***
      Malam itu suasana senyap menyelimuti kamp pengungsian. Bulan purnama yang terang menyinari tak dipedulikan. Angin berhembus semilir mendinginkan udara barak yang panas. Tak ada orang yang melintas. Semuanya diam tak mengeluarkan kata-kata. Tak ada suara tawa yang biasanya muncul dari barak-barak.
      Terdengar pada malam yang sunyi itu adalah kelepak kelelawar yang mencari mangsa. Suara jangkrik yang tak putus dan suara kodok yang bernyanyi di kubangan. Sesekali terdengar lolongan serigala yang sedang mencari perhatian pada jenis betinanya.
      Warga kamp pengungsian tengah berduka atas perginya Tinh. Kesedihan yang dirasakan tergambar pada malam itu. Di barak-barak mereka menderas doa, merintih, dan mengadu pada Tuhan mengapa nasib yang demikian menimpa pada Tinh. Mengapa nasib seperti itu tidak menimpa orang-orang yang berbuat angkara murka.
      Malam bertambah hening ketika rintih hujan turun. Petir yang biasanya menyambar di saat hujan deras, terdengar di saat hujan masih rintik-rintik. Alam sepertinya masih menunjukkan kesedihannya atas kepergian perempuan yang biasanya riang itu.
***
      "Mana Dipo?" tanya seorang pria bule di kantor yang mengurus administrasi para pengungsi itu. Sepertinya bule itu atasan Dipo. Mendapat pertanyaan itu, Hang melongo. Dirinya juga tak melihat sahabatnya itu berada di ruang kerjanya.
"Saya carinya," ujar Hang sambil bergegas keluar ruangan. Di luar bangunan kantor itu ia celingak-celinguk mencari Dipo. Biasanya temannya itu duduk di bawah pohon bila saat istirahat. Namun di bawah pohon yang rindang itu tak ditemui satu orang pun. "Ke mana dia," gumamnya.
Hang tidak mau didamprat boss bulenya itu. Untuk itu ia terus mencari orang yang saat itu lagi dibutuhkan laporannya. Sepeda motor operasional digunakan untuk keliling tempat pengungsian. Di jalan yang ia lintasi, Hang selalu mengawasi setiap sudut dan pojok barak. Tak sengaja, rupanya ia sampai ke pemakaman. Ia iseng melintasi tempat itu. Tiba-tiba Hang melihat seseorang yang tengah bersimpuh di sebuah makam yang tanahnya masih basah. Diamati terus orang itu, "itukan Dipo," ujarnya lirih. Dirinya tahu Dipo sebab pakaian yang biasanya dipakai itu terlihat dengan jelas.
Ia segera menghentikan sepeda motor dan memparkirnya di depan gerbang pemakaman. Dengan langkah cepat menuju ke tengah makam. Tiba di belakang Dipo yang sepertinya tengah meratap, Hang tidak langsung menegurnya. Ia berdehem. Dehemannya itu rupanya tidak membuat Dipo memalingkan mukanya. Hang mengulangi dengan lebih keras. Rupanya apa yang dilakukan itu bisa memancing perhatian, Dipo menoleh. Wajahnya terlihat basah oleh linangan air mata.
"Hai Hang....," ujar Dipo dengan lirih.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193