masih terlalu berat untuk mengucapkan sesuatu. Rasa lapar dan haus yang berkepanjangan menambah berat organ-organ tubuhnya untuk bergerak. Nguyen Van Manh pun menegukkan air putih yang masih tersisa. Setengah gelas air putih yang masih ada itu dituangkan ke dalam mulut istrinya.
"Ya sudah istirahat dulu," ujar Nguyen Van Manh.
"Anak kita sudah makan dari ikan yang dipancing dengan kail bekas."
"Syukur mereka masih kuat dan sehat."
Di tengah Nguyen Van Manh menenangkan istrinya, terdengar suara rintihan orang menangis. Dalam rintihan itu, seorang mengatakan, "kenapa mama meninggalkan papa."
"Bukankah sebentar lagi kita akan tiba di daratan."
"Mama seharusnya kuat sedikit lagi sebab daratan sudah berada di depan mata."
Sepertinya istri dari orang itu tidak kuat setelah sekian hari berada di atas perahu dengan kondisi kelaparan dan kehausan. Amukan badai tadi malam bisa jadi menambah parah lemah tubuhnya sehingga kematian itu menghampiri. Menghadapi yang demikian, semua merasa trenyuh dan ada yang menenangkan pria itu.
"Sudahlah, ini bisa jadi menjadi takdir kita semua."
"Satu persatu pergi meninggalkan kita."
"Kemarin lusa si Ang, kemarin, si Lung, hari ini si Bonh, dan entah siapa esok hari."
"Kita tidak tahu sampai kapan kita berada di tengah samudera."
"Kita di mana, kita juga tidak tahu."
"Alamlah yang akan mengombangambingkan kita."
Selanjutnya mereka memimpin proses pelarungan jenazah ke laut, salah satu di antara mereka sepertinya memimpin doa dan selanjutnya dengan diangkat oleh dua orang, jenazah itu dibaringkan ke permukaan air laut yang tenang. Setelah di permukaan air laut, jenazah itu sedikit demi sedikit tenggelam, gelembung air mengiringin tenggelamnya jenazah itu ke dalam laut.
***
Angin sepoi-sepoi itu mendorong perahu kayu entah ke arah mana. Ombaknya yang tenang membuat penumpang yang berada di atasnya bisa duduk bersila. Tak ada atap di perahu membuat terik matahari menyengat mereka. Kulit dibakar matahari dalam beberapa pekan ini sudah menjadi hal biasa yang mereka terima.
Tatapan kosong memandang ke arah samudera, semua bertanya mereka di mana dan kapan bertemu dengan daratan. Di tengah harapan kosong yang ada dalam angan-angan mereka, tiba-tiba salah satu di antara mereka berteriak, "ada ikan besar, ada ikan besar."
"Jumlahnya banyak dan menuju ke arah perahu."
Mendengar yang demikian, semua was-was, jangan-jangan perahu itu diserbu kembali oleh gerombolan ikan hiu, namun ada pula yang berpikir itu adalah serombongan ikan lumba-lumba yang hendak menyapa. Mereka dengan seksama mengamati gerakan apa yang dikatakan oleh seseorang sebagai ikan besar.
Saat benda yang dimaksud itu dekat dengan perahu, mereka semua terperanjat, bahkan ada yang histeri ketakutan, rupanya apa yang dikatakan ikan besar itu ternyata adalah mayat-mayat mengapurng. Mayat-mayat itu dibawa oleh ombak dan entah mau dibawa ke mana. Penumpang perahu yang melihat demikian, mukanya langsung pucat. Mereka semua tahu bahwa mayat-mayat itu adalah warga Vietnam Selatan yang seperti mereka menyelamatkan diri menuju ke sebuah tempat dengan menaiki perahu kayu.
Mereka semua menjadi miris jangan-jangan akan seperti itu, menjadi mayat karena perahu yang ditumpangi pecah atau bocor dihantam oleh gelombang besar seperti yang pernah mereka alami.
Puluhan mayat itu akhirnya menghilang diseret gelombang menjauh dari perahu. Rasa tenang mulai dirasakan oleh penumpang kapal namun dirasa ada sesuatu yang mengganjal gerak perahu di bagian depan. "Coba kamu periksa ada apa di bagian depan perahu,"ujar salah satu di antara mereka.
Salah satu di antara mereka menuju ke arah moncong perahu. Begitu melihat ke moncong perahu, pria itu terperanjat, dan secara reflek mengatakan, "mayaattt..." Rupanya ia histeris. Salah satu mendekati pria itu dan melihat ke arah yang sama, rupanya ada satu mayat dari puluhan mayat yang lewat tadi menyangkut. Pria itu dengan tenang mengambil galah dan mendorong mayat itu menjauh dari moncong perahu. Dorongan dari galah sepertinya harus menggunakan tenaga yang kuat sebab mayat itu selain bertubuh tambun juga telah terisi dengan air sehingga semakin besar.
Usaha itu berhasil dan mayat lepas dari moncong perahu. Selanjutnya mayat yang sudah membusuk itu hilang dibawa gelombang. Pria itu menaruh kembali galah dan kembali ke tempat semula.
Di tengah rasa ngeri yang masih menyelimuti, tiba-tiba pria yang melihat mayat yang tersangkut di moncong perahu tadi tertawa cekakan, "ha, ha, ha, ha, ha." Melihat yang demikian semua heran, mengapa di saat mereka sedang mengalami kemalangan kok ia tertawa senang.
"Hai, kita sebentar lagi akan mati," ujar pria itu.
"Sudah tak ada harapan lagi hidup kita."
"Lihatlah di langit, awan hitam sudah menggumpal gelap dan angin mulai bertiup kencang."
"Sebentar lagi badai besar akan menghembaskan perahu ini dan kita akan menjadi mayat-mayat yang berserakan."
"Kalau sudah demikian mengapai kita bertahan hidup!!"
"Daripada kalian mati ditelan ombak besar, mending kamu saya bunuh!!"
Pria itu selanjutnya mengayunngayunkan galah yang ujungnya runcing. Melihat hal yang demikian semua menjadi takut dan menjauh mundur ke arah belakang. Sebab semuanya menuju ke arah belakang, posisi perahu menjadi tak imbang. Posisinya bagian depan terangkat agak tinggi membentuk sudut 30 derajad. Hal demikian tentu membahayakan keselamatan semua. Bila tidak dikembalikan keseimbangannya maka perahu itu bisa terguling.
"Hai, jangan lari, satu per satu ke sini, saya bunuh kamu biar tidak ditelan gelombang besar!!"
Melihat perilaku aneh pria itu, beberapa laki-laki yang melindungi keluarganya. Mereka paham bahwa pria itu mengalami stress yang tinggi hingga akhirnya gila akibat kelaparan, kehausan, dan peristiwa-peristiwa yang dekat dengan kematian.
Untuk mencegah kejadian yang lebih buruk, salah seorang pria menenangkan, "tenanglah kawan, sebentar lagi kita akan menemukan daratan."
"Sebentar lagi kita akan hidup tenang dan enak."
"Kita semua seperti kamu ingin hidup bahagia dan tenang."
"Mari kita bersama-sama mendayung perahu ini menuju tempat yang kita inginkan."
Mendengar wejangan yang demikian sepertinya tidak membuat pria yang berperilaku aneh itu sadar. Ia sepertinya malah menjadi-jadi. "Ha, ha, ha, ha." Tertawanya membahana.
 "Sebentar lagi, kapan?"
"Kita sudah 30 hari, tak ada makan, tak ada air, yang ada hanya kematian satu per satu."
"Dari pada mati satu persatu mari kita mati bersama."
Selanjutnya ia maju dan mengayunayungkan galah panjang runcing. Melihat hal demikia, penumpang perempuan dan anak-anak menjeritjerit ketakutan. Mereka semakin mundur ke belakang sehingga membuat posisi perahu semakin tidak imbang.
Nguyen Van Manh berusaha mencegah pria berperilaku aneh itu. Ketika menghadang, galah panjang runcing itu dicocorkan kepada Nguyen Van Manh. Untung ia bisa menghindar. Pria itu mengayunkan kembali, lagi-lagi Nguyen Van Manh bisa berkelit sehingga di bagian tengah perahu itu terjadi perkelahian. Akibat yang demikian, perahu oleng ke kanan ke kiri, dan terombang-ambing naik turun. Semua histeris dan ketakutan melihat kejadian itu. Saat Nguyen Van Manh agak lengang, ayunan galah panjang runcing mengena mukanya. "Plaak."
"Papa..." teriak Thu Pham.
Nguyen Van Manh merasa muka ada darah mengalir. Tak puas dengan satu sabetan galah panjang runcing itu, pria berperilaku aneh itu ingin mengulang namun Nguyen Van Manh bisa berkelit. Di saat tubuh pria berperilaku aneh itu agak goyang karena hentakan gelombang, dengan cepat Nguyen Van Manh menendang perut pria berperilaku aneh itu kuat-kuat. Tendangan itu rupanya membuat ia terpental ke luar perahu sehingga terjebur ke laut. Sebenarnya Nguyen Van Manh hendak menolong pria itu dengan menyodorkan galah panjang tadi namun gelombang yang tiba-tiba datang menelannya. Gelombang itu telah melumat pria berperilaku aneh itu ke dalam samudera.
***
Wajah-wajah pasrah tercuat pada penumpang perahu. Mereka semua sudah tidak bisa berpikir sehat untuk bagaimana bisa bertahan hidup. Di mana mereka berada dan ke mana arah perahu itu, semua tidak ada yang tahu. Mereka tahu sedang berada di Laut China Selatan yang luas tapi posisi mereka di wilayah negara mana, tidak ada yang tahu. Sejauh mata memandang hanya laut dan langit biru.
Di tengah kepasrahan itu, tiba-tiba seseorang melihat perahu yang berada di ujung barat daya. Orang itu kemudian berteriak, "haiii.." Sambil melambaikan tangan, ia mengulangi teriakan itu. Dirasa teriakan itu tertelan angin dan deburan ombak. Ia mengambil galah dan menaruh di ujungnya kaos berwarna merah. Kaos yang sebelumnya dipakai. Galah yang di ujungnya ada kaos itu dikibar-kibarkan. Usaha itu sepertinya tidak mendapat respon. Ia lalu berkata di tengah kerumunan penunpang perahu dan berkata, "mana kaca, mana kaca." Mereka saling berpandangan dan berpikir mana ada yang membaca kaca. Untung di tempat kemudi ada sebuah cermin. Cermin itu mungkin sebelumnya digunakan oleh nahkoda kapal untuk berias atau entah untuk kepentingan lainnya.
Diambil cermin itu dan selanjutnya cermin itu ditengadahkan ke langit dengan posisi sudut yang menghubungkan matahari dan perahu yang berada di ujung barat daya. Cara  digunakan sebagai cara untuk meminta bantuan SOS kepada pihak lain. Cermin yang memantulkan sinar matahari ke arah perahu yang begitu kuat itu ditutup tangan dan selanjutnya dibuka. Hal itu diulang-ulang sehingga menandakan sebuah pesan.
Cara yang demikian rupanya berhasil. Perahu yang berada di ujung barat daya itu merespon dengan terlihat berubah haluan menuju mereka yang mengirim sinyal SOS. Melihat yang demikian semuanya senang dan muncul harapan baru. Makin lama perahu itu mendekat. Perahu itu ternyata perahu nelayan tradisional Malaysia. Itu terlihat dari bendera Malaysia yang berkibar di salah satu tiangnya dan terlihat ada beberapa drum plastik yang dijadikan tempat penyimpanan ikan.
Meski sudah mendekat namun perahu nelayan Malaysia itu tidak langsung merapat. Ia mengitari perahu yang ditumpangi orang Vietnam Selatan itu dengan seksama. Hal demikian dilakukan untuk menjaga-jaga agar tidak terjebak pada bajak laut. Setelah mengitari dan merasa aman, salah seorang yang berada di perahu nelayan Malaysia itu berteriak, "ada yang bisa dibantu?"
Pertanyaan itu langsung dijawab dengan tergesa-gesa oleh Nguyen Van Manh, "iya kamu butuh bantuan."
"Kami sudah 30 hari terombang-ambing di laut tidak makan, tidak minum. Kami semua kelaparan."
"Kami sekarang tidak tahu di mana."
"Kami semua lari menyelamatkan diri akibat perang saudara di Vietnam."
Mendengar jawaban seperti itu, salah seorang nelayan Malaysia itu memandang dengan seksama. Dilihatnya orang-orang yang berada di perahu itu terlihat kurus, kering, lunglai, dan lemas.
"Baik, saya jawab," ujar nelayan itu.
"Anda sekarang berada di perairan Malaysia."
"Saya akan bantu anda air tawar satu jurigen dan beberapa potong makanan."
"Tapi saya tidak bisa menarik perahu anda ke daratan karena perahu kami kemampuannya terbatas."
"Bila dipaksakan menarik perahu anda, resikonya besar. Bisa-bisa semua perahu akan kehilangan arah dan mesin rusak."
Mendengar ungkapan yang demikian, Nguyen Van Manh terlihat agak kecewa namun kekecewaannya terobati saat nelayan yang bernama Dullah itu menyodorkan satu jurigen air tawar dan beberapa potong makanan.
"Selanjutnya anda bergerak terus saja ke arah selatan, di sana ada beberapa kepulauan Indonesia," ujar Dullah.
"Ok, kami akan melanjutkan perjalanan mencari ikan."
Nguyen Van Manh dan yang lain menatap dengan pandangan kosong kepada Dullah dan perahu nelayan tradisional Malaysia itu. Dengan ditinggalkan Dullah maka dirinya dengan yang lain harus berjuang lagi untuk mengarungi samudera untuk menemukan daratan yang disebut oleh Dullah dengan kepulauan Indonesia.
Air sebanyak satu jurigen dan beberapa potong makanan itu selanjutnya dibagi-bagi dengan rata. Air yang hanya diteguk sekali dan makanan yang hanya digigit beberapa kali itu disantapnya dengan rakus. Makanan dan minuman itu tidak membuat mereka kenyang namun untuk sekadar bertahan hidup.
****
Tiba-tiba sebuah kapal perang menghadang perahu kayu itu. Dari atas kapal perang beberapa prajurit membidikkan senjata ke arah penumpang perahu kayu yang tengah berkerumun di bagian tengah. "Angkat tangan semua!" ujar salah satu komandan tentara yang berada di atas kapal besar dengan menggunakan pengeras suara.Â
"Kami dari TNI AL akan mengamankan perairan Indonesia dari siapapun yang masuk tanpa ijin."
"Bila memiliki ijin perlihatkan surat-surat anda."
"Bila tidak memiliki ijin atau melakukan pelayaran gelap, anda akan kami tahan."
Menghadapi kepungan pasukan tentara Indonesia yang memiliki senjata lengkap pastinya seluruh penumpang perahu kayu tidak berkutik. Mereka tidak bisa menghindar. Perahu kayu yang ditumpangi saja mesinnya tidak berfungsi karena sudah sejak lama kehabisan bahan bakar.
NguyenVan Manh memberanikan diri maju ke ujung perahu dan berkata, "kami dari wilayah Vietnam Selatan dan tidak memilik ijin pelayaran."
"Kami semua menyelamatkan diri karena di Vietnam terjadi perang suadara."
Mendengar ungkapan jujur, komandan tentara yang berada di atas kapal perang itu menatap tajam. Kemudian ia memerintahkan kepada dua orang marinir untuk memeriksa perahu kayu itu. Dengan sigap, dua prajurit berbaret lembayung itu turun ke perahu dan memeriksa isi kapal dan menggeledah semua penumpang yang ada.
"Lapor, seluruh penumpang dan isi perahu aman dari segala hal yang berbahaya," salah seorang marinir itu berdiri tegak dari atas perahu kayu, menghadap kepada sang komandan, melaporkan keadaan kapal dan penumpangnya. Â
Sang komandan tentara itu selanjutnya mengatakan sesuatu kepada salah satu pelaut. Pelaut itu kemudian memberi hormat tanda siap melaksanakan tugas. Tak beberapa lama beberapa pelaut dan marinir membawa tambang yang berukuran cukup besar. Tambang berwarna putih itu selanjutya dilempar ke perahu kayu. Marinir yang berada di perahu kayu menangkapnya, kemudian mengikatkan pada moncong perahu. Setelah ikatan itu dirasa kuat, selanjutnya ia memberi kode kepada yang berada di atas kapal perang bahwa perahu kayu siap ditarik.
Hentakkan kuat dari kapal perang yang menarik perahu kayu itu membuat seluruh penumpang oleng. Mereka pun saling berpegangan. Di wajah-wajah mereka ada yang kelihatan tegang, ada pula yang merasa senang. Merasa tegang karena mereka menghadapi pasukan tempur. Masih ada trauma pada mereka di mana saat terjadi perang di Vietnam mereka sering diintimidasi oleh pasukan-pasukan tempur, baik dari pasukan Amerika Serikat dan Australia, juga dari gerilyawan Vietnam Utara. Mereka ingat bagaimana satu kampung di salah satu dusun di wilayah Vietnam Selatan semua dibantai oleh pasukan Amerika gara-gara dituduh membantu Gerilyawan Vietcong. Padahal mereka tidak tahu apa-apa. Mereka dituduh membantu Gerilyawan Vietcong setelah ada seorang gerilyawan yang berhasil meledakkan jeep yang ditumpangi oleh 4 tentara Amerika yang semuanya m                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           vati dan selanjutnya gerilyawan itu lari masuk ke dusun.
Sedang bagi yang senang bertemu dengan pasukan penjaga wilayah Indonesia itu, mereka merasa bahwa daratan sudah dekat dan penderitaan yang dialami selama ini, terombang-ambing di Laut China Selatan, akan berakhir. Mereka merasa yakin bahwa tentara Indonesia itu tidak akan menyakiti mereka. Â Â
Sekitar dua jam kapal perang itu menarik perahu kayu. Di depan mata mereka terlihat sebuah daratan dan sebuah pelabuhan. Makin lama perahu itu merapat ke dermaga. Dengan sigap, marinir yang berada di perahu kayu melepas tambang agar perahu itu tidak membentur dermaga yang terbuat dari beton.
Terlihat di pelabuhan itu ada tulisan Pulau Bunguran. Pulau Bunguran merupakan salah satu pulau terbesar yang berada di gugusan Kepulauan Natuna. Kepulauan Natuna merupakan wilayah paling utara yang berbatasan dengan Kamboja, Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Kepulauan ini berada pada jalur pelayaran internasional Hongkong, Jepang, China, Filiphina, dan Taiwan.
Kapal perang itu merapat dengan sempurna, sedang perahu kayu yang ditumpangi oleh marinir dan orang Vietnam Selatan itu masih terapung tak jauh dari dermaga. Marinir itu berkata, "mari dayung ke dermaga." Marinir mendayung dengan kuat perahu itu, sedang penumpang yang lain dengan tenaga yang tersisa ikut membantu mendayung. Hingga akhirnya perahu itu merapat di dermaga.
Di dermaga itu sudah berdiri beberapa pelaut dan marinir yang dalam kondisi siaga. "Ayo naik dan berbaris," ujar marinir yang berada di perahu dengan tegas. Mereka menurut apa yang diperintahkan itu.
Selanjutnya mereka digiring menuju ke sebuah ruangan seukuran lapangan bulu tangkis. Semua disuruh duduk di tempat itu. Tiba-tiba secara spontan Thu Pham mengatakan, "pak tolong kami belum makan, pak tolong kami belum makan." Apa yang dikatakan itu diikuti oleh yang lain. Sehingga ruangan itu menjadi berisik dan gaduh. Mendengar yang demikian, sang komandan merasa iba sehingga ia memerintahkan anak buahnya untuk menyediakan makan dan minum.
***
      Selang beberapa hari, para penumpang perahu kayu itu membaur dengan masyarakat. Mereka tinggal di rumah-rumah penduduk. Untung orang Vietnam Selatan itu tahu diri sehingga saat tinggal di rumah penduduk, mereka tak sekadar numpang tidur dan makan namun juga membantu mata pencaharian sehari-hari. Ada yang menjadi nelayan, petani, peladang, dan berdagang kecil-kecilan. Dari situlah mereka bisa hidup lebih baik dan tenang, tidak merasa was-was seperti di negara asalnya.
      Ketika Nguyen Van Manh sedang berada di tepi pantai tak jauh dari pelabuhan, dirinya melihat ada beberapa perahu kayu yang digiring oleh kapal perang Indonesia untuk merapat. Diamatinya para penumpang perahu, "oh ternyata mereka sama dengan kita.'
"Ternyata masih banyak orang yang menyelamatkan diri."
Nguyen Van Manh melihat peristiwa seperti itu tidak sekali namun beberapa kali, akibatnya wilayah yang didiami dan sekitarnya disesaki oleh orang-orang Vietnam Selatan. Ketika masih ada puluhan orang Vietnam berada di pulau itu, masyarakat dan lingkungan terasa aman dan nyaman namun ketika sudah ada ratusan orang Vietnam menjadi penghuni baru maka masalah sosial mulai muncul, mereka ada yang tidur sembarangan, suka meminta-minta di pasar, ada yang mencuri hasil ladang, bahkan sering melakukan keributan meski di antara mereka sendiri.
Pengungsi Vietnam Selatan rupanya tidak hanya ditampung di Kepulauan Natuna namun juga di Kepulauan Anambas dan Pulau Bintan. Membanjirnya pengungsi Vietnam Selatan ke Indonesia rupanya mendapat perhatian UNHCR. Setelah berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia, akhirnya disepakati seluruh pengungsi akan dilokalisasi di Pulau Galang.
Pulau Galang dengan luas kurang-lebih 250 ha saat ini masuk dalam wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
***
Dengan dana yang dikucurkan oleh UNHCR, dibangunlah kamp pengungsian untuk menampung orang-orang Vietnam Selatan. Di lahan seluas 80 ha, di Desa Sijantung, Pulau Galang, lembaga dunia yang menginduk pada PBB untuk membangun berbagai fasilitas untuk 250.000 pengungsi. Fasilitas itu seperti barak, rumah, rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah. Fasilitas yang dibangun tidak hanya itu, saluran listrik dan air bersih juga disediakan. Semua biaya hidup para pengungsi ditanggung oleh UNHCR.
***
Nguyen Van Manh dan Thu Pham bersama Tran dan Bui menempati sebuah barak. Setelah mereka tinggal di tempat itu, hidupnya mulai membaik. Makan dan minum setiap waktunya bisa dinikmati. Bahkan mereka semua mengikuti kursus yang diberikan oleh UNHCR. Kursus itu diberikan agar mereka mempunyai ketrampilan yang suatu saat bisa digunakan.
Kursus yang diberikan itu tak hanya ditujukan agar mereka mempunyai ketrampilan namun juga agar mereka pandai, pintar, dan akhirnya mempunyai etika.
***
Song, Que, Dinh, dan Hoang sedang duduk-duduk di pertigaan sebuah jalan di kamp pengungsian. Di depan mereka terdapat beberapa botol beer. Mereka menikmati minuman beralkohol entah karena sebagai orang Vietnam yang sudah biasa minum minuman itu atau untuk melepaskan kejenuhan selama di barak.
"Mari kita minum beer  ini," ujar Song. Ajakan itu langsung disambut riang oleh yang lain bahkan mereka melakukan tos. Mereka secara kompak mengangkat gelas dan membenturkan gelas-gelas itu. "Triing," begitu bunyi benturan gelas itu terdengar.
Mereka tak hanya meneguk beer itu namun juga bercanda dan ngobrol tak berkesudahan. Beer yang jumlahnya ada beberapa botol itu sedikit demi sedikit mulai habis, seiring itu pula mereka mulai mabuk. Tak heran bila banyak omongan yang ngelantur di antara mereka. "Wuiiih, enak rasanya tinggal di sini seperti di surga," ujar Dinh.
"Di sini makan, minum, dan tidur gratis."
"Sayang tidak ada bidadari yang menemani."
Dinh selanjutnya berjalan dengan sempoyongan menuju ke arah belakang pohon besar di dekat pertigaan itu.
"Mau ke mana kau Dinh?" tanya Hoang dengan suara sumbang.
"Mau tanya aja," jawab Dinh.
"Biasa, Dinh mau buang bensin," Song tiba-tiba berseloroh.
"Lapar aku, apa ada makanan?" Que yang tengah duduk dengan kepala miring mulai mengeluarkan suara.
"Makanan?" Song bertanya dengan keheranan.
"Ada tuh," Song menunjuk rumput kering yang berada di sampingnya.
"Memang saya kuda?!" balas Que dengan sewot.
"Ya memang kamu kuda," Dinh yang tiba-tiba kembali ke kerumunan setelah buang air, berseloroh.
"Apa kamu bilang?" Que bertanya dengan nada tinggi.
"Kuda," Dinh mengulangi perkataan itu.
Mendengar kata yang demikian, Que mendekati Dinh dan memegang krah bajunya.
"Katakan sekali lagi."
"Kuda," Dinh kembali mengatakan nama binatang yang mempunyai tenaga besar dan kencang larinya itu.
'Buk, buk, buk,' bunyi benturan kepalan tangan Que yang mendarat di muka Dinh. Mendapat perlakukan seperti itu, Dinh tidak terima. Ia membalas atas apa yang dilakukan Que kepadanya. Kedua orang itu akhirnya berkelahi, bergumul, baku pukul dan tendang.
Song dan Hoang yang jiwa dan akalnya tidak waras karena terlalu banyak meneguk beer menjadi tidak peduli. Mata mereka sayu dan pandangannya bengong. Sebab alkohol yang diminumnya terlalu banyak membuat mereka samar-samar dalam melihat apa yang ada di depannya. Sehingga keempat orang itu karena mabuk, jadi asyik dengan diri masing-masing.
Dalam perkelahian itu rupanya Dinh merasa terpojok. Sebab dirinya tak waras, maka ia lari menuju ke barak di mana dirinya tinggal sambil berteriak-teriak, "tolong, tolong, saya mau dibunuh." Sepanjang jalan menuju barak, ia berteriak yang demikian. Que yang juga tak waras pun juga mengejarnya sehingga kedua orang itu berkejaran seperti anak kecil.
Apa yang diteriakkan oleh Dinh itu rupanya menimbulkan kegaduhan sehingga seluruh penghuni barak keluar dan melihat apa yang terjadi di luar. Dilihatnya Dinh dan Que tengah berkejaran. Penghuni barak yang di lantai dua turun dan mencoba mendekati, sementara penghuni di lantai 1 menghampiri berusaha untuk melerai.
Que yang terlihat marah itu berhasil dipegang. Ia meronta, ingin melepaskan diri agar bisa mengejar Dinh. "Sabar, sabar," ujar pria yang memegang tangan Que. "Sabar gimana, aku dibilang kuda sama dia," Que menjelaskan mengapa dirinya mengejar Dinh. Mendengar hal yang demikian semua tertawa. Mereka tahu bahwa dua orang itu tengah mabuk sehingga perilakunya dan omongannya aneh.
Nguyen Van Manh yang dari tadi tahu ada kegaduhan yang dikarenakan minuman keras, ia langsung menggontong ember berisi air. Setelah Que berhasil dipegang, selanjutnya ia mendekati dan menyiramkan air dalam ember itu ke mukanya, "byuurrr." Siraman untuk menyadarkan orang mabuk dengan cara alami itu rupanya manjur. Terlihat Que tiba-tiba membelalakan mata. "Haahh," ujarnya sambil memegang mukanya yang basah oleh air.
Setelah semuanya terkendali, Nguyen Van Manh berhadapan dengan semua penghuni barak. "Kalian itu bagaimana sih, sudah tahu kita di Indonesia mengungsi, masih saja membawa perilaku buruk dari Vietnam."
"Mau ditaruh di mana muka ini di mata PBB dan masyarakat Indonesia kalau kalian berperilaku seperti berandal."
"Marilah menjauhi perbuatan yang mencoreng muka kita."
"Apa yang kalian lakukan akan berpengaruh pada masa depan kita sebagai pengungsi."
Mendengar apa yang dikatakan itu, sebagaian ada yang mendengar dengan serius dan sepertinya mengiyakan namun ada pula yang sepertinya tidak peduli.
Sebab keonaran tadi memancing perhatian banyak orang membuat kejadian itu sampai ke telinga polisi. Tak heran, selang beberapa menit selepas Nguyen Van Manh menasehati penghuni barak, mobil patroli polisi datang. Mobil itu menyeruak berada di tengah kerumunan massa.
 "Ada apa ini!?" ujar komandan polisi itu dengan tegas saat berhadapan dengan mereka. Sementara beberapa brigadir terlihat siaga.
Nguyen Van Manh pun menceritakan kronologinya. "Tapi semuanya sudah diselesaikan dengan baik-baik," ujarnya. Nguyen Van Manh mengatakan demikian agar masalah itu tidak diproses secara hukum.
"Syukur kalau begitu," ujar komandan polisi.
"Tapi nanti kalau ada keonaran dan melanggar hukum, saya tak segan-segan untuk membawa kalian ke pos."
"Sudah sekarang kalian bubar dan kembali ke barak masing-masing.
***
"Mau ke mana Tinh?" sapa Thu Pham. Disapa dengan ramah oleh istri Nguyen Van Manh, gadis cantik itu menoleh. Bibirnya mengembangkan senyum. "Mau cari daun pepaya buat obat papa," ujarnya dengan suara lembut.
"Kak Thu tahu di mana ada pohon pepaya?"
Thu Pham merasa trenyuh melihat sikap patuh Tinh pada orangtuanya.
Sama seperti dirinya saat menjadi manusia perahu, ia mengalami penderitaan. Banyak orang yang berada di perahu itu tidak kuat menahan rasa haus dan lapar sehingga akhirnya jatuh sakit. Di antara penumpang perahu yang jatuh sakit hingga akhirnya meninggal adalah mamanya Tinh.
"Mama jangan tinggalkan Tinh," ujarnya sambil menangis tersedu-sedu saat jenazah mamanya itu dilarung ke laut.
"Tenang sayang masih ada papa," ujar papanya menenangkan Tinh sambil memegangi badannya.Â
Sebelum lari menyelamatkan diri dari Vietnam Selatan, mamanya memang sudah sering sakit-sakitan. Sakitnya bertambah parah saat berhari-hari berada di lautan dengan kondisi yang memprihatinkan. Kematian mamanya, membuat Tinh sedih sampai-sampai ia juga sakit saat di perahu. Kepedihan semakin menyakitkan ketika perahu yang ditumpangi bocor akibat diterjang gelombang besar. Untung dalam kondisi yang gawat itu kapal perang TNI AL tak jauh darinya sehingga semua bisa diselamatkan.
"O, ada, saya temani ya untuk cari daun pepaya," ujar Thu Pham saat Tinh menanyakan di mana mencari daun pepaya.
"Kebun pepaya tak jauh dari pertigaan."
"Kak Thu tidak sibuk bantu Tinh," ujar perempuan berambut panjang dan tinggi semampai.
"Sudahlah tidak usah pikir kakak," kata Thu Pham sambil memegang tangannya.
"Kita di sini adalah saudara, jadi kalau ada yang sedih semuanya harus merasakan sedih. Begitu sebaliknya."
Kedua perempuan itu berjalan menuju kebun pepaya. Di sepanjang perjalanan ia berpapasan dengan para pengungsi lain yang memiliki kesibukan lain. Mereka saling menyapa dan menanyakan kabar. Â Â Â
Tiba di kebun pepaya, dilihatnya daun-daun pepaya yang dirasa segar. Kebun pepaya terdiri dari puluhan pohon itu membuan Tinh dan Thu berkeliling. "Itu kayaknya yang masih segar dan muda," ujar Thu sambil menunjuk arah daunnya.
Tinh memandang daun yang ditunjuk Thu. "O ya kak itu yang kita cari," Tinh terlihat kegirangan. Mereka berdua akhirnya memperoleh beberapa helai daun pepaya. Di tengah Tinh dan Thu asyik mencari daun pepaya, dirinya tidak sadar diintip oleh beberapa orang dari semak-semak. Mereka memelototi wajah Tinh yang ayu dan tubuh yang seksi.
Di tengah mereka memelototi Tinh, tiba-tiba terdengar suara, "krosak, krosak, krosak..." Beberapa pemuda yang mengintip itu langsung tiarap menyembunyikan diri di balik semak-semak. Hal demikian membuat Tinh dan Thu merasa kaget. Dicari dari mana bunyi yang mencurigai itu muncul. Rupanya bunyi itu berasal dari pojok kebun pepaya. Di tempat itu tumbuh pohon bambu yang lebat, tak heran di tempat itu dipenuhi semak belukar dan tumpukan batang, ranting, dan daun yang mengering.
Thu berjalan menuju ke sumber suara yang mencurigaikan. Diawasi dengan seksama apa yang terjadi. Tiba-tiba dari tubuh Thu keluar keringat dingin. Keringat dingin itu mengalir dari pori-porinya setelah melihat binatang yang bentuknya seperti bambu panjang  itu tengah melata. Ekornya terlihat masih mengait di salah satu ranting. Ular itu sepertinya hendak bergerak mengarah pada posisi Thu berdiri.
Dengan suara gemetar, Thu berteriak, "u.. u.. lar..."
Seketika itu ia berlari mendekati Tinh dan selanjutnya dengan nafas yang tersenggal-senggal, ia mengatakan, "Tinh lari... ada ular..." Secara reflek, Tinh mengikuti apa yang diucapkan Thu. Mereka berdua lari terbirit-birit keluar dari kebun pepaya itu.
Melihat kejadian itu, beberapa pria yang tertawa terbahak-bahak. "Sama ular saja takut," ujar salah seorang di antara pria itu.
"Apalagi sama ular saya yang lebih besar dan panjang," ujar pria yang lain. Apa yang dikatakan itu membuat semuanya cekakan tertawa liar.Â
Dengan nafas yang tersenggal-senggal akhirnya Tinh dan Thu tiba di jalan, 10 meter dari kebun pepaya. "Syukur kita sudah berada di sini," ujar Thu.
"Sudahlah kak kita lupakan itu, yang penting kita selamat dan daun pepaya yang kita cari kita peroleh," Tinh menimpali dengan nafas yang masih ngos-ngosan. Setelah nafas mereka normal, mereka berjalan menuju ke barak di mana mereka tinggal.
"Ngomong-ngomong darimana kamu tahu daun pepaya bisa dijadikan obat?" Thu bertanya sambil memegang daun pepaya yang dibawa Tinh. Mendapat pertanyaan itu, Tinh hanya tersenyum.
"Kok tersenyum?" Thu merasa keheranan.
"Daun pepaya dijadikan obat sepertinya tradisi orang Indonesia untuk jamu."
"Orang-orang Jawa yang di sekitar barak biasanya membuat daun pepaya untuk jamu, buat diminum sendiri atau dijual."
"Pasti kamu kenal sama orang Jawa ya?"
Mendengar penjelasan dan pertanyaan itu, Tinh lagi-lagi tertawa sumringah.
***
Di sebuah barak kosong, puluhan laki-laki membentuk sebuah lingkaran. Mereka melingkari empat laki-laki yang lain yang tengah memegang kartu. Di depan empat laki-laki itu ada tumpukan uang dong dan rupiah. Meski terdapat puluhan orang namun suasana senyap terasa di ruangan yang dibatasi oleh dinding-dinding kayu.
Agar suasana tak panas karena pengap oleh sesaknya orang, maka jendela yang ada dibuka lebar-lebar agar angin bisa masuk sesukanya. Mereka semua diam sebab tidak mau mengganggu keempat orang yang sedang berjudi. Selain itu bila mereka gaduh akan memancing perhatian orang lain bahkan polisi. Bila ketahuan polisi, pasti perjudian itu akan dibubarkan dengan paksa dan pelakunya akan digelandang ke pos.
"Plak.." sebuah kartu dilempar ke tengah lingkaran oleh salah seorang penjudi. Melihat salah satu kartu dilempar, tak lama kemudian, penjudi lain melempar kartu yang warnanya sama namun beda angka. Melihat dua kartu yang tergeletak, penjudi ketiga terlihat dahinya mengernyit. Sepertinya ia tengah berpikir kartu mana yang akan dilempar. Dirinya masih banyak pilihan sebab kartu yang berada di tangan masih banyak. Setelah ditimbang-timbang, akhirnya ia menjatuhkan sebuah kartu di mana angka paling besar dibanding dua kartu sebelumnya.
Sebagai posisi yang terakhir, penjudi keempat menjadi penentu permainan. Semua penjudi termasuk orang-orang yang berkerumun melingkari menjadi tegang. Wajah penjudi keempat terlihat pucat, ia memilah-milah kartu mana yang akan ditaruh di kartu-kartu yang berada di muka mereka yang posisinya sudah terbuka.
"Ini saja," ujar penjudi keempat dengan pasrah. Kartu yang dipilih dan selanjutnya dilempar ke tengah arena itu rupanya angkanya lebih kecil dibanding dengan angka dari kartu yang dilempar oleh penjudi ketiga. Dengan hasil itu maka penjudi ketiga memenangi putaran kedua permainan judi. "Asyik menang," ujar penjudi ketiga.
"Bisa makan enak dan ngelonte lagi."
Permainan dilanjutkan lagi. Dari putaran ke putaran suasana semakin tegang, panas, adu mulut sering terjadi di antara mereka bahkan sudah hampir baku hantam namun untung masih bisa dicegah dan dilerai. Hari semakin sore tetapi mereka tidak peduli, sepertinya mereka larut dalam perbuatan yang tidak legal di hukum Indonesia itu.
Pada sebuah putaran yang kesekian kalinya, penjudi kedua melemparkan sebuah kartu berwarna merah dengan sebuah angka tertera jelas. Setelah melempar kartu itu, selang beberapa detik, ia mengambil lagi kartu itu dan mengganti dengan kartu yang lain. Melihat hal yang demikian rupanya membuat penjudi ketiga tidak suka dan marah.
"Kamu jangan begitu dong!" ujarnya.
"Ya nggak papa, kamu kan belum melempar kartu!" balas penjudi kedua dengan suara yang tak kalah tinggi.
"Tapi caramu itu mengganggu konsentrasi," balas penjudi ketiga tak mau mengalah.
"Sudah, sudah, kita lanjutkan permainan ini," penjudi pertama mencoba melerai.
"Ya betul, gitu saja ribut," penjudi kedua menimpali.
"Siapa yang mau bikin ribut!" penjudi ketiga sepertinya tersinggung.
"Kamu!" penjudi kedua berkata dengan kasar sambil berdiri.
Merasa seperti ditantang, penjudi ketiga ikut berdiri dan secara spontan melayangkan pukulan ke muka penjudi kedua. Penjudi kedua berkelit dan langsung membalas, rupanya pukulan itu mengena muka penjudi ketiga. Tak terima mukanya dipukul, ia langsung menubruk badan lawannya itu sehingga terjadilah pergumulan. Melihat yang demikian, orang-orang yang berkerumun itu ada yang lari menghambur keluar, ada pula yang tetap berada di ruangan itu dan sebagaian mencoba untuk melerai.
Sama-sama panas dan emosi, pergumulan dua penjudi itu berlangsung sangat keras dan brutal, baku pukul terjadi. Dalam pergumulan, tiba-tiba penjudi kedua mengeluarkan pisau yang sejak tadi diselipkan di pinggangnya. Hal demikian tidak disadari oleh penjudi ketiga. Di saat penjudi ketiga berhasil mencekik penjudi kedua, secara cepat penjudi kedua menusukkan pisau tepat ke perut penjudi ketiga. "Huuukh..." penjudi ketiga mengerang kesakitan ketika pisau itu menghujam ke dalam perutnya. Cekikan melemah, ia jatuh tersungkur, dan mengerang kesakitan.
Melihat hal yang demikian semua terdiam terpaku, ada yang lari meninggalkan tempat itu karena takut dijadikan tersangka atau saksi. "Tolong, tolong," rintih penjudi ketiga. Merasa bersalah dan takut menghadapi hukum, penjudi kedua melarikan diri. Untung di sekitar barak itu masih ada orang yang peduli. Segera ia ditolong dan dibopong beramai-ramai ke rumah sakit.
Melihat ada orang yang dibopong dengan tubuh bercucuran darah, semua penghuni barak yang barak yang dilewati, keluar semua, dan kamp pengungsian menjadi geger. "Ada pembunuhan, ada pembunuhan," sebagaian penghuni barak mengabarkan yang demikian kepada yang lain.
Sesampai di rumah sakit, tubuh orang itu diletakkan di sebuah ranjang pasien. Terlihat wajah penjudi ketiga pucat. Darah terus mengalir. Dokter jaga datang menghampiri dan ingin menolong namun sepertinya apa yang dilakukan itu sia-sia sebab ia tahu bahwa orang yang membujur itu telah tewas. Tanda kematian terlihat dengan tak ada nafas yang menghembus dan detak jantung yang berdetak. Dokter menduga, orang itu tewas dalam perjalanan karena kehabisan darah dan lokasi tusukan tepat pada organ vital.
"Sepertinya dia sudah tidak bisa ditolong," ujar dokter itu.
"Jadi? Â jadi dia sudah meninggal?" tanya salah seorang yang menolong.
Dokter itu mengangguk.
Kematian itu tersiar secara luas di kamp pengungsian. Jenazah itu selanjutnya diserahkan kepada orang terdekatnya. Dengan dibantu oleh pengungsi lain, jenazah itu didoakan dan diprosesi secara agamanya. Selanjutnya secara bersama diantar ke lahan makam yang telah disediakan oleh pemerintah Indonesia.
Nguyen Van Manh menghela nafas dalam-dalam selepas mengantar jenazah itu masuk liang lahat. Ia berpikir mengapa saudara-saudaranya sebangsa itu demikian bodohnya melakukan tindakan-tindakan yang tak terpuji di negeri orang. "Kita menunjukkan sebagai bangsa yang bodoh dan tak punya aturan," gumamnya dalam hati.
***
Tengah malam terlihat orang sedang berdiri di pantai. Ia terlihat gugup dan was-was, setiap ada sesuatu atau bunyi yang mencurigakan, meski hanya ranting jatuh dari dahannya, refleknya langsung bergerak. Orang itu terlihat memandang Laut China Selatan. Selanjutnya ia wira-wiri sepanjang pantai sepertinya mencari sesuatu.
Sesuatu yang dicari itu ditemui. Sebuah perahu besar teronggok di bawah pohon kelapa. Ia girang, didorongnya perahu itu menuju ke pantai namun sepertinya usahanya itu sia-sia. Segala daya dikeluarkan namun perahu itu tak bergerak. Perahu itu terlalu besar sehingga dorongan tubuhnya yang kecil tak bisa membuatnya berpindah.
Di tengah usahanya yang terus dilakukan, ada lima orang mengintai. Kelima orang itu dengan jalan mengendap-ngendap mendekati orang itu. Tanpa disadari, kelima orang itu menyebar dan mengepungnya.
"Angkat tangan!" bentak salah satu di antara kelima orang tadi.
Mendengar bentakkan, orang itu kaget, ia celingak-celinguk dari mana suara itu muncul di tengah kegelapan. "Kami dari polisi. Kami sudah mengepung anda, jangan bergerak!" suara itu muncul kembali dan tak berapa lama, lima orang sudah mengeliling dirinya. Merasa tak berkutik, orang itu mengangkat tangan. Salah satu dari kelima orang itu meringkusnya dan langsung memborgolnya.
"Kenapa anda tadi mendorong perahu itu?" tanya komandan polisi itu. Karena tak mau menjawab, pertanyaan itu diulang. Tetap diam, kepalan tinju dari seorang polisi yang berbadan besar menghantam mukanya. "Bukkk."
"Saya mau kembali ke Vietnam dengan naik perahu itu," jawab pria yang telah diborgol itu.
"Enak saja kamu!" ujar komandan polisi.
"Di sini habis membunuh orang lalu tidak mau bertanggungjawab."
"Meski anda warga asing, kamu telah melakukan kejahatan di negeri ini dan anda berhak diproses secara hukum."
Pria yang ternyata penjudi kedua tadi telah ditangkap oleh polisi. Pelariannya diendus oleh aparat setelah ada laporan dari masyarakat sekitar barak yang melihat ada orang Vietnam terlihat lari dari kamp pengungsian.
Setelah melalui proses pengadilan akhirnya penjudi kedua itu divonis penjara. Rupanya UNHCR dan pemerintah Indonesia telah menyediakan penjara bagi pengungsi yang melakukan tindak kejahatan.
 Â
****
Pagi terasa cerah, matahari bersinar dengan sorot yang tajam, beberapa awan putih seperti kapas mengapung di langit Pulau Galang. Angin bertiup semilir membuat dedaunan bergoyang-goyang. Gemericik air yang mengalir di sungai suaranya lembut di dengar. Kicauan burung bersahutan seperti melepas kegembiraan.
Di sebuah pohon besar, yang di bawahnya ada kursi kayu panjang bercat merah, terlihat Dipo berdiri. Sesekali ia mengamati jam yang melingkar di tangan kanannya. Sepertinya ia menunggu seseorang di tempat yang rindang itu. Dipo adalah pemuda Jawa yang diberi tugas untuk mengurus administrasi dan pendataan para pengungsi. Tak heran setiap hari ia berinteraksi dengan para pengungsi untuk mencatat segala hal yang terkait aktivitas para pengungsi.
Hati Dipo gembira saat melihat Tinh berjalan menuju arah tempat yang rindang itu. Dari kejauhan Tinh sudah mengembangkan senyum tanda dirinya juga senang melihat pria lulusan jurusan hubungan internasional di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta itu sudah ada di tempat mereka berjanji untuk bertemu.
"Hai kak," sapa Tinh lebih dulu setelah jaraknya semakin mendekat pada Dipo. Mendapat sapaan hangat itu, Dipo riang. Pagi itu Tinh terlihat sangat cantik, ia menggunakan ao dai berwarna pink. Meski dirinya menjadi manusia perahu namun Tinh masih sempat membawa beberapa pakaian yang dimiliki dari Vietnam Selatan. Rambutnya yang panjang lurus sesekali dihempaskan oleh angin yang bertiup.
Setelah duduk di samping Dipo di kursi panjang bercat merah itu, ia meletakan tas yang dibawanya. Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang berwarna merah bata. "Ini kak makanan yang Tinh buat," ujarnya sambil menyodorkan makanan kecil itu kepada Dipo. Makanan itu bentuk dan isinya seperti lumpia.
"Waduh, terima kasih ya," sambut Dipo dengan riang gembira. Lumpia itu langsung disantap.
"Enak sekali."
"Ini yang bikin kamu?"
Dengan tersenyum riang tanda senang dipuji, Tinh langsung menjawab pertanyaan itu. "Iya dong kak."
"Tinh suka memasak kok."
"Sekarang Tinh ingin belajar memasak makanan Jawa," tuturnya dengan tertawa.
"Kan kakak sudah mengajari cara membuat jamu dari daun pepaya."
Ungkapan tulus Tinh itu membuat Dipo merasa terharu dan tersanjung. Rasa iba, empati, dan cinta kepada perempuan pengungsi itu semakin bertambah. Dirinya tahu Tinh hidupnya dalam ketidakpastian. Ibunya meninggal saat mengarungi ganasnya Laut China Selatan, sedang ayahnya saat ini sakit-sakitan.
Dipo melihat Tinh pertama kali saat ada pendataan pengungsi. Saat itu ia melihat ada gadis pengungsi yang terlihat cantik sekali namun kecantikannya itu tersembunyi di bawah non la, topi tradisional Vietnam. Kulitnya yang kuning masih terbalut dengan bekas-bekas sinar matahari yang membakarnya selama puluhan hari di tengah lautan. Rambutnya yang kucel terlihat kaku akibat tak pernah diguyur oleh air segar.
Ketika giliran pendataan tiba pada Tinh. Dipo menyuruh ia membuka topinya. Setelah topinya dibuka, Tinh menundukkan pandangan, sepertinya ia masih trauma dengan kejadian-kejadian sebelumnya sehingga takut setiap menghadapi orang asing.
"Jangan takut," ujar Dipo dengan pelan.
"Siapa namamu?"
Mendapat pertanyaan itu Tinh menjawab siapa namanya. Di saat menjawab, Tinh sekilas memandang wajah Dipo. Dipo yang sejak tadi memandang wajahnya langsung melemparkan senyum kepada Tinh. Mendapat senyum ramah itu Tinh tetap dingin, ia kembali menundukkan pandangannya.
"Umur kamu berapa?"
Tinh menjawab kembali pertanyaan itu. Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan lain diajukan kepadanya.
"Pertanyaan terakhir, kamu tinggal di barak nomer berapa?"
Tinh lagi-lagi menjawab pertanyaan itu. Setelah puas memperoleh semua data yang ada. Dipo berujar, "ok silahkan jalan."
"Di sini kamu nggak perlu takut karena ada aku."
Mendengar kalimat itu, Tinh dalam hati bingung apa yang dimaksud dengan perkataan itu. Dirinya juga merasa curiga kepada Dipo mengapa pendataan yang dilakukan padanya sangat lama padahal kepada yang lain begitu singkat.
Dari pertemuan itulah selanjutnya Dipo sering melintasi barak di mana Tinh tinggal. Bahkan Dipo berani mampir ke baraknya, entah pura-pura mendata atau mengirim sesuatu kepada Tinh. Rupanya apa yang dilakukan Dipo itu bisa meluluhkan hati Tinh. orangtuanya pun tidak keberatan saat Dipo berada di baraknya dan ngobrol dengan anaknya. Dengan kedekatan itulah yang justru membuat hidup Tinh merasa lebih tenang dan aman.
***
"Bagaimana kesehatan papa?" tanya Dipo.
"Syukur kak, papa kesehatannya bertambah baik," jawab Tinh dengan suara lirih.
"Mudah-mudahan sakitnya hilang."
"Bisa jadi karena jamu yang kakak sarankan itu," Tinh berkata demikian sambil tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu," Dipo merasa senang orangtua gadis asal Vietnam Selatan itu dikatakan semakin membaik kesehatannya.
"Tinh..." Dipo menyebut nama itu namun selanjutnya perkataannya terhenti.
"Apa kak?" pertanyaan Tinh memecah kebisuan perbincangan kedua orang itu.
"Maukah kamu pergi ke Jawa?" Dipo mulai berani mengungkapkan perasaannya yang paling dalam. Mendapat pertanyaan itu, Tinh langsung terperanjat. Angan-angannya melayang ke Pulau Jawa, sebuah pulau yang dari tempat tinggalnya sekarang, di barak, sama jauhnya dengan perjalanan ke Vietnam Selatan. Dirinya tahu pria yang berada di sampingnya itu berasal dari pulau yang disebutnya tadi.
"Ke Jawa?" Tinh balik bertanya.
"Iya, ke Jawa," jawab Dipo dengan singkat.
"Jawa sebuah pulau yang subur, banyak sawah seperti di Vietnam, penduduknya banyak dan perempuannya cantik-cantik kayak kamu."
"Ke sana akan kuperkenalkan kepada orangtuaku dan bila mau kamu bisa tinggal di sana."Â
Mendengar kata bisa tinggal di Jawa, Tinh tak hanya terperanjat namun kaget. Ia juga mengerti Jawa adalah sebuah daerah yang subur, banyak sawah, ladang, kebun, hutan, flora, fauna, dan sungai yang panjang dan penuh dengan air. Kesuburan dan keindahan Jawa itulah yang membuat banyak bangsa datang ke sana.
Tiba-tiba air matanya mengalir. Tinh ingat negerinya sedang kacau balau. Di antara mereka saling bunuh. Akibat yang demikian ia dan ribuan orang lainnya harus melarikan diri dari negaranya. Pelarian yang mengerikan itu membuat ibunya dan ratusan orang lainnya meninggal, entah karena ditelan ganasnya lautan atau karena kelaparan, kehausan, dan sakit.
Air matanya bertambah deras saat dirinya di pengungsian tidak jelas nasibnya. Entah kapan diri dan yang lainnya mendapat jatah makan dan minum dari pemerintah Indonesia dan UNHCR.
Di tengah derasnya air mata yang mengalir, Tinh mengangguk tanda dirinya mau diajak ke Jawa. Dirinya mau diajak ke Jawa oleh Dipo bukan karena dirinya mau menghindari masalah yang mendera orang-orang Vietnam Selatan yang statusnya tidak jelas namun ia melihat Dipo adalah orang yang baik, sabar, dan berpendidikan. Ia membandingkan dengan beberapa pemuda pengungsi yang berperilaku liar, berandal, pemabuk, dan penjudi.
Melihat Tinh mau diajak ke Jawa, Dipo merasa senang. Dipegang tangan Tinh dan dibelai rambutnya yang lurus. Mendapat belaian sayang, kepala Tinh disandarkan di bahu Dipo. Dua orang yang sedang mengikat janji itu tak sadar kalau beberapa orang mengintipnya dari balik-balik semak. Melihat dua orang yang berlainan jenis itu sepertinya saling mencintai, salah seorang di antaranya merasa cemburu dan hatinya terbakar. Â Ia merangkak seolah-olah mencari sesuatu. Dilihat kanan dan kirinya ada sesuatu yang bisa digunakan untuk melempar. Ditemukan sebuah mangga setengah busuk yang jatuh dari pohon. Dipeganglah buah mangga itu, ia ancang-ancang untuk melempar namun agar tidak tahu gerakkanya diketahui maka ia melempar begitu saja yang penting menuju ke arah Dipo dan Tinh.
'Wussssss...' Mangga setengah busuk itu melayang di udara dan menerobos beberapa dahan dan ranting di rerimbunan pepohonan. 'Bluukkk..." Mangga setengah busuk itu jatuh tepat di muka Dipo. Dirinya kaget. Ia melihat ada mangga setengah busuk terdampar di depannya. Ia melihat ke atas, dirinya heran yang menaungi dirinya bukan pohon mangga namun kok ada buah itu jatuh. Selanjutnya dengan setengah berlari ia melihat ke semak-semaki, ia berpikir jangan-jangan ada orang yang melempar.
Tahu Dipo melihat ke arah rerimbunan di mana para pembuat onar itu bersembunyi, mereka semuanya tiarap dan membisu. Mereka takut keberadaanya diketahui.
"Oiiii.... siapa di situ," teriak Dipo. Ia mengulang teriakan itu. Di tengah mengawasi semak-semak, Tinh tiba-tiba berada di sampingnya dan berkata, "sudahlah kak, mari kita pulang."
"Ada yang nggak suka kita seperti ini."
Mendengar Tinh mengatakan demikian, Dipo langsung memandang wajah gadis cantik itu. Ia membenarkan apa yang dikatakan itu dan selanjutnya mengangguk tanda setuju dengan apa yang diinginkan Tinh untuk mengajak pulang.
***
      Di ruang tengah barak yang ditempati, Nguyen Van Manh dan Thu Pham serta dua anaknya tengah menikmati siaran televisi, pada masa itu siaran televisi yang bisa dinikmati hanya TVRI. Mata Nguyen Van Manh dan Thu Pham tak berkedip ketika melihat Presiden Soeharto di hadapan para petani tengah melakukan sambung rasa. Di tengah sawah yang tengah panen itu, rakyat mengeluarkan segala unek-uneknya atas apa yang mereka hadapi, mulai dari soal infrastrukur, pupuk, dan benih.
      Mendapat segala masalah yang dihadapi para pahlawan pangan itu, Presiden dengan murah senyum menjawab, menjelaskan bahkan memberi solusi dengan cara yang sederhana sehingga sambung rasa itu terlihat hangat dan akrab, tak ada jarak antara Presiden dan rakyat.
      "Enak ya hidup di Indonesia," ujar Nguyen Van Manh.
      "Tanahnya subur, rakyatnya makmur, dan pemimpinnya memberi perhatian."
      "Negeri ini luas dan terdiri dari ribuan pulau namun mereka bisa bersatu."
      "Kita berharap mudah-mudahan bisa menjad warga negara Indonesia."
      "Hidup di sini sepertinya lebih enak, bebas, dan nyaman."
      Mendengar harapan dan keinginan itu, Thu Pham memandangi wajah suaminya. Dikatakan, "iya benar suamiku. Mudah-mudahan kita bisa tinggal di Indonesia selamanya."
      "Di sini ada rasa damai dan tenang."
      "Anak-anak kita bisa sekolah di sini tanpa rasa ketakutan karena ada perang."
      Perbincangan di antara mereka terhenti sejenak. Selanjutnya Thu Pham mengatakan, "Suamiku, sekarang aku tengah hamil."
      "Anak ketiga kita ini akan lahir di kamp pengungsian. Jadi anak kita akan lahir di Indonesia."
      Mendengar istrinya mengandung, Nguyen Van Manh terperanjat. Dirinya senang, buah cintanya bertambah. Rasa aman dan nyaman di tempat pengungsian membuat keluarganya bisa saling menyayangi. Kedua anak, Tran dan Bui pun terlihat bahagia, mereka bisa sekolah seperti anak-anak di luar tempat pengungsian.
      "Ya anak kita nanti akan lahir di Indonesia," ujar Nguyen Van Manh.
      "Sebuah kebanggan kita dan anak kita yang nanti lahir di sini."
      Di tengah mereka asyik bercengkrama, Thu Pham tiba-tiba melihat Tinh melintas di jalan. Di samping Tinh dilihatnya seorang pemuda. Thu Pham buru-buru keluar dan menyapa, "Tinh mampir dulu."
      Mendengar ada suara yang menyapa, Tinh mencari suara itu, ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Saat menoleh ke kanan lagi, dilihat Thu Pham sedang berdiri di barak tempat ia tinggal. "Hai kak," sapa Tinh dengan ramah. Tinh menghampiri sambil mengajak Dipo ke barak itu.
      "Apa kabar kak?"
      Mereka berpelukan hangat dan akrab seperti saudara sendiri. Nguyen Van Manh yang melihat dan mendengar Tinh datang segera beranjak dari duduknya dan menghampiri dua perempuan itu. "Hai Tinh, apa kabar," sapanya. Tinh tahu Nguyen Van Manh berdiri tak jauh darinya dan telah menyapa dengan akrab, langsung dibalas dengan ramah, "Eh kakak, kabar saya baik-baik saja."
      Thu Pham kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Tinh, "siapa itu pemuda yang bersama kamu?" Mendapat pertanyaan lewat bisikan, Tinh tertawa lebar. Ia selanjutnya memandang Dipo dan memanggilnya, "sini kak, saya perkenalkan dengan kakak-kakak dari Vietnam."
      Dipo melangkah mendekat. "Ini namanya kak Dipo," ujar Tinh kepada Nguyen Van Manh dan Thu Pham. "Kak Dipo dari Jawa yang saat ini bertugas di sini." Setelah diberi tahu siapa pemuda yang bersama Tinh itu, Nguyen Van Manh dan Thu Pham mukanya berubah. Mukannya menggambarkan sebuah rasa senang dan penuh harapan.
      "Pemuda dari Jawa, oh kamu sungguh beruntung Tinh," ujar Thu Pham.
      "Ya Tinh kamu beruntung sekali bisa kenal sama Dipo," Nguyen Van Manh menambahi.
      "Kamu bisa menjadi warga Indonesia secara cepat Tinh," Thu Pham mengatakan demikian sambil menepuk pipi Tinh yang mulus dan putih itu.
      "Ya, mudah-mudahan Dipo juga bisa membantu kita juga agar bisa menjadi warga Indonesia," Nguyen Van Manh mengungkapkan keinginannya itu langsung kepada pria yang telah menjadi kekasih Tinh itu.
      Mendengar semua apa yang dikatakan itu, Tinh tertawa sumringah dan ceria, demikian pula Dipo. "Ah, kakak Thu bisa-bisa saja," kata Tinh yang tak lepas dari senyum senangnya.
      "Memang kamu mau ke mana?" tanya Thu Pham.
      "Mau balik ke barak setelah jalan-jalan," jawab Tinh.
      "Cieee, jalan-jalan nih," Thu Pham menggoda Tinh.
      "Jalan-jalannya ke Kota Batam dong biar lebih segar dan menyenangkan."
      Lagi-lagi Tinh tertawa mendengar apa yang dikatakan itu.
"Sudah ya kak, kita mau balik dulu," setelah saling sapa dan bercanda, Tinh pamit untuk segera balik ke barak yang ditempati.
"Masuk ke dalam dulu, minum teh dan makan ketela rebus yang kami tanam di kebun belakang barak," Nguyen Van Manh mencoba mencegah Tinh agar jangan buru-buru meninggalkan baraknya.
"Kapan-kapan ya kak sebab Kak Dipo juga mau ada urusan," Tinh dengan sopan menjelaskan dirinya harus segera meninggalkan tempat itu.
"Ya sudah kapan-kapan ke sini lagi ya, tapi harus sama Dipo," harap Nguyen Van Manh dan ia akhirnya mengerti bahwa Tinh dan Dipo harus segera pergi karena ada urusan.
"Sudah ya kak, Tinh jalan dulu," perempuan itu pamitan sambil menjabat tangan Nguyen Van Manh dan Thu Pham. Dipo juga melakukan hal yang sama, jabat tangan untuk berpisah dengan Nguyen Van Manh dan Thu Pham.
Kedua orang itu selanjutnya berjalan menuju barak di mana Tinh tinggal. Mereka tidak sadar, beberapa orang membuntuti sejak dari taman yang ada pohon besar dan bangku panjang bercat merah.
***
      "Tinh...," terdengar suara yang lemah dan pelan dari seseorang. Tinh yang berada di ruang tengah barak, asyik menyongket. Suara yang lemah dan pelan itu mengulangi lagi memanggil nama itu. Panggilan yang kedua itu menyadarkan Tinh dari asyiknya menyongket.
"Iya papa," jawab Tinh sambil bergegas menuju kamar di mana orangtuanya itu berbaring lemah. Setelah berada di tempat pembaringan orangtuanya itu, Tinh memperbaiki selimut yang melorot di bawah samping kiri tubuh papanya. Tubuh orang yang terbaring itu terlihat semakin renta, umur pada orangtua itu semakin menua.
"Tinh, sini duduk dekat papa."
Dengan langkah turut, Tinh duduk di samping orangtuanya, wajahnya terlihat haru melihat orang yang telah membesarkan dirinya itu sepertinya dari hari ke hari semakin tak berdaya. Air matanya mulai berlinang ketika melihat wajahnya orangtuanya yang semakin pucat.
"Tinh... papa dengar kamu telah berhubungan dengan seorang pemuda ya, siapa dia?"
Mendapat pertanyaan itu, Tinh kaget dari mana orangtuanya bisa tahu kalau dirinya menjalin hubungan dengan Dipo. "Iya papa," jawab Tinh dengan lembut. Selanjutnya ia menjelaskan siapa pemuda itu.
"O dia dari Jawa, Indonesia," orangtuanya jadi mengerti siapa lelaki itu dan dari mana asalnya yang tengah menjalin hubungan dengan anaknya.
"Dia baik kan, tidak seperti pemuda yang berada di sini yang suka mabuk dan berjudi."
Tinh mengangguk membenarkan apa yang diinginkan oleh papanya agar bila menjalin hubungan dengan seorang pemuda pilihlah orang yang baik tidak suka mabuk dan berjudi.
"Kalau seperti itu papa merestui hubungan kalian."
"Kapan-kapan dia suruh ke sini agar papa bisa melihatnya."
"Kita orang Vietnam tidak jelas sampai kapan berada di sini dan selanjutnya entah di mana kita berada."
"Papa ingin kamu hidup bahagia dan tenang tidak seperti masa lalu kita yang diburu oleh rasa ketakutan."
"Papa tidak ingin kamu menjadi penghuni kamp pengungsian untuk selamanya."
"Papa tidak lama lagi mungkin tidak ada, jagalah dirimu baik-baik."
Mendengar semua apa yang dikatakan oleh orangtuanya itu, Tinh terlihat menangis sesunggukan. Saat mendengar kalimat yang terakhir, Tinh berkata lirih, "papa..."
"Papa jangan pergi, Tinh tidak mau ditinggal sendirian."
"Tinh akan selalu sama papa."
"Jangan menangis anakku," orangtua itu menenangkan anaknya yang tengah menangis. Air matanya membanjiri pipinya yang kuning.
"Sudah nak, papa mau beristirahat, teruskan kegiatanmu."
Dengan mata merah dan pipinya basah oleh air mata Tinh mengangguk. Dicium kening papanya dan selanjutnya ia meninggalkan kamar itu.
Di saat ia berada di ruang, ia melihat beberapa orang tengah mengamati rumahnya. Rasa khawatir yang menghinggapi membuat dirinya segera menutup pintu dan kamar baraknya.
***
"Kak sejauh apa hubungan kita?" di taman yang rindang terdapat pohon besar dan bangku bercat merah itu, Tinh menanyakan kembali keseriusan Dipo menjalin hubungan dengan dirinya. Ragu akan keseriusan dirinya kepada Tinh, Dipo wajahnya langsung terlihat serius.
"Tinh kamu jangan ragu akan keseriusanku," ujar Dipo yang duduk di samping Tinh dengan posisi menghadap kepadanya.
"Meski kita memiliki perbedaan bangsa dan agama, itu bukan penghalang bagiku."
"Aku serius kepadamu karena kamu orangnya baik dan cantik."
"Bila orangtuamu mengijinkan, aku akan meminangmu dan kita bisa tinggal di Jawa."
"Sekarang atau besok aku siap bertemu dengan orangtuamu bila kamu mengijinkan."
Mendapat ungkapan yang tulus dari Dipo, terlihat Tinh menangis, air matanya yang belum kering setelah mendengar nasehat dari orangtuanya, membasahi kembali pipinya. "Benarkah itu kak?" Tinh kembali bertanya soal keseriusan Dipo.
Sambil mengangguk, Dipo dengan tegas mengatakan, "aku berjanji."
Mendengar kalimat dari kekasihnya yang mengatakan berjanji, air mata Tinh bertambah deras mengalir dan secara reflek ia memeluk Dipo erat-erat.
"Wooeeeee..." tiba-tiba terdengar teriakan dari balik semak-semak. Teriakan itu mengagetkan Dipo dan Tinh. Secara reflek Tinh melepas pelukan itu. Dipo terlihat sigap dan menuju arah teriakan itu. Dipandangnya semak-semak itu dengan mata awas.
"Kak, sudah kak, biarin saja mereka yang usil dan iri pada kita, mari pulang saja," ujar Tinh dengan muka agak cemas. Dipo mengangguk dan dengan menggandeng tangan Tinh yang panjang semampai bergegas meninggalkan tempat itu.
****
      Di ruang tunggu rumah sakit, terlihat Nguyen Van Manh gelisah. Ia berjalan mondar-mandir. Sedang kedua anaknya, Tran dan Bui, tengah tertidur di kursi panjang. Mereka berada di rumah sakit tempat untuk menunggu proses kelahiran anak ketiga. Istrinya, Thu Pham sedang berada di ruang tengah rumah sakit. Ia sedang ditangani seorang dokter dan dua bidan. Kandungannya telah berusia 9 bulan lebih. Dengan perhitungan itu, sudah saatnya Thu Pham melahirkan anaknya secara normal.
      Di tengah rasa tegang, cemas, dan gelisah, tiba-tiba terdengar suara lengkingan jerit tangis seorang bayi. Suara itu memecah kesunyian hari menjelang larut. Mendengar suara jerit tangis bayi itu, Nguyen Van Manh langsung bersyukur, "terima kasih ya Tuhan." Sementara dua anaknya tak peduli dengan apa yang terjadi pada malam itu sebab mereka lelap dalam tidurnya. Mereka lelap tak tahu bahwa mereka telah mempunyai adik baru.
      Dari ruang tengah keluarlah seorang bidan yang menggendong bayi montok, mungil, dan masih berwarna merah. Nguyen Van Manh segera berlari menuju bidan yang tengah berjalan mendekati dirinya. Wajah gembira terpancar dari mukanya.
"Anak bapak lahir selamat dengan jenis kelamin perempuan," ujar bidan itu sambil memperlihatkan sang jabang bayi. "Syukur, terima kasih ibu bidan," ucap Nguyen Van Manh dengan senang.
"Boleh saya membesuk istrinya saya?"
Bidan itu mengangguk dan selanjutnya membawa putri pasangan Nguyen Van Manh dan Thu Pham itu ke ruang yang diperuntukkan khusus bagi bayi.
Di ruang tengah, Nguyen Van Manh melihat keringat membasahi wajah istrinya. Ia segera membersihkan keringat itu dengan kain yang dibawa. Meski terlihat kelelahan setelah melakukan proses melahirkan anak ketiga, Thu Pham gembira. Dirinya merasa senang sebab proses itu dilalui dengan normal. Dirinya membayangkan bagaimana bila proses kelahiran itu bila berjalan tak semestinya, di tengah hidup di pengungsian, hal demikian tentu akan merepotkan dokter, bidan, suaminya bahkan bisa mengancam hidupnya.
"Kita harus bersyukur semua bisa berjalan dengan normal," ujar Nguyen Van Manh saat dihadapan istrinya. Â "Ya pa, saya juga merasa sehat tanpa banyak mengeluarkan darah," istrinya menimpali.
"Saya sudah mempersiapkan nama anak kita, baik untuk laki-laki atau perempuan," ujar Nguyen Van Manh.
"Karena perempuan maka nama yang kuberikan pada anak ketiga kita adalah Sarah."
Mendengar kata Sarah yang disematkan pada anaknya, Thu Pham tersenyum manis. "Sebuah nama yang bagus dan anggun."
"Mengapa tidak dinamakan nama orang Indonesia?"
"Lebih penting bisa mendapat orang Indonesia," ujar Nguyen Van Manh sambil tersenyum.
"Kalau papa berdoa untuk anak kita, saya amini," balas istrinya dengan muka serius.
Sepertinya Nguyen Van Manh dan Thu Pham telah jatuh hati pada negara yang telah menampungnya sehingga dirinya berharap bisa menjadi warga negara Indonesia dan mendoakan agar anaknya mendapat pria juga dari Indonesia. Â Â Â
***
      Hari masih pagi namun di sebelah ruang tengah rumah sakit, tergolek seorang pria dengan badan yang lemas. Pria itu mengerang sambil memegangi alat vitalnya yang terletak di bawah pusar. "Aduh... sakit...," ujarnya merintih. Rintihan itu terus diulang-ulang. Sakitnya yang demikian parah membuat jiwanya harus ditolong secara khusus.
      Dokter menghampiri dan memeriksa alat vitalnya. Muka dokter itu menjadi tegang saat melihat ciri-ciri yang muncul pada saluran pembuangan air kencing itu. Terlihat ada nanah, "vietnam rose," gumamnya dengan was-was.
Vietnam rose merupakan salah satu jenis penyakit kelaimin. Penyakit kelamin ini lebih bahaya dibanding sifilis dan gonorhea. Kuman vietnam rose, merupakan varian baru yang kebal dari pengobatan akibat mutasi kuman.
      Dokter menyimpulkan bahwa pria yang tergolek lemas di hadapannya itu sering melakukan sex bebas atau berperilaku hidup yang tidak sehat. Penyakit itu muncul bukan di Pulau Galang namun dibawa oleh mereka yang datang dari Vietnam.  Dokter pun melakukan tindakan untuk bisa menyelamatkan pria itu.
      Apa yang ditemukan dokter, menjumpai pasiennya yang mengindap vietnam rose bukan pagi itu namun berulang kali ia menerima keluhan serupa dari pria-pria lainnya. Merasa dalam kondisi yang gawat dan agar penyakit itu tidak menular ke mana-mana, ia melaporkan hal demikian kepada UNHCR dan pemerintah Indonesia. Dari laporan itu maka pengamanan kamp pengungsian lebih diperketat, seluruh pengungsi terutama laki-laki tidak boleh keluar dari kamp pengungsian agar tidak menularkan penyakit itu ke orang-orang di luar kamp pengungsian.
***
      "Kak Dipo...," ujar Tinh dengan bergembira saat melihat pria itu berada di depan barak tempat tinggalnya. Dipo senang melihat Tinh menyambut dengan ramah dan ceria, hari itu Tinh terlihat sangat cantik. Ao dai berwarna pink membalut tubuhnya yang langsing sehingga menambah kesempurnaan fisik gadis itu.
      "Kak Dipo kok tidak memberi tahu kalau mau ke sini," ujarnya dengan manja.
      "Mau bikin kejutan," balas Dipo dengan tersenyum.
      "Biar Tinh kaget."
      "Saya ingin melihat wajah asli Tinh bagaimana kalau tidak dandan."
      "Ternyata lebih cantik di saat tidak dandan."
      "Ah, kakak bisa saja," Tinh tersipu malu, mukanya langsung memerah, dan langsung mencubit tangan Dipo.
      "Saya boleh masuk ke barak?" tanya Dipo.
      Mendapat pertanyaan yang sepertinya menyindir dan menggoda itu, Tinh kaget dan tertawa lebar, "ha, ha, ha,..."
"Saya jadi lupa mempersilahkan Kak Dipo masuk."
"Tapi maaf ya kak, kondisi tempat tinggal Tinh seperti ini."
Dipo tersenyum maklum, kekasihnya itu tinggal di barak. Barak itu dibangun oleh UNHCR dan pemerintah Indonesia. Tentu barak yang dibangun bukan seperti apartemen yang memiliki banyak kamar dan ruangan. Untuk membesarkan hati Tinh, Dipo menyanjung, "kamu ada di depanku sudah lebih dari cukup."
"Ih, kakak ngomong apa sih," ucap Tinh dengan manja.
Di ruang tengah itu, Tinh dan Dipo berbincang, bersenda gurau, diselingin kata manis dan saling janji untuk setia untuk selamanya. Di tengah mereka tak capek-capeknya berbicang dan bertatap muka. Terdengar suara lemah memanggil, "Tinh..." Merasa panggilan itu tak dihiraukan, suara yang lemah itu menyebut lagi nama itu.
Panggilan kedua itu masuk ke telinga Dipo. "Tinh sepertinya ada suara menyebut namamu," Dipo mengatakan demikian sambil memandang wajah gadis yang berada di depannya.
"Oh, papa," sahut Tinh sambil buru-buru menuju kamar yang ada di sebelahnya. Â Ia menghampiri orangtuanya yang terbaring lemah. Ia merapikan selimut di tubuh orangtuanya. "Papa mau makan?" tanyanya dengan sopan. Orangtuanya menggeleng tanda mengatakan tidak. "Tinh..." orangtuanya menyebut nama anaknya itu dengan dengan lemah.
"Di ruang sebelah ada siapa?"
Pertanyaan itu menyadarkan dirinya bahwa ia lupa memperkenalkan Dipo kepada orangtuanya. "Oh...," Tinh mengumam menyesal. "O ya papa, Kak Dipo ada sebelah." Tinh dengan buru-buru keluar ruangan di mana orangtuanya terbaring dan menghampiri Dipo.
"Kak sini mari saya perkenalkan dengan papa."
Dipo yang tahu tata krama dan menunjukkan keseriusan pada Tinh, maka ia mengiyakan apa yang dimaui itu. Di belakang Tinh, ia berjalan menuju ke ruang orangtua itu berbaring. Bedua bersimpuh di hadapan orangtua yang terbujur itu.
"Kamu Dipo?...," suara orangtua itu menyebut dengan lemah.
"Iya bapak, saya Dipo, sahabatnya Tinh," ujar Dipo dengan lembut dan sopan.
"Mendekatlah nak," orangtua itu meminta agar Dipo mendekat. Setelah mendekat, tangan yang lemah itu memegang muka wajah pria dari Jawa itu. Dirabanya dengan lembut.
"Dipo aku mendengar dari Tinh kamu menjalin hubungan yang serius dengan anakku."
Mendengar ungkapan hati orangtuanya, Tinh terlihat menunduk malu. Ia telah mengatakan dengan jujur hubungannya dengan Dipo kepada orangtuanya agar ia tidak risau dengan dirinya.
"Aku merestuimu menjalin hubungan dengan anakku karena Tinh mengatakan kamu orangnya baik dan sabar."
Kalimat itu seketika membuat butiran air mata Tinh mulai terbentuk dan selanjutnya jatuh ke pipinya. Ia mengusapnya agar tak kelihatan. Sepertinya butiran air mata terus terbentuk di sudut mata Tinh.
"Saya senang ada pria Indonesia yang menjalin hubungan dengan anakku."
"Dengan pria dari Indonesia, saya yakin Tinh bisa hidup bahagia."
"Jagalah dia baik-baik dan aku titip Tinh padamu."
"Papa..." ujar Tinh dengan suara agak meninggi. Sepertinya anak satu-satunya itu mempunyai firasat sesuatu setelah mendengar ungkapan, jagalah dia baik-baik dan aku titip Tinh padamu. Ia mendekati muka wajah orangtuanya sambil menangis tersedu-sedu, "papa..."
"Papa jangan pergi."
"Tinh tidak mau sendiri di sini."
"Tinh..." orangtua itu bersuara kembali dengan lemah.
"Kamu tidak perlu takut kalau papa tidak ada. Papa bahagia bila sudah ada laki-laki yang mencintaimu dengan tulus dan setia."
"Tadi malam papa bermimpi bertemu dengan mamamu."
"Ia menanyakan kabar kamu dan papa menjawab kabarmu baik-baik."
"Papa bercerita kalau ada pria yang jatuh hati padamu dan ia akan meminang dan setia."
"Mendengar kata papa, mamamu sangat senang, ia bahagia di sana."
"Mamamu sebelumnya gelisah ingin mengetahui nasibmu."
"Pengalaman kita saat di perahu kayu membuat dirinya selalu menangis di sana. Ia selalu mengingat papa dan kamu."
"Mamamu menanyakan kapan papa menyusul pergi ke sana."
"Papa menjawab nanti kalau Tinh sudah bahagia."
Mendengar cerita papanya yang mimpi bertemu dengan mamanya membuat tangis Tinh menjadi-jadi. Mamanya telah lama tiada. Ia meninggal saat berada di perahu kayu yang mengombangambingkan dirinya di laut lepas.
"Papa... jangan pergi," suara Tinh bercampur dengan suara tangis. Dipo terpaku dan terharu melihat apa yang di depan matanya.
"Papa... papa.... papa...," Tinh terlihat gugup saat melihat wajah orangtuanya itu memandang ke atas dengan tenang dan tak berkedip. Diguncang-guncang tubuhnya, "papa... papa... Â papa....." Karena tidak memberi respon, Tinh langsung histeris dalam tangis sambil mendekap tubuh yang sudah renta. Tinh sepertinya merasa orangtuanya telah pergi menyusul mamanya ke alam sana.
Dipo kalut dan bingung apa yang hendak dilakukan. Ia segera keluar dan menuju ke barak Nguyen Van Manh. Kebetulan Nguyen Van Manh belum beranjak dari baraknya. Ia biasanya menghabiskan waktu berkebun di ladang yang tak jauh darinya. Dipo segera membisikkan sesuatu kepada Nguyen Van Manh. Mendengar apa yang dibisikkan itu, ia terperanjat dan langsung masuk ke dalam. Tak lama kemudian, Nguyen Van Manh keluar bersama dengan istrinya.
Mereka bertiga bergegas ke barak Tinh. Dalam perjalanan menuju ke tempat Tinh ia membisikkan sesuatu kepada orang yang dijumpai. Setiap orang yang dibisiki, wajahnya menjadi kaku. Hingga semuanya berbondang-bondong menuju barak yang jaraknya 100 meter dari mereka.
***
      Nguyen Van Manh terharu melihat Tinh mendekap tubuh orangtuanya sambil menangis. "Tinh..." sapa Nguyen Van Manh dengan pelan. Tinh mendengar suara itu namun dirinya tetap mendekap tubuh yang telah membujur kaku itu.
      "Tinh..." Nguyen Van Manh mengulangi lagi sapaan.
      "Ikhlaslah apa yang telah menimpa papamu."
      "Ini semua sudah menjadi jalan papamu."
      "Kamu di sini tidak sendiri. Di sini ada paman, bibi, dan yang lainnya."
      Thu Pham pun ikut mendekati Tinh, ia merayu agar sabar dan ikhlas menerima apa yang sudah digariskan. "Sudahlah Tinh, semua orang akan menerima apa yang dialami oleh papa dan mamamu," bisik Thu Pham.
      Setelah diberi banyak nasehat, Tinh mulai melepas dekapan itu. Tangisnya terdengar meski sedikit lirih. Nguyen Van Manh memanggil orang yang lain untuk mengurus jenazah itu. Selanjutnya diupacarai, didoakan, dan dikebumikan.
      Setelah semua prosesi upacara dan doa selesai, beberapa pria menggotong peti mati yang di dalamnya terbujur tenang orangtua Tinh. Mereka membawa peti mati itu ke pemakaman. Pemakaman itu sebelumnya adalah padang alang-alang. Sejak kedatangan dan pemusatan para manusia perahu, padang alang-alang itu dijadikan tempat pemakaman orang-orang Vietnam yang meninggal di kamp pengungsian.
      Tiba di pemakaman, liang lahat telah menganga siap menerima jenazah yang hendak disatukan dengan tanah. Setelah Nguyen Van Manh memberi sambutan, sebagai wakil keluarga Tinh, dan pemuka agama membacakan doa. Jenazah itu dibenamkan ke dalam liang lahat. Melihat hal yang demikian, Tinh menangis tersedu-sedu. Thu Pham memegangi badan dan tangannya agar tidak jatuh.
      Tanah-tanah liat selanjutnya didorong ke lubang pemakaman dan sedikit-demi sedikit menimbunin peti mati hingga akhirnya menutup seluruhnya. Di depan mata para pelayat, liang lahat itu menjadi sebuah gundukan tanah basah. Rangkaian bunga ditabur di atas gundukan tanah basah itu.
      Satu persatu, pelayat meninggalkan pemakaman. Makam papa Tinh berada di tengah ratusan makam yang ada. Di tempat itu, tinggal ada Nguyen Van Manh, Thu Pham, Tinh, dan Dipo. Mereka masih berdiri kaku memandang tempat di mana orang yang dicintai itu telah pergi selamanya.
      "Mari Tinh kita pulang, hari sudah sore, dan sebentar lagi malam tiba," Thu Pham dengan suara lembut mengajak Tinh pulang. Dengan dipapah oleh Thu Pham, Tinh sudi meninggalkan papanya. Sesekali ia menengok makam papanya.
Langit Pulau Galang hari itu gelap, awan hitam memayungi kamp pengungsian. Beberapa langkah mereka berjalan, petir terdengar menggelegar, angin datang menerpa dengan kencang, dan selanjutnya hujan turun dengan deras. Seolah-olah, alam ikut berduka cita atas meninggalnya papanya Tinh.
Â
  Â
Â
****
      Sarah anak ketiga Nguyen Van Manh terlihat berlarian kecil. Balita itu terlihat menggemaskan bagi orang yang melihatnya. Tubuhnya montok, rambutnya poni, dan kulitnya kuning. Di wajahnya sudah terlihat guratan wajah yang cantik.
      Sarah menghampiri dokter yang berada di rumah sakit. Dipegangnya dokter itu. Merasa ada yang memegangi bajunya, dokter melihat ke arah baju putihnya yang ditarik-tarik itu. Ia terpesona saat melihat ada balita di sampingnya. "Hai, adik manis," sapanya.
      "Siapa nama kamu?"
      Thu Pham tertawa melihat polah lucu anaknya itu. "Maaf yang dok," ujar Thu Pham dengan ramah.
      "Oh tidak apa-apa justru saya senang anak ibu riang dan gembira."
      "Itu berarti anak ibu sehat."
      "Siapa namanya?"
      "Sarah," jawab Thu Pham dengan tersenyum.
      "Terima kasih dok. Berkat jasa dokter, anak saya sehat dan ceria."
      Hari itu, Sarah dan balita lainnya mendapat imunisasi di rumah sakit. Imunisasi itu diberikan kepada anak dan balita untuk mencegah penyakit-penyakit berat. Setelah selesai diimunisasi, Sarah pulang ke barak dengan digendong oleh Thu Pham. Dalam perjalanan pulang, ia melintasi barak Tinh. Ia menuju ke barak itu. Diketuknya pintu. Tak terdengar jawaban dari dalam. Diulangi lagi ketukan itu namun lagi-lagi tak ada respon. Merasa di dalam tidak ada orang, Thu Pham meninggalkan barak itu. "Ke mana kamu Tinh," gumamnya.
***
Di ruang kerjanya Dipo tak konsentrasi. Pikirannya melayang pada Tinh, bukan karena rindu tetapi ia sekarang lagi mengapa, itu yang menjadi kecemasan Dipo. Dipo mengetahui, kekasihnya itu benar-benar terpukul atas kematian orangtuanya. Tinh saat ini merasakan dirinya sebatang kara, tidak mempunyai siapa-siapa, sehingga dirinya bingung pada siapa akan menambatkan jiwa dan hatinya. Meski diyakinkan Dipo akan menjaganya namun pikiran Tinh masih saja terpaku pada orangtuanya. Tinh sering mengigau menyebut nama orangtuanya.
Setelah ijin pada atasannya ada urusan, Dipo langsung mengendarai sepeda motor bebek menuju ke barak yang ditempati Tinh. Sesampai di barak, pintunya diketok. Tak ada jawaban, diulangi lagi ketokan itu. Hasilnya sama, tak ada jawaban. Dipo mencoba mencarinya lewat pintu belakang. Pintu belakang barak itu diketok juga, hasilnya tetap sama, tak ada jawaban.
Ia menanyakan Tinh di mana kepada tetangganya. Jawabannya mereka tidak tahu. Dipo bingung ke mana Tinh berada. Tiba-tiba firasatnya mengatakan ia berada di pemakaman orangtuanya. Ia segera menekan start elektrik sepeda motornya. Setelah mesin hidup, tunggangannya itu langsung diarahkan menuju ke pemakaman. Dipo melalui barak-barak yang ada. Selepas tikungan tajam dan menurun, sampailah ia di pemakaman.
Firasatnya benar, terlihat Tinh sedang bersimpuh di pusaran orangtuanya. Dipo segera berjalan cepat menuju ke tempat Tinh berada. Begitu tiba di belakang gadis itu, dirinya tidak langsung menegurnya. Suara tangis lirih dan meratap memecah kesunyian. Dipo merasa iba dan dirinya tak ingin kekasihnya itu larut dalam kesedihan.
Ia berjongkok di belakang Tinh, pundaknya dipegang lembut dan dengan suara halus ia menyapa, 'Tinh...." Merasa dipegang secara halus dan disebut namanya dengan lembut, Tinh menoleh ke belakang. Melihat Dipo, Tinh langsung memeluknya, "kak.... Tinh rindu pada papa...," ujarnya sambil menangis tersedu-sedu.
"Tinh..." sapa Dipo dengan lembut.
"Kakak kan sudah sering mengatakan, ikhlaslah kepergian papa."
"Papa di sana sudah bahagia karena kamu sudah dititipkan pada kakak."
"Percayalah pada kakak. Kakak akan menyayangimu seperti papa menyayangimu."
"Sebentar lagi kita ke Jawa, kakak sudah mempersiapkan semua."
Suara tangis Tinh agak mereda setelah Dipo memberi nasehat dan harapan padanya. Ia tetap memeluk Dipo erat-erat. Ia sepertinya kehilangan sesuatu yang sangat berarti baginya sehingga selalu  memegang erat-erat pada sesuatu yang ada di dekatnya.
"Sudah, ayo kita pulang, langit sudah mendung."
"Percayalah papa sudah bahagia di sana."
Dengan dipapah, Tinh berdiri dan selanjutnya meninggalkan makam itu, sesekali ia menoleh ke belakang melihat gundukan tanah yang mulai mengering itu. Tiba di pintu gerbang kuburan, wajah Dipo memancarkan amarah namun hal demikian tidak diperlihatkan kepada Tinh. Dipo ingin Tinh yang sudah mulai reda kesedihannya, tidak terguncang kembali akibat dirinya marah.
Ia marah sebab sepertinya ada seseorang yang menggembos ban sepeda motornya. Orang itu menggemboskan ban sepeda motor, saat dirinya tengah bersama Tinh di makam. Apa yang dilakukan orang itu sepertinya tidak sempurna sebab masih ada angin di ban. Bisa jadi orang itu lari saat Dipo dan Tinh berjalan menuju ke pintu gerbang pemakaman.
"Bentar ya kakak hidupkan mesin sepeda motor," ujar Dipo sambil melepas pegangan tangan Tinh. Gadis itu mengangguk. Setelah mesin sepeda motor meraung-raung, Dipo mempersilahkan Tinh untuk segera duduk di boncengan. Dengan gerak yang pelan, sepeda motor itu perlahan-lahan meninggalkan pemakaman itu. Dipo tidak mau menancap gas sebab dengan kondisi ban yang tak penuh itu akan membahayakan dirinya dan Tinh.
Saat melintasi sebuah tikungan, Dipo merasa ada beberapa orang yang tengah mengawasi dirinya tetapi ia tidak peduli. Ia tak mau menuruti pada hal-hal yang dirasa bila direspon akan merugikan dirinya.
***
      "Maling, maling, maling...!" terdengar teriakan dari salah satu barak yang berada di paling ujung kamp pengungsian. Teriakan itu membangunkan orang-orang yang sedang terlelap dari tidurnya. Serta merta mereka berhamburan keluar barak dan menuju ke arah teriakan. Saat mereka keluar, terlihat beberapa orang sedang berlari menuju ke arah kegelapaan sambil berteriak, "tangkap.... itu malingnya.... tangkap."
      Orang-orang yang berada di luar barak itu akhirnya juga berduyun-duyun ke arah kegelapan di mana diduga maling bersembunyi. "Kepung... kepung... kepung...!" teriak salah satu di antara puluhan orang itu. Mereka pun mengepung sebuah rerimbunan belukar. Beberapa orang dengan membawa tongkat panjang sambil membawa penerang menyoba menerobos rerimbunan itu. Untuk menjaga agar maling tidak lolos dari kepungan, seorang di antara mereka berteriak, "yang lain siap-siap....!"
      Di antara rerimbunan semak yang dahan dan rantingnya lebat, seseorang tengah merunduk dan meringkuk, nafasnya berpacu, dan keringat dingin mengalir di tubuhnya. Ia membisu dan menjaga seluruh badannya agar tidak bergerak. Ia sadar dirinya tengah dikepung oleh warga. Tak jauh darinya beberapa orang tengah menebas-nebas belukar untuk mencari dirinya. Pada dirinya pada saat itu adalah mencari akal agar bagaimana bisa lolos dari kepungan dan lari keluar kamp pengungsian.
      Dirinya dicari warga sebab mencuri uang dan barang berharga di sebuah barak paling ujung. Tindakan itu dilakukan karena ia butuh uang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Jatah makan dan minum yang diberikan, sepertinya tidak mencukupi. Masa depan yang tidak menentu membuat dirinya melakukan tindakan seperti itu.
      Pikirannya langsung melayang di saat kecil, ia bersama dengan dua anak yang lain di sebuah dusun di Vietnam Selatan, suka pergi ke pasar. Di tengah keramaian pasar, mereka membuntuti ibu-ibu yang hendak belanja. Di saat ibu-ibu itu lengah membawa dompetnya, ia dengan tangan yang lihai dan kerja sama dengan anak yang lain mengutilnya. Kejadian itu berulang kali ia lakukan dan uang yang didapat dari mengutil itu digunakan untuk jajan.
      Di suatu hari, di pasar itu, ia bersama dua temannya terlihat membuntuti seorang ibu yang hendak belanja. Ibu itu sepertinya membawa uang yang banyak sebab ia menuju ke pasar di bagian penjualan daging sapi. Membeli daging sapi di dusun itu tak semua orang bisa melakukan setiap hari karena daging sapi termasuk barang yang mahal. Saat ibu itu menghampiri salah satu pedagang daging sapi, tiga anak kecil itu pura-pura melihat-lihat keramaian tempat itu. Mereka melingkari ibu. Di saat ibu itu menawar harga daging sapi perkilonya, tiba-tiba sebuah tangan menjulur ke dalam tas yang dibawa perempuan bertubuh tambun itu.
Sial rupanya, ibu itu sadar dan secara reflek melihat anak kecil yang berada di sampingnya tengah merogoh tasnya. "Copet.... copet....!," teriakan itu serta merta membuat orang yang ada di tempat itu terperanjat dan berlarian menuju arah teriakan itu. Ketahuan mencopet, ketiga anak itu langsung lari namun karena pasar itu sedang ramai maka lari mereka terhambat dan dengan mudah mereka ditangkap. Ketiga anak itu digelandang ke kantor pos keamanan pasar.
"Siapa namamu?!" bentak petugas keamanan pasar.
"Saya Long," ujarnya dan dua anak yang lain menyebutkan namanya pula.
"Kamu goblok, kecil-kecil sudah mencuri," petugas keamanan pasar itu menginterogasi ketiga anak itu.
"Berapa kali kamu mencuri!?"
Ketiga anak itu membisu dan menundukkan kepala, tak mau menjawab.
"Berapa kali!?" petugas keamanan pasar itu kembali bertanya dan membentak sambil melayangkan tangannya ke kepala pada anak-anak itu, "plak... plak... plak..." Tindakan fisik itu membuat mereka kesakitan bahkan ada yang menangis.
"Dua kali....." ujar Long dengan gemetar.
'Bohong!" sepertinya petugas keamanan pasar itu tak percaya. Tangannya kembali melayang di kepalanya, "plak..." Tindakan fisik itu membuat rasa sakit di kepalanya bertambah sakit.
"Sepuluh kali...," ujar Long sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.
Mendengar jawaban itu, sepertinya petugas keamanan pasar mulai percaya dengan pengakuan itu sebab dirinya mendapat laporan dari banyak pengunjung pasar yang kehilangan dompetnya.
"Siapa orang tuamu?"
Long menyebutkan nama orangtuanya, begitu pula dua anak yang berada di sampingnya.
"Mengapa kamu kecil-kecil sudah mencuri?" petugas keamanan pasar mulai menanyakan alasan tiga anak itu suka mengutil di pasar yang menyebabkan banyak orang mengalami kerugian.
"Saya lapar pak dan orangtua saya tidak peduli," ujar Long
"Mereka setiap hari bertengkar terus."
Mendapat jawaban Long, petugas keamanan pasar itu menghela nafas dalam-dalam. Ada rasa iba pada bocah-bocah itu.
"Ya sudah kamu saya bebaskan."
"Tapi nanti kalau kamu mengulang lagi mengutil di pasar ini, saya akan bunuh kamu."
Petugas keamanan pasar mengatakan akan membunuh mereka bila mencuri lagi di pasar itu, bisa jadi untuk menakuti nakuti mereka agar benar-benar jera.
***
Orang-orang sepertinya kesulitan menemukan pria yang bernama Long. "Sudah menemukan?" tanya salah seorang kepada yang lain di rerimbunan semak belukar. "Belum," jawabnya. Mereka terus menebas-nebas ranting yang menghalangi pandangan pencarian.
Di saat Long membisu bersembunyi, tiba-tiba di depannya melintas seekor ular. Ia ingin mengusirnya namun tindakan itu bisa merugikan dirinya sebab gerakan yang dilakukan akan mengundang perhatian orang yang mencarinya. Untuk itu dirinya tetap diam. Long sepertinya memakan buah simalakama, ular itu rupanya membelit kakinya dan terus menjalar ke atas. Ia tetap tak bergerak. Namun kalau bergerak, ia akan ketahuan. Â
Merasa tak membuahkan hasil, orang-orang yang mencari Long itu hendak kembali dan menghentikan pencarian. Beberapa langkah setelah keluar dari rerimbunan, mereka mendengar suara orang mengaduh, "ahh....." Mendengar suara mengaduh itu mereka langsung balik arah dan mencari dengan lebih semangat di mana suara itu berasal.
Dengan menebas-nebas rerimbunan yang ada, akhirnya mereka menemukan orang yang tergolek mengerang kesakitan. "Haiii.... malingnya di sini," teriaknya. Mendengar kabar itu, semua orang menuju dari mana teriakan itu muncul. Setelah semua melihat Long, dengan reflek mereka memukuli dan menendangnya.
Untung ada yang mencegahnya, "sudah... Sudah... ia sudah tertangkap."
Mereka kemudian menyeret Long dari kerumunan dan menggelandang ke tanah lapang depan barak. Saat di tanah lapang, semua heran mengapa Long terlihat mengaduh dan mengerang bukan pada tubuh di mana dirinya dipukul dan ditendang tetapi pada daerah di sekitar kemaluan.
"Heh mengapa kamu mengerang dan mengaduh sambil memegang sekitar kemaluanmu?" seseorang bertanya kepada Long.
"Sekitar kemaluanku digigit ular," jawab Long.
Mendengar jawaban seperti itu semua tertawa terbahak-bahak. "Milikmu dikira ular kali," orang yang memegang tongkat panjang itu meledeknya. "Ularmu mau dikawini sepertinya," yang lain menimpali. Mendengar itu semua, kecuali Long, mereka yang berada di tanah lapang itu tertawa cekakan.
****
Merasa tidak enak badan, Tinh ingin mengusir sakitnya itu dengan membuat jamu. Ia pergi ke dapur untuk mencari daun pepaya sebagai bahan obat tradisional yang hendak diramunya. Dibuka tempat yang biasa di mana ia menyimpan daun berwarna hijau itu. "Oh, rupanya habis," keluhnya. Kurang percaya apa yang di depan matanya tak tersisa sehelai daun pun, ia membuka tempat yang tertutup lainnya. Apa yang dilihat rupanya sama, tak ada lagi daun pepaya.
Ia berpikir untuk mengambil daun pepaya di kebun yang tak terlalu jauh dari baraknya. Di kebun itu dirinya pernah bersama Thu Pham untuk mengambil daun pepaya yang hendak diramu menjadi jamu buat papanya.
Diambilnya non la untuk melindungi kepala dan mukanya dari terik matahari yang panas. Setelah barak dikunci, ia melangkah menuju ke kebun pepaya. Dirinya heran mengapa kamp pengungsian saat itu sepi, padahal setiap hari banyak orang melintas dan saling berpapasan. Dilihat rumah Nguyen Van Manh terlihat tertutup, sebenarnya ingin mengajak Thu Pham untuk menemani ke kebun pepaya. Niat untuk mengetuk rumah itu dibatalkan karena ada perasaan tidak enak bila menganggu kesibukan Nguyen Van Manh dan Thu Pham.
Demikian pula ia tak mau menghubungi Dipo karena tahu ia pasti sibuk dengan urusan kerja. Sebelumnya Dipo telah mencarinya saat dirinya pergi ke makam orangtuanya. Apa yang dilakukan Dipo di saat jam kerja itu telah menganggu aktivitas kerjanya. Â Â Â
Ia terus melangkah menuju di mana daun pepaya itu bisa didapat. Tibalah dirinya di kebun seluas setengah lapangan bola itu. Sepi, senyap, dan tak ada manusia. Rasa takut mulai menghampiri namun Tinh mencoba menghalau perasaan yang bisa-bisa dibuatnya sendiri.
Tanah yang penuh dengan daun-daun kering pepaya yang berserakan diinjaknya. Ia mulai masuk ke area kebun itu. Memandang ke atas untuk memilih daun pepaya yang bisa digunakan untuk jamu. Geli dan takut saat melihat seekor kelelawar hitam yang tengah menikmati pepaya matang. Pepaya itu didekapnya.
Tinh terus melangkah untuk mencari apa yang diinginkan. Secara tidak sadar dirinya sudah berada di tengah kebun. Firasat buruk belum menghinggapi padahal beberapa orang sejak dirinya tiba di kebun sudah membuntuti.
"Itu dia," ujarnya saat melihat daun pepaya yang dirasa masih segar dan muda. Dicarinya galah bambu yang ada. Selonjor galah bambu teronggok tak jauh darinya. Diambil galah bambu yang sudah rapuh itu. Setelah berhasil diangkat, ia menjolokkan ke daun-daun muda pepaya. Satu persatu daun pepaya yang terdorong oleh galah bambu itu berjatuhan. Dirasa cukup, galah bambu itu diletakkan di samping kirinya. Daun-daun pepaya yang berserakan di tanah kering itu diambil dan dimasukkan ke dalam tas kresek hitam yang dibawa.
Mencari daun pepaya yang akan digunakan untuk jamu rupanya membutuhkan tenaga yang ekstra bagi Tinh, terbukti keringat bercucuran membasahi tubuh dan mukanya. Ia mengusap keringat yang ada di muka dengan tangannya yang jenjang dan kuning itu. Non la yang dipakai dilepaskan agar kepalanya tidak gerah. Saat non la dilepas, wajah cantik Tinh terlihat dengan jelas. Rambutnya yang panjang terurai. Angin menggoyangkan rambutnya yang lembut.
Tangan kiri membawa tas kresek yang berisi beberapa potong daun pepaya, tangan kanan menenteng non la yang sejak dari barak memayungi kepalanya. Ia melangkah menuju ke jalan, keluar dari kebun. Beberapa langkah lagi ia sudah keluar dari kebun namun tiba-tiba tiga orang menghadang. Tinh kaget dihadang oleh orang-orang yang dikenalnya. Mereka adalah laki-laki penghuni kamp pengungsian. Â
"Ada apa ini?" ujar Tinh dengan sopan kepada mereka.
Ketiga orang itu tidak menjawab, senyum nakal diumbar. Mereka mendekati Tinh dengan nafas yang buru-buru.
"Hai, kamu jangan macam-macam!" ujarnya Tinh ketika dicolek oleh salah satu di antara mereka. Mereka tidak peduli dengan ucapan yang meninggi itu.
"Sudahlah diam saja kamu, di sini tak ada orang selain kita," ujar salah satu dari tiga laki-laki itu.
"Apa maumu?!" Tinh mulai berkata dengan kasar.
Laki-laki itu tidak menjawab tetapi mengumbar senyum nakal dan wajah nafsu durjana. Mereka langsung membekap Tinh dengan kuat-kuat. Mendapat perlakuan yang tidak senonoh, Tinh langsung berontak dan berteriak, "tolong... tolong... tolong..." Teriakan itu sepertinya membuat mereka panik. Agar tindakan itu tidak didengar dan diketahui orang lain, salah satu di antara mereka menutup mulut Tinh kuat-kuat.
Tangan kuat yang membekap mulut mungil itu mampu mencegah suara yang hendak diteriakkan. Tinh tak mau menyerah, ia terus berontak. Dirinya tahu bahwa ketiga orang itu akan berbuat jahat, memperkosanya. Untuk itu ia menggunakan seluruh tenaga yang ada untuk melepaskan diri.
Meski dibekap oleh tiga orang, Tinh mampu melepaskan diri, ia berlari sambil berteriak minta tolong. Buruannya lepas, ketiga orang itu mengejarnya dengan arah yang berbeda dengan tujuan untuk mengepung gadis cantik itu.
Tinh terus berlari dengan kencang. Upaya menyelamatkan diri itu hampir tercapai, beberapa langkah lagi ia sudah berada di jalan besar. Sial, kakinya menyandung batu besar yang ada di depan dan tak lihatnya, ia pun jatuh. Melihat gadis cantik itu tengkurap, seorang yang mengejarnya, berada tepat di belakangnya, segera menyeret kakinya ke arah tengah kebun. Tinh berteriak-teriak minta tolong. Melihat hal yang demikian dua laki-laki yang lain membekap mulutnya. Tinh terus meronta-ronta namun sayang, apa yang dilakukan itu sepertinya sia-sia. Dengan posisi tergeletak dan dipegang erat-erat, posisi Tinh sulit untuk melepaskan diri dari bekapan dan sengkapan itu.
Tinh terus diseret ke tengah kebun pepaya, dirasa tempat itu tidak aman, seretan terus dilakukan hingga ke semak-semak. Di tempat itu, Tinh ditelentangkan, kedua tangannya dipegang kuat-kuat, kakinya masih bisa meronta-ronta. Seorang dari mereka langsung menindihnya dan melepaskan nafsu bejatnya.
Tinh masih melawan, kepalanya digerakkan ketika mulut kasar ingin menjamah muka dan bibirnya. Gerakkan laki-laki itu semakin kasar dan kuat sehingga Tinh tak berdaya. Yang bisa melawan adalah perasaan dan matanya. Perasaannya sangat terpukul dan air matanya keluar dengan deras ketika dirinya benar-benar sadar telah digagahi dan dirudakpaksa oleh ketiga laki-laki.
Menyedihkan nasib Tinh, satu laki-laki selesai melampiaskan nafsunya, ganti laki-laki kedua melakukan hal yang sama. Laki-laki ketiga pun juga melakukan tindakan yang sama bahkan lebih brutal, sadis, dan lebih lama daripada laki-laki pertama dan kedua.
***
Thu Pham selepas ada urusan, ia buru-buru pulang ke barak. Perjalanan menuju ke tempat tinggalnya melintasi kebun pepaya. Dalam perjalanan pulang, tepat di dekat pintu masuk, ia melihat non la. Ia berpikir non la siapa di tempat itu. "Masih bagus dan terawat," ujarnya sambil memandang topi tradisional Vietnam itu. Ia memandang sekeliling jalan dan kebun pepaya. Tak dilihatnya seorang pun. Thu Pham ingin melanjutkan perjalanan pulang namun di saat hendak melangkah, dirinya melihat sandal Tinh.
"Itu sandal Tinh," gumamnya sambil berjalan menuju ke tempat sandal itu tergeletak. Alas kaki itu diambilnya. "Di mana kamu Tinh?" pertanyaan itu muncul lirih dari mulut Thu Pham. Di saat dirinya celingak-celinguk, terdengar suara mendesah dan semak-semak yang bergoyang-goyang.
Pikiran nakal Thu Pham muncul di otaknya. Ia berpikir jangan-jangan Dipo dan Tinh tengah bercinta, "tetapi mengapa harus di tempat ini?"
"Memang tidak ada tempat yang lebih bersih dan nyaman?"
Berbagai pertanyaan seperti itu muncul. Di tengah upaya menjawab pertanyaan itu, dirinya mendengar suara-suara kasar dan tawa cekakan. Suara kasar itu berbunyi, "terus... terus... terus...."
"Gantian dong.... "
Di tengah suara itu, Thu Pham juga mendengar suara tangis dan teriakan lirih minta tolong.
Merasa ada sesuatu yang tak beres dengan Tinh dan apa yang terjadi di balik semak-semak itu, Thu Pham langsung bergegas menuju ke perkampungan untuk memberitahukan kejadian yang dirasa janggal dan aneh.
Tak seberapa lama, Thu Pham bersama Nguyen Van Manh dan 15 orang warga kamp pengungsian mendatangi tempat itu. Nguyen Van Manh membenarkan firasat Thu Pham bahwa di tempat itu memang ada kejadian yang tak wajar. Untuk itu ia meminta kepada warga yang lain untuk mengepung semak-semak itu. Mereka menyebar ke segala arah. "Tunggu komando saya untuk bergerak.
Nguyen Van Manh mengendapngendap ke semak-semak. Dirinya kaget luar biasa begitu melihat apa yang terjadi. "Tangkap!!," teriaknya. Komando itu langsung direspon oleh yang lain dengan langsung menuju ke tempat di mana pemerkosaan kepada Tinh terjadi. Ketiga laki-laki itu kaget begitu mereka dikepung oleh puluhan warga.
Pakaian yang awut-awut dan dalam keadaan duduk membuat mereka tidak bisa lari. Ketiga orang itu langsung dibekap oleh warga, pukulan, tendangan, dan emosi dihempaskan kepada para tiga laki-laki bejat itu. Mereka mengaduh dan meminta ampun tetapi warga tak peduli.
Thu Pham yang ikut dalam penggrebekkan itu langsung menuju ke semak-semak dan langsung menolong Thinh. "Thinh...," seru Thu Pham. Terlihat Tinh lemah, pandangannya kosong, dan pakaiannya acak-acakan. Ia dibantu oleh Nguyen Van Manh segera membopong tubuh gadis itu.
Ketiga laki-laki itu diikat dengan tambang kasar dan digelandang menuju ke tanah lapang. Sepanjang perjalanan pukulan dan tendangan warga mendarat di tubuh mereka. Rintihan minta maaf dan mengadu sakit, tetap tidak didengar oleh warga.
Sesampai di tanah lapang, mereka diikat di tiang kayu. "Bakar mereka..." teriak salah seorang warga. Teriakan itu rupanya diikuti oleh yang lain, "bakar, bakar, bakar." Rupanya warga serius untuk menghanguskan tubuh ketiga laki-laki itu. Satu jurigen besin sudah disiramkan kepada mereka namun ketika korek hendak dinyalakan, tiba-tiba terdengar suara teriakan, "polisi datang, polisi datang, polisi datang." Teriakan itu rupanya mengurungkan niat seseorang yang telah menyalakan korek api untuk melemparkan api berwarna merah bata kebiruan-biruan itu ke tubuh yang dipancang di tiang.
"Tolong semua menahan diri, jangan main hakim sendiri," ujar salah seorang komandan polisi lewat toa, pengeras suara, yang dibawa.
"Bila anda main hakim sendiri, anda telah melanggar hukum."
"Masalah ini biar kami proses secara hukum."
"Sebab kasusnya berat maka hukumannya bisa berat bahkan sampai hukuman mati."
Entah karena janji polisi akan mengusut ketiga pemerkosa itu dengan hukuman berat atau karena mereka harus patuh pada hukum negara lain, warga mematuhi apa yang diinginkan polisi, yakni tidak main hakim sendiri. Ketiga laki-laki itu selanjutnya diserahkan kepada pihak yang berwajib.
***
Tinh terbaring di ranjang di salah satu ruangan rumah sakit. Tatapannya kosong dan mulutnya membisu. Dalam diam dan membeku, air matanya berlinang tak henti. Ia shock setelah kejadian itu. Dokter sempat menyuntikkan obat penenang agar ia tidak histeris bila apa yang dialami itu tiba-tiba melintas dalam pikirannya.
Thu Pham tak lelah-lelahnya memberi semangat padanya. Di samping tubuh dan dekat dengan wajah Tinh, Thu Pham menunggunya.
Dengan berkata lirih memberi semangat, Thu Pham mengatakan, "Tinh semua sayang kamu."
"Semua di sini bersama kamu."
Dengan mengutarakan kata-kata lembut, Thu Pham membelai rambut Tinh. Disentuhnya Tinh agar merasa ia di dekat orang-orang yang menyayangi dan menjaganya. Â Dipegang tangannya Tinh. Begitu tangannya dipegang, perempuan yang terkulai lemas itu langsung merespon dengan memegang erat-erat.
"Kak....," ujar Tinh lirih.
"Mengapa saya seperti ini?"
"Apa salah saya sehingga aku seperti ini."
"Tinh, tak usah berpikir seperti itu. Di sini semua menjagamu," Thu Pham menenangkan Tinh yang mulai mampu berinteraksi.
"Kak, saya ingin menyusul papa....," Meski sudah bisa berinteraksi namun jiwa Tinh masih terguncang.
Mendengar apa yang dikatakan itu, pandangan Thu Pham menjadi haru. Ia memahami Tinh benar-benar terpukul sehingga mengatakan yang demikian. "Tinh jangan begitu, di sini masih ada bibi dan paman."
"Kan Tinh sudah punya Kak Dipo."
"Sebentar lagi Tinh kan mau berangkat ke Jawa."
Mendengar apa yang dikatakan itu, Tinh menangis. Sesunggukan tangisnya terdengar. "Kak... Dipo..." Tinh menyebut dengan putus-putus dua kata itu.
Entah mengapa tiba-tiba Dipo datang dan menghampiri, "Oh... Tinh... " suara lirih terdengar dari mulut Dipo. Dipo langsung mendekam Tinh. "Kak....," ujar Tinh sambil menangis. "Tinh... tak usah menangis, di sini ada Kak Dipo yang akan menjagamu," Dipo menenangkan kekasihnya.
"Kak, Tinh sudah tidak berharga lagi," suara tangis Tinh mulai menderu.
"Kak Dipo tak perlu lagi sama Tinh karena Tinh sudah tidak mempunyai arti."
"Tinh ingin menyusul papa...."
"Tinh jangan berkata begitu. Apapun yang terjadi Kak Dipo masih mencintai Tinh," Dipo menenangkan perasaan terus jiwa kekasihnya yang masih terguncang. Suara tangisnya semakin kencang.
"Tinh, papa sudah menitipkan kamu kepada Kak Dipo. Jadi Tinh tak perlu risau."
"Sebentar lagi kita akan ke Jawa."
"Di sana Kak Dipo akan selalu bersama Tinh."
Entah mengapa Tinh tiba-tiba histeris, ia menjerit-jerit sambil meronta-ronta. Menghadapi yang demikian, Dipo memegangi. Ia tidak merasa takut dengan histerianya Tinh. Lain dengan Thu Pham yang terlihat panik. Ia buru-buru memanggil dokter, "dokter... dokter..."
Mendengar ada yang memanggil ditambah dengan ada suara pasien yang menjerit-jerit, dokter didampingi perawat langsung bergegas ke ruangan itu. Melihat pasiennya yang shock itu histeris, ia membisiki perawat. Perawat itu kembali ke ruangan untuk mengambil sesuatu. Tak lama kemudian, perawat itu datang lagi dan menyerahkan sesuatu kepada dokter. Dengan sigap, dokter mengambil tindakan. Dokter mengatakan kepada Dipo agar memegang tubuh Tinh kuat-kuat. Selanjutnya disuntiknya bagian tubuh Tinh. Tak lama kemudian obat bereaksi, tubuh Tinh makin lama makin lemah hingga akhirnya ia seperti tertidur. Dokter memberi obat penenang.
***
"Tenang mas, pelaku sudah kami tangani dengan baik," ujar polisi yang ditemui Dipo. Hari itu Dipo sepertinya ingin membuat perhitungan dengan pelaku pemerkosaan. Amarahnya terbakar karena kekasihnya diperlakukan secara bengal dan berandal.
"Amuk massa yang dilakukan oleh warga pengungsi lain sepertinya sudah membuat ketiga pelaku mengalami luka berat," polisi itu menerangkan kembali.
"Jadi sudahlah mas, semua akan diproses secara hukum dengan tegas."
"Sangat disayangkan kalau anda yang berpendidikan lebih bagus daripada orang-orang di kamp pengungsian melakukan tindakan main hakim sendiri."
Mendengar penjelasan itu, sepertinya Dipo puas dan ia meninggalkan kantor polisi.
***
Sesendok bubur disuapkan kepada Tinh. Setelah bubur itu ditelan, Thu Pham kembali menyuapkan kembali bubur kepadanya. Dua hari berada di rumah sakit, Thinh sepertinya kelihatan membaik. Meski demikian, perasaannya yang terkoyak belum pulih.
Tatapan mata Tinh masih menerawang jauh entah ke mana. Bila ada orang yang tak dikenal, keringat dinginnya mengalir, dan badannya gemetar seperti orang ketakutan. Untuk menenangkan dan memberi semangat, Nguyen Van Manh, Thu Pham, apalagi Dipo tak lelah-lelahnya menghiburnya.
"Kak..." ujar Tinh dengan lirih.
Mendengar suara lirih itu, Thu Pham tersenyum dan memandang wajah perempuan yang di depannya dengan penuh perhatian.
"Iya.. ada apa?"
Setelah dijawab, Tinh tak melanjutkan apa yang dimaui, tiba-tiba air matanya menetes jatuh di pipinya. Melihat yang demikian, Thu Pham hanya merasa terharu.
"Kak... kapan kita kembali ke barak?" Tinh rupanya sudah mempunyai keinginan untuk pulang.
"Tinh, jangan pikirkan itu...," ujar Thu Pham.
"Tinh ingin pulang kak," perempuan yang berada di samping Thu Pham itu sepertinya berkeinginan kuat untuk meninggalkan rumah sakit.
"Ya nanti saya tanyakan dokter apa Tinh sudah boleh meninggalkan rumah sakit ini atau belum," Thu Pham membalas keinginan.
"Sekarang habiskan buburnya ya."
Thu Pham kembali menyuapkan bubur yang masih tersisa setengah mangkok itu kepada Tinh.
***
Thu Pham buru-buru keluar dari ruangan di mana Tinh tengah dirawat. Beberapa langkah berjalan dari pintu dirinya berpapasan dengan Dipo. "Heh, Dipo," ujar Thu Pham. Dipo tersenyum membalas sapaan itu.
"Bagaimana kabar Tinh?" Dipo langsung menanyakan keadaan kekasihnya itu.
Thu Pham tidak langsung menjawab, dipandangnya wajah pria itu beberapa saat. "Kondisi kesehatannya semakin membaik," ujarnya.
"Namun kadang-kadang ia masih sering menangis."
"Ia bilang ingin pulang."
"Sekarang saya ingin bertemu dokter untuk menanyakan apakah Tinh boleh pulang."
Mendengar apa yang dikatakan itu, Dipo menarik nafas dalam-dalam. Perasaan haru, iba, kasihan kepada Tinh bercampur dengan amarah kepada pelaku pemerkosaan.
"Ya sudah kak, silahkan bertemu dokter. Saya mau ke ruang Tinh," kata Dipo. Selanjutnya ia bergegas menuju di mana perempuan malang itu tengah berbaring. Saat masuk ke ruangan itu, dilihat Tinh tengah menatap ke langit-langit dengan pandangan yang kosong. Matanya masih sembab tanda ia selalu menangis.
"Tinh...," sapa Dipo dengan pelan.
Tinh menoleh ke arah suara itu. Senyum kecil mengembang di mukanya. Matanya menunjukan dirinya senang kalau Dipo datang. Tangannya digerakan seolah-olah ingin menyambutnya.
"Kak...," ujarnya dengan suara yang masih lemah.
Dipo menghampiri dan duduk di sebelahnya. Dibelai mukanya, digenggam tangannya. "Aih, kamu tambah cantik," Dipo memuji kekasihnya. Memang Tinh cantik namun apa yang dikatakan itu untuk memberi semangat padanya. Agar jiwanya bisa bangkit dari kesedihan yang menderanya. Dipuji yang demikian, Tinh tersenyum. Biasanya kalau mendengar kata cantik dari mulut Dipo, ia selalu mencubit perut pria yang mengatakan demikian.
"Sebentar lagi kakak akan meminang Tinh," ujar Dipo.
"Jadi Tinh harus semangat."
"Nanti kita tinggal di Jawa."
Dipo mempercepat mengeluarkan ungkapan hatinya agar Tinh benar-benar kembali seperti masa lalu. Meski kondisinya yang demikian, Dipo tetap menerimanya sebab sejak dulu ia sudah mencintai dan telah mendapat wasit dari orangtua Tinh untuk menjaganya.
"Kakak masih mau dengan saya?" Tinh bertanya yang demikian setelah mendengar keinginan Dipo yang akan meminangnya.
"Saya akan menerima Tinh apapun yang terjadi," jawab Dipo sambil membelai rambut Tinh yang tergerai panjang.
"Papa kan sudah menitipkan Tinh pada kakak."
"Percayalah pada kakak. Kakak akan menyanyangi Tinh di manapun berada."
Dipo terus memuji dan mengungkapkan perasaan hatinya. Tinh merasa senang  mendengar apa yang selalu dikatakan Dipo sehingga terkadang Tinh tertawa dan sesekali menimpali ucapannya.
Di tengah mereka asyik bercanda, terdengar suara orang melangkah. Dipo menoleh ke arah suara langkah yang menuju ke ruangan itu. Dilihatnya Thu Pham. Thu Pham tersenyum memandang mereka. "Yeee yang lagi kasmaran," ujarnya meledek Dipo dan Tinh. Ledekan itu diucapan juga untuk memberi semangat pada Tinh. Mendengar Thu Pham mengatakan yang demikian, mereka tersenyum.
Thu Pham menyeruak di tengah dua orang itu. "Dokter bilang Tinh boleh pulang," ujarnya. "Asal dijaga oleh Kak Dipo." Thu Pham meledek lagi. Tinh tertawa riang dengan apa yang diucapkan itu.
"Ya sudah kalau begitu kita berkemas-kemas pulang," ujar Thu Pham sambil bergegas membereskan apa yang berserak di tempat tidur dan meja yang berada di samping ranjang tempat Tinh berbaring. Tinh pun mengangguk tanda setuju
"Kebetulan Kak Dipo membawa mobil, jadi kita bisa lebih enak pulangnya."
Dipo juga mengangguk dengan apa yang disampaikan Thu Pham itu kepada Tinh.
***
Di ruang tengah barak, Tinh tengah beristirahat. Ia disarankan oleh dokter untuk tidak melakukan aktivitas yang berat. Di barak itu karena Thu Pham terkadang harus mengurus Nguyen Van Manh, Sarah, Tran, dan Bui, membuat ia tidak setiap saat berada di tempat itu namun di saat waktu makan dan Tinh membutuhkan, ia selalu datang.
Dipo pun demikian, meski berada di lingkungan tempat pengungsian, dirinya harus menunaikan kerja yang dibebankan padanya. Selepas kerja hingga pukul 21.00 malam, ia bertandang ke barak Tinh. Dipo juga bertandang ke tempat itu di saat jam istirahat kantor.
Dalam kesendirian, pikiran Tinh menjadi kosong. Angan-angannya menerawang kepada kedua orangtuanya. Ia ingat mamanya yang dilarung ke laut setelah menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan menuju daratan. Saat itu Tinh yang masih kecil menangis melihat mamanya meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Hilang bayangan mamanya dalam pikirannya, berganti dengan kenangan bersama papanya. Di kamp pengungsian itu, dirinya dibesarkan oleh papanya. Meski dalam kondisi sakit-sakitan, papanya tak kenal menyerah membesarkan dirinya. Papanya ingin Tinh bahagia dan hidupnya tidak seperti dirinya dan para pengungsi lainnya, di mana masa depan mereka tidak jelas.
Saat papanya sakit, Tinh mulai akrab dengan Dipo, seorang pemuda Jawa yang bertugas mengurus administrasi para pengungsi. Pada masa itulah, Dipo mengajari Tinh bagaimana membuat ramuan-ramuan tradisional yang diambil dari buah dan daun yang ada di kebun-kebun untuk dijadikan obat guna meringankan sakit yang mendera papanya.
Atas saran itulah, Tinh sering pergi ke kebun dan ladang untuk mencari jahe, kunyit, daun pepaya, serta dedaunan yang lain untuk diramu menjadi obat tradisional. Saat mengingat daun pepaya, pikiran Tinh menjadi liar, tak terkendali, dan seperti memasuki lorong hitam yang panjang.
Dalam pikiran itu, Tinh seolah-olah tengah dikejar oleh beberapa orang yang hendak membunuhnya. Tinh berlari sekuat tenaga namun orang-orang itu selalu membayangi dirinya. Di saat Tinh bersembunyi, orang-orang itu bisa menemukan dirinya.
Keringat dingin mengalir pada tubuh Tinh, badannya terasa panas, dan bola matanya berputar liar. Mulutnya bergerak seperti mengigau dan nafasnya berpacu. Dalam pikirannya yang liar dan tak terkendali itu, tiba-tiba seorang datang, menghampiri, dan menjamah  tubuhnya.
"Tidak..." teriaknya. Jeritan tak sadar itu rupanya menyadarkan dirinya dari bayang-bayang masa lalunya. Setelah sadar, Tinh menangis sesunggukan. Tangisnya terbendung oleh dinding-dinding kayu barak. Tinh menangis dengan keras sebab dirinya merasa tidak mempunyai harga lagi. Hidupnya seolah-olah berhenti setelah peristiwa di kebun pepaya itu. Apalagi santer kabar bahwa banyak laki-laki di kamp pengungsian mengindap penyakit vietnam rose, penyakit kelamin yang sangat berbahaya.
"Bila hidup sudah seperti ini, apa gunanya aku hidup," ujarnya dengan lirih. Perkataan yang penuh pesimis itu mengiringi tangisnya yang semakin menderu.
"Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi."
"Hidup di dunia sudah gelap. Untuk itu aku mau mencari terang."
Tiba-tiba Tinh bangkit dari tidurnya. Tubuhnya yang masih lemah tak dipedulikan. Ia berjalan seperti mencari sesuatu. Matanya menyorot tajam ke sudut-sudut ruangan. Sorot matanya tak menemukan sesuatu yang dicari di ruangan itu. Ia melangkahkan kakinya menuju ruangan di sebelahnya. Sorotan matanya kembali tajam pada setiap sudut yang ada. Di ruangan itu, dirinya juga tidak menemukan apa yang dicarinya. Kakinya melanjutkan langkah menuju ruangan yang sepertinya dapur.
Setiap sudut ruangan disorot oleh matanya. Sorotan itu terhenti pada sebuah tambang, tali, yang melingkar di bawah kompor. Tambang itu terlihat masih kuat. Ditariknya tambak itu, oh, rupanya cukup panjang, sekitar dua meter. Tinh menyeringai seperti serigala memandangi tambang itu di depan matanya.
Dengan tubuh sempoyongan ia menyeret kakinya yang lemah menuju ke ruangan tengah. Tiba di ruang tengah, matanya yang liar seperti elang memandang langit. Sinar matahari yang menerobos atap yang berlubang bertabrakan dengan sorot matanya yang tajam. Bila mata orang memandang sorot matahari biasanya silau namun tidak bagi Tinh pada saat itu.
Dirinya tersenyum saat melihat balok kayu melintang di atasnya. Dengan cekatan, ia menyeret kursi yang tak jauh darinya. Di atas kursi yang menopang dirinya, ia mengikatkan ujung tambang pada balok yang melintang kuat-kuat. Ditarik-tariknya tambang itu apakah sudah benar-benar kuat. Dirinya tertawa cekakan seperti kuntilanak saat ikatannya itu dirasa sangat kuat.
Matanya yang merah memandangi ujung tambang satunya. Ujung satunya itu diikat melingkar seukuran leher manusia. Selesai membentuk lingkaran, Tinh menatap dengan sorot seperti mata setan. Sambil tertawa cekakan dan menangis, ia memasukan kepalanya ke dalam lingkaran itu.
"Selamat tinggal semua, selamat tinggal Kak Dipo."
"Aku sayang Kak Dipo tapi ijinkan saya menyusul papa dan mama."
"Maaf aku meninggalkan semuanya karena hidup ini sudah tak berarti."
Selepas berkata yang demikian, kakinya yang kiri melangkah ke depan. Kursi yang menopangnya tersenggol oleh kaki kirinya hingga kursi itu terguling. Tak ada lagi yang menopang tubuhnya. Tubuhnya tidak jatuh ke lantai karena tertahan kuat-kuat oleh tambang yang mencekik lehernya.
Tubuh itu meronta-ronta dan terdengar suara tercekik yang menyakitkan. Tak lama kemudian tak ada gerakan lagi. Tubuh itu menggantung pada tambang yang terikat pada balok yang melintang di atasnya.
***
"Tinh buka pintunya," ujar Thu Pham sambil mengetuk pintunya.Â
"Ini makan siang buat kamu."
"Tadi di jalan bertemu Kak Dipo, sebentar lagi katanya ia mau ke sini."
Ketukan pintu rupanya tidak ditanggapi orang yang berada di dalam. Ketukan pada pintu dilakukan lebih keras. Dan kalimat yang tadi dilontarkan diulang. Thu Pham menahan nafas dalam-dalam ketika apa yang dilakukan itu tidak ditanggapi lagi. Ia berpikir ke mana Tinh. "Bukankah dia masih belum sehat betul?" gumamnya dalam hati.
Thu Pham mencobanya lewat pintu belakang, siapa tahu ia berada di dapur. Diketuknya pintu belakang, hasilnya nihil tanggapan dari dalam. Dirinya kembali ke depan. Ada lubang kecil di pintu. Matanya segera menempelkan di lubang itu dan mengamati apakah di dalam ada orang atau tidak. Dirinya begitu kaget saat melihat kursi yang terguling. Firasat buruk muncul dalam perasaan Thu Pham. Ia bergegas mencari suaminya dan memberitahukan kepada warga yang lain sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di barak itu.
Selang 10 menit, suaminya dan puluhan warga yang lain telah berada di depan barak Tinh. Diketuk keras-keras pintu itu namun hasilnya tetap sama. "Kita dobrak pintunya," ujar Nguyen Van Manh. Warga yang lain tidak ada yang menolak usulan itu. Nguyen Van Manh menyuruh salah satu orang yang badannya paling besar untuk mendobrak pintu itu.
Pria berbadan besar itu siap-siap, ia mundur beberapa langkah dari depan pintu dan selanjutnya dengan cekatan ia bergerak dan membentukan badannya ke pintu yang sepertinya sudah lapuk itu. "Braakkkkk...." Benturan keras terdengar dan pintu itu terbuka.
Begitu pintu menganga lebar, Thu Pham langsung menjerit histeris, sementara warga yang lain secara serempak mengatakan, "oh...." Mereka semua tahu ada sesosok tubuh menggantung pada sebuah tali. Perempuan itu bunuh diri. Semua tahu bahwa perempuan itu adalah Tinh.
Thu Pham menangis tersedu-sedu, "oh Tinh mengapa kamu seperti itu."
Melihat hal kejadian tragis itu, Nguyen Van Manh langsung bertindak, "ayo kita turunkan."
"Yang lain panggil dokter."
Mendengar himbauan itu semuanya segera bertindak sesuai dengan tugas masing-masing. Tali yang mengikat itu langsung dipotong dan tubuh yang menggantung dipapah diturunkan. Selanjutnya dibaringkan.
Seperti yang dikatakan Thu Pham tadi kalau Dipo akan datang ke barak. Saat tiba di barak, Dipo heran ada apa kok ramai-ramai di tempat itu. Ia segera menerobos kerumunan orang dan masuk ke dalam. Di dalam terlihat Thu Pham tengah bersimpuh di samping tubuh Tinh.
"Ada apa kak?" tanya Dipo pada Nguyen Van Manh.
Nguyen Van Manh tidak menjawab, mukanya terlihat sedih. Ia menoleh pada tubuh yang terbaring itu. Betapa kagetnya Dipo melihat tubuh Tinh membujur kaku. Dirinya lebih kaget lagi ketika di leher Tinh seperti ada jeratan tambang yang kuat.
"Siapa yang melakukan?!!!" teriak Dipo histeris. Dipandangi wajah Nguyen Van Manh dan Thu Pham serta warga lain yang mengelilingi tubuh yang membujur. Tak mendapat jawaban, Dipo mengulangi apa yang diteriakkan itu.
Nguyen Van Manh memandang Dipo dan selanjutnya memandang ke langit-langit. Merasa ditunjukkan sesuatu tanda, Dipo pun melihat apa yang dilihat Nguyen Van Manh. Dipo kaget ketiga kalinya begitu melihat ada sebuah bekas potongan tambang. Bekas potongan tambang yang masih panjang itu sebagaian masih mengikat di balok melintang di atasnya.
"Oh.... Tinh...," Dipo langsung histeris tahu kalau kekasihnya itu bunuh diri dengan cara menggantung.
"Mengapa kamu tega meninggalkan aku..."
"Bukankah aku akan meminangmu...."
Tanggis Dipo yang memecah keheningan itu menambah suasana menjadi bertambah sedih. Sepertinya semuanya kehilangan Tinh sehingga wajah-wajah yang berada di tempat itu dibasahi oleh air mata.
Dokter yang dipanggil tadi pun tiba dan langsung menuju ke tubuh yang membujur itu. Stetoskop yang menyangkut di badannya langsung diletakkan di dada tubuh Tinh. Dicek denyut jantungnya. Tak puas menggunakan stetoskop, dokter itu memegang tangan Tinh, diraba nadinya apakah ada denyutan. Setelah detak jantung dan denyut nadi diperiksa, dokter itu membisu. Agar suasana tetap tenang, ia mengajak Nguyen Van Manh keluar ruangan.
Nguyen Van Manh keluar bersama dokter. Di depan barak, dokter itu mengatakan sesuatu kepadanya. "Jadi Tinh sudah meninggal dunia?" Nguyen Van Manh menegaskan apa yang dikatakan dokter tadi. Dokter itu mengangguk. Mendengar yang demikian, mata Nguyen Van Manh memerah, sebagai dirinya ingin menangis.
Tanpa permisi, ia bergegas ke ruang tengah barak. Dihadapan para warga, Nguyen Van Manh mengucapkan sesuatu. Setelah mendengar apa yang dikatakan itu, sebagaian warga beranjak dan yang lain terutama yang wanita tetap berada di tempat itu. Sepertinya mereka hendak mengurus pemakaman Tinh.
***
Iring-iringan jenazah yang mengantar Tinh begitu panjang. Diraut muka para pelayat terlihat rasa kehilangan. Mereka sedih tak hanya karena sesama orang Vietnam namun juga merasa Tinh adalah sosok yang baik dan ramah.
Dalam iring-iringan jenazah, tak ada suara berisik, semua membisu dalam keharuan. Mereka merasa prihatin mengapa di tengah rasa duka akibat perang saudara di negaranya, masih ada orang-orang yang berperilaku bejat.
Paling depan dalam iring-iringan itu adalah Nguyen Van Manh, Thu Pham, dan Dipo. Nguyen Van Manh terlihat menggandeng dua anaknya yang sudah besar sedang Thu Pham menggendong Sarah. Dipo yang merasa terpukul atas peristiwa itu, tubuhnya dipapah oleh satu orang Vietnam dan satu temannya dari Riau.
Tatapan kosong keluar dari mata Dipo, bola matanya basah oleh air yang berlinang. Pikirannya entah ke mana. Dipo masih ingat di saat dirinya melihat Tinh yang memakai non la. Ketika itu Tinh terlihat cantik. Ia sepertinya takut saat didata namun Dipo mengatakan jangan takut padanya dan Tinh langsung tersenyum senang.
Iring-iringan yang panjang itu akhirnya tiba di pemakaman. Liang lahat yang dipersiapkan sudah menunggu tubuh yang berwarna kuning itu. Liang lahat itu siap mendekap tubuh perempuan yang cantik itu untuk selamanya.
Setelah melakukan proses agama, perlahan-lahan peti mati itu diturunkan ke liang lahat. Setelah posisi peti mati berada di dalam liang lahat, tanah-tanah liat diurukkan ke dalam. Perlahan-lahan, peti mati itu hilang ditelan oleh timbunan tanah basah. Gundukan tanah terlihat di makam Tinh. Akhir dari perjalanan Tinh, seorang pendeta memimpin doa. Selepas itu, satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman. Tinggalah Dipo yang masih bersimpuh di makam kekasihnya itu. Air matanya membanjiri wajahnya. Sepertinya ia tidak mau beranjak dari tempat itu.
"Mas sudahlah, mungkin ini sudah jalan yang digariskan oleh Allah," ujar Hang. Hang adalah orang Riau teman satu kantor Dipo.
"Ini cobaan buat mas agar ke depan bisa menjadi orang yang tabah dan kuat dalam menghadapi hidup."
"Mari mas kita pulang, mendung sudah menggelayut, sebentar lagi hujan."
"Kekasih mas tidak perlu ditunggu. Ia memilih didoakan."
Tutur kata yang disampaikan oleh Hang itu mampu menguatkan Dipo. Tahu temannya itu masih berduka, Hang membantunya saat ia berdiri. Dipapah berjalan meninggalkan tempat kekasihnya itu berbaring untuk selamanya. Sesekali Dipo memandang tempat yang mendekap tubuh yang dicintainya itu.
Rintih-rintih hujan mulai turun, rintih-rintih hujan itu makin lama makin deras. Petir sesekali menyambar. Hujan itu sebagai tanda ikut bersedih atas perginya Tinh. Petir yang menyambar sebagai ungkapan marah kepada pelaku yang membuat Tinh kecewa pada hidupnya.
***
      Malam itu suasana senyap menyelimuti kamp pengungsian. Bulan purnama yang terang menyinari tak dipedulikan. Angin berhembus semilir mendinginkan udara barak yang panas. Tak ada orang yang melintas. Semuanya diam tak mengeluarkan kata-kata. Tak ada suara tawa yang biasanya muncul dari barak-barak.
      Terdengar pada malam yang sunyi itu adalah kelepak kelelawar yang mencari mangsa. Suara jangkrik yang tak putus dan suara kodok yang bernyanyi di kubangan. Sesekali terdengar lolongan serigala yang sedang mencari perhatian pada jenis betinanya.
      Warga kamp pengungsian tengah berduka atas perginya Tinh. Kesedihan yang dirasakan tergambar pada malam itu. Di barak-barak mereka menderas doa, merintih, dan mengadu pada Tuhan mengapa nasib yang demikian menimpa pada Tinh. Mengapa nasib seperti itu tidak menimpa orang-orang yang berbuat angkara murka.
      Malam bertambah hening ketika rintih hujan turun. Petir yang biasanya menyambar di saat hujan deras, terdengar di saat hujan masih rintik-rintik. Alam sepertinya masih menunjukkan kesedihannya atas kepergian perempuan yang biasanya riang itu.
***
      "Mana Dipo?" tanya seorang pria bule di kantor yang mengurus administrasi para pengungsi itu. Sepertinya bule itu atasan Dipo. Mendapat pertanyaan itu, Hang melongo. Dirinya juga tak melihat sahabatnya itu berada di ruang kerjanya.
"Saya carinya," ujar Hang sambil bergegas keluar ruangan. Di luar bangunan kantor itu ia celingak-celinguk mencari Dipo. Biasanya temannya itu duduk di bawah pohon bila saat istirahat. Namun di bawah pohon yang rindang itu tak ditemui satu orang pun. "Ke mana dia," gumamnya.
Hang tidak mau didamprat boss bulenya itu. Untuk itu ia terus mencari orang yang saat itu lagi dibutuhkan laporannya. Sepeda motor operasional digunakan untuk keliling tempat pengungsian. Di jalan yang ia lintasi, Hang selalu mengawasi setiap sudut dan pojok barak. Tak sengaja, rupanya ia sampai ke pemakaman. Ia iseng melintasi tempat itu. Tiba-tiba Hang melihat seseorang yang tengah bersimpuh di sebuah makam yang tanahnya masih basah. Diamati terus orang itu, "itukan Dipo," ujarnya lirih. Dirinya tahu Dipo sebab pakaian yang biasanya dipakai itu terlihat dengan jelas.
Ia segera menghentikan sepeda motor dan memparkirnya di depan gerbang pemakaman. Dengan langkah cepat menuju ke tengah makam. Tiba di belakang Dipo yang sepertinya tengah meratap, Hang tidak langsung menegurnya. Ia berdehem. Dehemannya itu rupanya tidak membuat Dipo memalingkan mukanya. Hang mengulangi dengan lebih keras. Rupanya apa yang dilakukan itu bisa memancing perhatian, Dipo menoleh. Wajahnya terlihat basah oleh linangan air mata.
"Hai Hang....," ujar Dipo dengan lirih.
"Maafkan aku ke sini. Aku masih rindu pada Tinh."
"Pasti kamu mencari aku soal kerja ya."
Dipo masih terpukul atas kepergian Tinh sehingga dalam beberapa hari-hari, ia tidak konsentrasi dalam tugasnya. Dirinya tidak hanya sering meninggalkan kantor namun juga sering melamun saat berada di depan komputer.
"Sudahlah Dip... Kuatkan imanmu," Hang berkata demikian sambil memegang pundak Dipo.
"Ingatlah masa depanmu lebih penting sekarang."
"Tadi pak boss mencari kamu."
Mendapat kabar yang demikian, wajah Dipo tetap datar. Biasanya wajahnya kaku kalau dipanggil pak boss. Sebab masalah yang dibahas selalu serius dan penting.
"Ya mari kita ke kantor," ujar Dipo dengan datar menanggapi kabar itu.
Kedua orang itu melangkah meninggalkan makam Tinh. Beberapa langkah, Dipo menoleh ke belakang dan dipandangnya makam yang di atasnya masih tersebar bunga melati itu.
***
      Sore itu, tiba-tiba terdengar suara cekakan yang berasal dari tempat kerja Dipo. Cekakan tawa itu berkepanjangan. Mendengar hal yang demikian Hang dan yang lain menjadi heran, mengapa biasanya Dipo yang pendiam dan serius, berubah menjadi cengengesan.Â
      Hang mencoba mendekati dan ingin tahu mengapa kawannya itu tertawa cekakan. Mungkin ada yang lucu sehingga Dipo tertawa berkepanjangan. Saat Hang melongokan mukanya ke tempat kerja Dipo. Sepertinya tak ada yang lucu namun dirinya heran mengapa kawannya itu terus tertawa. Hang hanya melihat Dipo memandangi foto Tinh. Setelah memandangi foto itulah, suara tawa menjadi tangis.
      Perubahan mendadak dari tawa ke tangis itulah yang membuat Hang dan yang lain bingung, ada masalah Dipo kok seperti itu. Pikiran Hang pun melompat jauh. Ia berpikir jangan-jangan kepergian Tinh membuat jiwa Dipo terganggu jiwanya. Pikiran yang belum pasti kebenarannya itu membuat Hang merasa kasihan dan iba pada temannya itu.
***
Jam kantor sudah menunjukkan waktunya namun di ruang kerjanya, Dipo belum terlihat. Melihat hal yang demikian membuat Hang merasa cemas, jangan-jangan ketidakhadiran Dipo itu membuat atasannya marah. Â
Rupanya kecemasannya itu sirna sebab tiba-tiba Dipo muncul. Dari pintu masuk kantor, ia melangkah ke meja kerjanya. Saat melintasi tempat kerja Hang, tiba-tiba Dipo menghadapnya. Dengan sikap sempurna selanjutnya ia memberi hormat, "hormat grakk." Selepas melakukan hormat, ia melanjutkan langkahnya ke meja kerjanya. Mendapat perlakuan yang demikian, Hang menjadi heran. Sepertinya ada yang aneh pada Dipo. Jangankan sikap nyleneh seperti itu, ia datang terlambat pun tak pernah.
Belum sirna keheranan Hang pada keanehan sikap Dipo. Tiba-tiba dari ruang kerja temannya itu terdengar suara Dipo yang sedang menyanyi. Kalau menyanyi dengan suara yang pelan mungkin hal demikian tidak menjadi soal. Masalahnya adalah Dipo menyanyi dengan suara yang keras. Suara keras itu tak hanya mengganggu Hang namun juga mengganggu yang lain. Bahkan suara itu sampai masuk ke telinga atasannya.
Mendengar suara yang parau yang membahana itu, atasannya keluar. "Dipo, diam kamu!!" Bentakkan itu rupanya tidak dihiraukan. Atasannya mengulangi bentakkan itu. Hasilnya sama, Dipo bergeming. Merasakan direndahkan, atasannya itu langsung melihat Hang, "Hang itu temanmu bagaimana!?"
Merasa dilibatkan dalam masalah itu, Hang bingung harus bagaimana bersikap. Atasannya itu kembali ke ruangannya dengan bersungut-sungut. Tahu atasannya kembali ke ruangan, Hang lalu menyusul. Diketuk pintunya. "Masuk," ujar suara dari dalam setelah mendengar ketukan pintu itu.
"Ada apa kamu?" ujar atasannya begitu melihat Hang di hadapannya.
"Pak saya mau menceritakan apa yang terjadi pada Dipo," kata Hang setelah duduk di depan atasannya. Hang pun menceritakan apa yang terjadi pada kawannya itu, mulai dari perkenalannya dengan Tinh sampai kepergiannya.
"Jadi sepertinya Dipo mengalami gangguan jiwa setelah ditinggalkan kekasihnya," ujar Hang dengan suara iba. Mendengar cerita itu muka atasannya yang biasanya kaku berubah menjadi datar. "Kasihan dia," ujarnya lirih.Â
Â
Â
****
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun berganti, para pengungsi dari Vietnam Selatan itu menghabiskan waktunya selama 18 tahun. Di tahun 1996, ada pengumuman bahwa di antara mereka akan ada yang dipulangkan dan sebagaian yang lain dipindahkan ke Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara lainnya.
Mendengar pengumuman dari UNHCR, riuh rendah suara terdengar di kamp pengungsian. Mereka menanggapi dengan sikap yang berbeda-beda. Ketika ada kepastian 5000 orang akan dipulangkan ke Vietnam, kegundahan, kegelisahan, dan amarah muncul pada mereka.
"Tidak bisa daripada kita dipulangkan mending kita mati kelaparan di sini," ujar seorang yang menentang rencana pemulangan mereka.
"UNHCR katanya kehabisan uang untuk membiayai kita," seorang yang berada di kerumunan itu mempertanyakan kabar bahwa lembaga itu memulangkan mereka sebab sudah tak mempunyai dana lagi.
"Ah bohong, mana mungkin lembaga sebesar itu kehabisan dana," sergah yang lain.
"Lalu langkah apa kita selanjutnya?" pria yang mempertanyakan kebenaran kabar UNHCR kehabisan dana itu kembali bertanya.
"Menolak pulang ke Vietnam," teriak yang lain. Terikan itu disahut yang lain dengan berteriak, "betul kita menolak pulang." "Menolak pulang." Teriakan itu terus bersahut-sahutan. Mereka sepertinya melakukan demonstrasi. Para pengungsi itu tak hanya berkerumun di kamp pengungsian, mereka bergerak di jalan-jalan yang menghubungkan antarbarak. Di sepanjang perjalanan mereka meneriakan kalimat yang intinya tidak mau dipulangkan.
Mereka enggan kembali ke negara asalnya sebab di Pulau Galang mereka sudah merasa mapan. Bila kembali ke Vietnam tentu mereka harus mulai dari nol. Mungkin hal demikian masih mending. Yang lebih dikhawatirkan oleh mereka ketika berada di tengah rakyat Vietnam, para pengungsi itu akan dicap sebagai orang pelarian, pro Amerika Serikat, dan antikomunis-sosialis.
Mereka berpikir bila hidup di negaranya, mereka akan didiskriminasi sebab tuduhan antikomunis-sosialis. Pemeritahan Vietnam yang komunis-sosialis, akan mencap KTP-nya dengan tanda-tanda khusus.
Kerumunan massa itu bergerak ke pantai di mana di tempat itu beberapa perahu yang telah membawa dirinya saat negaranya berkecamuk perang tertambat. Di pantai itu teriakan menolak terus menggema. Mereka benar-benar marah dan kecewa atas keputusan yang akan mengembalikan ke Vietnam. Seseorang berteriak, "sebagai bukti kita tidak mau dipulangkan, mari kita bakar perahu itu." Mendengar teriakan itu, semua orang memandang perahu-perahu yang tertambat. "Ya betul..." seru yang lain.
"Dengan membakar perahu itu bukti tak ada perjalanan ke sana," teriak yang lain.
Mereka segera menyeret perahu-perahu itu dalam satu barisan dan merapatkannya. Tiba-tiba ada seseorang yang membawa jurigen berisi bensin, entah dari mana ia memperolehnya. Bensin yang berada di jurigen itu diguyurkan secara merata pada perahu-perahu yang terbuat dari kayu itu. Tak lama kemudian, seseorang menyulut korek dan melemparkan batang korek itu ke perahu. Serta merta, api membumbung di perahu-perahu itu. Kobaran semakin membesar saat angin pantai menderu menerpa api yang menari-nari di badan perahu. Asap hitam dan putih membentuk pohon kepulan asap.
Rupanya kayu untuk membuat perahu itu tak semuanya bisa dilahap api. Di antaranya tak mempan disikat si jago merah. Sehingga bentuk perahu masih terlihat utuh. Tahu perahu itu tak jadi arang, salah seorang yang ada di kerumunan itu berkata, "tenggelamkan." Ajakan itu disetujui dan disambut dengan kalimat, "ya betul tenggelamakan, tenggelamkan."
Mereka segera menyeret perahu itu ke laut. Tak hanya diseret menuju ke laut namun juga didorong dari arah daratan. Sebab yang melakukan itu orang banyak, perahu itu dengan segera sudah menyentuh air yang rasanya asin itu. Permukaan pantai yang curam, membuat perahu itu dengan mudah digelincirkan ke dalam laut.
***
Meski para pengungsi melakukan demonstrasi menolak dipulangkan, namun UNHCR dan pemerintah Indonesia tak peduli. UNHCR dan pemerintah Indonesia bersikekeh mereka harus dipulangkan atau dipindahtempatkan ke negara lain seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara lainnya.
Nguyen Van Manh dan Thu Pham termasuk rombongan yang dipulangkan ke Vietnam. Dalam demonstrasi yang terjadi kemarin, Thu Pham berteriak, "tidak mau pulang, tidak mau pulang, saya di sini saja." Kedua orang itu merasa sedih sebab mereka sudah merasa enak tinggal di Pulau Galang. Di pulau itu mereka merasa aman dan nyaman. Anak-anak mereka, Tran, Bui, dan Sarah pun sudah besar.
"Gimana ini pa?" Thu Pham bertanya kepada Nguyen Van Manh.
"Papa juga bingung ma," jawab Nguyen Van Manh.
"Kita sudah cinta Indonesia dan kita ingin menjadi warga negaranya..."
"Tapi entah mengapa Indonesia menolak kita."
"Kita dengan terpaksa harus mengikuti aturan ini untuk kembali pulang ke Vietnam."
Raut muka sedih terlihat pada wajah Nguyen Van Manh dan Thu Pham. Tran, Bui, dan Sarah sepertinya juga merasa sedih karena harus meninggalkan tempat yang selama ini didiami.
"Ma...," Nguyen Van Manh berkata lirih pada istrinya.
"Kita sudah mempunyai ikatan emosional dengan Indonesia."
"Kalau kita diberi umur yang panjang dan rejeki, kita bisa ke Indonesia lagi dengan cara-cara yang legal."
"Bila kita tidak bisa, anak-anak kita, Tran, Bui, dan Sarah yang akan ke Indonesia."
"Sarah lahir di Indonesia. Sedang Tran dan Bui besar di Indonesia."
Thu Pham mengangguk dan mengusap air mata yang membasahi pipinya.
***
Di sebuah hari di tahun 1996, 5000 orang Vietnam dipulangkan ke negara asalnya. Mereka pulang dengan kelompok masing-masing. Dalam salah satu kelompok terlihat Nguyen Van Manh, Thu Pham, Tran, Bui, dan Sarah. Mereka sedang menunggu angkutan yang akan membawa kembali ke tanah asal usulnya.
Tak ada kegembiraan di wajah keluarga itu. Wajah muram terpancar pada mereka. Sedihnya mereka meninggalkan Indonesia, sama sedihnya ketika mereka harus melarikan diri dari negaranya saat terjadi perang saudara.
Di tengah mereka bermuram nasib, terdengar suara dari petugas lewat pengeras suara, "diharap kelompok keberangkatan 2 segera memasuki angkutan." Mendengar pengumuman seperti itu, keluarga Nguyen Van Manh berbaris dengan warga lain yang dalam satu kelompok masuk ke dalam angkutan. Sebelum meninggalkan tempat itu, ia dan Thu Pham memandang ke arah luar. Pandangan itu untuk mengenang selama 18 tahun mereka tinggal di Indonesia. Di Pulau Galang, suka duka mereka alami. Meski ada duka namun suka lebih banyak dialami sehingga ia dan ribuan orang Vietnam lainnya tidak mau kembali ke negara asalnya.
Akhirnya, angkutan yang dinaiki para pengungsi itu lamban laun meninggalkan gugusan kepulauan yang sekarang masuk dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Mata Nguyen Van Manh dan Thu Pham tak mau berkedip memandang gugusan pulau itu yang makin lama makin mengecil hingga akhirnya hilang ditelan oleh lengkungan bumi.
****
Sarah mengusap air matanya setelah menceritakan kisah hidup diri dan keluarganya. Dengan cerita itu membuat Ribo tahu bahwa kekasihnya itu adalah gadis Vietnam kelahiran Pulau Galang. Dari cerita Sarah itulah, teka-teki mengapa kedua orangtuanya serta kakek yang bertemunya di jalan di Phu Quoc menangis saat melihat dirinya yang berasal dari Indonesia.
Mereka menangis bisa jadi sebagai bentuk kerinduan pada Indonesia. Mereka menangis bisa jadi sebagai bentuk mengenang saat tinggal di Pulau Galang. Di sana mereka hidup belasan tahun yang penuh suka dan duka. Mereka menangis sebagai bentuk sedih karena keinginan untuk tetap di Indonesia ditolak.
Dari cerita itulah teka-teki foto di ruang tamunya terungkap. Dalam foto tergambar Nguyen Van Manh, Thu Pham, Tran, Bui, dan Sarah yang diapit oleh petugas UNHCR dan Polisi Militer TNIAL. Foto itu diambil saat mereka menjadi penghuni kamp pengungsian di Pulau Galang. Di foto itu mereka terlihat tersenyum ceria.
Dari apa yang diungkapkan Sarah, juga terjawab mengapa mamanya mengigau yang mengatakan, pak tolong kami belum makan, pak tolong kami belum makan. Serta mengigau tidak mau pulang, tidak mau pulang, saya di sini saja. Igauan itu sebagai bentuk emosi duka yang terus terpendam dalam perasaan Thu Pham, mamanya Sarah, di masa-masa yang sulit. Â Â Â Â
Dari cerita itulah membuat Ribo paham mengapa Sarah mengerti sekali semua hal-hal tentang Indonesia mulai dari makanan hingga soal agama yang dipeluk oleh Ribo. Sarah tahu makanan yang harus disantap oleh Ribo tak boleh mengandung hal-hal yang berbau babi dan alkohol. Padahal daging babi adalah sesuatu yang biasa disantap oleh Sarah dan alkohol minuman yang biasa diteguk oleh orang-orang Vietnam.
"Ribo...." ujar Sarah lirih.
"Kamu sudah tahu masa laluku yang kelam."
"Aku lahir kamp pengungsian."
"Orang tuaku adalah orang pelarian."
"Sarah...., " kata Ribo dengan pelan memotong pembicaraan kekasihnya lebih lanjut.
"Sudahlah... masa lalumu tidak ada yang buruk."
"Keadaan yang membuat semua seperti itu."
"Aku tetap mencintamu walau bagaimanapun masa lalumu."
"Biar hubungan kita tidak menggantung, aku akan meminangmu dan mengajakmu ke Jawa."Â
"Ke Jawa?" hati Sarah bertanya demikian.
"Iya ke Jawa," ujar Ribo.
Sarah heran mengapa lelaki yang ada di dekatnya itu tahu isi hatinya. Apakah ini yang disebut jodoh sehingga semua perasaan bisa ditangkap dengan indera keenam?
"Saya masih mempunyai orangtua, jadi kamu harus ijin padanya," kata Sarah dengan nada yang tinggi.
"Itu pasti. Saya akan meminta ijin kepada orangtuamu untuk meminangmu."
"Aku segera ingin membawamu pergi ke dari sini."
"Aku tidak mau kisah Dipo dan Tinh terulang pada kita."
Mendengar apa yang dikatakan itu, Sarah menatap tajam Ribo. Ia sepertinya mengiyakan apa yang diinginkan Ribo untuk segera membawa dirinya pergi dari Phu Quoc. Sarah pun tak mau nasib yang dialami Tinh dan Dipo menimpa pada hubungan dirinya dengan Ribo.
"Kak, ayo kita pulang," ajak Sarah dengan suara yang lembut. Mulai saat itu Sarah memanggil Ribo dengan diawali kata kak. Ribo mengaguk. Saat hendak meninggalkan tempat itu, beberapa orang tengah mengintip mereka. Mereka berada di balik-balik semak yang rimbun.
***
      Di ruang tamu rumah itu, tengah duduk Nguyen Van Manh, Thu Pham, Sarah, dan Ribo. Di meja terdapat beberapa makanan kecil dan minuman teh. "Gimana kamu senang tinggal di sini?" tanya Nguyen Van Manh pada Ribo dengan suara gemetar. Usianya yang sudah tua membuat dirinya semakin sulit untuk mengungkapkan kata-kata.
"Senang bapak. Di sini sudah seperti di Indonesia," jawa Ribo dengan tersenyum. Ia mengungkapkan jauh-jauh datang dari Indonesia ke Phu Quoc untuk bertemu dengan Sarah. Dikatakan Sarah adalah gadis yang tak hanya cantik namun juga baik dan sudah mengetahui karakter orang Indonesia.
Mendengar kalimat yang mengatakan Sarah tahu karakter orang Indonesia, Nguyen Van Manh, Thu Pham, dan Sarah saling pandang dalam tatapan kosong. Ungkapan yang demikian langsung mengingatkan mereka saat tinggal di Pulau Galang. Nguyen Van Manh dan Thu Pham berpikir apakah Ribo sudah tahu masa lalunya dari Sarah. Nguyen Van Manh berpikir, ah biarlah kalau Ribo tahu masa lalunya. Justru hal demikian yang akan semakin mendekatkan dirinya padanya.
"Bapak, kedatangan saya ke sini juga untuk meminang Sarah untuk menjadi pendamping hidup," ujar Ribo dengan kepala sedikit menunduk. Â Â
"Bila mendapat ijin, segera Sarah akan saya bawa ke Jawa."
Mendengar ungkapan itu, Nguyen Van Manh dan Thu Pham terperanjat kaget. Mereka secara spontan saling pandang. Apa yang harus dikatakan kepada Ribo, menerima atau ditolak. Dulu kedua orangtua itu memang menginginkan anaknya mendapat orang Indonesia. Harapan itu bisa muncul sebab mereka sudah mencintai Indonesia dan orang-orang Indonesia yang dirasa perangainya lebih berbudaya daripada orang Vietnam. Namun dirinya juga kecewa ketika harus dipulangkan kembali ke negaranya.
Tak hanya itu yang membuat Nguyen Van Manh bingung menjawab keinginan Ribo. Kebingungan muncul, sebab beberapa pemuda di Phu Quoc juga menaruh hati pada Sarah. Haruskah, Nguyen Van Manh dan Thu Pham kehilangan anaknya itu karena akan dibawa ke Jawa. Padahal kedua orangtua itu sangat mencintai Sarah dan tak mau jauh darinya. Saat Sarah di Ho Chi Minh, ia segera disuruh cepat-cepat menyelesaikan kuliahnya agar bisa kembali ke Phu Quoc.
"Nak..." ujar Nguyen Van Manh dengan lirih.
"Aku tahu kamu mempunyai niat yang baik kepada anakku."
"Sarah, anakku juga sudah menceritakan kamu kepadaku."
"Aku bisa menerima lamaranmu pada anakku."
"Tapi.... "
Perbincangan itu terhenti sejenak. Dipandangnya istri dan anaknya. Setelah menggeser pantatnya, Nguyen Van Manh mengatakan, "tinggallah di sini dulu."
"Biar kamu merasakan arti sesungguhnya kehidupan itu."
Mendengar apa yang dikatakan Nguyen Van Manh, Thu Pham dan Sarah tidak tahu apa maksudnya. Tapi kedua orang itu tidak mau bertanya mengapa ia meminta Ribo untuk tinggal di Phu Quoc untuk sementara waktu.
Mendapat keinginan tersebut, Ribo terdiam. Ia menatap Sarah dan dalam hatinya bertanya mengapa harus seperti itu. Demi cinta pada Sarah, ia pun mengatakan, "iya bapak. Keinginan itu saya turuti."
***
      "Mengapa harus tinggal di sini?" tanya Ribo pada Sarah saat mereka berada di tepi pantai.
      "Ya mana saya tahu" jawab Sarah dengan tenang.
"Papa kadang aneh seperti itu."
"Kamu keberatan dengan keinginan papa?"
Mendengar pertanyaan seperti itu, Ribo terlihat gelagapan. "Ya ti... tidak."
"Tapi aku mau secepatnya kita meninggalkan tempat ini."
"Memang kenapa harus secepatnya?" Sarah bertanya kembali.
Dengan tenang Ribo mengatakan, "supaya hukuman kita cepat sah."
"Sudahlah kak, ini bisa jadi buat kebaikan kita agar ke depan kita lebih siap dalam menjalani kehidupan," ujar Sarah yang sepertinya menenangkan ketergesagesaan Ribo untuk segera meninggalkan Phu Quoc.
Di tengah mereka berbincang dan berdebat soal rencana hidup mereka, tiba-tiba ada buah pohon kelapa jatuh di depan mereka. Kaget sesuatu jatuh di depan mereka, secara reflek Ribo dan Sarah berdiri dan meninggalkan tempat duduk mereka. Setelah berada 5 meter dari tempat yang ditinggalkan itu, dipandangnya ke atas. Sepertinya tak ada tanda-tanda pohon kelapa itu menjatuhkan buahnya.
Mereka memandang ke semak-semak yang ada di belakang mereka duduk tadi. Senyap suasana di semak-semak. "Aneh," gumam Ribo. "Kamu orang sini, mengapa ini bisa terjadi?" Ribo mulai ketus pada Sarah.
"Ya mana aku tahu," jawab Sarah juga dengan nada yang juga ketus.
"Masa nggak tahu," Ribo tak percaya pada apa yang dikatakan itu.
"Ih, kakak maksa," balas Sarah.
"Saya kan tidak hanya tinggal di sini tapi juga tinggal di Pulau Galang Indonesia dan Ho Chi Minh."
"Sudah ah, kita pulang saja," Ribo sepertinya mengakhiri perdebatan itu.
Ribo dan Sarah pun berjalan meninggalkan tepi pantai itu. Disusuri jalan yang di kanan kirinya banyak pohon kelapa itu. Meski mereka tadi ribut namun dalam perjalanan pulang, Ribo dengan mesra menggandeng tangan Sarah.
 Â
Â
Â
Â
****
Pemerintahan Vietnam sepertinya tidak peduli saat salah satu warganya, Tran, ketika hendak dihukum mati oleh pemerintah Indonesia. Perempuan itu divonis hukuman mati oleh pemerintah Indonesia karena menyelundupkan heroin 1,1 kg.
Sikap pemerintah Vietnam lain dengan sikap pemerintah Australia, Brazil, dan Perancis yang melakukan protes kepada Indonesia ketika warga negaranya juga divonis hukum serupa.
Australia yang melakukan protes dengan berbagai cara itu akhirnya berhasil, warga negaranya yang melakukan tindakan serupa, hukuman matinya ditangguhkan.
Lihat saja kasus perempuan asal Australia yang bernama bernama Schapelle Leigh Corby. Ia terbukti membawa ganja seberat 4,2 kg saat ke Indonesia lewat Bandara Ngurah Rai, Bali. Namun lihat sikap pemerintahan negara Australia. Pemerintahan negara itu habis-habisan membela Corby agar dibebaskan dari hukuman. Cara yang dilakukan oleh pemerintah negara itu dengan berbagai cara, dari loby-loby tak resmi sampai diplomasi.
Corby yang ditangkap pada tahun 2004 sepertinya menjadi isu yang seksi di Australia sehingga pemerintahan negara itu, dari waktu ke waktu, menggunakan Corby sebagai bahan untuk mendongkrak popularitas calon perdana menteri atau perdana menteri. Sejak Perdana Menteri John Howard, kemudian Kevin Rudd periode pertama, selanjutnya Julia Gilard, ke Rudd lagi, dan di era Perdana Menteri Tony Abbot saat ini, mereka meloby Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Corby dibebaskan.
Loby, diplomasi, bahkan tekanan dan iming-iming bantuan itu rupanya membuahkan hasil. Terbukti Corby dibebaskan bersyarat pada Februari 2014. Pembebasan bersyarat itu diberikan setelah mendapat remisi dan grasi. Potongan hukuman itu tak membuat dirinya harus mendekap di penjara hingga 20 tahun namun sekitar 10 tahun.
Bila pemerintah Vietnam tak mengambil sikap, lain halnya dengan keluarga Nguyen Van Manh. Mereka sepertinya gelisah sebab perempuan yang hendak dihukum mati itu adalah anaknya yang pertama.
"Kak bisakah kamu membebaskan saudaraku dari hukuman mati?" ujar Sarah kepada Ribo dengan suara sendu. Sarah meminta tolong pada Ribo agar saudaranya itu bisa lepas dari hukuman yang menghilangkan nyawanya itu.
"Inilah nasib tinggal di pemerintahan yang lemah," Sarah sepertinya menyesali sikap pemerintahan negaranya yang diam seribu bahasa ketika ada warganya dikenai hukuman mati.
"Negara ini terbilang tidak mampu, baik secara ekonomi maupun politik, sehingga karena urusan dalam negeri yang sudah susah dan berat membuat orang Vietnam yang berada di luar negeri dibiarkan."
Sarah tidak berhenti mengeluh pada pemerintahannya. Ia melanjutkan kekesalannya. Dikatakan, negaranya ekonominya lemah, terbukti dengan membatalkan menjadi tuan rumah Asian Games tahun 2018 padahal Komite Olimpiade Asia sudah secara resmi menunjuknya. "Bila Vietnam tetap ngotot menjadi tuan rumah maka bisa jadi negara itu bangkrut."
Sarah belum puas ngomel pada pemerintahannya.
"Tidak hanya ekonomi yang menjadi beban negara Vietnam," ujarnya.
"Militer Vietnam juga terbilang tidak kuat sehingga ketika berkonflik di Laut China Selatan dengan Tiongkok, Vietnam tidak mampu melawannya sehingga mereka menggantungkan diri kepada bantuan militer Amerika Serikat dan diplomasi dari PBB, Uni Eropa, dan ASEAN."
"Kak jangan diam dong, tolong keluarga kami."
Mendapat permintaan seperti itu Ribo diam seribu bahasa. Apa yang diinginkan itu sepertinya satu hal yang sangat berat bagi Ribo. LSM, aktivis HAM, dan pengacara di Indonesia saja sepertinya diam dan tak bisa menggagalkan hukuman mati itu apalagi dirinya.
"Sarah...," ujar Ribo dengan pelan.
"Kakak akan mencoba menghubungi kawan-kawan yang ada di Jakarta."
"Siapa tahu mereka bisa menyampaikan keberatan orang-orang yang ada di sini atas vonis hukuman mati itu."
"Pemimpin di negeri kami sedang menggores citra. Mereka tegas kepada negara yang lemah namun bila menghadapi negara yang kuat mereka lembek."
"Ya kak bantulah kami sekecil apapun. Pemerintah Vietnam sepertinya tak peduli pada warga negaranya," pinta Sarah.
***
Thu Pham terlihat menangis tersedu-sedu. Tangisan itu sebagai wujud rasa sedih yang begitu mendalam karena anaknya hendak dihukum mati. "Mengapa cobaan ini belum selesai," ujarnya dengan sesunggukan.
Suaminya, Nguyen Van Manh, hanya terdiam. Ia tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Dirinya adalah hanya seorang rakyat kecil yang tidak punya kuasa apa-apa. Ia hanya merenung mengapa anaknya yang pertama itu bisa terjebak dalam sindikat perdagangan obat-obat terlarang itu.
"Mungkin Ribo yang berasal dari Indonesia bisa membantu kita," gumamnya.
Kebetulan, Ribo dan Sarah telah datang dari pantai. Kedua orang itu terlihat berjalan memasuki rumah. "Ribo," panggil Nguyen Van Manh dengan suara yang lemah. Mendengar dirinya dipanggil orangtuanya Sarah, ia bergegas menghampiri.
"Iya bapak," jawab Ribo dengan suara hormat.
"Duduk sini, bapak hendak berbicara dengan kamu," Nguyen Van Manh memberi tanda agar ia duduk tak jauh darinya. Nguyen Van Manh pun menceritakan semuanya tentang anaknya yang pertama Tran. Untuk itu dirinya mengharap agar Ribo bisa melakukan sesuatu untuk bisa menolang anaknya yang telah divonis hukuman mati itu.
Mendengar permintaan itu, Ribo diam seribu bahasa. Apa yang mesti ia perbuat. Seperti dalam perbincangan dengan Sarah tadi ia mengatakan dalam hati, LSM, aktivis HAM, dan pengacara di Indonesia saja sepertinya diam dan tak bisa menggagalkan hukuman mati itu apalagi dirinya.
"Iya bapak, saya akan menghubungi orang-orang yang ada di Indonesia," ujar Ribo kepada Nguyen Van Manh. Mendengar hal yang demikian, sedikit harapan terlihat di wajah orangtua Sarah itu.
  Â
****
Tran terlihat sedih di sebuah taman di Kota Ho Chi Minh. Ia merasa sudah bekerja keras namun gaji yang diperoleh tetap belum bisa memberi hidup yang layak buat diri dan keluarganya. Ia berpikir kerja apa lagi yang harus dilakukan agar kehidupannya menjadi lebih baik.
Ho Chi Minh adalah kota di mana orang-orang Vietnam dari desa datang ke sini untuk mengadu nasib. Namun dirinya sadar bahwa kota terbesar di Vietnam itu daya tampungnya terbatas dan sumber ekonominya tidak banyak. Akibat yang demikian, di Ho Chi Minh banyak terjadi kriminalisasi.
Di tengah kegundahan akan nasibnya. Tiba-tiba ada seseorang yang menghampirinya. Tran yang tengah duduk di taman kota itu tak sadar ada orang yang mendekat. Pria bertubuh tambun itu tanpa permisi duduk di sampingnya. Merasa ada orang yang duduk di sampingnya, Tran kaget, ia langsung menoleh ke arah orang itu. Dirinya hendak beranjak dari tempat itu karena khawatir keselamatan dirinya.
"Eh kenapa kok pergi," ujar pria itu dengan ramah.
Mendapat sapaan yang ramah, niat Tran meninggalkan tempat duduknya diurungkan. Selanjutnya ia menunggu apa respon selanjutnya dari pria gendut itu.
"Kok kelihatan sedih," pria itu sepertinya tahu Tran sedih.
"Ada masalah dengan keluarga ya?"
Mendapat lontaran-lontaran pertanyaan itu, dipandangnya pria itu. Dilihat dari wajahnya sepertinya pria itu menurut Tran baik. Tran kemudian tersenyum. Entah mengapa, mungkin karena tekanan hidup yang demikian berat, membuat Tran mengeluarkan segala masalah yang membebaninya kepada pria itu. Tanpa rasa curiga dan mengenal lebih jauh siapa laki-laki itu, Tran sepertinya sedang curhat.
"O itu to masalahmu," ujar pria itu dengan nada datar.
"Jadi kamu mau mencari pekerjaan baru?"
Tran mengangguk.
Pria itu tersenyum dan selanjutnya tertawa lebar. Melihat hal yang demikian, Tran curiga mengapa ia tertawa sedemikiannya. Dipandang Tran oleh pria itu. Mendapat perlakuan yang demikian, Tran menjadi curiga.
"Bener kamu mencari pekerjaan baru?" pria itu mengulang pertanyaannya.
Tran kembali mengangguk.
"Mau bekerja sama dengan saya?" kalimat itu disampaikan pria itu sambil ia menyalakan korek api untuk membakar rokoknya.
"Mau, tapi jangan disuruh jual diri," kata Tran.
Mendengar hal yang demikian, pria itu tertawa lebar. "Oh tidak. Itu dosa," ujarnya sambil tertawa cekakan. Mendengar hal yang demikian Tran semakin yakin bahwa pria itu benar-benar baik.
"Lalu kerja apa?" Tran mulai tidak sabar dengan pekerjaan yang hendak diberikan padanya.
Selepas menghembuskan asap rokok dari mulutnya, pria itu mengatakan, "saya mempunyai perusahaan jasa pengiriman barang."
"Saya mau membutuhkan seseorang yang mau mengirimkan barang kepada pihak lain."
"Setiap orang yang mengirimkan barang akan mendapat upah yang besar."
"Pengiriman barang tidak terpaku pada jam-jam kerja namun sesuai dengan pesanan."
"Jadi kamu bisa kerja di dua tempat, di tempat kerjamu yang lama dan di perusahaanku."
Mendengar pekerjaan yang sepertinya freelance dan sebatas mengantar barang sepertinya merupakan pekerjaan yang tidak sulit bagi Tran. Ia pun langsung mengangguk mau menerima pekerjaan itu.
"Benar kamu mau menerima pekerjaan itu?" pria tambun berkaos hitam bertuliskan I Love Hongkong itu menanyakan kembali kesediaan Tran bekerja padanya. Tanpa banyak tanya, Tran mengangguk.
"Ok, kalau begitu kamu kirim barang ini ke alamat yang sebentar lagi akan saya berikan kepadamu," pria itu menyodorkan sebuah tas yang terbungkus dengan rapat. Selanjutnya ia memberikan sebuah kartu nama. Di kartu nama itu tertera alamat seseorang yang akan menerima barang itu.
"Setelah mengirim barang ini, hubungi saya dan selanjutnya akan saya berikan upah." Pria itu memberi nomer handphone-nya. Tanpa rasa curiga, Tran menerima barang dan alamat penerima. Selanjutnya ia bergegas mencari angkutan umum. Ia ingin segera menyampaikan barang itu agar pekerjaan barunya itu cepat kelar.
***
      Tran memencet nomer handphone dengan angka-angka yang menuju ke pria yang menyuruhnya mengantar barang tadi. Setelah susunan angka itu lengkap, tanda panggil dipencetnya. Nomer yang dituju itu tidak memberi respon. Ia mengulangi lagi. Panggilan kedua itu sepertinya membuahkan hasil. Tersambung.
      "Pak barang sudah saya sampaikan," ujar Tran kepada pria itu.
      Apa yang disampaikan itu langsung mendapat respon, "o ya bagus. Kalau begitu kamu ke sini," ujar pria itu. Pria itu mengatakan berada di sebuah tempat. Sebab tempat yang diberitahukan itu bisa dilacak, Tran langsung bergegas ke sana dengan tujuan mendapat bayaran.
***
Tran begitu terperanjat begitu segepok dong, mata uang Vietnam, tergeletak di depannya. "Itu upahmu," ujar pria yang memberi pekerjaan padanya. Segepok uang itu diambil Tran dan dihitung. "Banyak banget pak?" tanya Tran dengan keheranan.
Mendapat pertanyaan uang yang diberikan kok banyak, pria itu tertawa lebar. "Ha, ha, ha, ha..." tawanya menggema di ruangan yang cukup mewah itu.
"Kalau kamu mau lagi mengantar barang kiriman. Upahnya bisa lebih banyak lagi."
Ditawari pekerjaan lagi, Tran begitu gembira. Dengan sekali mengantar barang kiriman, upah yang didapat lebih besar daripada gaji yang diperoleh dalam sebulan di tempat dirinya bekerja.
"Ya saya mau," jawab Tran dengan bernafsu.
Pria itu tersenyum. "Sekarang pulang dulu, nikmati uang itu dan nanti kalau ada order mengirim barang, kamu saya hubungi," ujar pria itu sambil meninggalkan Tran. Tran pun mengangguk dan meninggalkan tempat itu.
Sesampai di luar gedung, Tran berdiri di tepi jalan. Ia menunggu taxi untuk mengantarkan ke sebuah tujuan. Naik taxi bagi Tran sebenarnya suatu hal yang jarang ia lakukan. Keuangan yang cekak membuat dirinya selama ini ke mana-mana naik angkutan umum.
Taxi yang melintas dihentikan. Taxi itu berhenti. Begitu duduk di belakang pengemudi, Tran mengatakan, "mall." Tanpa disuruh, pengemudi langsung tancap gas menuju arah yang diinginkan oleh perempuan yang baru mendapat uang yang melimpah itu. Kepadatan jalan di Ho Chi Minh disasak oleh pengemudi taxi sehingga perjalanan menjadi cepat hingga sampai tujuan.
Taxi berhenti tepat di depan pintu mall, seseorang dengan ramah membuka pintu. Sebelum turun, Tran menyondorkan selembar uang. Pengemudi itu menerimanya dan sepertinya sibuk mengambil uang yang ada di dompetnya. "Kembaliannya ibu," ujar pengemudi taxi itu dengan sopan. Melihat hal yang demikian, Tran tersenyum, "ambil saja pak. Itung-itung bagi-bagi rejeki.
"Terima kasih ibu," balas pengemudi taxi dengan tersenyum ramah.
Tran turun dari mobil itu dan taxi itu langsung meninggalkan dirinya. Tran masuk ke dalam mall. Di dalam pusat perbelanjaan itu ramai, orang sibuk hilir mudik, entah sekadar jalan-jalan atau memang mau belanja. Tran menyusuri mall bagian pakaian. Ia masuk ke dalam sebuah toko pakaian ber-merk. Sebelum membeli, ia melihat-lihat warna dan ukuran apa yang cocok buat dirinya. Setelah dipilah-pilah, ia membeli dua pakaian yang dirasa cocok, baik ukuran dan warnanya.
"Beli yang ini ya," ujar Tran sambil menyodorkan barang itu kepada sales promotion girl. Perempuan cantik penjaga toko itu pun langsung merapikan dan mengepak ke dalam tas dan menyerahkan pada cashier. Tran lalu menuju cashier dan membayar sesuai dengan harganya.
 Tran bergegas keluar dari toko pakaian ber-merk itu. Beberapa langkah keluar dari toko, perutnya terasa lapar. Ia celingak-celinguk mencari di mana ada restoran. Apa yang dicari itu tidak ditemukan, ia berjalan melangkah menghampiri petugas keamanan yang berdiri tak jauh darinya. Setelah mengemukakan apa yang dicari, petugas keamanan menunjukan sebuah tempat di mana restoran-restoran itu berada. Tran mengucapkan terima kasih atas petunjuk yang diberikan dan ia segera menuju ke tempat itu.
***
      Hubungan antara Tran dengan pria yang memberi pekerjaan baru itu semakin erat. Semakin banyak tugas pengiriman barang diberikan kepada Tran. Tugas yang diberikan kepada Tran tak hanya di Ho Chi Minh namun sampai Hanoi bahkan sampai Kamboja. Dan pastinya, dengan pekerjaan itu Tran menjadi banyak uang. Hidupnya tidak seperti dulu yang serba kekurangan. Sekarang hidupnya lebih baik dan enak.
      Melihat perubahan yang terjadi pada diri kakaknya, Sarah menjadi heran. Ia menjadi curiga apa yang dikerjakan kakaknya itu sehingga hidupnya kontras dengan waktu-waktu sebelumnya. Pada suatu saat Sarah bertemu dengan Tran, Sarah memberanikan diri bertanya pada kakaknya. "Kak kamu kerja apa sih, kok sekarang beda banget gaya hidupnya?"
      Mendapat pertanyaan seperti itu, Tran menatap tajam kepada Sarah. Tran merasa adiknya itu ingin tahu saja urusannya. "Ya kerja halal," kata Tran dengan tegas. Mendapat jawaban seperti itu sepertinya belum membuat Sarah puas.
      "Syukur kalau halal tetapi pekerjaan apa itu?" Sarah bertanya kembali dengan menatap tajam.
Mendapat pertanyaan yang detail, Tran menjadi terpojok dan dengan nada yang agak meninggi mengatakan, "ih mau tahu saja."
"Ngapain sih tanya-tanya urusan orang?"
"Asal tahu saja ya saya mendapat uang banyak bukan karena jual diri."
"Saya bekerja pada perusahaan pengiriman barang."
"Sudah saya jelaskan semua, puas?!"
Sarah mulai mengerti apa pekerjaan baru kakaknya itu. Ia bekerja di perusahaan pengiriman barang. Meski sudah tahu pekerjaan barunya namun Sarah belum puas betul atas jawaban itu. "Pengiriman barang, barang apa itu?" gumamnya dalam hati. Daripada di simpan dalam hati jadi penyakit, Sarah memberanikan diri untuk bertanya kembali.
"Pengiriman barang apa kak?"
Mendapat pertanyaan bertubi-tubi rupanya membuat Tran jengkel dan marah. Dengan muka kaku, ia mendorong tubuh Sarah, "pergi, pergi, pergi..."
"Anak kecil mau tahu urusan orang saja."
"Mau barang apa saja bukan urusanmu."
Setelah Sarah berhasil didorong keluar dari kamar. Tran mulai berpikir, benar juga ya pertanyaan adiknya tadi. Selama ini dirinya tidak tahu apa isi barang yang berada dalam tas yang biasa ia kirim kepada orang lain. Berhargakah barang itu hingga sampai-sampai saat dirinya naik bus, di kanan kirinya seperti ada beberapa sepeda motor yang membuntuti bus yang ia tumpangi itu. Â Tak hanya itu, dalam sebuah tugas pengiriman barang, tiba-tiba ada mobil polisi yang mengejar bus yang ia tumpangi sebelum mobil polisi itu akhirnya tertahan laju gara-gara ada sepeda motor yang menyelenong di depannya.
"Aku tak tahu apa isi kemasan barang itu," gumam Tran dalam hati.
"Ah nggak penting apa isi barang itu, yang penting aku dapat uang."
***
Tran terpaku melihat di salah satu koran yang memberitakan penggrebekan di sebuah tempat di Ho Chi Minh. Polisi menggrebek tempat itu sebab diduga tempat produksi obat-obat terlarang. Diberitakan di harian itu, di tempat penggrebekan ditemukan alat-alat peracik dan pembuat obat-obat terlarang dari bahan mentah menjadi komoditas siap pakai.
Dari penggrebekan yang dilakukan, polisi menangkap beberapa orang, dua orang diberitakan melarikan diri sebelum operasi itu dilakukan. Dengan tertangkapnya pelaku pembuat dan pengedar obat-obat terlarang, mereka akan dikenai hukuman berat dari penjara seumur hidup hingga hukuman mati.
Muka Tran datar-datar saja membaca berita itu. Ia mengambil dompet yang tergeletak di sisi kirinya di kursi yang diduduki. Setelah dompet berada di tangan, dibuka. Mukanya cemburut melihat isi dompet yang hanya terdapat beberapa lembar. "Habis," gumamnya.
"Kebanyakan belanja dan makan di mall," Tran mendesis.
Terbiasa hidup enak, Tran tidak ingin dirinya sengsara lagi. Tahu uangnya habis, ia segera menghubungi pria yang selama ini telah memberi pekerjaan dengan upah yang tinggi. Nomer teleponnya pun dikontak. Sekali tak ada respon. Dicobanya lagi, hasilnya sama tak ada jawaban. Nasib yang sama dialami setelah dirinya mencoba untuk kelima kalinya.
"Ke mana si gendut itu," ujarnya dengan kesal.
"Apa dia sudah tidak butuh aku?"
Hari berikutnya, Tran menghubungi kembali nomer itu namun hasilnya tetap seperti hari kemarin. Hari demi hari, si pria itu tak bisa dihubungi hingga satu bulan sudah Tran tidak mendapat order mengirimkan barang. Tran mencoba mencari pekerjaan baru guna menopang hidupnya. Ia menyisir koran yang memberitahukan soal lowongan pekerjaan. Dibolak-balik koran yang ada. Dari sekian lowongan pekerjaan yang ada, sepertinya semua tak ada yang cocok bagi Tran.
Raut wajah Tran terlihat gundah. Tiba-tiba handphone miliknya berdering. Berpikir ada rejeki yang hendak menghampiri, alat komunikasi itu diangkat. "Hallo," sapa Tran.
"Hai Tran, apa kabarmu?" suara pria keluar dari handphone yang dipegang.
Tran sepertinya hafal dengan suara itu. Ya, pria itu adalah yang memberi pekerjaan pada dirinya selama ini. Tahu pria itu menghubungi kembali, Tran sumringah. Ia girang, dengan dihubungi kembali berarti ada pekerjaan lagi yang akan diterima.
"Ke mana saja bapak sebulan ini?" Tran bertanya pada pria itu kalau sebulan ini dirinya menghubungi terus namun tak tersambung. Terdengar pria itu tertawa. "Aku ada urusan yang lain," Â jawabnya.
"Tapi sudahlah, yang penting kita bisa berkomunikasi lagi."
Perbincangan mereka terhenti beberapa detik. Selanjutnya pria itu menyampaikan sesuatu padanya, "Tran ini ada pekerjaan mengantar barang ke Indonesia, mau?" Mendengar penawaran yang demikian, Tran senang sekali sebab disuruh mengantar barang ke luar negeri apalagi Indonesia.
"Iya mau, mau," ujar Tran dengan terburu-buru.
"Kapan bapak?"
Mendengar kesediaan itu, pria itu tertawa sengit. Ia mengulangi tawarannya. "Bener kamu mau mengantar barang ke Indonesia?"
Tran menyahut dengan cepat, "mau, mau, mau bapak?"
"Kayaknya bapak nggak percaya sama saya."
Pria itu terdiam mendengar kesanggupan dan keseriusan Tran menerima order. Dengan ungkapan yang pasrah, pria itu mengatakan. "ya sudah kalau kamu mau."
"Lusa kamu berangkat ya. Tiket pulang pergi sudah kami sediakan, sekalian upah saya beri langsung."
"Tapi pesan saya hat-hati ya selama di Indonesia."
Mendengar penjelasan itu, Tran senang sebab tiket perjalanan sudah diurus dan upah dibayar dimuka. Pikirannya saat itu sudah melayang ke Indonesia. Dengan upah dibayar di muka makanya dirinya bisa belanja.
***
      Di Bandar Udara Internasional Tan Son Nhat, Ho Chi Minh, pagi itu, Tran celingak-celinguk mencari pria yang menyuruhnya pergi ke Jakarta, Indonesia. Kode booking tiket sudah diterima dan upah sudah ditransfer namun barang yang hendak diantar belum diterimanya.
      Tran mencari di mana pria itu berada. Disusuri setiap sudut dan caffe yang ada di bandar udara itu. Saat mengawasi seseorang yang tengah merokok di sebuah caffe dengan ciri bertubuh gendut, berkepala botak, dan kepalanya yang licin, handphone yang dipegang bergetar. Getaran itu menandakan bahwa ada panggilan untuknya. Diangkatnya handphone miliknya, "hai Tran," suara menyapa keluar dari alat komunikasi itu.
      Tahu yang menghubungi adalah pria yang memberi pekerjaan, Tran langsung meresponnya, "bapak mana barang yang mau dibawa?" Mendapat pertanyaan itu, dengan tenang lawan bicaranya itu menjelaskan, "tenang Tran." Ia menjelaskan di pojok bangunan bandara ada sebuah tas kecil berwarna kuning. "Tas itu tolong diambil dan bawalah ke Jakarta," ujarnya.
"Sampai di Jakarta nanti akan ada yang menjemputmu begitu kamu keluar bandara."
Setelah memberi penjelasan, pria itu langsung memutus komunikasi.
Tran langsung memalingkan mukanya ke pojok bandara. Pandangannya tertutup oleh sebuah papan reklame. Ia berjalan mendekat agar pandangannya lebih jelas. Setelah melangkah beberapa meter, dilihatnya tas kecil berwarna kuning. Setengah berlari, Tran menuju ke tempat itu. Diambilnya dan dimasukkan ke koper yang dibawa. Saat meninggalkan pojok bandara, ia melihat seseorang di balik pilar besar bangunan bandar udara mengamati dirinya. Saat sorot mata tajam Tran mengarah pada orang yang berada di balik pilar itu, ia langsung menyembunyikan diri. Melihat hal yang demikian, dianggap Tran itu hanya sebuah kejadian biasa, tak sengaja.
Setelah barang yang hendak dibawa ke Jakarta itu berada di koper yang ia seret, Tran menuju ke dalam untuk check in. Antrian check in tujuan Jakarta saat itu terlihat berderet. Untung cara pelayanan yang diberikan petugas baik sehingga prosesnya cepat. Tran pun menyerahkan tiket dan passport. Setelah diperiksa dan diurut sesuai dengan penumpang yang telah tercatat, dirinya mendapat nomer kursi 24 A. Nomer itu menunjukkan ia duduk di samping jendela.
Selepas check in, Tran langsung menuju ke bagian imigrasi. Tran ingin menunggu di boarding room. Untuk itu dirinya menyegerakan diri melapor ke bagian imigrasi. Passport pun diserahkan kepada petugas, sebab ke Indonesia bebas visa maka proses pelaporan dilakukan secara cepat. Langkah selanjutnya menuju ke pemeriksaan scanner. Tran merasa tidak khawatir, cemas, dan was-was dengan barang bawaannya, barang itu berbahaya atau terlarang, ia tidak tahu. Untung barang dan dirinya setelah melewati scanner tak menunjukkan ditemukan barang berbahaya atau terlarang sehingga dirinya dipersilahkan melangkah meninggalkan tempat itu.
Di boarding room, puluhan calon penumpang memenuhi tempat duduk. Mereka yang ada di ruangan itu akan menuju ke Jakarta. Tak heran bila di tengah keriuhan suasana, terdengar beberapa orang berbahasa Indonesia. Menjelang keberangkatan, ruangan itu semakin penuh, ada ratusan orang.
Tak lama kemudian terdengar pengumuman bahwa penumpang pesawat tujuan Ho Chi Minh-Jakarta dengan kode sekian, sekian, diharap memasuki pesawat. Mendengar pengumuman itu, semua langsung membentuk antrian. Satu per satu penumpang masuk ke perut pesawat dan menempati kursi sesuai dengan nomer yang tertera di tiket.
***
Begitu mendengar kalimat, "flight attendant prepare for landing, semua penumpang yang berada di pesawat itu langsung terlihat bugar. Penumpang yang tidur terbangun, yang ngantuk menjadi melek, dan yang dari tadi gelisah karena bosan menjadi girang. Dengan pemberitahuan itu, sebentar lagi mereka akan mendarat.
Dari jendela, Tran melihat sebuah pelabuhan, terdapat puluhan kapal besar yang mengapung di laut. Pertama kali ke Jakarta pastinya ia tidak tahu apa nama pelabuhan itu. "Itu Pelabuhan Tanjung Priok," ujar pria yang berada di sampingnya ketika melihat Tran sepertinya ingin mengetahui nama pelabuhan terbesar di Indonesia itu. Mendapat penjelasan, Tran tersenyum.
Setelah melintasi pelabuhan itu, pesawat makin lama menurunkan ketinggiannya hingga terlihat jelas bangunan yang berada di darat. Dalam hati Tran mengatakan, Jakarta begitu padat sehingga sepertinya tak ada ruang hijau yang lapang. Ruang hijau baru terlihat saat pesawat itu hendak menyentuh landasan. Di kanan-kiri landasan, rumput hijau segar menyejukkan mata setelah sebelumnya bangunan kumuh terlihat terhampar.
Benturan keras terasa saat roda pesawat menyentuh landasan yang terbuat dari beton. Benturan itu menyebabkan goncangan kecil sehingga bagi yang tidak menggunakan ikat pinggang, posisinya akan bergeser. Untung, pilot bisa mengendalikan keadaan sehingga gerak pesawat tetap lurus ke depan. Semakin lama gerak pesawat pun semakin pelan hingga pada posisi yang aman, ia membelokkan kemudi pesawat menuju terminal kedatangan.
Di terminal kedatangan terdapat pesawat-pesawat yang diparkir. Pesawat yang baru datang dari Ho Chi Minh itu menyeruak di antara pesawat yang ada, pemandu parkir pesawat memberi kode di mana harus berhenti. Begitu pesawat berhenti sempurna, penumpang bergegas membuka bagasi yang di atas mereka. Para penumpang mengambil barang-barang yang mereka bawa termasuk Tran.
Pintu pesawat pun dibuka oleh pramugari dan penumpang diharap keluar dengan tertib. Satu persatu penumpang keluar dari pesawat dan selanjutnya mereka melintasi lorong gate hingga menuju ke tempat pemeriksaan imigrasi. Tran yang pertama kali berada di bandara di Indonesia terlihat kagok. Ia celingak-celinguk sesekali bertanya kepada orang dan sesekali salah melangkah.
Ia mengikuti ketika orang-orang pada antri. Apa yang dilakukan itu benar sebab antrian itu adalah antrian di bagian keimigrasian. Satu persatu, jumlah antrian menyusut hingga akhirnya giliran dirinya. Petugas imigrasi melihat passport Tran. Dilihat foto di passport dan dibandingkan dengan wajahnya yang asli. Setelah tak ada masalah passport itu dicap sah.Â
Merasa mendapat tanda legal masuk Indonesia, ia langsung meninggalkan tempat itu. Beberapa langkah setelah meninggalkan tempat itu, tiba-tiba empat orang menyergapnya. Tran kaget dan bingung melihat dirinya diperlakukan seperti demikian. Orang-orang yang berada di sekitarnya tidak menolong sebab pada baju empat orang itu ada tulisan Badan Anti Narkotika. Tran langsung digelandang menuju ke sebuah mobil yang sudah siap mengangkutnya. Orang-orang di bandara yang melihat kejadian itu hanya melongo.
***
Di sebuah ruangan, Tran terlihat menangis. Ia mengatakan tidak tahu apa barang itu saat petugas Badan Anti Narkotika memperlihatkan sebuah benda yang dibungkus rapi. "Saya tidak tahu apa barang itu," ujar Tran dengan menangis. Setelah diberi tahu bahwa itu heroin dan merupakan barang yang terlarang dibawa ke manapun, Tran menjadi shock. Tangisannya menjadi-jadi.
"Benar bapak, saya tidak tahu."
"Saya hanya disuruh orang untuk membawa barang itu."
"Orang itu memberi upah kepada saya untuk membawa sebuah tas ke Jakarta dan saya tidak tahu apa isinya."
"Demi Tuhan pak, apa yang saya katakan ini benar."
Mendapat pernyataan-pernyataan itu, salah satu petugas mengatakan dengan nada tinggi. "Mengapa kamu tidak bertanya lebih dahulu apa isi tas itu?"
Mendapat pertanyaan itu, Tran tidak bisa menjawab. Pikirannya melayang selama ini dirinya tidak pernah menanyakan apa barang yang dikirim kepada orang-orang atas perintah pria yang memberi pekerjaan itu. Dan selama ini dirinya tidak ada masalah. Tran jadi ingat pertanyaan adiknya, Sarah, ketika ia terus bertanya apa isi barang yang diantar-antarnya itu. Ingat yang demikian, Tran menjadi sedih. Ia merasa berdosa mengusir adiknya itu karena mempertanyakan masalah itu. "Sarah maafkan aku," gumam Tran dalam hati.
Tran juga menjadi ingat, saat dirinya mengantar barang dirinya merasa seperti dibuntuti orang. Dengan penangkapan dirinya di Jakarta, ia menduga bahwa orang-orang yang selama ini membuntuti dirinya kalau tidak polisi yang anggota sindikat perdagangan obat terlarang yang mengawalnya.
Angan-angannya melayang, mungkin dirinya sudah dijemput oleh sindikat perdagangan obat terlarang internasional di bandara namun karena dirinya ditangkap, anggota sindikat perdagangan obat terlarang itu melarikan diri.
"Pak tolong bebaskan aku," kata Tran dengan menangis
"Saya tidak bersalah karena saya dijebak."
"Saya hanya disuruh."
Kalimat ratapan dan ibaan itu diulang-ulang oleh Tran. Mendengar permintaan itu, petugas tak peduli apalagi jumlah heroin yang dibawa Tran ukurannya sangat tinggi. "Biasa kalau perempuan membawa obat terlarang dan ditangkap, mereka selalu mengaku pengantar (kurir) atau dijebak," ujar salah satu anggota Badan Anti Narkotika itu. Â
****
"Begitulah kak ceritanya," ujar Sarah sambil menitikkan air matanya. Sarah pasti bersedih karena kakaknya terlibat dalam peredaran perdagangan obat terlarang internasional. Hingga akhirnya ditangkap aparat saat mengantarkan obat terlarang itu ke Jakarta.
"Mungkin ekonomi yang menyebabkan Kak Tran terjerumus dalam perdagangan obat terlarang."
"Sebenarnya saya sudah mengingatkan namun ia tak peduli."
"Kak....," ujar Sarah dengan lirih.
"Bantu dong Kak Tran agar dia mendapat hukuman yang ringan."
Ribo yang dari tadi mendengar cerita Sarah dengan seksama, nafasnya seperti tersumbat ketika kekasihnya itu ingin agar dirinya membantu kakaknya dalam melewati proses hukum itu. Dalam hatinya mengatakan, apa yang bisa dilakukan untuk bisa meringankan hukuman Tran. Masalah keringanan hukuman atau menunda hukuman mati bahkan menjadikan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup adalah sudah masuk urusan antar kepala pemerintahan.
Ketika ada warga Brasil yang hendak dihukum mati di Indonesia, juga dalam kasus yang sama, yang bisa menekan Indonesia adalah Presiden Brasil, Dilma Roussef, sendiri. Pun demikian ketika Corby dan dua warga Australia lainnya, dalam kasus yang sama pula, perdana-perdana menteri Australia sendiri yang langsung mengontak Presiden Indonesia.
Permintaan Sarah agar dirinya membantu proses hukum kakaknya, Ribo mengangguk dan mengatakan, "nanti saya tanyakan teman-teman di Indonesia."
***
"Ah jangan tanya enak atau tidak dulu," Ribo menjawab pertanyaan Arman.
"Man, mau bertanya nih?"
'Tanya apa?" balas Arman.
Ribo menanyakan bagaimana rencana hukuman mati yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan bagaimana sikap masyarakat terhadap rencana hukuman mati itu. Mendapat pertanyaan yang cukup panjang itu Arman membalas.
"Soal hukuman mati itu sepertinya pemerintah akan tegas namun sikap pemerintah itu bisa goyah bila negara-negara besar menekannya. Lihat saja ketika warga negara Australia hendak dihukum mati, kepala pemerintahan di sana benar-benar menekan pemerintah Indonesia dan tekanan mereka berhasil terbukti pemerintah kita membatalkan atau menunda hukuman mati. Kasihan kalau hukuman mati diberikan kepada warga negara dari sebuah negara yang pemerintahannya lemah baik secara ekonomi, politik, dan militer, hukuman mati itu pasti akan dijatuhkan secepatnya.
Dukungan hukuman mati kepada pengedar obat-obat terlarang, juga didukung oleh masyarakat, buktinya organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah mendukung hukuman mati pada pengendar narkoba. Dukungan itu diberikan saat Presiden Joko Widodo mengujungi kantor kedua organisasi massa Islam itu.
Sikap masyarakat yang kritis selama ini kepada hukuman mati sepertinya juga melempem. Entah mengapa masyarakat seperti ini, apakah yang dihukum mati itu bukan orang Indonesia? Saya tidak tahu, namun anehnya bila yang dihukum mati itu orang Indonesia yang berada di Malaysia atau Arab Saudi, semuanya serentak menentang hukuman mati itu. Adilkah kita di sini?
Mendengar pesan yang ditulis Arman, Ribo menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya ia tidak bisa membantu proses hukum pada Tran. Dirinya hanyalah orang biasa, yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Membantu meringankan hukuman mati pada Tran sangat sulit sebab Vietnam bukan Australia. Vietnam adalah negara yang lemah sehingga tidak bisa menekan Indonesia. Karena Vietnam lemah maka pemerintah Indonesia bersikap tegas pada Tran. Tapi pemerintah Indonesia tak bisa bersikap tegas pada orang-orang Australia karena negara itu bisa menekan Indonesia. Jadi hukum yang dijatuhkan menjadi lemah atau bisa ditawar dengan yang lain. Selain itu hukuman mati kepada pengendar narkoba didukung organisasi-organisasi besar berbasis massa Islam. Â Â Â
***
Di ruang tengah, terlihat Nguyen Van Manh, Thu Pham, Sarah, dan Ribo. Di kursi terlihat pandangan Nguyen Van Manh murung. Wajahnya terlihat hampa. Kesedihan memuncrat di rautnya. Mereka sepertinya meratapi nasib yang mereka alami, anak pertamanya, Tran akan dihukum mati oleh pemerintah Indonesia.
"Mengapa nasib pahit selalu kita terima," ujar Nguyen Van Manh meratap.
"Dulu kita melarikan diri dari Vietnam karena negara ini tidak bisa melindungi warga negaranya. Sekarang setelah kita menjadi sebuah negara, lagi-lagi negara tak bisa mengayomi warga negaranya."
"Dulu kita meninggalkan Pulau Galang karena sikap pemerintah tegas Pemerintah Indonesia. Sekarang Tran akan dihukum mati juga karena sikap tegas Pemerintah Indonesia."
"Tapi...," Nguyen Van Manh berhenti melanjutkan perkataannya
"Tapi mengapa Pemerintah Indonesia hanya tegas kepada warga negara dari negara yang lemah seperti Vietnam."
"Kalau Vietnam negara kuat ekonomi, politik, dan militer, mungkin Vietnam bisa menekan Indonesia hingga Tran bisa hidup lebih lama."
"Dan itu seperti Australia yang bisa menekan Indonesia ketika warga negaranya hendak dihukum mati."
"Kenyataannya sebaliknya, Vietnam negara lemah sehingga tak berdaya di mata Indonesia."
"Sudahlah, mungkin ini nasib kita dan harus kita terima."
"Kita yang di sini tidak bisa mengubah putusan hukum itu."
Hening terasa di ruangan itu saat Nguyen Van Manh tak melanjutkan ungkapan kesedihannya. Suara batuk yang dikeluarkan dari tenggorokan memecah keheningan itu. Batuk itu menandakan Nguyen Van Manh masih dibekap sakit yang telah dideritanya. Makin lama tubuhnya semakin lemah. Peristiwa yang dialami Tran sepertinya menambah berat beban yang ditanggungnya.
"Sarah...," ujarnya dengan suara lemah.
"Papa sekarang sudah semakin lemah. Sakit yang mendera selama ini mungkin nanti yang menyebabkan papa pergi."
Mendengar apa yang dikatakan itu, Thu Pham dan Sarah tersentak. Apa yang dikatakan itu seolah-olah mengandung makna yang dalam. Sebelum pikiran Sarah dan Thu Pham melayang jauh, tiba-tiba Nguyen Van Manh melanjutkan curahan jiwanya.
"Sarah, kamu anak papa yang ada di sini."
"Kamu sudah beranjak dewasa. Untuk itu kamu harus segera menikah."
"Papa mengikhlaskan kamu bersama Ribo."
"Papa senang kamu sudah mendapat jodoh di saat papa masih ada."
"Untuk itu segeralah kamu menikah."
Mendengar apa yang dikatakan itu, Sarah merasa senang sebab orangtuanya sudah merestui dirinya menikah dengan Ribo namun di sisi yang lain Sarah merasa mendapat firasat yang tak enak, sepertinya papanya akan meninggalkan dirinya untuk selama.
"Papa..." ujar Sarah pelan.
"Sarah bahagia papa merestui kami tapi Sarah tetap ingin bersama papa." Terlihat Sarah menitikan air mata. Nguyen Van Manh membisu ketika anaknya mengatakan yang demikian. Thu Pham juga terlihat menitikan air mata.
"Sudahlah semua jangan bersedih, setiap orang ada masanya," tutur Nguyen Van Manh sambil menahan batuknya.
"Semua hidup yang kita jalani, mudah-mudahan menjadikan kita lebih kuat dan tabah."
Ribo yang berada di ruangan itu, sejak dari tadi diam membisu dan mematung. Ia tak mau mencampuri urusan orang sehingga tak sopan kalau dirinya ikut mengungkapan perkataan. Membuat dirinya bahagia ketika ia mendengar sendiri kalau Nguyen Van Manh merestui hubungannya dengan Sarah dan menganjurkan untuk segera menikah. Keinginan untuk hidup bersama dengan gadis Vietnam dari Pulau Galang yang cantik seperti bidadari menjadi kenyataan.
***
Di tengah malam yang sunyi, seseorang mendengar bunyi letusan yang cukup keras dari sebuah tempat, di Pulau Jawa. Mendengar letusan itu, ia berpikir hukuman mati, hukuman tembak, telah dilaksanakan pada Tran. Orang itu bisa mengetahui yang demikian sebab sebelumnya harian lokal yang biasa ia baca mengabarkan akan ada hukuman mati pada pengedar heroin seberat 1,1 kilogram asal Vietnam.
Dirinya hanya bisa mengelus dada setelah mendengar letusan yang cukup keras itu. Entah apa yang dipikirkan orang itu. Ia hanya menatap langit yang tengah dipenuhi bintang.
Berita pelaksanaan hukuman mati itu pun akhirnya juga terdengar Keluarga Nguyen Van Manh. Mendengar berita itu, Thu Pham langsung histeris. Ia meratapi anaknya yang pertama itu telah pergi dan tak kembali. Tangisnya yang menderu memancing perhatian tetangganya sehingga mereka pada berdatangan ke rumah Nguyen Van Manh. Para tetangganya ikut menenangkan Thu Pham. Saking histerisnya, Thu Pham akhirnya pingsan.
Sarah yang berada di kerumunan tetangganya, ikut sedih. Matanya berlinang. Meski kakaknya pernah mengusirnya karena menanyakan soal pekerjaan yang dilakukan itu namun rasa sayang masih ada pada kakaknya.
Nguyen Van Manh dikelilingi para tetangganya yang lain. Nguyen Van Manh dibisiki agar tetap kuat menerima kenyataan yang ada. Tatapan Nguyen Van Manh kosong. Batuknya menjadi-jadi.
Di tengah rasa duka, di pojok depan halaman rumah itu terlihat beberapa pemuda bergerombol. Mata mereka sepertinya mencari sesuatu. Sambil matanya menyorot tajam, mereka menghembuskan asap rokok yang dihisap.
Di saat Sarah melintas, mereka semua langsung diam, mengamati gerak ke mana ia melangkah. Saat Sarah menghilang di tengah kerumunan, mereka langsung ribut. "Sarah benar-benar cantik," ujar di antara mereka.
"Tapi sayang dia mau menikah dengan orang Indonesia," ujar yang lain.
Mendengar yang demikian, Tam, salah satu pemuda yang terlihat paling necis terperanjat. "Bener tuh?" tanya Tam soal Sarah hendak menikah dengan orang Indonesia. "Bener," ujar pemuda di sampingnya. "Papanya sudah merestui," tambahnya.
Mendengar yang demikian Tam menjadi geram dikepalkan tangannya. Dengan mendesis ia mengatakan, "Akan kurebut Sarah."
***
Malam itu, sakit yang didera Nguyen Van Manh semakin parah. Ia tak berdaya menanggung sakitnya itu. Tetangganya yang sejak tadi masih berada di sampingnya merasa khawatir. Apa yang hendak dilakukan di tengah semakin kritis kesehatannya.
Kepada salah seorang tetangganya, ia meminta dipanggilkan Thu Pham, Sarah, dan Ribo. Orang itu lalu bergegas menemui mereka dan tak lama kemudian, ia balik bersama ketiga orang itu. Pandangan Nguyen Van Manh terlihat sayu ketika menatap istri dan anaknya.
"Mama," ujar Nguyen Van Manh pada istrinya.
"Saya sudah semakin tak kuat dengan penyakit yang mendera ini."
"Saya lebih berbahagia bila pergi secepatnya."
Mendengar curahan hati itu, Thu Pham tersentak dan langsung mengatakan, "Papa.. jangan mengucapkan seperti itu. Papa terus kuatkan semangat."
"Kita ingin terus bersama papa. Suka duka seperti kita di Pulau Galang."
Air mata Thu Pham pun berlinang. Butiran air menetes di pipi. Diusapnya air mata itu agar suaminya itu tidak tahu.
Tatap sayu Nguyen Van Manh beralih ke Sarah. Anaknya ketiga itu terlihat menangis.
"Sarah.." ujar Nguyen Van Manh lirih.
"Sebentar lagi papa akan pergi."
"Jagalah mama."
"Saya percaya pada Ribo, untuk itu setialah padanya.
Sambil mengusap air mata yang menetes di pipi, Sarah mengangguk.
Nguyen Van Manh pun memandang Ribo yang dari tadi diam seribu bahasa. Dipegang tangan pemuda itu. "Jagalah Sarah," ujarnya dengan pelan. Mendengar wasiat itu, Â Ribo tersenyum dan selanjutnya membalas ucapan itu dengan mengatakan, "ya bapak, saya berjanji akan menjaga Sarah dengan baik dan setia."
Suasan hening terasa setelah Nguyen Van Manh menitipkan pesan kepada ketiga orang itu. Tatapan matanya makin lama makin sayu hingga akhirnya Nguyen Van Manh menutup mata. Melihat hal yang demikian Thu Pham dan Sarah secara reflek memanggilnya, "Papa... Papa... Papa..." Tak hanya memanggilnya namun juga mengguncang-nguncang tubuhnya. Meski sudah dipanggil berulang kali dan tubuh sudah diguncang-guncangkan namun tubuh yang membujur itu tak memberi respon. Suasana histeris pun terjadi. Thu Pham dan Sarah sepertinya sadar Nguyen Van Manh telah pergi untuk selamanya. Ribo dan tetangganya juga merasakan bahwa Nguyen Van Manh telah tiada.Â
Melihat hal yang demikian, para tetangga segera menenangkan Thu Pham, sedang Ribo menenangkan Sarah. Dipeluknya tubuh Sarah erat-erat, sambil dibisiki, "tenang sayang, Â kalau papa pergi, ia telah pergi dengan tenang."
"Papa sudah bahagia."
"Ikhlaslah kepergian papa."
"Papa sudah memberi wasiat pada Kak Ribo untuk menjaga Sarah."
"Jadi jangan bersedih, di sini ada Kak Ribo."
Sama seperti saat mendengar anaknya yang pertama yang telah dihukum mati, Thu Pham juga pingsan saat ditinggal pergi selamanya oleh suaminya itu. Para tetangganya segera membopongnya ke dalam kamar dan memberi pertolongan agar dirinya siuman dan kuat menerima kenyataan.
Setelah Sarah dan Thu Pham terlihat tabah, para tetangganya mengurus proses pemakaman Nguyen Van Manh.
***
Iring-iringan pengantar jenazah mengular. Mereka ingin mengantar Nguyen Van Manh ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Jalan menuju ke pemakaman dipenuhi iring-iringan itu.
Tiba di pemakaman, suasana haru semakin terlihat. Lubang liang lahat menganga, seakan-akan sudah siap menerima tubuh Nguyen Van Manh. Prosesi keagamaan pun dilakukan hingga akhirnya peti yang membungkus jenazah Nguyen Van Manh diturunkan ke dalam liang lahat. Saat peti itu dibenamkan ke liang lahat, terdengar suara tangis Sarah dan Thu Pham. Saudaranya memegangi Thu Pham agar kuat menerima kenyataan itu. Sedang Ribo memegang dari belakang tubuh Sarah.
Setelah peti itu berada di dasar liang lahat, tanah liat gembur segera ditimbunkan ke lubang yang menganga itu. Pelan namun pasti akhirnya lubang menganga itu tertimbun dengan tanah hingga membentuk gundukan. Setelah itu, para tetangga dan saudara menebar bunga yang harum wanginya. Sang pendeta pun memberikan khotbah. Tangis Sarah terdengar lirih.
"Amin..." sambut para pelayat ketika pendeta mengakhiri khotbah. Dengan kata amin secara serempak itu menandakan proses pemakaman telah selesai. Satu persatu pelayat meninggalkan makam hingga akhirnya tinggal beberapa orang, di antaranya Thu Pham, Sarah, dan Ribo. Thu Pham dan Sarah sepertinya tidak mau beranjak dari tempat itu. Setelah dikuatkan oleh tetangga dan Ribo, akhirnya Thu Pham dan Sarah mau meninggalkan tempat pembaringan abadi Nguyen Van Manh.
Saat melangkah meninggalkan pemakaman, Sarah sesekali menghentikan langkah dan menoleh ke arah tempat pemakaman yang masih basah tanahnya itu. "Sudahlah sayang, papa sudah bahagia di surga," ujar Ribo sambil menggandeng tangan Sarah.
"Papa tidak minta ditunggu pemakamannya namun ia minta didoakan."
Mendengar apa yang dikatakan itu, sepertinya membuat Sarah tenang, ia melanjutkan melangkah untuk meninggalkan orangtuanya yang berbaring untuk selamanya. Â
****
Tujuh hari sudah meninggalnya Nguyen Van Manh. Sarah dan Thu Pham pun sepertinya sudah menerima kenyataan itu sehingga kondisinya sudah seperti sedia kala. Di suatu pagi, Sarah meminta ijin hendak pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. "Kak, Sarah pergi ke pasar dulu ya," ujarnya kepada Ribo yang sedang duduk di teras rumah.
Mendengar Sarah hendak pergi ke pasar, Ribo menatapnya. "Saya ikut ya," ujar Ribo menimpali. Keinginan Ribo untuk ikut ditolak oleh Sarah. "Kakak kan mau menghubungi keluarga di Indonesia. Jadi nanti terganggu rencananya," kata Sarah yang sudah hendak melangkah keluar rumah.
Ribo diam.
"Sudahlah kak, saya jalan sendiri saja," Sarah pun meninggalkan rumah itu.
Ribo menatap Sarah melangkah, selanjutnya ia hilang dibalik pepohonan yang merindangi jalan. Seperti rencananya tadi, Ribo hendak menghubungi keluarga yang ada di Indonesia. Diambil handphone dan laptop yang dibawa. Dengan alat itu, Ribo biasa berkomunikasi. Ia mau mengabarkan pada keluarganya soal rencana kepulangan ke Indonesia bersama Sarah. Dikatakan, ia ingin meminang Sarah secara resmi di Vietnam dan selanjutnya diboyong pulang ke Indonesia dan dirayakan di sana.
Dirinya berharap keluarganya senang menyambut Sarah sebab ia gadis yang baik hati dan mengenal tentang Indonesia karena ia lahir di Pulau Galang. Dibanggakan oleh Ribo, Sarah adalah seorang gadis yang cantik, kulit kuning, rambut lurus terurai, dan tinggi semampai.
Setelah komunikasi lewat laptop dengan modem yang terpasang tersambung, Ribo asyik dengan komunikasi yang menghubungkan Indonesia dan Vietnam itu.
***
Panas matahari yang menyorot ke bumi, tertahan oleh dedaunan yang terserak dari pohon-pohon yang berjajar rapi sepanjang jalan. Proses biologi di dedaunan menciptakan udara segar. Situasi itu menciptakan suasana yang teduh.
Dipayungi daun yang yang menjalar ke tengah jalan, Sarah melintasi jalan itu. Lintasan antarkampung yang biasanya ramai oleh lalu lalang orang terlihat pada pagi itu tak biasa. Jalan lengang, sehingga bunyi gesekan ranting yang terhempas oleh angin yang menerpanya, begitu jelas.
Sarah sepertinya menikmati pagi itu. Udara segar dihirupnya dan jalan yang lapang dirasakan. Dari kejauhan, ia melihat beberapa pemuda berdiri di pinggir jalan. Ia terus melangkah dan tak peduli pada mereka.
Setelah dekat dengan para pemuda yang berada di pinggir jalan itu, Sarah mengenali mereka, salah satunya adalah Tam. Sarah berpikir mengapa pagi-pagi mereka bergerombol di pinggir jalan.
"Hai Sarah," sapa Tam.
Mendapat sapaan itu, Sarah tersenyum dan menjawab baik. "Hai juga Tam."
"Mau ke mana?" Tam kembali bertanya.
"Pasar," jawab Sarah dengan singkat.
Mendapat jawaban seperti itu, entah mengapa para pemuda itu membuntuti Sarah. Sarah pun menjadi risih. Namun ia berusaha untuk tidak peduli.
"Sarah kapan kita bisa jalan-jalan," Tam melontarkan ajakan padanya. Sambil berjalan lurus ke depan, Sarah menjawab, "maaf tak ada waktu."
"Memang kenapa kok tak ada waktu," Tam sepertinya tak puas dengan jawaban itu.
Sarah diam dan tak mau menanggapi. Merasa tak direspon, Tam menjadi berang. Ia pun mengumpat, "hai cewek pelarian."
"Kamu mau lari ke Indonesia lagi ya."
Diumpat seperti itu, Sarah tidak mau menanggapi. Ia tetap mengayunkan kakinya menuju ke pasar. Tam yang umpatannya tak direspon, akhirnya malah menjadi-jadi.
"Bodoh banget mau ke negara yang membunuh kakakmu," ujar Tam dengan nada tinggi.
Dilecehkan yang demikian, membuat Sarah tersinggung. Ia membalikan muka dan mengatakan, "Hai kalau ngomong yang sopan."
Tahu umpatannya direspon, Tam dan pemuda lainnya tertawa terbahak-bahak sebab hal itu dirasa bisa memancing perhatian Sarah. Dan ketika Sarah marah, kecantikannya bertambah. "Kamu marah?" tanya Tam sambil cekakan.
"Marahlah terus karena kalau kamu marah tambah cantik."
Mendengar apa yang dikatakan Tam, pemuda-pemuda itu tertawa terbahak-bahak. Sarah menatap semua pemuda itu. Melihat tatapan mata Sarah yang demikian, beberapa pemuda langsung menundukkan kepala namun tidak bagi Tam. Ia sepertinya menantang tatapan mata itu.
"Mau kamu apa?" tanya Sarah dengan tegas pada Tam yang berdiri di depannya.
"Mau aku, kamu jadi istriku," jawab Tam.
Mendapat jawaban itu, Sarah menatap tajam dan langsung membalas jawaban itu, "kamu cari saja perempuan yang ada di sini."
"Saya sudah ada yang punya."
"Laki-laki yang baik dan bukan berandal seperti kamu."
Mendengar saran dari Sarah agar dirinya mencari perempuan yang lain membuat Tam menjadi patah hati sehingga perasaannya menjadi panas. Tam maju ke depannya dan berusaha mencolek muka Sarah. Usaha itu sia-sia sebab gadis yang berada di depannya itu menepis.
***
      Di tengah asyiknya berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia, tiba-tiba perasaan tidak enak muncul pada diri Ribo. Modem sebagai alat sambung elektronik tiba-tiba putus sehingga komunikasi yang sudah dilakukan terhenti. Ribo langsung mengeluh.
      Dicobanya untuk menyambungkan kembali modemnya. Upaya itu tidak membuahkan hasil. Dipegangnya laptop itu terasa panas, "apa terlalu panas penyebabnya?" gumamnya dalam hati. "Sejak tadi kan sudah panas," pertanyaan dalam gumamannya itu dijawabnya sendiri.
      Tiba-tiba ia ingat pada Sarah. Kekasihnya itu hilang dalam ingatan saat dirinya asyik berkomunikasi dengan saudaranya di Indonesia. "Sarah..." ujarnya dengan lirih. Ribo sadar dirinya sebentar lagi akan meminang Sarah dan akan membawanya ke Jawa. Ribo pun sadar dirinya diberi wasiat oleh Nguyen Van Manh untuk menjaga Sarah.
      Ingatan itu membuat dirinya langsung tersigap. Dirinya tidak mau ada apa-apa dengan Sarah. Angan-angan Ribo melayang pada kisah Dipo dan Tinh yang saling mencintai dan sepakat untuk menikah dan tinggal di Jawa namun rencana itu hancur setelah Tinh diperkosa oleh para pemuda berandal. Masalahnya tidak berhenti di situ. Tinh yang sudah merasa tidak berharga akhirnya memilih bunuh diri dan Dipo yang kecewa ditinggal Tinh untuk selamanya, akhirnya menjadi gila.
      Ribo langsung bergegas menyusul Sarah ke pasar. Ia tidak berjalan namun berlari. Panas yang menerpa tak ia hiraukan, perasaan yang tak enak membuat larinya seperti orang dikejar setan.
***
Ketika tangannya yang hendak mencolek muka Sarah berhasil ditepis, emosi Tam meluap. Ia terus berusaha mencoleknya, Sarah pun melakukan perlawanan. Niat mencolek Sarah berubah menjadi lebih, Tam ingin memeluknya dan menciumnya. Tak heran bila gerakan Tam maju ke depan dan seperti hendak menyeruduk.
Merasa dirinya tak aman, Sarah mundur beberapa langkah dan selanjutnya lari. Melihat gadis itu lari, Tam berteriak, "kejar dia, kejar dia." Serta merta beberapa pemuda itu mengejarnya. Sebab langkah Sarah tak selebar dan secepat para pemuda itu, maka Sarah pun berhasil dijamah. Rambutnya yang panjang ditarik hingga dirinya terjatuh.
Sarah yang jatuh, langsung ditarik ke pinggir jalan. Dalam posisi seperti itu, Sarah berteriak minta tolong, "tolong, tolong, tolong." Teriakan itu dilakukan untuk memancing perhatian orang. Teriakan itu sepertinya menjadi hampa sebab jalan yang biasanya ramai, hari itu sepi dan lengang.
Sarah terus ditarik hingga pinggir jalan, pakaian yang membalut tubuhnya bagian punggungnya sobek karena bergesekan dengan tanah kasar bercampur batu. Ia mencoba menahan tarikan itu dengan memegang tanah atau bebatuan yang berada di kanan kirinya. Ups, sebuah batu berukuran sedang bisa digunakan untuk menahan tarikan beberapa pemuda berangas itu namun tarikan itu sangat kuat sehingga batu itu tercerabut dari tanah. Batu yang tercerabut dari tanah itu beralih digenggamannya. Secara sadar Sarah menggunakan batu itu untuk menghalau pemuda berangas. Dilemparkan batu itu, "wussss...."
"Blakkkk..." Terdengar benturan antar batu dengan kepala salah seorang pemuda.
      "Aduuhhhh..." Teriak pemuda itu mengadu kesakitan.
Pemuda yang tertimpuk batu itu melepas tarikan, di saat tarikan yang menyeret tubuhnya tidak sekuat sebelumnya, Sarah terus berontak. Meski tarikan itu tak sekuat sebelumnya namun secara tak sadar Sarah sudah berada di semak-semak.
Sadar jiwanya terancam, ia terus berteriak minta tolong sambil melawan sebisanya. Teriakan Sarah itu terdengar sangat keras sehingga para pemuda membekap mulutnya. Setelah Sarah bisa dikendalikan, dengan dibekap dan dipegangi tangan serta kakinya, membuat posisinya terlentang, Â Tam menghampiri.
Dengan berjongkok menghadap muka Sarah, Tam tersenyum, "kamu akan kuhamili dan aku akan menikahimu."
"Tidak mau, tidak mau," teriak Sarah histeris.
Tam tidak peduli dengan teriak itu dan ia berdiri dan selanjutnya menggagahi. Ketika Tam sudah duduk di perut Sarah, tiba-tiba sebuah tendangan menghatam mukanya, "blaaakkkk..." Tam terjengkang dan pemuda yang membekapnya itu langsung tercerai berai. Sarah pun langsung bangun dari posisinya dan terlihat Ribo berada di sampingnya.
"Kak.....," seru Sarah.
Ribo langsung menggandeng Sarah dan berlari meninggalkan semak-semak itu. Melihat Sarah lari diselamatkan Ribo, Tam yang selepas kena tendangan itu langsung berteriak, "kejar...." Beberapa pemuda itu langsung memburu Sarah dan Ribo. Sarah dan Ribo pun terus berlari menyusuri jalan itu menuju ke tempat yang aman. Nafas terengah-engah keluar dari hidung dan mulut Sarah. Di tengah lari untuk menyelamatkan diri, terdengar suara orang mengejar. Melihat hal yang demikian, Sarah terlihat gugup dan pucat, "kak bagaimana nih," ujarnya dengan ketakutan.
"Tenang, ada kakak," ujar Ribo menenangkan kecemasan Sarah. Karena langkah Ribo lebih cepat daripada Sarah dan ketika itu Sarah digandeng Ribo maka, Sarah terjatuh. "Auuuwwww..." teriak Sarah saat dirinya terguling. Â Ribo menghentikan langkah dan segera menolong. Setelah Sarah bangun dari jatuhnya, mereka hendak berlari kembali namun beberapa pemuda itu telah mengepungnya.
"Mau ke mana kamu," teriak salah satu di antara pemuda itu.
"Tertangkap langsung kita sekap."
"Apa maumu?" balas Ribo dengan suara lantang.
Mendapat pertanyaan yang sepertinya tantangan itu, di antara pemuda itu langsung merespon dengan mengatakan, "kami hanya butuh Sarah bukan kamu."
"Kamu akan mati di sini." Â Â
Mendengar pernyataan seperti itu Sarah merapatkan tubuhnya pada Ribo, dirinya gemetar dan cemas kalau ada apa-apa dengan keselamatannya. "Kak bagaimana nih," ujar Sarah dengan menunjukkan rasa takutnya. Mendengar kecemasan itu, Ribo diam.
"Tangkap," teriak salah satu di antara pemuda itu.
Dikeroyok beberapa pemuda itu, Ribo tidak tinggal diam. Ketika mereka menjamah tubuh Sarah, Ribo langsung bertindak, kepalan tangannya melayang ke pria itu. "Buukkk," terdengar suara benturan kepala tangan mengenai muka. Pria itu langsung terjengkang. Tahu temannya dihantam Ribo dan terjatuh, pemuda lainnya langsung kalap. Mereka secara serempak langsung mengeroyok. Tendangan, pukulan, dan serundukkan mengarah padanya. Serangan tubi-tubi itu membuat Ribo terhuyung dan jatuh. Belum puas, tendangan terus dilakukan pada tubuh dan kepala.
"Kak...." teriak Sarah cemas.
Saat tendangan hendak  mengarah ke muka, Ribo secara reflek menahan tendangan itu dan memegang kakinya. Dengan tenaga yang ada ia memlintir kaki itu, "auwww..." teriak kesakitan dan pemuda itu jatuh. Ribo segera bangun dan berdiri. Tahu, Ribo sudah berdiri. Beberapa pemuda itu pasang kuda-kuda.
Ketika mereka hendak melakukan baku hantam, entah mengapa tiba-tiba ada mobil melintas. Mobil itu mobil yang biasa untuk mengangkut barang. Terlihat di bagian belakang mobil ada puluhan babi yang ada dalam brojongan. Kalau untuk ayam namanya kurungan. Melihat mobil yang mengangkut babi melintas, beberapa pemuda itu menyelinap ke dalam semak-semak. Merasa bersalah mereka menyembunyikan diri. Mereka takut ketahuan warga. Tam yang jauh dari mereka terlihat berdiri di pinggir jalan dan tidak menyembunyikan diri ke belukar pepohonan. Seketika itu, Sarah melambaikan tangan ke mobil. Mobil itu menghampiri.
"Bapak, boleh menumpang sampai ke sana," ujarnya sambil menunjuk arah rumahnya. Sopir itu memandang wajah Sarah. Ia heran melihat muka Sarah carut marut dan bajunya terlihat ada yang sobek. "Ada apa denganmu kok penampilannya acak-acakan?" sopir itu bertanya menyelidik. Sarah tidak mau masalahnya panjang yang nanti akan menambah kerumitan. "Oh tidak apa-apa pak, tadi jatuh saat jalan," Sarah beralasan. Mendengar hal yang demikian, sopir itu tersenyum dan mempersilahkan Sarah masuk. Ribo mengikuti.
"Eh ini siapa?" tanya sopir itu saat melihat Ribo ikut masuk ke dalam mobil itu. Untuk tidak membuat kerumitan masalah, Sarah mengatakan, "ini wisatawan dari Indonesia yang berkunjung ke sini."
Mendengar kata Indonesia, sopir itu terdiam dan selanjutnya berujar, "oh Indonesia. Ayah saya dulu tinggal di Pulau Galang."
"Baiklah kalau begitu silahkan naik tapi di belakang dan saya antar sampai ke rumah."
"Hah," gumam Sarah mendengar kata yang demikian. Naik dibelakang berarti campur dengan babi-babi itu.
"Gimana kak?" tanya Sarah setelah mengetahui hal yang demikian.
"Tak apa-apa," jawab Ribo. Ribo sepertinya tak risau berada di belakang bersama babi-babi. Paling penting baginya adalah menyelamatkan Sarah.
Mobil angkut babi itu akhirnya bergerak menuju arah yang dituju. Sarah senang saat kejadian yang tragis itu ada mobil melintas sehingga bisa menyelamatkan dirinya. Sarah merasa mobil yang melintas itu sebuah pertolongan dari Tuhan sebab selama ini jarang ada polisi melewati jalan itu. Kalaupun ada polisi yang lewat jalan itu, biasanya mereka pulang selepas dinas dan terkadang mereka tak mau tahu apa yang terjadi di jalan yang dilewati.
***
Setelah Sarah dan Ribo turun dari mobil angkut babi itu, Sarah langsung mengucapkan terima kasih dan mobil itu langsung tancap gas meninggalkan mereka. Setelah mobil itu hilang ditelan tikungan, Ribo langsung menatap Sarah, "Sarah kamu tidak apa-apa?" Sarah membisu, mukanya menunjukkan trauma.
Ribo mengulangi pertanyaannya, "Sarah kamu tidak apa-apa?" Pertanyaan yang kedua kalinya itu dijawab, "syukurlah kejadian yang buruk tidak menimpaku."
"Untung kamu datang dan menyelamatkan aku."
"Entahlah apa yang terjadi bila kamu tidak datang."
"Mungkin ceritaku akan seperti kisah Kak Tinh."
"Ya Sarah, hubungan batin kita tersambung," balas Ribo dengan suara pelan.
"Aku sebelumnya merasa tidak enak sehingga aku buru-buru menyusulmu ke pasar."
"Dan dugaanku benar, kamu berada dalam keadaan gawat."
"Syukur aku bisa menyelamatkan kamu dari para berandal itu."
"Aku juga tidak mau gila seperti Dipo bila kamu ada apa-apa dengan peristiwa tadi.Â
Ribo langsung memeluk Sarah dan membisikan kalimat, "kita secepatnya meninggalkan tempat ini." Sarah mengangguk. Dalam pelukan itu, Ribo merasa ada air yang menetes di dadanya. Sepertinya Sarah tengah menangis.
Â
****
Bui melangkah menuju ke rumahnya. Sepanjang jalan yang ia lintasi, ia menundukkan kepala. Ia tidak peduli pada apa yang lewat di sampingnya. Bajunya yang lusuh bisa membuat orang lain mengira dirinya seorang gelandangan. Tak heran bila ia sering dipandangi orang-orang yang nongkrong di jalan.
Ia pulang ke Phu Quoc setelah enam bulan meninggalkan pulau itu. Sebagai anak kedua dari Nguyen Van Manh dan Thu Pham, Bui tak peduli dengan kondisi orangtuanya sehingga ketika orangtuanya meninggal, ia tidak tahu dan tak mau tahu.
Enam bulan yang lalu, Bui meninggalkan rumahnya untuk merantau ke Ho Chi Minh. Ia pergi ke ibu kota Vietnam itu sebab tak mau menjadi pengangguran di kampungnya. Untuk itu dirinya mengadu nasib di kota terbesar di Vietnam itu. Dengan bekal seadanya ia pergi dengan naik kapal laut, ferry, ke Ho Chi Minh. Jarak dari Phu Quoc ke Ho Chi Minh ditempuh dalam waktu 1 hari.
Tanpa mengetuk pintu, Bui masuk ke dalam rumah dan langsung merebahkan diri di kursi panjang yang ada di ruang tengah. Tak lama setelah merebahkan tubuhnya, terdengar suara orang mendengkur.
Mamanya, Thu Pham, yang tengah berbaring di kamar sebelah, mendengar suara yang aneh. Suara laki-laki yang sedang mendengkur. Ia berpikir itu bukan Ribo sebab Ribo bila tidur tidak pernah menimbulkan suara berisik. Pikirannya melayang, jangan-jangan suaminya. "Oh tidak, tidak mungkin," gumamnya membantah angan-angannya yang melayang jauh.
Ia bergegas menuju ke ruang tengah untuk mengetahui siapa laki-laki yang mendengur. Sesampai di ruangan itu, matanya langsung tertuju pada laki-laki yang membujur di atas kursi panjang itu. "Oh Bui datang," ujarnya dengan datar.
Dihampiri anaknya yang kedua itu dan diguncang-guncang tubuhnya, "bangun, bangun, bangun." Meski sudah diguncang-guncang namun Bui tetap terlelap. Guncangan diperkeras hingga Bui jatuh dari kursi panjang itu. Gelapan saat tubuhnya terjerembab di lantai mester.
Dikucek matanya. Setelah matanya membuka, sosok mamanya berada di depannya, "ngapain sih ma. Orang lagi tidur dibangunkan," ujar Bui dengan nada jengkel.
"Heh kamu anak durhaka," kata mamanya dengan nada tinggi.
"Papa meninggal tidak datang. Kelayapan tak jelas."
"Datang-datang tak permisi, langsung mendengkur. Dasar anak kurang ajar."
Diomelin mamanya, sepertinya Bui tak menghiraukan. Matanya terpejam seperti orang yang sedang tidur. Merasa tak dipedulikan, Thu Pham melangkah menuju ke ke belakang rumah. Selang beberapa menit, ia masuk ke dalam dan membawa ember berisi air. Tepat di depan Bui, ember itu langsung ditumpahkan ke kepala anaknya itu, "byuuurrrrr....."
Seketika Bui langsung gelapan dan mengatakan, "apa-apan sih ma..."
"Itu hukuman bagi anak yang tak peduli pada orangtua," balas mamanya dengan nada sengit. Â
   Â
****
Kapal yang mempunyai panjang 10 meter dan lebar 4 meter itu telah melepaskan tambatannya. Lepas tambatan membuat kapal itu terdorong oleh angin dan ombak menjauhi sebuah pelabuhan tradisional di Vietnam bagian selatan. Setelah mengapung bebas di lautan, nahkoda menghidupkan mesin kapal. Deru mesin kapal menggetarkan badan kapal yang terbuat dari kayu itu.
Dengan posisi mengarah ke selatan, kapal itu bergerak memecah ketenangan permukaan air laut. Kapal bercat hijau diselingi warna merah itu adalah kapal nelayan tradisional. Mereka biasa mencari ikan di laut lepas, Laut China Selatan. Di atas kapal itu ada 8 orang, selain nahkoda dan kaptain kapal, yang lain adalah para anak buah kapal (ABK). Salah satu ABK itu adalah Bui.
Bui bisa bekerja pada perusahaan penangkapan ikan itu saat dirinya luntang-lantung di tepi Sungai Saigon. Ketika duduk di sebuah batu yang teronggok, dirinya didatangi seseorang. "Mengapa di saat orang bekerja kamu duduk-duduk?" tanya orang itu. Mendapat pertanyaan itu, Bui langsung menjawab, "saya menganggur pak. Makanya saya pergi ke Ho Chi Minh dari kampung untuk mencari kerja."
Mendengar apa yang dikatakan Bui, orang itu menjadi tertarik untuk bertanya lebih lanjut. "Kamu lulusan sekolah apa?"
"Saya hanya lulusan SMP pak," ujar Bui.
"Sekolah saya tidak jelas karena saya dibesarkan di Pulau Galang, Indonesia."
Ketika mengetahui Bui lulusan SMP dan dibesarkan di Pulau Galang, orang itu sumringah. "Wah kebetulan nih," ucapnya dengan tersenyum.
"Kamu mau bekerja sama saya?"
Bui tersentak saat orang itu menawarkan pekerjaan padanya, "kerja apa pak?"
Orang itu tersenyum saat Bui merespon tawarannya, "Jadi ABK di kapal penangkap ikan."
"Pekerjaan tidak sulit yang penting mau berbulan-bulan di laut."
"Soal makan dan minum di kapal jangan khawatir."
"Gajinya lumayan buat kamu." Â Â
"Kalau kamu mau, ya sudah besok mulai melaut."
Bui terdiam. Ia sepertinya berpikir menerima tawaran itu, diterima atau ditolak. Kalau ditolak ia akan menjadi gelandangan namun bila diterima ia akan menghabiskan waktunya di laut. Ketika ingatannya tentang laut muncul dalam pikirannya, ia teringat dirinya bisa bertahan berhari-hari dengan bekal seadanya. Hal itu terjadi saat ia masih kecil ketika menyelamatkan diri saat terjadi perang saudara di Vietnam. Dengan pengalaman itu, menghabiskan waktu di laut bagi Bui bukan suatu hal yang baru.
"Ya pak saya terima tawaran itu," ujar Bui dengan mantap.
"Baguslah kalau begitu," ujar orang itu.
***
Kapal itu bergerak terus ke arah selatan. Sambil melaju, para ABK menebar pair trawl. Setelah pair trawl melayang di dalam laut, pair trawl diseret oleh kapal untuk menjaring ikan-ikan. Setelah sekian mil kapal itu mengarungi lautan, alat tangkap ikan berjejaring itu ditarik oleh para ABK. Menarik pair trawl meski dibantu dengan alat pengait bermesin namun tenaga para ABK tetap diperlukan. Berat rasanya sehingga saat menarik pair trawl memerlukan energi yang sangat besar.
Saat alat tangkap itu sudah menyentuh bagian belakang kapal, terlihat di dalamnya ratusan ikan dengan berbagai jenis bergelimpangan. Mereka meloncat-loncat seolah-olah ingin kembali ke laut. Bau amis dan asin mulai menebar di kapal seiring dengan hadirnya ikan-ikan itu.
Ditarik terus pair trawl itu hingga akhirnya berada di atas kapal. Selanjutnya pair trawl itu ditumpahkan, ikan yang berada di dalamnya mengguyur ruangan tengah kapal. Ratusan ikan itu memenuhi tempat. Melihat hal yang demikian sebagaian ABK langsung memindahkan ikan-ikan itu ke dalam kotak es. Dimasukkan ke dalam kota es agar ikan tetap segar.
"Cepat, cepat, cepat," kaptain kapal menyuruh kepada para ABK agar lebih mempercepat memasukkan ikan ke dalam kotak es. "Bui, lebih dipercepat lagi," ujar kaptain itu setelah melihat Bui ogah-ogahan. Akhirnya, semua ikan itu berhasil masuk ke dalam kotak es.
***
Menjelang malam, pencarian ikan dihentikan. Di saat itu, para ABK menggunakan waktunya untuk beristirahat. Langit bertabur bintang, angin sepoi berhembus, waktu yang nyaman digunakan Bui untuk merenung. Di ujung kapal bagian depan, Bui duduk sendiri. Dengan rokok jatah yang diberikan, ia membakar batang perbatang. Dihisap kuat-kuat setiap batang rokok yang terbakar itu setiap masuk ke dalam mulutnya. Dihembuskan hisapan itu sehingga membentuk sebuah cincin asap.
Saat melihat kecipak ikan yang berada di bawah, dirinya teringat masa kecilnya bersama warga kampung lainnya mengarungi Laut China Selatan. Rasa pahit dan getir mereka rasakan saat terombang-ambing di laut tanpa bekal yang cukup. Siapa yang kuatlah yang bisa bertahan hidup.
Di saat Bui melamun pada masa lalunya, tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh salah satu ABK yang lain. "Hai," ujarnya. Tepukan itu mengagetkan dirinya. Ia menoleh, "bikin kaget saja," ujar Bui dengan ketus. "Maaf kalau sudah bikin tak nyaman," balas salah satu ABK itu.
"Gimana senang kerja di sini?" tanya ABK yang berada di sampingnya  itu.
Bui tak menjawab. Ia diam dan lebih menikmati rokok yang berada dalam jepitan tangannya itu. ABK yang berada di sampingnya itu juga tak peduli saat Bui tak menjawab pertanyaannya.
"Besok kita sepertinya sudah memasuki perairan Indonesia," ujar ABK yang berada di sampingnya itu.
"Mudah-mudahan aman dan tak ada halangan."
Keterangan itu, memancing perhatian Bui. Apa yang dikatakan itu menunjukkan kapal sudah berlayar jauh.
"Indonesia," gumam Bui.
"Memang kenapa kalau memasuki perairan Indonesia?" Bui mulai merespon ungkapan-ungkapan ABK yang berada di sampingnya itu. ABK itu tersenyum saat Bui menanyakan apa yang terjadi bila memasuki perairan Indonesia.
"Lihat saja saat kita berada di sana."
"Mudah-mudahan tak terjadi apa-apa."
"Memang ada badai atau gelombang tinggi?" Bui bertanya sambil keheranan.
"Atau seperti memasuki Segitiga Bermuda?"
"Lihat saja besok," ujar ABK itu sambil mengeloyor pergi meninggakan Bui sendirian.
***
Selepas pagi, para ABK menebar pair trawl. Tambang yang panjang dijulurkan sejauh mungkin. Semakin jauh pair trawl ditebar dengan harapan ikan yang terperangkap semakin melimpah. Kapal yang menebar alat tangkap ikan itu terus melaju. Suara mesin yang menderu menunjukkan kapal dalam kecepatan tinggi.
Setelah pair trawl terjulur jauh, para ABK menunggu sampai ada komando untuk menariknya. Di bawah terik matahari yang memanggang semua yang ada di kapal itu, seluruh ABK memandang jauh ke arah pair trawl ditebar.
Di saat mereka konsentrasi menunggu perintah selanjutnya, tiba-tiba ada yang melihat sebuah kapal perang berwarna abu-abu, Kapal Perang Republik Indonesia (KRI), yang tengah melintas. Melihat hal yang demikian, ia langsung berteriak, "KRI, KRI, KRI."
Teriakan itu membuat panik semuanya. Mereka ada yang secara reflek lari, ada pula yang berjalan mundur, namun ada pula yang tetap bertahan meski dengan sikap pasrah. Rupanya KRI itu mengarah ke posisi kapal. Dengan perkasa KRI menuju ke posisi kapal itu. Kedatangannya menimbulkan gelombang sehingga membuat kapal itu terombang-ambing, naik-turun dengan kuat. Nahkoda tidak melarikan kapal itu sebab bila melarikan diri selain akan dikejar juga akan diberi tembakan peringatan.
Tak lama KRI penjaga wilayah perairan Indonesia itu untuk mendekat. Moncong KRI pun ditabrakkan pada badan kapal itu. Sekali sodok, kapal itu bergeser beberapa meter. Sodokan itu begitu kuat sehingga orang yang berada di atas kapal terhuyung-huyung. Sodokan itu untuk memberi peringatan pertama pada kesalahan mereka yang masuk perairan Indonesia tanpa ijin.
Terus dipepet kapal itu oleh KRI. Dari pengeras suara KRI, terdengar, "kami dari TNIAL penjaga perairan Indonesia memeriksa setiap kapal asing yang masuk wilayah Indonesia tanpa ijin."
"Anda telah memasuki perairan Natuna. Ini wilayah Indonesia."
"Untuk mengecek ijin kapal anda maka kami akan memeriksanya."
Setelah pengumuman itu, beberapa pelaut dari KRI memasuki kapal itu. Pelaut melihat bahwa kapal yang ditangkap adalah kapal penangkap ikan dari Vietnam. Pelaut menemui kaptain kapal. Kaptain kapal tanpa disuruh membawa dokumen dan memperlihatkan dokumen kapal. Dokumen itu selanjutnya diserahkan kepada pelaut dan oleh pelaut dibawa menghadap ke komandan KRI.
Di atas KRI, terlihat komandan kapal memeriksa dokumen kapal Vietnam itu. Dirasa ada yang tak beres, komandan kapal itu memerintahkan kepada beberapa pelaut untuk mengikat perahu itu dengan tambang besar. Setelah diikat kuat, terdengar suara dari pengeras, "kapal anda kami tarik ke pangkalan terdekat untuk pemeriksaan lebih lanjut."
Mendengar suara itu, para awak yang berada di kapal semuanya pasrah. Mereka menunggu langkah hukum selanjutnya.
***
      Sesampai di pangkalan TNIAL terdekat, seluruh ABK, nahkoda, dan kaptain kapal digiring menuju ke daratan. Mereka ditempatkan pada sebuah ruangan khusus. Peristiwa yang demikian mengingatkan Bui puluhan tahun yang lalu saat dirinya masih kecil. Di mana ia bersama puluhan warga Vietnam yang lain juga diperlakukan serupa.
      Selanjutnya dokumen perahu itu dibahas dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dokumen diperiksa untuk diketahui apakah penangkapan ikan yang dilakukan secara legal atau ilegal.
      Beberapa hari, para ABK, nahkoda, dan kaptain kapal, menunggu hasil investigasi yang dilaksanakan. Waktu mereka dihabiskan dengan duduk-duduk dan tetiduran sehingga muncullah rasa yang membosankan.
      Beberapa bulan sudah mereka menunggu adanya kepastian hukum pada apa yang mereka lakukan. Kaptain kapal merasa bila sudah berbulan-bulan, berarti mereka dituduh melakukan ilegal fishing. Fakta hukum yang demikian membuat mereka pasrah atas sanksi apa yang akan mereka terima.
      Di sebuah hari, mereka diberi tahu bahwa kapal mereka, bersama dengan kapal yang lain akan ditenggelamkan. Kebijakan itu dilaksanakan atas kemauan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Presiden Indonesia. Mendengar pemberitahuan itu, semuanya hanya pasrah apalagi kaptain kapal.
      "Baru bekerja sudah begini," ujar Bui merenungi nasibnya. Bui tidak sedih atas rencana penenggelaman kapal itu sebab ia bukan bukan pemilik namun tindakan itu telah membuat dirinya kehilangan pekerjaan. "Nganggur lagi," Bui meratapi nasibnya.
      Di masa Presiden Joko Widodo dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi, mereka akan menindak tegas pelaku ilegal fishing. Mereka akan membakar kapal asing yang melakukan pengambilan ikan secara tak sah itu. Untuk menunjukkan ketegasan itu, kapal-kapal yang sudah ditetapkan bersalah oleh pengadilan, dibawa ke sebuah tempat untuk selanjutnya diledakkan dan ditenggelamkan.
      Pada suatu hari Bui dan ABK lainnya serta nahkoda dan kaptain perahu dibawa ke Perairan Anambas. Perairan Anambas berada di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan. Perairan itu di sebelah barat dan utara berbatasan dengan Laut China Selatan.
      Bui pada hari itu mengikuti proses penenggelaman kapalnya. Bersama 7 orang Vietnam lainnya, mereka dinaikkan sebuah kapal perang. Di perairan itu rupanya terlihat 3 kapal nelayan asing yang akan ditenggelamkan.
Bagi pemerintah Indonesia penenggelaman kapal ikan asing yang telah melakukan ilegal fishing itu bukan main-main sehingga pada hari itu, 4 KRI milik TNIAL dan satu Kapal Nusantara (KN) milik Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dikerahkan.
Di atas salah satu KRI, Bui dan rekannya dari jarak sekitar 200 meter melihat pasukan katak yang naik perahu karet bergerak menuju kapal-kapal yang hendak ditenggelamkan. Setelah tiba di salah satu kapal, mereka langsung memasang bahan peledak di tengah badan kapal. Langkah selanjutnya juga dilakukan pada kapal kedua dan ketiga. Setelah semua peledak diletakkan. Pasukan katak itu segera balik menuju KRI.
Saat semua siap, ada yang mulai menghitung mundur, ... 4... 3... 2... 1... 0. Begitu kata 0 disebut, selang seditik kemudian terdengar suara ledakan yang keras, "blaaaarrrrr..." Ledakan itu tidak hanya memekakan telinga namun juga membuat KRI yang dinaiki Bui dan rekannya yang lain bergetar.
Melihat perahunya meledak, tatapan Bui menjadi kosong dan masa depannya menjadi hampa. Hal yang sama dialami oleh rekannya yang lain. Kejadian itu membuat hati mereka luka dan menimbulkan dendam.Â
Meski sudah meledak namun kapal-kapal itu masih mengapung. Melihat hal yang demikian, dari sebuah KRI dimuntahkan peluru-peluru tajam agar badan kapal yang terbuat dari kayu robek sehingga menjadi serpihan. Muntahan peluru yang beruntun itu akhirnya membuat kapal secara perlahan dilumat oleh permukaan laut yang tenang, menuju ke dasar samudera.
Apa yang dipertontonkan kepada para ABK yang melakukan ilegal fishing itu tak di Perairan Anambas namun di perairan-perairan perbatasan lainnya bahkan juga di perairan Maluku dan Papua. Bahkan acara itu dijadikan reality show di mana penenggelaman kapal yang melakukan ilegal fishing dipimpin langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Dalam reality show yang disiarkan oleh Metro TV itu, Susi dengan gaya menantang mengatakan, "mana kapal yang lain?"
****
Sambil mengatakan, "sialan... " Gelas itu dilempar ke lantai, "pyarrrr......" Bui meluapkan amarah saat ingatan penenggelaman kapal melintas dalam otaknya. Ia jengkel bercampur marah sebab dengan tindakan itu membuat dirinya menganggur dan harus pulang ke Phu Quoc lagi.
Bekerja di perusahaan penangkapan ikan sebenarnya telah membuat dirinya mempunyai kesibukan yang berarti. Dari kesibukannya itulah membuat tidak luntang-lantung di jalanan. "Mengapa Indonesia harus menenggelamkan kapal?" ujarnya dengan menahan amarah agar tak keluar lagi. "Apakah karena kami tidak mampu menyuapnya?" Pertanyaan itu keluar dalam hatinya sebab dirinya tahu Indonesia juga negara yang termasuk korup di dunia.Â
Bui bangkit dari duduknya. Ia berjalan keluar rumah. Di halaman terlihat mamanya sedang menyiram bunga. Bui terus melangkah tak peduli pada apa yang dilakukan mamanya. Jalan di kampung itu disusuri. Sesekali orang yang melintas, yang masih ingat padanya, menyapa. Bui hanya tersenyum saat orang-orang yang mengenalnya menyapa.
Langkahnya terus mengayun hingga akhirnya ia berada di sebuah pantai. Lengang dan sepi di pantai itu. Ombak pantai sayup-sayup terdengar. Di sebuah bongkahan karang ia duduk. Laut dan langit biru serta awan putih seperti kapas ditatapnya. Sesekali perahu kayu nelayan melintas dengan suara mesin yang mendesing.
Di tengah melepaskan beban yang ada di pikiran, tiba-tiba terdengar langkah beberapa pemuda. Bui menoleh dan dilihatnya di antara pemuda itu adalah Tam. Tam adalah sahabat Bui di kampung itu. "Tam...," teriak Bui. Tam yang berada di tengah para pemuda itu mencari suara yang memanggilnya, celingak-celinguk. Setelah tahu ada Bui yang tengah duduk di onggokan karang, Tam tersentak dan langsung berteriak, "hai Bui...."
Tam bergegas menuju Bui berada. "Ke mana saja kamu," ujar Tam sambil menjabat tangannya. Bui hanya tersenyum saat ditanya kabar. "Habis dari Ho Chi Minh ya?" Tam memancing pertanyaan pada Bui mengapa dalam beberapa bulan ini tak terlihat. Bui tersenyum kembali.
"Ya begini nasibku Tam," Bui mulai merespon pertanyaan-pertanyaan itu.
"Maunya mengubah nasib tapi akhirnya juga balik kampung."
"Maksudmu?" Tam tidak tahu apa yang dikatakan itu.
Bui pun menceritakan kisah hidupnya mulai dari merantau ke kota hingga bertemu dengan seseorang. Seseorang itu menawari kerja di perusahaan penangkapan ikan. Dirinya akhirnya menjadi ABK. Bui terus melanjutkan ceritanya, "namun semuanya sirna saat kapal kami ditenggelamkan oleh pemerintah Indonesia dengan tuduhan melakukan ilegal fishing."
"Begitulah nasibku Tam hingga akhirnya aku sekarang berada di depan matamu."
"Sekarang aku seperti dulu lagi, luntang-lantung di kampung ini."
"Indonesia lagi, Indonesia lagi," Tam menimpali ungkapan Bui dengan nada jengkel.
"Mengapa kamu jengkel pada Indonesia?" tanya Bui.
"Kamu kan tidak ada urusan dengan Indonesia."
Tam tersenyum kecut mendengar apa yang disampaikan itu.
"Hai Bui dengar ya," Tam sepertinya hendak menjelaskan sesuatu pada Bui.
"Bagaimana kita tidak jengkel dengan Indonesia sebab negara itu telah semena-mena kepada orang Vietnam."
"Mentang-mentang negara kita lemah mereka seenaknya pada kita."
"Maksudmu?" Bui heran dengan ungkapan itu.
"Lihat saja kakakmu dihukum mati oleh pemerintah Indonesia, kapalmu ditenggelamkan oleh pemerintah Indonesia."
"Dan....." Â Tam menghentikan ucapannya.
"Dan adikmu mau menikah dengan orang Indonesia."
Bui terperanjat mendengar apa yang dikatakan itu.
"Hah benar itu?" tanya Bui.
"Benar kakakku dihukum mati?"
"Ya benar, katanya melakukan peredaran heroin," jawab Tam.
Mendengar jawaban itu, Bui membisu dan tak mengeluarkan sepatah katapun.
"Terus benar adikku mau menikah dengan orang Indonesia?" Bui kembali bertanya.
"Iya, benar," jawab Tam.
"Padahal...." Tam kembali tak melanjutkan ucapannya.
"Padahal aku ingin meminangnya." Tam berterus terang pada Bui.
"Sialan," ujar Bui.
"Benar katamu, Indonesia sepertinya semena-mena kepada kita."
"Sebab negara kita lemah membuat mereka seenaknya pada kita."
"Ok kapal kita melakukan ilegal fishing dan ditenggelamkan tapi kapal-kapal dari China yang melakukan ilegal fishing kok tidak ditenggelamkan."
"Mereka tidak berani pada China." Â Â
"Kapal kami ditenggelamkan karena kapal kecil dan terbuat dari kayu."
"Tapi kalau kapal besar seukuran gajah tidak ditenggelamkan."
"Ini tidak adil!"
Bongkahan kayu yang ada di depan Bui pun ditendang, "blakkkkk..."
Melihat hal yang demikian, Tam dan beberapa pemuda yang lain terperanjat.
"Kita harus membuat perhitungan!!" Ujar Bui dengan kalap.
"Tak akan kuijinkan Sarah menikah dengan pemuda Indonesia itu."
Mendengar apa yang dikatakan itu, Tam langsung girang. Dengan demikian, dirinya bisa melamar Sarah. Tam tahu Bui kalap dan terpancing atas omongannya mengenai Indonesia. Tam akan terus memprovokasi Bui. Itu dilakukan agar pernikahan Sarah dengan Ribo batal. Dari sinilah keinginannya itu akan tergapai.
"Terus apa yang harus kita lakukan?" Bui bertanya pada Tam.
Mendengar pertanyaan itu, Tam merasa senang. Ia akan menggunakan kebodohan Bui untuk kepentingannya. "Kita usir dia dari sini," jawab Tam.
Mendengar apa yang dikatakan itu, mata Bui menyorot tajam, mukanya mengeras seperti karang yang dihantam ombak. Nafasnya menderu laksana gelombang besar yang menghantam daratan.
"Ya kita usir pemuda Indonesia itu dari sini!" teriak Bui.
"Saya meminta tolong pada kamu-kamu untuk ikut mencari pemuda itu," kata Bui sambil menunjuk pemuda-pemuda yang berada di depannya.
Tahu rencananya berhasil, Tam senang dan ia tanpa disuruh pun akan membantu mencari Ribo dan akan ikut mengusir bahkan kalau perlu melukainya. Tanpa banyak cakap lagi, mereka pun segera meninggalkan pantai itu.
Ombak menggelegar, sorot matahari memanas, dan butir-butir pasir di laut menyergap terhempas oleh dorongan angin yang bertiup kencang saat mereka tak berada lagi di pantai.
***
      Di sebuah bukit yang menghadap ke pantai, Sarah dan Ribo duduk di sebuah batang kayu besar yang melintang. Dari bukit itu luas samudera membentang di mata mereka. Laut biru terlihat begitu tenang. Dari kejauhan perahu-perahu kayu lalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Layar terkembang pada perahu yang beraneka warna seperti pelangi yang memancarkan warna yang serasi.
      Rerindangan daun dari pepohonan, angin menghembus dari daun-daun yang mengibaskan helainya, menambah sedap dan sejuk suasana di bukit itu. Kelebat burung yang hinggap dari dahan ke dahan, membuat Sarah dan Ribo tahan berlama-lama menikmati harinya.
"Sarah," Ribo memanggil kekasihnya itu dengan suara yang lembut.
"Sebentar lagi kita akan meninggalkan Phu Quoc."
"Meninggalkan Phu Quoc berarti kamu menjadi milikku untuk selama-lamanya."
"Kamu sudah siap Sarah?"
Mendengar ungkapan itu, Sarah menatap tajam wajah Ribo. Matanya bening terlihat dengan jelas, bibirnya mungil tertoreh, dan pipinya yang kemerah-merahan terpoles.
"Kak...." ucap Sarah dengan suara yang lembut.
"Kita sejak lama sudah berhubungan."
"Dan sejak lama kita sudah saling mengucapkan untuk setia."
"Papa juga sudah menitipkan Sarah pada kakak."
"Jadi kakak tak perlu meragukan lagi kesiapan Sarah untuk dibawa ke mana saja."
"Saya yakin hidup bersama kakak akan bahagia."
Mendengar apa yang dikatakan itu, Ribo benar-benar terharu. Digenggam tangan Sarah dengan lembut. Dibelai rambutnya yang terurai panjang dan sesekali disentuh pipinya yang halus.
"Kakak tambah sayang dengan Sarah."
"Kalau seperti itu kita secepatnya melakukan pernikahan secara resmi di Phu Quoc.'
"Kalau sudah ada surat nikah, pernikahan di Jawa akan lebih mudah."
 Apa yang dikatakan Ribo itu langsung direspon oleh Sarah, "iya kak secepatnya memang begitu."
"Sarah sudah ingin sekali tinggal di Jawa."
Di tengah asyik kedua insan manusia itu memadu janji, tiba-tiba terdengar suara teriakan, "Sarah......!" Sarah dan Ribo pun menoleh ke arah teriakan itu. Sarah tersentak begitu melihat di depannya ada kakaknya, Bui, bersama Tam dan beberapa pemuda lainnya. Ribo juga kaget sebab pemuda yang berada di depan mereka adalah mereka yang pernah hendak melakukan tindakan rudapaksa pada Sarah.
Tahu kakaknya berada di tempat itu, Sarah tidak khawatir dengan kehadiran Tam dan pemuda lainnya namun dirinya heran mengapa kakaknya bersama para berandal itu. Sarah dengan langkah berani melangkah mendekati kakaknya.
"Ada apa Kak Bui bersama para berandal ini," ujarnya dengan suara ketus.
Mendengar kata berandal, Tam dan beberapa pemuda itu wajahnya menjadi mengeras seperti habis terpukul.
"Mengapa kamu bersama pemuda itu," ujar Bui dengan suara meninggi sambil menunjuk Ribo yang tak jauh dari dirinya.
"Saya ingin pemuda itu pergi dari sini."
"Negaranya sudah banyak membikin kita sengsara."
Mendengar apa yang dikatakan itu, Sarah tersenyum dan langsung mengatakan, "Tanpa Kak Bui suruh, pemuda ini secepatnya akan pergi."
"Sarah dan Kak Ribo secepatnya akan pergi meninggalkan Phu Quoc ke Jawa, Indonesia."
"Mengapa bertahan di sini kalau ada berandal-berandal yang ada di kanan kiri Kak Bui."
"Papa sudah berwasiat menitipkan Sarah pada Kak Ribo."
"Sarah hendak menikah sama Kak Ribo."
Mendengar semua perkataan itu, Tam menjadi panas hatinya. Hatinya yang mengeras menjadi patah. Apa yang dikatakan Sarah itu seolah-olah memutuskan semua harapan sebab dengan blak-blakan Sarah mengatakan akan menikah dengan pemuda Indonesia itu dan pergi meninggalkan Phu Quoc.
Mendengar apa yang dikatakan itu, Bui mematung. Sepertinya ia bisa menerima apa yang dikatakan adiknya itu. Tiba-tiba angan-angan Bui melayang pada masa lalunya. Di Pulau Galang, Bui mengasuh adiknya yang masih kecil itu bermain di sebuah lapangan. Kedua orangtuanya tengah bekerja di ladang.
Di saat Bui mengasuh adiknya itu, tiba-tiba ada seorang pemuda yang mendekat padanya. "Hai adik manis, namanya siapa?" ujar pemuda itu. Dengan malu-malu dan sedikit takut, Bui mengatakan, "nama saya Bui." Pemuda itu tersenyum manis. "Nah kalau adiknya ini namanya siapa?" pemuda itu kembali bertanya. "Sarah," jawab Bui dengan lugu.
"Wowwww nama yang manis," ujar pemuda itu. Tak lama kemudian pemuda itu memberi dua potong coklat. "Ini buat adik-adik ya," ujarnya sambil menyodorkan dua batang coklat itu. "Terima kasih kak," ujar Bui sambil menerima coklat itu. Dirasa pemuda itu baik dan ramah, Bui mulai berani bertanya pada pemuda itu.
"Kakak namanya siapa?"
Mendapat pertanyaan itu, pemuda itu langsung menjawab, "Kak Dipo."
"O Kak Dipo ya," Bui tersenyum mendapat jawaban itu.
"Kemarin saat mama menyebut nama Kak Dipo di depan Kak Tinh. Kak Tinh langsung tersenyum."
Mendengar ungkapan polos dan lugu dari anak itu, Kak Dipo tersenyum riang.
"Sudah ya dik, kapan-kapan kita bertemu lagi dan nanti kakak bawakan lagi coklat," ujar pemuda yang bernama Dipo itu sambil pergi meninggalkan Bui dan Sarah kecil. Bui ingat bahwa Kak Dipo adalah pemuda Jawa yang ingin menikahi Tinh, gadis asal Vietnam yang tinggal di kamp pengungsian namu karena ulah para berandal yang memperkosanya maka kehidupan mereka menjadi hancur semua.
Angan-angan Bui lenyap ketika Tam membisiki sesuatu padanya. Pikirannya yang mulai tenang setelah mengingat masa lalunya menjadi buyar setelah Tam memancing kembali amarahnya.
"Kak Bui tidak mau Sarah menikah dengan pemuda Indonesia itu," ujar Bui.
"Sebab negara pemuda itu sudah bikin sengsara kita."
Bui berjalan mendekat pada adiknya itu dan langsung mendekap kuat-kuat. Mendapat perlakuan yang demikian Sarah berontak. "Kak ini Sarah adikmu," teriak Sarah. Melihat kekasihnya mendapat perlakukan kasar, Ribo langsung menghampiri Sarah dan berusaha melepaskannya.
Tahu Ribo hendak menyelamatkan Sarah, Bui langsung berteriak, "ini adik saya. Jangan campuri keluarga kami."
"Tangkap pemuda itu," ujar Bui selanjutnya. Tam dan beberapa pemuda itu langsung mengeroyok Ribo. Ribo yang dikeroyok berhasil menepis segala tindakan kekerasan yang hendak dilakukan namun di antara pemuda itu ada yang membawa galah panjang. Saat Ribo menangkis tendangan dari pemuda yang lain, sebuah galang panjang membentur kepalanya dengan keras. "Blaaaakkkkk....." Hantaman itu rupanya membuat dia limbung. Kondisi yang demikian langsung dimanfaatkan oleh pemuda yang lain untuk menendangnya sehingga Ribo terjengkang.
Melihat yang demikian, Sarah histeris dan berteriak-teriak menanggil nama Ribo. Setelah Ribo berhasil diringkus, ia digelandang menuruni sebuah bukit. Sarah juga digelandang oleh kakaknya. Setelah menuruni beberapa tikungan, berhentilah mereka di sebuah bangunan yang sepertinya tak terpakai. Bangunan itu bekas villa. Awalnya villa itu digunakan untuk menginap para wisatawan yang ingin berlama-lama di bukit itu namun dalam perjalanan waktu, villa itu tidak laku sehingga bangunan itu akhirnya mangkrak.
"Kurung dia di sini dan jaga sampai saya kembali," ujar Bui.
Tam dan beberapa pemuda langsung menjebloskan ke dalam sebuah ruang sempit yang tak berjendela itu. Setelah itu dikunci. Melihat sasarannya berhasil diamankan, Bui langsung menggelandang adiknya turun. "Pulang," teriaknya di telinga Sarah.
***
"Mama...." tangis Sarah meledak saat sampai di rumah. Mamanya yang saat itu sedang di ruang tengah langsung dipeluknya. Melihat Sarah menangis, mamanya kaget. Apa yang membuat anaknya yang bungsu itu menangis. Tak lama kemudian Bui masuk ke dalam rumah. Melihat Bui datang, mamanya langsung menduga bahwa Bui-lah yang menyebabkan Sarah menangis. Tanpa tedeng aling-aling, mamanya langsung ngomel, "ini pasti gara-gara kamu ya."
"Jadi orang kerjaannya cuma bikin ribut saja."
"Dasar anak durhaka."
"Apa masalahmu dengan Sarah sehingga ia seperti ini?"
Mendengar omelan itu, Bui tak peduli. Sepertinya apa yang dikatakan itu, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Ia duduk di pojok ruangan itu.
"Mama, mama... Jadi orang mbok ya mikir," ujar Bui sambil menghisap rokok.
"Mama kan tahu Kak Tran meninggal karena siapa?"
"Saya, anakmu ini nganggur karena siapa?"
"Papa dan mama kembali ke Vietnam karena siapa?"
"Karena Indonesia kan?"
"Kalau sudah begitu mengapa mama kasih ijin Sarah menikah dengan orang Indonesia."
      Mendengar apa yang dikatakan itu, perempuan yang sudah tua itu menghela nafas dalam-dalam. Ia meresapi semua ungkapan. Ucapan Bui itu bisa jadi benar namun semua hal tak terjadi kalau tidak dikarenakan sebuah sebab.
      "Apa yang kamu katakan itu benar nak," ujar mama.
"Namun kalau kita tidak melakukan kesalahan tentu semua hal tadi tak akan terjadi."
"Jangan salahkan Indonesia."
"Negara kita saja juga diam ketika orang-orang Vietnam di luar negeri sedang mengalami kesusahan."
"Sekarang sudahlah, biarlah adikmu tetap bisa melakukan pernikahan dengan Ribo."
"Dia pemuda yang baik."
"Lusa di sini akan ada acara pernikahan resmi antara Sarah dengan pemuda Indonesia itu."
"Jangan bikin malu keluarga kita."
"Terus di mana Ribo?"
Mendengar pertanyaan itu, tangis Sarah meledak lebih kencang lagi.
"Mengapa kamu menangis keras sekali nak?" tanya mamanya.
Sarah menceritakan semua kejadian yang dialami. Mendengar kejadian itu, mamanya langsung murka. "Dasar anak durhaka kamu," ujarnya sambil menunjuk muka Bui. Mamanya itu lalu menghampiri.
"Hai anak durhaka, kalau tidak kamu bebaskan pemuda Indonesia itu. Akan kukutuk kamu."
Amarah mamanya itu rupanya membuat Bui takut sehingga sepertinya ia mengiyakan apa yang diinginkan. "Ya ma saya akan bebaskan pemuda Indonesia itu," ujarnya dengan gemetar.
***
      Dengan tergopoh-gopoh, Bui berjalan menuju tempat di mana Ribo disekap. Begitu tiba di villa mangkrak, terlihat Tam dan beberapa pemuda tengah duduk-duduk. Bahkan mereka ada yang meneguk minuman keras. Tahu Bui datang, Tam langsung tersenyum dan menyambutnya.
      "Gimana ada perkembangan dengan Sarah?" tanya Tam pada Bui yang berada di depannya. Mendengar hal yang demikian, Bui diam. Suasana hening, hanya terdengar suara dahan bergesekan karena tertiup angin.
      "Tam sebaiknya pemuda itu kita bebaskan saja," ujar Bui.
      "Bukan salahnya dalam urusan kita."
Mendengar hal yang demikian, Tam tertawa terkekeh-kekeh. Tam tahu kalau Bui adalah laki-laki yang takut pada mamanya. Sehingga ia meledek.
"Takut sama mama ya?' ledek Tam.
"Dasar anak mama."
Apa yang dikatakan Tam itu didengar oleh yang lain sehingga kecuali Bui semuanya tertawa. Tahu dirinya dilecehkan, darah Bui mendidih. "Apa yang kamu tertawakan?" teriaknya. Bui marah semuanya tersentak namun Tam bisa mengendalikan keadaan. Ia memberi kode pada para pemuda itu.
"Sekarang bebaskan pemuda Indonesia itu!" ujar Bui dengan suara keras.
"Tidak bisa," balas Tam.
"Pemudai Indonesia itu sudah menjadi milikku.'
"Bisa dibebaskan namun harus ditukar dengan adikmu, Sarah."
Pernyataan Tam itu rupanya memancing Bui untuk bertindak kasar. Ia langsung melayangkan sebuah kepalan tangan pada Tam. Sebab sudah sigap maka Tam bisa berkelit sehingga kepalan tangan itu hanya melayang. Melihat ada perkelahian, beberapa pemuda yang sejak tadi duduk-duduk langsung bangkit dan mengeroyok Bui. Akibatnya perkelahian itu tak imbang. Meski Bui sudah mengeluarkan berbagai jurus namun apa yang dilakukan itu berhasil ditepis oleh para pemuda pengeroyok. Di saat lengah, tiba-tiba balok kayu membentur kepala Bui. "Blakkkkk...." Benturan keras itu membuat Bui sempoyongan. Seketika itu tendangan keras dilancarkan oleh Tam mengenai perutnya, "buukkkk..... " Bui langsung roboh. "Ringkus," ujar Tam dengan nada tinggi.
Beberapa pemuda itu bergegas dan langsung meringkusnya. "Jebloskan ke ruang di sebelah yang sempit itu," Tam menyuruh beberapa pemuda itu untuk memasukkan Bui ke ruang yang berada di sebelah ruang Ribo disekap.
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
  Â
Â
Â
Â
Â
****
Sarah gundah gulana sebab kakaknya belum kembali. Ia berjalan hilir mudik di ruang tengah rumahnya. Perasaannya tidak enak, mengapa kakaknya belum kembali. Bila belum kembali maka nasib Ribo juga belum jelas. "Ada apa ya Kak Bui belum datang," ujarnya lirih dengan wajah kebingungan.
"Mama," Sarah memanggil orangtuanya.
Mamanya yang berada di belakang segera menuju ke ruang tengah begitu anaknya memanggil. Ia segera merespon panggilan itu sebab tahu Sarah dalam kondisi yang sulit. "Mama ini bagaimana, Kak Bui belum datang," ujarnya dengan nada merengek. Melihat hal yang demikian, wajah mamanya juga terlihat menunjukkan kebingungan.
"Apa kita lapor polisi saja ya nak?" mamanya menganjurkan masalah itu dilaporkan ke polisi. Mendengar ungkapan itu, wajah Sarah nampak kesal. "Nanti tambah ribet," ujarnya.
"Paling laporan itu hanya ditampung, tidak ditanggapi."
"Sudahlah ma, biar Sarah tangani sendiri."
"Maksudmu?" mamanya bertanya dengan apa yang dikatakan Sarah akan menangani sendiri.
"Aku saya datangi tempat itu," ujar Sarah dengan tegas.
"Jangan Sarah, itu berbahaya bagi kamu," mamanya langsung merespon apa yang dikatakan anaknya itu.
"Percayalah ma, Sarah bisa menjaga diri," balas Sarah dengan yakin.
Tanpa berpanjang lebar, Sarah ganti baju. Celana jeans dan kaos berwarnah merah dikenakan."Sudah ya ma, Sarah pergi dulu," katanya dengan nada yang tegas.
"Sarah...." ucap mamanya dengan datar saat melihat anaknya itu meninggalkan dirinya untuk mencari kabar kakak dan kekasihnya. Wajah mamanya memperlihatkan kecemasan. Ia khawatir terjadi apa-apa pada anaknya yang bungsu itu.
***
Dengan langkah mantap, Sarah menyusuri jalan perkampungan. Sebagai daerah yang masih terbilang desa maka sepanjang jalan itu penuh dengan rerimbunan pepohonan. Suasana sepi masih terasa di tempat itu bila seseorang melintasi. Sarah tak peduli dengan suasana yang tak biasa ia alami.
Setelah berjalan sekian waktu akhirnya ia berada di tempat di mana Ribo disekap. Di tempat itu terlihat sepi. Sarah heran mengapa tak ada sesosok orang pun di tempat itu. Ia bertanya dalam hati apakah Ribo dipindahkan atau dibiarkan begitu saja di villa mangkrak itu. Didekati villa mangkrak itu. Suara langkah Sarah terdengar dengan jelas di tengah suasana yang sunyi. Matanya menyorot ke setiap sudut ruangan. Saat kakinya hendak menginjakkan teras di villa mangkrak, tiba-tiba terdengar suara tawa cekakan dari tebing yang berada di belakang tempat itu. "Ha, ha, ha, ha, ha...." Tawa itu membahana dan sahut menyahut.
"Kelincinya terkena jebakan,' ujar salah satu pemuda yang berdiri di tebing itu.
"Ada perempuan di sarang penyamun," ujar yang lain.
Sarah langsung memandang kepada para pemuda yang berdiri di tebing itu. Dilihatnya satu persatu pemuda itu. Para pemuda itu terlihat bengal dengan pakaian yang lusuh dan wajahnya yang awut-awutan.
"Mencari siapa gadis manis, Bui, Ribo atau aku?" Suara itu mengagetkan Sarah yang sedang mengawasi para pemuda yang berdiri di atas tebing. Ia menoleh dan terperanjat begitu Tam berada di sampingnya. Tam tersenyum saat Sarah tahu dirinya berada di sampingnya.
Sarah menatap tajam wajah Tam. "Heh kamu laki-laki berandal, apa maumu selama ini?" tanya Sarah dengan nada yang tinggi.
 "Tolong bebaskan Kak Bui dan Kak Ribo."
Mendengar apa yang dikatakan Sarah, Tam tersenyum nakal. "Kamu suruh membebaskan Kak Bui, memang saya menangkapnya?" Tam balik bertanya.
"Halah sudah nggak perlu banyak alasan," Sarah menepis kepurapuraan Tam yang tidak tahu di mana Bui.
Tam kembali tersenyum. "Kalau kamu tahu kami menangkap Bui berarti kamu hebat dong," kata Tam.
"Terus kalau aku tidak mau membebaskan dua orang itu, apa maumu?"
Wajah Sarah menjadi kaku setelah Tam tidak secara langsung mengaku dirinya telah menyekap Bui.
"Kalau tidak mau membebaskan Kak Bui dan Kak Ribo, saya akan membuat perhitungan pada kalian," ujar Sarah.
Mendengar apa yang dikatakan itu, Tam dan pemuda yang lainnya tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba kepalan tangan Sarah mendarat di muka Tam, "plakkk..." Tam kaget mendapat pukulan itu, diraba wajahnya namun setelah itu ia tertawa terbahak-bahak, "pukulan manis," ujarnya dengan tersenyum. Sarah hendak memukulnya kembali namun kepalan tangan itu ditahan Tam, dipegangnya dan selanjutnya diplintir. Selanjutnya Sarah dibekap dari belakang.
"Apa maumu?" ujar Tam dengan nada geram.
Sarah berontak. Sayangnya usaha itu sepertinya sia-sia. Tubuh Sarah didorong menuju ke villa mangkrak itu. Begitu sampai di tempat itu, Tam membisikkan sesuatu padanya, "Di sini tak ada yang mau menolongmu."
"Aku bisa berbuat jahat padamu bila kau tak mau menuruti kemauanku."
"Aku mau, kamu menjadi istriku."
Mendengar keinginannya agar Sarah mau menjadi istri Tam. Ia langsung merespon, "tidak mau menjadi istri berandal seperti kamu."
"Lebih baik mati daripada bersama kamu."
Mendengar apa yang dikatakan itu, muka Tam langsung menjadi bengis. Dicekik mulut Sarah dengan tangannya kuat-kuat. "Aku kasih waktu kamu lima menit untuk memikirkan tawaranku. Bila tetap menolak aku akan memperkosamu," kata Tam dengan nada bengis.
"Jangankan lima menit, sekarang pun saya mengatakan tidak akan mau menjadi istrimu," teriak Sarah.
Teriakan itu membuat darah Tam mendidih, dirinya tersinggung dengan apa yang dikatakan itu. Sikap Sarah yang demikian menunjukkan Tam ditolak mentah-mentah. Tanpa panjang lebar, Tam langsung menyeret tubuh Sarah ke sebuah ruangan. Sarah menjerit-jerit diperlakukan secara kasar dan dirinya sadar, Tam akan melakukan tindakan bejat padanya.
Jeritan Sarah itu rupanya didengar oleh Bui dan Ribo sehingga dari dua kamar itu terdengar teriakan, "Sarah... Sarah... Sarah." Tak hanya itu yang keluar dari dua kamar yang menyekap mereka, teriakan, "hai lepaskan Sarah, hadapi aku..." Dua orang itu pun menggendor-gendor pintu kamar mereka. "Duk... Duk... Duk..." Gedoran keras terdengar dari dua kamar. Dari pintunya terdengar gerakan orang yang sepertinya hendak mendobrak. "Brak... Brak... Brak... " Pintu itu rupanya kuat sehingga usaha dua orang itu sepertinya sia-sia.
Tam tak peduli dengan teriakan dan gebrakkan dua orang dari kamar. Ia sepertinya sedang berbuat kalap pada Sarah. Sarah direbahkan. Kaos merah yang dipakai berusaha ditarik kuat-kuat. Sarah terus melawan. Sebab tubuh Tam lebih kuat maka perlawanan yang dilakukan itu tak mampu menghentikan keinginan Tam untuk melampiaskan kemarahannya dengan memperkosanya.
Sarah sudah tak bisa berbuat apa-apa saat badan kekar Tam menindihnya. Melihat jiwanya terancam, Sarah langsung mengatakan, "ya, ya, aku mau jadi istrimu." Mendengar Sarah mengatakan demikian, Tam menghentikan gerakan bejadnya. "Benar apa katamu?" Laki-laki itu bertanya. "Benar," jawab Sarah.
Tam tertawa dan langsung berdiri dari menindih tubuh Sarah. "Kalau kamu ngomong seperti ini dari tadi, aku tidak akan berbuat jahat kepadamu," ujar Tam dengan nada yang sedikit merayu. Sarah diam mendengar apa yang dikatakan itu.
"Kapan kita menikahnya?"
Pertanyaan itu dijawab dengan santai oleh Sarah, "gampang."
"Sebelum menikah, kita kan harus merayakan kesenangan kita dulu kan."
"Mau kan merayakan acara sebelum pernikahan kita?"
"Mau, mau, mau," jawab Tam dengan terburu-buru.
"Kalau mau mana beer-nya?"tanya Sarah.
"Aku mau beer sebanyak biar kita fly."
"Wah kebetulan dong ternyata kita sama-sama suka beer," Tam segera menimpali.
"Berarti kita jodoh," Tam tertawa cekakan.
Tam langsung menyuruh salah satu pemuda untuk membeli beer di pasar. "Jangan lama-lama," ujar Tam dengan nada sengit. Pemuda itu langsung bergegas menuju ke pasar. Di saat menunggu beer datang, sorot tajam mata Sarah mengawasi Tam dan beberapa pemuda yang lain. Dilihat dan dicari siapa yang memegang kunci kamar yang menyekap Bui dan Ribo. Sorot mata tajam itu terhenti saat salah seorang pemuda, dengan ciri bertubuh tambun, tangan bertato, dan rambut gondrong. Di sabuk yang melingkari tubuhnya terlihat menggantung kunci. "Itu dia yang saya cari," gumamnya dalam hati.
***
      Dengan nafas terengah-engah, dua pemuda masing-masing mengangkat satu krat beer. Satu krat berisi 12 botol. Dua krat itu langsung diletakkan di teras villa mangkrak. "Terima kasih ya pak," ujar pemuda itu pada pembawa satu krat beer lainnya. Sepertinya orang itu adalah kuli di pasar yang disuruh ikut menggotong satu krat. Sebelum meninggalkan tempat itu, kuli itu diberi upah angkut.  Â
      "Lama amat," kata Tam sambil memandangi pemuda itu dengan muka masam.
"Maaf boss, pasar lagi ramai," jawabnya.
Begitu puluhan beer tersaji, tanpa disuruh para pemuda itu langsung mengerubuti. Di saat mau mengambil beer, Tam berteriak, "bentar dulu jangan buru-buru."
"Kalian tahu mengapa hari ini kita pesta beer?"Â
"Tidak tahu boss," ujar para pemuda itu dengan serentak.
"Goblok kamu..." kata Tam.
"Beberapa hari lagi saya akan menikah dengan Sarah."
Mendengar apa yang dikatakan itu, semua pemuda langsung bersorak, "asyiikkkk...."
"Untuk itu mari hari ini kita rayakan sebelum pernikahan saya dengan Sarah," ujar Tam kembali.
"Bukan begitu Sarah?"
Mendapat pertanyaan seperti itu Sarah hanya tersenyum.
Tam mengatakan demikian dengan keras. Suaranya terdengar hingga ke tempat Ribo disekap. Apa yang dikatakan itu membuat darah Ribo mendidih. "Tidaakkkkkk," terdengar suara teriakan dari ruang di mana Ribo disekap. Tam dan para pemuda yang lainnya entah karena sudah tak sabar dengan beer, sepertinya tak mendengar suara teriakan itu. Â Lain dengan Sarah, ia mendengar ratapan Ribo yang begitu menyayat.
"Kak Ribo tenanglah, aku masih setia padamu," gumam Sarah dalam batin.
"Ayo kita minum sebanyak-banyaknya," teriak Sarah dengan gaya binal.
Mendapat ajakan yang demikian, ditambah dengan gaya binal, semua pemuda itu langsung berebut beer. "Siapa yang minum paling banyak dapat bonus cium dari saya." Mendengar apa yang dikatakan Sarah, seorang gadis yang cantik dan seksi, semua pemuda termasuk Tam langsung bersorak-sorak. "Asyikkkk....."
"Saya mau minum yang paling banyak," ujar salah satu pemuda.
"Saya juga," yang lain menimpali.
Pesta beer pun berlangsung, Sarah di tengah pesta itu hanya mengawasi setiap gerakan yang ada. Dirinya tidak minum, ia pura-pura seolah-olah minum dan menikmati acara itu. Ia terus mengawasi pria yang membawa kunci kamar Ribo dan Bui, sesekali melihat kamar penyekapan, dan sesekali melihat Tam.
Sarah ingin dalam pesta itu secepatnya mereka hilang ingatan karena mengkonsumsi beer di luar batas takaran. Setelah pesta berlangsung sekian waktu, satu persatu mereka tumbang. Beer yang diminum terlalu banyak sehingga ingatan mereka lenyap. Tinggal Tam yang sepertinya masih kuat daya ingatannya sehingga ia masih terlihat meneguk minuman keras. Melihat hal yang demikian, Sarah mendekati dan merayunya, "ayo minum terus. Katanya mau menikah sama saya. Kalau mau menikah sama saya, minumnya harus banyak. "
Dirayu yang demikian, Tam sepertinya tersulut untuk menambah dosisnya. Ia termakan rayuan Sarah sehingga, tegukkan beer terus ditumpahkan ke dalam kerongkongannya. Perlahan-lahan genggaman tangan Tam pada botol beer melemah hingga akhirnya ia jatuh tersungkur di lantai tak sadarkan diri.
Begitu semua tak sadarkan diri, Sarah langsung mengambil kunci itu pada pria yang bertubuh tambun. Ditariknya kunci itu yang menggantung di sabuknya. Setelah itu ia bergegas menuju kamar Bui. Segera dibukanya pintu itu. Begitu pintu terbuka dan melihat Sarah, Bui langsung terperanjat dan mengatakan, "adikku..." Bui langsung keluar dan dipeluknya adiknya itu, "cepat lari kak," ujarnya. Sarah langsung menuju ke ruang Ribo. Dibuka pintu kamarnya, di dalam kamar itu terlihat Ribo duduk meringkuk seperti orang yang putus asa. "Kak Ribo," teriak Sarah. Teriakan itu mengagetkan Ribo, ia menatap arah suara itu. Begitu tahu Sarah, tubuh Ribo seperti mendapat energi baru. Ia langsung bangkit, keluar dari kamar dan memeluk Sarah kuat-kuat. "Kak saya masih setia sama Kak Ribo,' ujar Sarah.
"Pesta beer ini hanya akal-akalan saya untuk mengelabui mereka."
Setelah Ribo melepaskan pelukan itu, Sarah langsung mengatakan, "ayo semua lari dari tempat ini."
"Tunggu, tunggu, tunggu," ujar Ribo. Mendengar ucapan itu, Sarah heran, apa yang dimaui Ribo sehingga harus menahan untuk meninggalkan tempat itu.
 "Mana kuncinya?"
Sarah menyerahkan kunci itu pada Ribo. Setelah kunci itu diserahkan, Ribo lalu menyeret tubuh Tam ke dalam kamar di mana dirinya disekap. Untung saat Tam diseret ia tidak sadar. Setelah tubuh itu digeletakkan di dalam kamar yang pengap, pintu langsung dikunci. "Ayo lari," ujar Ribo. Mereka bertiga, Bui, Ribo, dan Sarah bergegas meninggalkan tempat itu. Kunci yang berada di tangan Ribo dilempar begitu saja ke arah semak belukar.
Â
Â
****
Suara gedoran pintu terdengar begitu keras dari sebuah kamar di villa mangkrak itu namun orang-orang yang berada di sekitarnya tak menghiraukan. Mereka sepertinya terlalu banyak mengkonsumsi minuman keras sehingga tak sadarkan diri dalam jangka waktu yang lama. Gedoran itu terus terdengar dan semakin keras terdengar.
Salah seorang pemuda mendengar suara itu. Suara berisik itu mengganggu telinganya sehingga ia mengatakan, "hai goblok, diam kamu, berisik tahu." Tahu ada yang sudah sadar, orang yang berada di kamar itu langsung berteriak, "hai siapa itu, tolong keluarkan aku dari sini."
Pemuda yang sudah bangun dari tidurnya itu mendengar teriakan itu namun karena alam sadarnya belum sepenuhnya hadir dalam jiwanya, maka omongannya pun ngelantur. "Enak saja minta dikeluarkan, emang kamu siapa?" Mendengar omongan yang ngelantur itu, pria yang berada di dalam kamar itu langsung berteriak, "hai goblok kamu, ini aku Tam, aku Tam boss kalian."
Mendengar kata Tam, pemuda itu terperanjat. Dirinya heran mengapa ia berada di tempat itu padahal di ruangan itu ruang untuk menyekap Ribo. Kurang percaya dengan teriakan yang keluar dari dalam kamar, pemuda itu mendekati kamar yang berada tak jauh darinya. Diketuknya pintu itu, "ini siapa?" Apa yang dilakukan pemuda itu langsung direspon orang yang berada di dalam kamar itu, "Goblok kamu, dibilang ini Tam tidak percaya."
"Cepat buka, cepat buka."
"Kalau tidak cepat dibuka, kubunuh kamu semua."
Ancaman itu rupanya membuat dirinya takut sehingga ia segera membangunkan orang yang membawa kunci kamar itu. Tubuh tambun itu diguncang-guncangnya. "Heh ada apa sih kamu. Orang masih enak tidur dibangunkan," ujar pria bertubuh tambun itu.
"Boss marah, ia tersekap di kamar," balas pemuda yang membangunkan itu.
"Boss yang mana?" pemuda bertubuh tambun itu balik bertanya.
"Boss kita, Tam," jawab pemuda yang membangunkan itu.
"Hah?!" Pemuda tambun itu kaget dan seketika bangun dari tidurnya. Dirabanya kunci yang berada di sabuk, "oh, tidak ada. Ke mana kunci itu," katanya dengan nada memelas. "Bisa celaka aku nih."
Ia bangun dan bersama pemuda satunya menuju ke kamar itu. "Ya boss akan saya buka," ujar pemuda bertubuh tambun itu pada orang yang berada dalam kamar.
"Cepat goblok, sudah tidak kuat di sini," balas orang yang berada di kamar itu.
Pemuda itu celingak-celinguk melihat kunci. Ia berpikir kunci itu jatuh di lantai. Dicari ke mana-mana rupanya kunci yang dibawanya itu tak ada. "Wah gimana nih?" ucapnya dengan nada pelan. "Kita dobrak saja," ujar pemuda di sebelahnya.
"Ok tapi biar kuat kita bangunkan semuanya," ujar pemuda bertubuh tambun itu.
Dua orang itu lalu membangunkan yang lain. Setelah diberi tahu apa yang terjadi semua kaget. Mereka dengan gotong royong berusaha membongkar pintu itu dengan dipaksa. Usaha mereka untuk membuka, meski dengan cara merusak dan menjebolkan dinding pintu, akhirnya berhasil. Begitu ada Tam di dalamnya mereka pada heran, "mengapa boss ada di dalam," gumamnya.
Tam yang sudah berada di luar kamar bukannya mengucapkan terima kasih tetapi menunjukkan amarahnya. Satu persatu pemuda yang ada di sekelilingnya itu ditempeleng. "Goblok semua kamu, apa yang kamu kerjakan selama ini?"
"Mana Sarah, Bui, dan Ribo?"
Mendapat pertanyaan seperti itu semua saling berpandangan dan tidak mengerti ke mana tiga orang itu kok tidak ada di villa mangkrak itu.
"Mereka pasti sudah lari," ujar Tam.
"Sarah rupanya mempunyai cara mengakali kita dengan membuat kita mabuk."
"Setelah kita mabuk mereka melarikan diri.'
"Kejar dan tangkap mereka!!" Dengan suara lantang Tam menyuruh para pemuda itu untuk memburu Bui, Ribo, dan terutama Sarah. Para pemuda itu langsung berlari menuju arah ke mana ketiga orang itu meninggalkan mereka.
***
"Kak capek," ujar Sarah saat mereka berlari menuruni bukit.
"Tenang Sarah, sebentar lagi kita tiba di tempat aman," Ribo menenangkan.
"Iya, kita harus mempercepat langkah," tambah Bui.
Di saat mereka berlari, terdengar suara gemerunduk orang yang mengejar. Para pemuda itu berlari kencang agar buruannya itu tidak hilang. Terdengan suara, "kejar... tangkap..." Seketika angan-angan Bui melintas saat ia bersama kedua orangtua dan warga kampung lari menyelamatkan diri saat perang saudara di Vietnam. Mereka sekuat tenaga lari menuju ke sebuah pantai agar bisa meninggalkan tempat itu. Dalam kondisi yang sulit, ada saja rintangan yang membuat pelarian mereka menuju ke pantai terhalang.
Mereka bertiga terus berlari. Suara orang mengejar pun semakin mendekat. "Capek kak," suara Sarah meratap kembali terdengar. Ribo dan Bui bingung menyikapi bagaimana bisa mengatasi rasa capek Sarah.
"Ok ambil nafas sebentar," ujar Ribo dengan tenang.
"Biar mereka saya hadapi kalau sudah dekat," ujar Bui yang sepertinya sudah pasrah bila gerombolan pemuda mengepung dan menangkapnya. Rupanya dugaan Bui benar, tiba-tiba gerombolan pemuda itu telah berada di dekat mereka.
"Mau ke mana kalian?" ujar pemuda bertumbuh tambun dengan suara bengis.
"Kalian sudah tak bisa lari."
"Sebaiknya menyerah saja," ujar pemuda yang lain.
"Kami tidak akan menyerah pada kalian," ujar Bui.
"Ribo dan Sarah cepat tinggalkan tempat ini, biar mereka saya hadapi," kata Bui sambil menghadang para pemuda itu.
"Kak..." ucap Sarah dengan suara parau meihat kakaknya yang siap membela dirinya.
"Sarah cepat tinggalkan tempat ini," Bui mengulangi lagi. Ribo dan Sarah mengiyakan apa yang dikatakan itu, berdua langsung meninggalkan tempat itu. Begitu Sarah dan Ribo menghilang, serta merta beberapa pemuda itu mengeroyok Bui. Perkelahian terjadi. Tendangan dari para pemuda itu datang bergelombang, sesekali tendangan itu menghantam tubuhnya. Balasan yang dilakukan Bui juga sesekali mengena pada mereka.
Perkelahian yang tak seimbang itu makin seru meski Bui terpojok namun dirinya terus melawan. Akibatnya ketika dirinya terjatuh, puluhan tendangan dihujamkan kepada tubuh dan kepalanya. Hal demikian membuat dirinya terkapar dan tak bisa melawan. Mereka segera meringkus dan mengikat kuat pada pohon yang berdiri tegak yang tak jauh dari mereka.
"Satu sudah kena. Dua lagi harus kita kejar," ujar pemuda bertubuh tambun itu.
"Ayo kita kejar mereka," serunya. Mendapat perintah itu, mereka langsung bergegas meninggalkan tempat itu. Bui yang terikat dalam sebuah pohon dengan luka parah di sekujur tubuh karena tendangan dan pukulan, dibiarkan begitu saja. Darah segar membasahi mukanya.
***
Sarah dan Ribo terus berlari menyusuri jalan yang menurun. Terlihat Sarah sudah terlihat kehabisan tenaga. "Kak...." ujar Sarah. Ribo melihat Sarah, terlihat muka Sarah pucat, nafasnya tersenggal-senggal, dan tubuhnya lunglai. "Kak saya sudah tak kuat..." ratap Sarah. Ribo yang tahu kondisi Sarah seperti itu merasa kasihan. Ia juga pernah merasakan bagaimana beratnya ketika tenaga sudah habis namun dituntut untuk terus berlari.
Di tengah kecemasan dan kebingungan menghadapi Sarah yang sudah kehabisan tenaga dan kejaran para pemuda berandal itu, Ribo mencari akal bagaimana ia bisa menyelamatkan diri. Dilihat sebuah pohon besar yang tak jauh darinya. Dengan cepat ia mengajak Sarah menuju ke tempat itu. Setelah berada di bawah pohon, ia segera menarik Sarah ke balik pohon dengan tujuan untuk menghilangkan jejak.
Saat mereka sudah dibalik pohon, terdengar gedebukan langkah para pemuda yang mencarinya. "Stop, stop," ujar pemuda bertubuh tambun menghentikan lari mereka. Mereka menghentikan langkah sebab sepertinya kehilangan jejak buruannya. Tak jauh dari pohon besar itu memang ada persimpangan jalan. Untuk menentukan ke mana arah yang harus dituju, pemuda bertumbuh tambun itu melihat ke tanah. Dia berpikir siapa tahu ada jejak Saeah dan Ribo yang membekas dan bisa menjadi petunjuk untuk terus mengejarnya.
Di saat para pemuda itu berdiri tak jauh darinya, kecemasan yang tinggi meliputi Sarah dan Ribo. Sarah dan Ribo yang berjarak 10 meter dari para pemuda yang mencarinya itu khawatir persembunyiannya itu terendus. Agar keberadaannya tidak diketahui, Ribo menutup mulut Sarah. Dalam kondisi yang demikian biasanya Sarah tak sadar mengucapkan sesuatu.
"Kita terus cari mereka," ujar pemuda bertubuh tambun itu.
"Bila tertangkap, kita bunuh yang laki-laki dan kita serahkan yang perempuan pada boss."
"Saya yakin mereka berdua ada di sekitar sini."
"Sebab mereka juga kebingungan di persimpangan ini."
Mendengar apa yang dikatakan itu, keringat dingin bercucuran di tubuh Ribo dan Sarah. Mereka tak tahu apa yang harus diperbuat di saat kondisinya sudah terjepit. Di tengah kebingungan dan kecemasan yang melanda dirinya, tiba-tiba Ribo seperti melihat ada lubang yang menganga di sampingnya. Di mulut lubang itu ada akar-akar yang sepertinya menjadi penutup.
Melihat lubang mengangga seukuran tubuhnya, Ribo langsung teringat pada Terowongan Cu Chi. Sebuah terowongan untuk persembunyian Gerilyawan Vietcong saat betempur dengan tentara dari Amerika Serikat dan Australia dalam Perang Vietnam. Saat mengunjungi terowongan itu, Ribo juga masuk ke dalam sehingga bisa merasakan suasana tempat persembunyian itu. Terowongan sempit itu memang bisa menghilangkan jejak para Gerilyawan Vietcong dari kejaran tentara Amerika Serikat dan Australia.
Ribo berpikir lubang yang ada di sampingnya itu juga terowongan untuk persembunyian Gerilyawan Vietcong. Untuk itu dirinya akan menggunakan sebagai cara menghilangkan jejak.
"Masuk, masuk ke lubang itu," bisik Ribo kepada Sarah.
"Kak takut..." ujar Sarah dengan lirik pula.
"Tidak apa-apa. Ini untuk penyelamatan diri," bisik Ribo kembali.
Sarah pun memasukkan kakinya ke lubang itu, lubang itu rupanya dalam sehingga dirinya terjatuh. "Bukkkk...." Terdengar suara tubuh jatuh ke tanah. Mendengar ada suara benda jatuh, para pemuda itu langsung sigap. Dicari dari mana arah suara itu. "O, rupanya mereka masih ada di sekitar sini," ujar pemuda bertubuh tambun yang menjadi pemimpin pencarian Sarah dan Ribo.
Ribo cemas, kalau mereka tahu dirinya di tempat itu pasti tamatlah riwayatnya. Ia mencari akal untuk mengelabui mereka. Dilihat di atas pohon ada seekor bajing yang tengah mengerat kayu. Diambilnya batu kecil yang diinjaknya. Batu kecil itu kemudian dilemparkan pada bajing itu. "Plukkk...." Batu kecil itu mengena pada tubuh bajing yang mungil. Sebab terkena lemparan, bajing itu langsung lari. Larinya bajing itu menabrak dedaunan di pohon-pohon sehingga menimbulkan suara krosak-krosak. Suara itu memancing perhatian para pemuda. Mereka semua melihat ke bebunyian yang arah datang dari atas. Mereka secara serempak mengatakan, "o bajing."
"Yang dicari bajingan ketemunya bajing," ujar yang lain.
Cara mengelabui yang dilakukan itu berhasil. Selanjutnya Ribo masuk ke dalam lubang menganga. Sebelum menutup lubang itu dengan akar-akar, ia mengalihkan perhatian kembali. Dilemparnya batu ke arah serampangan. "Wussss....." Batu itu terbang. Sebelum batu itu jatuh ke tanah, ia merangsak daunan-daunan. Terabasan batu-batuan pada dedaunan itu menimbulkan suara krosak-krosak. Tak begitu lama terdengar suara "blukkk....." Batu itu rupanya sudah jatuh ke tanah.
Melihat suara-suara itu, membuat para pemuda itu menjadi linglung. Suara-suara itu mampu memecah konsentrasi mereka. "Hai jangan linglung, terus cari mereka," ujar pemuda bertubuh tambun itu dengan nada tinggi. Mereka berpencar dan menyasak pepohonan dan semak-semak. Di saat mereka menerabas semak-semak, Ribo dan Sarah sudah berada di dalam terowongan di bawah tanah itu.
Suasana pengap dan panas terasa di terowongan. Dua orang itu berusaha untuk menahan hawa panas yang menyergapnya. Dengan jalan merunduk mereka mengikuti arah terowongan yang menjulur itu. Saat berada di terowongan, ia melihat ada sebuah lubang kecil yang tembus ke atas. Ribo berpikir lubang itu adalah lubang bagi Gerilyawan Vietcong untuk melihat musuh berada di mana juga sekaligus untuk lubang pernafasan. Dengan lubang itu, Ribo bisa melihat beberapa pemuda masih berdiri di sekitar pohon besar. Terlihat mereka bercakap-cakap membicarakan sesuatu. Muka mereka terlihat kesal sebab buruan mereka menghilang entah ke mana.
Ribo dan Sarah terus menyusuri terowongan. Di suatu saat mereka menemukan simpang terowongan. Ribo bingung menentukan ke arah mana yang harus diambil. "Kak kita ke mana?" tanya Sarah. Ribo diam. Sepertinya ia berpikir. "Ke kiri saja," ujarnya. Kedua orang itu melanjutkan menyusuri terowongan. Setelah menyusuri terowongan yang mengarah ke kiri, dirinya menemukan sebuah ruangan yang cukup besar. Di ruangan itu terlihat seperti ada meja dan kursi. Ribo berkeyakinan ruangan itu adalah ruangan untuk merencanakan aksi peperangan seperti yang ada di Terowongan Cu Chi. Ribo terperanjat di tempat itu melihat ada AK 47 tergeletak. Bagian-bagian tertentu senjata itu terlihat berkarat. Senjata buatan Uni Soviet itu bisa jadi bekas senjata Gerilyawan Vietcong yang tertinggal.
Ruangan itu sepertinya ruangan terakhir dari arah kiri yang diambil tadi. "Kak ini buntu," kata Sarah. "Iya buntu, kita balik saja," Ribo menimpali. Dua orang itu dengan berjalan merunduk kembali ke tempat asal.
Sarah menjerit ketika keluar dari ruangan itu. Ia langsung memeluk Ribo. Ribo tak mengerti mengapa Sarah menjerit. "Ada apa?" tanyanya dengan waswas. "Ada tengkorak," jawab Sarah dengan suara gemetar ketakutan. Ribo segera melihat ke arah mana yang membuat Sarah histeris. Ribo langsung terperanjat begitu begitu melihat tengkorak yang membujur di sebuah galian bawah tanah. Ia berusaha menenangkan diri. Ditatapnya tengkorak itu. Terlihat tengkorak itu menggunakan topi baja. Dengan ciri tersebut ia yakin bahwa tengkorak itu adalah tentara Amerika Serikat. Ia berada di tempat itu bisa jadi diculik Gerilyawan Vietcong atau terjebak ketika memasuki terowongan.
"Sudah tidak apa-apa," ujar Ribo menenangkan Sarah.
"Ayo kita teruskan langkah ini."
Mereka terus menyusuri terowongan itu hingga akhirnya melihat sebuah cahaya terang. Ribo berpikir itu adalah pintu rahasia bagi Gerilyawan Vietcong untuk keluar dari tempat persembunyian. Cahaya terang itu didekati terus namun ketika sudah dekat di lubang yang menyerap cahaya terang itu, terlihat air masuk menggenangi. Dari tempat itu terdengar suara gemericik air. "Sungai," ujar Ribo.
Pikiran Ribo melayang kembali ke Terowongan Cu Chi. Di terowongan yang sekarang menjadi objek wisata itu ada sebuah alur yang menghubungkan terowongan dengan sebuah sungai. Hal demikian rupanya juga ia temui langsung saat bersama Sarah.
"Kamu bisa berenang Sarah?" tanya Ribo.
Sarah mengangguk.
"Syukur," Ribo merasa senang tahu Sarah bisa berenang.
"Kita harus melewati sungai," agar bisa keluar dari terowongan ini.
"Siap Sarah untuk berenang?"
Sarah tidak menjawab. Ia hanya mengangguk.
"Ok, biar aman kakak dulu," ujar Ribo.
"Kakak pegang tangan Sarah."
Mereka merunduk lebih dalam dan memasuki genangan air itu. Begitu keluar dari lubang itu, Ribo langsung terseret air sungai. Sarah yang dipegang tangannya ikut terseret. Suara gelembung air terdengar begitu Sarah dan Ribo terseret arus sungai. Sarah dan Ribo terbanting-banting oleh gelombang sungai itu. Pegangan tangan pun lepas. "Kakak....." teriak Ribo. Ribo panik saat pegangan Sarah lepas. "Sarah.... " teriak Ribo.
Setelah melewati permukaan sungai yang berbahaya, Ribo berada di alur sungai dengan permukaan yang tenang. Ia mencari Sarah, "Sarah... Sarah...." teriaknya. Di saat ia mencari kekasihnya, ia melihat ada sesuatu yang mengambang di sungai. Didekati sesuatu yang mengambang. "Oh Sarah," ucap Ribo dengan sedih saat melihat sesuatu yang mengambang itu adalah Sarah. Ia segera menyeret tubuh itu ke tepi sungai. Setelah berada di tepi sungai, diangkatnya tubuh itu. Digeletakkan ke dalam tanah. Ia langsung memberi bantuan pernafasan. Ditekan dadanya kuat-kuat. Apa yang dilakukan itu berhasil, dari mulut Sarah muncrat air. Untuk segera memulihkan nafas, ia melakukan bantuan pernafasan lewat mulut. Dihembuskan udara dari mulut Ribo ke mulut Sarah. Tak bereaksi dengan bantuan itu, Ribo meratap, "Sarah ayo bangun..." Ribo mengulangi lagi bantuana pernafasan itu,
Ribo sepertinya putus asa. "Oh Sarah mengapa semua harus begini?"
Di tengah rasa putus asa itu tiba-tiba terdengar suara lirih menyebut namanya, "Kak Ribo.... "
"Kita di mana?"
Mendengar Sarah siuman, Ribo girang. Ia langsung mendekap dan menangis tersedu-sedu. "Oh Sarah... "
"Aku tak mau kehilangan kamu."
Ribo mendekap kuat-kuat sambil menangis sebuah tanda keharuan ketegaran Sarah dalam menghadapi hidup. Â Di saat keharuan mereka, terdengar suara orang berteriak dari arah sungai.
"Terus berenang ke tepi," ujar suara lantang-lantang.
Ribo begitu kaget. Para pemuda itu rupanya masih mengejar dirinya. Tahu mereka berenang di sungai berarti mereka juga menemukan terowongan tempat dirinya menghilangkan jejaknya tadi.
***
"Hai ada tanda mencurigakan di sini," teriak salah satu pemuda begitu melihat ada bekas sobekan kaos berwarna merah. Mendengar teriakan itu, semua pemuda berandal yang mengejar Sarah dan Ribo langsung menuju arah suara itu.
"Ini saya menemukan sebuah tanda sobekan kaos yang dipakai perempuan itu," ujar pemuda itu sambil menunjukkan sobekan kaos. Melihat ada jejak pelarian, pemuda bertubuh tambun langsung memerintahkan untuk menyingkap semak-semak yang ada. Mereka terperanjat begitu melihat ada sebuah lubang menganga di tempat itu.
"Pasti mereka lewat di sini," ujarnya.
Serta merta pemuda bertubuh tambu itu mengatakan, 'kejar mereka."
"Ayo semua lewat sini."
"Jangan takut sebab ayah dan kakek kita dulu bergerilya lewat terowongan ini."
"Jadi kita sudah punya bakat alam berada di terowongan."
Tanpa banyak pertanyaan mereka langsung masuk satu persatu. Mereka menyusuri terowongan hingga akhirnya menemukan jalan keluar lewat sungai.
***
      Ribo melihat tanda bekas sobek kaos merah yang dikenakan Sarah. Kaos Sarah ada yang koyak. Kaos itu koyak saat Sarah hendak masuk ke dalam terowongan. Kaos itu menyangkut pada sebuah akar yang menyilang.
      "Mereka tahu jejak terowongan karena melihat sobekan kaos yang menyangkut pada akar," gumam Ribo.
      "Mengapa mereka tak kenal lelah mengejar kita?"
      "Mereka benar-benar mau merebut Sarah."
      "Baiklah saya juga akan mempertahankan Sarah sampai titik darah penghabisan."
      Ribo memandang wajah Sarah dengan seksama. Dilihat guratan rasa lelah memburat di mukanya. Meski demikian wajah ayu masih terpancar kuat dari raut mukanya. Â
      "Sarah kamu sudah baik?"
      Mendapat pertanyaan itu Sarah dengan mata sayu memandang wajah Ribo. "Yak Kak...," ucap Sarah dengan lemah.
      "Demi Tuhan saya akan mempertahankan kamu dari tangan-tangan jahat mereka."
      Mendengar ungkapan itu, Sarah menangis. Dirinya sebenarnya masih dalam kondisi yang lemah namun dirinya tidak mau menyerah dan jatuh ke tangan Tam dan para pemuda berandal. Mendengar tekad Ribo, semangat Sarah mulai tumbuh. Perkataan itu menunjukkan Ribo akan melakukan apa saja demi dirinya.
      "Sarah kalau sudah kuat ayo kita lanjutkan perjalanan kita," ucap Ribo.
      "Kita sudah biasa hidup ditempa alam dan kita harus kuat."
      "Kita tak boleh menyerah. Kita harus bertahan terus seperti orangtua kita."
      Dirinya ingat orangtua dan kakak-kakaknya yang bisa bertahan di lautan lepas berbulan-bulan dengan kondisi seadanya. Untuk itu dirinya akan menjadikan semangat itu untuk mempertahankan diri.
"Ya kak, mari kita lanjutkan perjalanan ini," ujar Sarah.
Ribo selanjutnya menggandeng tangan Sarah dan berjalan cepat menuju ke arah yang dirinya tidak tahu. Setelah melangkah sekian waktu, kedua orang itu kaget sebab di depan matanya terhampar pantai berpasir putih. Mereka segera bergegas ke pantai. Pantai itu bukan pantai yang biasa tempat dirinya nongkrong bersama Sarah di sore hari.
Ia menyusuri pantai itu. Sore menjelang. Matahari mulai membenamkan diri. Cahaya matahari sudah menunjukkan kemerahan. Indah begitu terasa namun dalam suasana bahaya yang terus mengejar membuat mereka tak bisa menikmati.
"Kita di mana kak?" tanya Sarah.
Ribo diam dan tak menjawab. Dirinya tidak tahu di mana mereka berada. Diketahui dari pantai itu adalah sebuah gelombang besar, angin bertiup kencang, dan hamparan laut biru. Ciri laut demikian menunjukkan bahwa ia menghadap ke samudera. "Apakah kita menghadap Laut China Selatan?" Ribo bertanya dalam hati.
"Bila menghadap ke Laut China Selatan dan memandang lurus ke arah selatan berarti ribuan mil lagi adalah wilayah Indonesia."
Di tepi pantai itu terlihat sebuah perahu yang terombang-ambing oleh gelombang yang menderanya. Perahu itu lebih kecil ukurannya dari perahu yang digunakan oleh orang-orang yang Vietnam saat melarikan diri.
Ketika mengawasi perahu, dari kejauhan terlihat beberapa pemuda berlari, mereka mendekati dirinya. Sarah dan Ribo terperanjat melihat mereka. "Kak ini bagaimana?" ujar Sarah dengan cemas.
"Sarah kita harus mempertahankan diri kita sampai kita tidak mampu melawan mereka," ujar Ribo.
"Kita masih mampu melawan mereka dan untuk itu kita harus bertahan."
"Jumlah kita memang tak imbang."
"Untuk itu naiklah ke perahu itu." Ribo menunjuk perahu yang sedang terombang ambing di tepi pantai. Sepertinya perahu itu tak bertuan.
Sarah langsung menuruti apa yang dimaui Ribo. Ia segera naik ke perahu itu. Melihat para pemuda itu bergerak, Ribo menghadang para pemuda berandal itu.
"Rupanya kamu mau bertahan dengan gadis itu," ujar pemuda bertubuh tambun.
"Ya saya akan bertahan terus sampai mati dan tak akan menyerahkan Sarah padamu," balas Ribo dengan lantang.
"Mending kamu menyerah saja sebab jumlah kami lebih banyak," ujar pemuda yang berada tak jauh darinya sambil pasang kuda-kuda.
"Tidak, meski aku sendiri aku tak takut menghadapi kalian," Ribo berani menghadapi tantangan itu.
"Sikat..." ujar pemuda bertubuh tambun itu memberi komando.
Seketika para pemuda itu mengeroyok Ribo. Ribo sepertinya kalap sehingga seluruh tenaga ia keluarkan. Baku tendangan dan pukulan pun terjadi. Dalam kondisi yang demikian, Ribo terjepit. Meski demikian dirinya terus melawan. Upaya mempertahankan diri sangat sulit dilakukan Ribo hingga dirinya terjengkang oleh sebuah tendangan.
Ia terlentang di pasir putih, para pemuda itu mengerubutinya. Mereka bersiap menendang dan menghantam dengan kepalan tangan. Tangan Ribo bergerak, ia diam-diam menggegam pasir. Ketika mereka lengah, pasir itu disiramkan ke wajah mereka. Pasir lembut menyebar dan masuk ke dalam bola mata para pemuda itu.
"Ah..." jerit mereka. Jeritan itu bersahut-sahutan. Mereka menjerit sebab butiran pasir itu menyumbat pandangan mata mereka dan terasa sepet serta pedih. Di saat mereka kelimpungan akibat sakit yang didera, Ribo secepatnya meninggalkan mereka menuju ke perahu di mana Sarah sudah menunggu. Sesampai di perahu, Ribo menghidupkan mesin penggerak. Untung Ribo paham dengan kondisi mesin sehingga mesin perahu menyalak. Dengan menghentak tanda perahu bergerak ke depan, perahu itu meninggalkan pantai.
Ketika perahu meninggalkan pantai, para pemuda bengal itu sambil mengucek matanya terus mengejar. "Hai berhenti," teriaknya. Permukaan air laut yang semakin dalam dan ombak yang menggelegar menghambat mereka untuk menjamah Sarah dan Ribo. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193