Atas saran itulah, Tinh sering pergi ke kebun dan ladang untuk mencari jahe, kunyit, daun pepaya, serta dedaunan yang lain untuk diramu menjadi obat tradisional. Saat mengingat daun pepaya, pikiran Tinh menjadi liar, tak terkendali, dan seperti memasuki lorong hitam yang panjang.
Dalam pikiran itu, Tinh seolah-olah tengah dikejar oleh beberapa orang yang hendak membunuhnya. Tinh berlari sekuat tenaga namun orang-orang itu selalu membayangi dirinya. Di saat Tinh bersembunyi, orang-orang itu bisa menemukan dirinya.
Keringat dingin mengalir pada tubuh Tinh, badannya terasa panas, dan bola matanya berputar liar. Mulutnya bergerak seperti mengigau dan nafasnya berpacu. Dalam pikirannya yang liar dan tak terkendali itu, tiba-tiba seorang datang, menghampiri, dan menjamah  tubuhnya.
"Tidak..." teriaknya. Jeritan tak sadar itu rupanya menyadarkan dirinya dari bayang-bayang masa lalunya. Setelah sadar, Tinh menangis sesunggukan. Tangisnya terbendung oleh dinding-dinding kayu barak. Tinh menangis dengan keras sebab dirinya merasa tidak mempunyai harga lagi. Hidupnya seolah-olah berhenti setelah peristiwa di kebun pepaya itu. Apalagi santer kabar bahwa banyak laki-laki di kamp pengungsian mengindap penyakit vietnam rose, penyakit kelamin yang sangat berbahaya.
"Bila hidup sudah seperti ini, apa gunanya aku hidup," ujarnya dengan lirih. Perkataan yang penuh pesimis itu mengiringi tangisnya yang semakin menderu.
"Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi."
"Hidup di dunia sudah gelap. Untuk itu aku mau mencari terang."
Tiba-tiba Tinh bangkit dari tidurnya. Tubuhnya yang masih lemah tak dipedulikan. Ia berjalan seperti mencari sesuatu. Matanya menyorot tajam ke sudut-sudut ruangan. Sorot matanya tak menemukan sesuatu yang dicari di ruangan itu. Ia melangkahkan kakinya menuju ruangan di sebelahnya. Sorotan matanya kembali tajam pada setiap sudut yang ada. Di ruangan itu, dirinya juga tidak menemukan apa yang dicarinya. Kakinya melanjutkan langkah menuju ruangan yang sepertinya dapur.
Setiap sudut ruangan disorot oleh matanya. Sorotan itu terhenti pada sebuah tambang, tali, yang melingkar di bawah kompor. Tambang itu terlihat masih kuat. Ditariknya tambak itu, oh, rupanya cukup panjang, sekitar dua meter. Tinh menyeringai seperti serigala memandangi tambang itu di depan matanya.
Dengan tubuh sempoyongan ia menyeret kakinya yang lemah menuju ke ruangan tengah. Tiba di ruang tengah, matanya yang liar seperti elang memandang langit. Sinar matahari yang menerobos atap yang berlubang bertabrakan dengan sorot matanya yang tajam. Bila mata orang memandang sorot matahari biasanya silau namun tidak bagi Tinh pada saat itu.
Dirinya tersenyum saat melihat balok kayu melintang di atasnya. Dengan cekatan, ia menyeret kursi yang tak jauh darinya. Di atas kursi yang menopang dirinya, ia mengikatkan ujung tambang pada balok yang melintang kuat-kuat. Ditarik-tariknya tambang itu apakah sudah benar-benar kuat. Dirinya tertawa cekakan seperti kuntilanak saat ikatannya itu dirasa sangat kuat.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193