Gemuruh tepuk tangan mengiringi kalimat terkhir puisi yang kubacakan. Aku tersadar kalau aku sedang berada dipanggung berkompetisi dengan teman-teman dari berbagai kabupaten. Ketika aku turun dari panggung aku langsung disambut Pak Fahry. " Bagus Rifa, kamu maksimal, klimaknya dapat, Bapak tadi merinding mendengar baca puisimu." Rangkaian kalimat itu keluar dari bibirnya. " Terimkasih Pak." Jawabku sederhana.
Setelah semua peserta selesai membaca . kami disuruh menunggu selama satu jam . juri berembuk menentukan keputusan. Waktu satu jam terasa begitu lama. Tak sabar rasanya menunggu detik --detik pengumuman itu. Hal yang kutunggu-tunggu pun tiba. Kami dipersilahkan masuk ke ruangan tempat lomba. Juri mengatakan bahwa tampilan kami tahun ini semuanya baik tetapi memang haru sada pilihan untuk membawa nama propinsiku ke nasional, dan keputusan dewan juri tidak bisa diganggu gugat.
Pengumuman dimulai dengan pemenang nomor tiga. Bukan namaku yang disebut, dilanjutkan pada pemenang nomor dua. Juga bukan namaku. Tinggal satu lagi kalau bukan namaku berarti aku gagal. Aku berdoa memohon pada Tuhan. Ketika juri menyebutkan jumlah nilai makin kacaulah pikiranku, pemenag pertama dengan nomor undian delapan!!! Begitu kata juri. Aku tersentak dari pikiran kacau ku. Aku bersujud syukur, terimakasih ya Allah... Engaku telah mengabulkan doa-doaku. Demikia ucapku dalam sujud. Aku berhasil dengan predikat terbaik. Aku berhasil mewakili propinsiku ke kancah nasional. Penantianku selama dua tahun sejak dari SMP kini terbayar. Kini aku berangkat mewakili propinsi ke nasional. Tentu menjadi beban yang berat bagiku. Tapi aku akan menyingkirkan halangan dan rintangan. Aku akan maju terus!!! Semangat Rifa!!!
Perjalananku menuju nasional tinggal menghitung hari . kalau kugunakan jari tangan maka tidak semua terpakai. Aku akan pergi ke palembang didampingi Pak Fahry, guru sekaligus kuanggap sebagai orang tuaku. Kemiripan wajah Pak Fahry dengan ayah membuatku dekat dengan Pak Fahry. Umur mereka pun hanya terpaut satu tahun. Ayah lebih tua setahun dibandingkan Pak Fahry. Pak Fahry pun pernah mengatakan kalau dirinya mirip ayah ketika mereka bertemu waktu pengambilan rapor semester satu.
Hari yang ditunggu itupun telah tiba. Hari keberangkatanke ke palembang. Aku dan teman-temanku berjumlah 12 orang didampingi guru masing --masing dan official dari propinsi. Jumlah kami sekitar 25 orang. Dengan menggunakan penerbangan city link kami berangkat sekitar jam dua siang dan sampai di palembang jam tiga siang. Bandara Sultan Mahmud Badarudin II menyambut kedatangan kami. Â Kami disambut oleh tuan rumah di bandara dan dibawa menuju hotel tempat lomba. Begitu banyak ucapan selamat datang ku temukan menuju perjalanan ke hotel. Kota palembang . belum pernah aku ke kota ini. Kota yang terkenal dengan empek-empeknya. Dengan kerupuk ikannya. Terkenal dengan sungai musinya. Â Semua kini tersaji di depan mata.
Kota yang indah itulah yang bisa kuungkapkan dengan kota palembang. Kami pun disambut dengan makanan khas palembang mpek-mpek namanya. Â tapi disediakan juga nasi. Bagiku ini pengalaman yang luar biasa, bisa bertemu dan bergabung dengan orang-orang yang mempunyai bakat seni . kami dipertemukan dalam satu ajang Festifal Lomba Seni Siswa Nasional ( FLS2N ). Kegitan tahunan yang taja oleh departemen pendidikan nasional salah satu kegitan bergengsi siswa yang mempunyai bakat seni. Seni-seni yang diperlombakandalam FLS2N diantaranya, volkal solo putra putri, baca puisi, cipta puisi, desain poster, kriya putra-putri. Monolog dan gitar solo.
Hari ketiga di palembang kami ikuti dengan perlombaan. Setiap hari aku latihan dengan Pak Fahry. Begitu telatennya beliau membimbingku. Puisi yang kubacakan berbeda dengan di propinsi kemaren. Kini aku membaca puisi yang berjudul jembatanbuah pena Sutarji Calzoum Bahri.
Pengalaman pertama bertanding di tingkat nasional membuat aku sedikit kurang percaya diri. Ku akui teman-temanku kali ini orang orang yang luar biasa di bidang sastra. Mereka sungguh luar biasa dalam membacakan karya sastra. Kekuatan kamlimat Pak Fahry ku jadikan semngat. " Rifa, Bapak tidak mengharapkan kamu menjadi juara, Bagi Bapak kamu sudah masuk ke Nasional saja itu sudah lebih dari cukup, yang penting kamu melakukannya dengan hati." Itulah kalimat terakhirnya sebelum aku lomba. Kalimat Pak Fahry tersebut membuatku tidak mempunyai beban. Setali tiga uang dengan Pak Fahry, Official kami dari propinsi pun tidak mematok kami harus juara berapa, yang penting kita berusaha secara maksimal. Masalah juara itu sudah bonus dari Allah. Itu kata yang diucapakan pada kami. Selain itu beliau terus meberi kami semangat dan semangat.
Peserta pembaca puisi kali ini berjumlah 33 orang. Satu orang mewakili satu propinsi, aku senang karena aku bisa berkenalan dengan teman-teman dari latar yang berbeda, berbeda suku, berbeda agama tapi kami disatukan dalam lomba, yaitu lomba membaca puisi. Pada kesempatan lain sebelum dan setelah kami membaca puisi kami sering berkumpul dan bercerita tentang daerah masing-masing. Adat istiadat, makanan, tradisi  dan letak geografis wilayah. Bagiku ini pengalaman berharga aku bisa belajar dari sumbernya langsung yang mudah ku cerna dibandingkan aku harus membaca buku sejarahnya.
Satu persatu kami membacakan puisi di panggung. Rasa berdebar menjalar di tubuhku. Aku memegang nomor undian tiga belas sama persisi dengan undian ketika aku bersaing di tingkat kota madya kemaren. Semoga nomor tiga belas kali ini merupakan nomor keberuntungan bagiku. Ketika sampai pada urutanku aku teringat kata-kata Pak Fahry dan official ku. Kali ini kulangkahkan kai tanpa beban, dan jujur kakiku terasa ringan. Detak jantungu normal dan dengan senyuman ku beri penghormatan pada juri dan penonton. Sungguh tidak seperti biasanya. Mungkin karena sudah sering aku mengikuti limba jadi perasaak diri bisa ku kendalikan.
Ku mulai membaca dengan kalimat "Jembatan" buah pena Sutarji Calzoum Bahri . perasaan yang sudah menyatu antara aku dan puisi yang ku baca membuat baris dan bait tak terasa. Sudah diakhir puisi saja dan ku akhiri puisi kali ini dengan kalimat "sajak-sajak perjuangan dan nyanyian tanah air" . ketika membaca sesekali ku lihat ketiga dewan juri, ada yang melihatku, ada yang menulis di kertas dan ada yang mengangguk-anggukan dengan memainkan penanya. Aku tidak tau apa makna dari ketiga juru ini. Â Bagiku tiada kesulitan dengan puisi yang ku bacakan, karena aku sudah hafal letak dan bahkan intonasi serta rima yang sudah ku ketahui tempatnya. Seringnya puisi ini ku baca saat latihan membuatku hafal betul dengan seluk beluk puisi ini.