Â
Namaku Rifana. Aku biasa di panggil Ana. Tapi sebagian teman-teman sekolahku memanggilku Rifa. Begitu juga seluruh guruku memanggilku Rifa. Bagiku itu bukanlah suatu masalah. Rifa atau Ana tetaplah Rifana. Seorang anak perempuan tertua di keluarga yang tentu saja tanggung jawab lebih besar diberikan padaku. Terlahir dari pasangan yang berpendidikan aku berada dilingkungan yang sangat religi. Bisa dibilang aku dari keluarga yang berkecukupan. Karena ayah dan bunda keduanya bekerja.
Saat ini aku tinggal di salah satu kabupaten di Propinsi Riau. Satu kabupaten yang masih berumur 17 tahun. Walau kabupaten baru tapi kotaku cukup cepat berkembang. Hal ini karena di kotaku berdiri sebuah pabrik yang berkelas dunia. 80 persen masyarakatnya bekerja di perusahaan. Â Termasuk ayah yang sudah bekerja di perusahaan selama puluhan tahun. Kata orang perusahaan ini merupakan perusahaan terbesar di asia tenggara. Aku juga meyakini itu , karena melihat banyaknya karyawan yang bekerja disana.
Setiap pagi sangat terlihat aktivitas karyawan yang akan pergi bekerja di pabrik ternama ini. Mereka dibawa oleh bus-bus besar yang tak terhitung jumlahnya. Walaupun jarah dari rumah mereka tidak terlalu jauh tapi mengingat letak pabrik yang masuk ke dalam sekitar 7 kiloan maka karyawan ini diangkut dengan bus-bus yang disediakan oleh perusahaan. Roda kehidupan sangat kental terlihat dipagi hari. Begitu juga di sore hari ketika karyawan  pulang. Deretan bus antri sepanjang jalan menghantarkan karyawan berhenti di tepi jalan dan menuju rumah masing masing.
Kota yang baru berumur 17 tahun ini menjelma menjadi kota besar. Berbagai fasilitas juga ada di sini, mall, kafe-kefe berjejer rapi di sepanjang jalan lintas timur ini. Pada malam hari deretan lampu penjaja makanan berderet di sepanjang jalan. Mulai dari makanan berat maupun kuliner-kuliner ringan yang siap mengisi perut para penikmt sajian. Ada pula pedagang yang masih berjualan hingga dini hari. Sepertinya kota ini tak pernah mati.
Begitu pagi hari kota berubah dengan penjaja sarapan. Mulai nasi uduk, lotong medan, miso dan aneka bubur sudah menjerit-jerit memanggil karyawan untuk dibawa kerja. Karena di dalam sana, ditempat mereka bekerja jauh dari kantin. Kebiasaan karyawan ini membawa bekal ketika pergi kerja.
Berpenduduk asli orang melayu ini, kini kota ini sudah berbaur dengan suku-suku lainnya. Batak, minang, jawa dan suku lainnya hidup rukun dikota ini. Penduduk asli orang melayu dapat menerima mereka dengan sangat terbuka. Bahkan banyak orang-orang asing tinggal di negeri ini. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia antara lain, india, amerika, australia, cina, philipina, afrika dan australia. Mereka juga bekerja di perusahaan yang bergerak dibidang kertas dan pulp ini.
Jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun juga menjadikan begitu banyak perumahan-perumahan di buat di kota ini. Perumahan menjamur untuk memenuhi permintaan konsumen. Setiap ada perumahan dbundaka walaupun dihutan sana pasti langsung habis dibeli oleh konsumen. Begitu tingginya permintaan perumahan membuat kota ini semakin padat penduduknya.
Sebenarnya aku orang jawa yang berasal dari pulau jawa bahkan aku terlahir dipulau  jawa.  Menurut cerita bunda aku dibawa ke sumatera ketika berumur dua tahun,karena angin pekerjaan membuat ayah pindah ke pulau sumatera, mencari sesuap nasi dan penyambung hidup dari perusahaan yang kini menjadi tempat kami bergantung.
Ayah seorang pekerja keras , dengan berbekal ijazah  sarjana teknik  ayah rela berpisah dengan sanak keluarga di pulau jawa. Berlabuh melewati samudera melintasi dua pulau yang berbeda. Dia tidak mau menyia-nyiakan ijazahnya. Berbagai pekerjaan telah dicobanya sewaktu di pula jawa. Tapi tidak ada yang  mampu bertahan. Persaingan yang berat membuat ayah tak mampu bersaing dan akhirnya mengalah. Sebagai kepala keluarga dia terus bekerja keras mencari nafkah. Setiap hari selalu mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan ijazahnya. Tapi selalu tidak ditemukan.
Sampai suatu hari ada teman kuliahnya yang menelpon dia dan menawarkan pekerjaan. Ayah begitu senang, tetapi kemudian menjadi dilema dalam kehidupannya. Pekerjaan itu ada di pulau sumatera, semantara selama ini ayah tak pernah menginjakkan kaki di tanah sumatra. Belum lagi aku kecil yang menjadi pikirannya. Bagaimana dia bisa pergi sedangkan aku masih baru lahir. Tak mungkin aku kecil yang masih merah dibawa jauh ke pulau sumatera. Itu yang menjadi pikirannya. Dia belum terbiasa pisah dengan anak istrinya.