Mohon tunggu...
Surikin SPd
Surikin SPd Mohon Tunggu... Guru - Ririn Surikin

Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rifana

22 Januari 2022   19:50 Diperbarui: 22 Januari 2022   19:52 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Satu lagu yang menggambarkan rasa kehilanagn seorang anak terhadap orang tuanya. Lagu yang dipopulerkan oleh Rinto Harahap ini kini menjadi kenyataan dalam hidupku. Kehilangan seorang ayah dimana aku merasa belum sempat membahagiakannya. Sebagai seorang anak yang banyak melalui lika-liku kehidupan bersama seorang ayah. Ayah yang sangat penyabar, sangat  bijaksana, sangat melindungi anak-anaknya, kini telah berpulang keharibaan Allah. Memenuhi panggilanNya.

Bersujud aku di pusaramu, tanah masih basah,  tercium aroma mewangi bunga mawar dipayungi bunga kamboja. Disinilah tempat peristirahatan terakhir mu Ayah. Aku juga akan menyusulmu, hanya masalah waktu. Disinilah tempat kita akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita selama di dunia. Aku sadar sepenuhnya itu ayah. Makanya aku ingin membawa bekal ke sana, bekal untuk kehidupan yang abadi.

            Ayah... rasa kehilangan akan kepergianmu sampai kini masih terasa. Satu minggu sudah engaku kembali kepada Illahi. Walau setiap hari aku selalu mengunjungi makammu tapi  tak bisa menghapuskan rasa rinduku. Rindu pada senyum manismu. Rindu pada belaiannmu . rindu pada kecupan yang selalu engaku berikan kepadaku. Walaupun aku sudah memiliki keluarga sendiri tapi bagimu aku masih seperti anak gadismu yang setiap saat selalu engaku kawal tentang keberadaanku. Selalu aku tanyakan kesehatanku. Selalu engaku ajarkan bait-bait kehidupan, Ayah kini tiada yang menanyakan khabarku lagi.

            Pusara kayu yang tertulis nama dan usiamu menjadi saksi kebersamaan kita. Begitu  banyak kenangan yang tak mungkin ku lupa. Usia mu saat pergi tertulis di pusara, tujuh puluh empat tahun. Usia yang tidak sedikit memang, tetapi bagiku kebersamaan kita masih kurang. Petuahmu masih ingin kudengar, belaian lembutmu masih ingin kurasakan, pelukan hangatmu yang selalu melindungiku dalam menghadapi masalah masih ingin ku rasakan ayah. Aku  benar-benar tak ingin kehilanganmu, Kalau boleh memilih   biarlah aku dulu yang pergi ayah. Tapi Tuhan berkeinginan lain.

            Masih teringat betul aku saat-saat terakhir menjelang kepergianmu. Satu minggu sebelum engaku pergi engaku pernah mengatakan padaku tentang, usia, tentang rezeki, tentang jodoh. Semua itu rahasia Allah. Sepandai apapun kita tiada yang akan mengetahuinya. Sepertinya engaku sudah tau kalau engaku akan pergi.  Tetapi aku tiada menyadari. Nasihat-nasihat bijaksana selalu engaku berikan padaku. Ilmu-ilmu agama begitu lancar keluar dari bibirmu. Aku yang selalu penasaran dan memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang agama engaku layani dengan menjawabnya. Saat itu engaku selalu mengharapkan kehadiranku disisimu. Banyak cerita tentang kenangan kita yang engaku ungkapkan kembali. Memoar-memoar itu pun muncul lagi mengulang masa lalu yang penuh kenangan.

Ayah, begitu banyak waktu kita lalui bersama terutama saat kita hidup tanpa bunda . dua tahun ayah, hanya kita berdua yang bisa merasakan suka dan duka. Saat kita saling meneteskan air mata karena teringat bunda. Saat kita tak mau melepaskan pelukan karena takut saling kehilangan. Saat kita tertawa lepas begitu mengetahui telur dadar gosong, karena saling mengandalkan. Saat kita ditilang polisi karena mencari makan. Saat kita tidak mandi karena bangun kesiangan. Dan saat-saat lainnya..... ayah.

Rumah kita, benda-benda kita menjadi saksi bisu. Seandainya mereka bisa bercerita ayah, pasti dia juga kehilanganmu. Kini semua telah engaku tinggalkan. Hanya tinggal kenangan --kenangan yang terpatri di hati. Kini hanya pusaramu yang menyembul kebumi. Tertulis nama dan usia, bersama kenangan-kenangan yang abadi.  

Bukan hanya aku saja  yang kehilanganmu ayah, bunda begitu terpukul . Sekian lama bunda merawatmu, penuh kasih sayang dan cinta. Disaat ayah mulai sembuh rupanya Allah berkehendak lain. Engaku dipanggil dalam keadaan sehat. Sekian tahun menjalani terapi, disaat engaku kokoh berdiri sendiri engaku malah pergi meninggalkan kami.

Tiada tega aku melihat bunda selalu berurai air mata. Dalam berdirinya, dalam rukuknya, dalam sujudnya selalu ia mendoakan yang terbaik untukmu ayah. Begitu terpukul nya beliau hingga tak  merasakan lapar, tidak kehausan, tidak merasa ngantuk hanya wajah sendu dan sedih   yang berkepanjangan yang  kulihat dari wajah ayunya.

Dalam setiap ceritanya selalu ia membanggakan dirimu, selalu dia bercerita masa-masa indah bersamamu. Kadang ku lihat senyuman manis menghiasi bibirnya saat menyebut namamu ayah. Kulihat ketulusan cinta bunda padamu, sampai dia seakan --akan tak rela kalau tak berdua . Dia pernah mengatakan padaku tentang laki-laki paling sempurna dimuka bumi ini, hanyalah dirimu. Yang sanggup mendampinginginya di saat ia menjadi nara pidana,yang memberinya semangat hidup luar biasa sehingga ia bisa menghadpi ujian demi ujian yang berkepanjangan.

Setiap saat ku lihat ia menghiba pada Tuhannya dengan memanjatkan doa, doa untuk seorang suami, doa yang hanya bisa diberi kini. Jasad tidak terlihat lagi tetapi hati seakan tak pernah mati. Cinta kasih bunda dan ayah seolah menjadi kisah cinta teromantis mengalahkan romeo dan juliet.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun