Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sarah, Gadis Vietnam dari Pulau Galang

5 Mei 2020   10:58 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:53 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tak jauh dari museum ada sebuah jembatan yang sangat bersejarah yakni Bridge River Kwai. Jembatan itu bukan jembatan penyeberangan manusia namun sebuah jalur kereta dari Thailand menuju Myanmar (Burma) atau sebaliknya. Jembatan untuk lewat kereta yang memiliki panjang lebih dari 100 meter itu menjadi saksi Perang Dunia II sebab pernah rontok atau ambruk karena kena serangan ledakan.

Di atas jembatan itu, wisatawan bisa melintasi dengan jalan kaki atau naik kereta wisata dengan tujuan bolak-balik melintasi jembatan itu. Terlihat jembatan itu meski tegak berdiri namun tidak kelihatan kokoh sehingga para wisatawan hati-hati saat melintas. Bagi yang phobia ketinggian, tentu tidak berani melintasi jembatan itu sebab di bawahnya menganga Sungai Kwai yang dalam.

Ribo bersama wisatawan yang lain melintas sungai itu dengan jalan kaki. Sesekali dirinya berpegang pada besi-besi yang menjadi pagar jembatan itu. Ada rasa ngeri saat tepat berada di atas sungai. Memandang ke bawah, sungai itu sepertinya siap memangsa orang. Sampai di ujung jembatan, dirinya melihat ada sebuah papan yang bertuliskan huruf kanji dengan latar bendera Jepang. Ribo berpikir papan itu sepertinya menunjukkan bahwa di tempat yang berada di samping jembatan besi itu adalah pos tentara Jepang.

Setelah puas menikmati tempat yang berada di ujung jembatan, ia kembali. Saat berjalan untuk kembali berkumpul dengan wisatawan lain, dirinya berpapasan dengan kereta wisata. Tak hanya Ribo yang minggir untuk mencari tempat yang aman agar tidak kesenggol kereta namun wisatawan yang lain juga melakukan hal yang sama, minggir mencari tempat yang aman. Untung tempat untuk menghindari senggolan dengan kereta, ada di jembatan sehingga wisatawan merasa aman.

Setelah menikmati tempat wisata di Museum War dan Bridge River Kwai, perjalanan dilanjutkan menuju ke Tiger Temple. Perjalanan ke sana yang berjarak 30 km ditempuh dalam waktu yang terbilang cukup singkat, selain karena jalanan lengang, jalannya cukup besar.

Memasuki area Tiger Temple, pemandu wisata menjelaskan ada aturan yang harus dipenuhi, misalnya pengunjung tidak boleh memakai pakai berwarna menyolok seperti merah, kuning, dan pink. Tak hanya itu, pakaian harus sopan. Saat itu ada pengunjung yang menggunakan pakaian terbilang seksi sehingga oleh pemandu disuruh menggunakan kaos penutup. Aturan kesopanan itu diterapkan bisa jadi karena memasuki tempat suci para biarawan Budha.

Bila pengunjung memasuki tempat wisata lain dengan senyum dan ceria, berada di gerbang Tiger Temple semua terlihat tegang sebab seperti dalam video atau brosur wisata, mereka tahu akan memasuki sebuah tempat di mana macan atau harimau berukuran besar dilepaskan. Mereka sadar bahwa mereka akan bertemu dengan binatang liar, buas, pemakan daging, dan tak bisa dianggap remeh dalam memberlakukannya. Hal demikianlah yang bisa jadi membuat pengunjung menjadi tegang.

Sebelum menjumpai binatang berkulit emas loreng itu, pengunjung masuk dengan berjalan kaki sejauh 200 meter dari gerbang. Dalam perjalanan terlihat bahwa area Tiger Temple berada di daerah tandus, tanahnya mirip seperti di Nusa Tenggara Timur atau daerah Bali bagian selatan seperti Jimbaran dan Pecatu, yakni tanah keras dan banyak batu karang.

Dalam temple, biarawan Budha tak hanya memelihara macan namun juga banyak memiliki hewan lain seperti sapi, kerbau, rusa, dan babi hutan. Hewan-hewan berkaki empat itu dilepasliarkan di area itu.

Setelah berjalan 200 meter dari gerbang, pengunjung mendapati Tiger Canyon. Tiger Canyon adalah sebuah tempat di mana dikelilingi oleh tebing cadas. Di area ini ada sekitar 5 macan besar dan 2 anak macan yang dirantai. Sebelum pengunjung diperkenankan masuk Tiger Canyon, pengelola Tiger Temple menjelaskan aturan-aturan yang harus ditaati, seperti demi keselamatan atau menjaga tingkah polah maka setiap pengunjung didampingi dua pemandu dari Tiger Temple, satu yang menuntun ke mana mereka harus berjalan dan satunya yang memotret.

Di Tiger Canyon inilah, pemandu menuntun pengunjung ke arah macan-macan yang dirantai dan pemandu lain memotret. Jadi pengunjung di tempat itu, tidak bebas mengambil gambar. Pemandu dengan sabar melayani pengunjung untuk mengelus-ngelus macan dan satunya memotret.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun