Begitu pula bagi diriku, bagiku engaku tak pernah jauh dariku. Kenangan mu tak pernah luntur oleh waktu. Tiada terpecah oleh hujan dan panas. Tiada lekang oleh musim, tiada terhapus oleh detik-detik waktu.
Satu persatu memori itu terangkat kembali, Masih kuat dalam ingatanku, ketika kita berjalan bersama mengelilingi rumah Allah. Engaku mengatakan padaku ayah, engaku ingin kesini lagi. " Ayah sekarang sudah kuat Mbak, ayah sudah sehat tahun depan kita kesini lagi ya Mbak, kerumah Allah" katamu dengan wajah merona bahagia. Aku semangat mendengar kata-katamu ayah. Saat itu dalam hatiku berharap ayah berumur panjang dan kita kan pergi kembali ke rumah Allah. Â Tetapi ayah , baru tiga bulan kita menjalankan ibadah bersama engaku telah pergi untuk selamanya.
Saat terindah saat aku bisa bergandengan denganmu , saat --saat aku memapahmu karena lelah, saat-saat aku mengambilkan minum air zam-zam saat engaku kehausan. Saat engaku menceritakan tentang sejarah kabah, tentang kisah nabi ibrahim, tentang siti hajar dan tentang nabi ismail, begitu lancar engaku menceritakan padaku. Sejarah islam yang begitu lengkap. Seolah engakulah ahli sejarahnya ayah.
Waktu itu setiap jam tiga subuh engaku mengetuk pintu kamarku, mengajakku ke masjidil haram untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Begitu aku membuka pintu engaku masuk dan selalu mebawa cerita-cerita agama sambil menungguku. Kita pun bergandengan tangan seolah tak terpisahkan menuju rumah Allah. Untuk berlomba mencari tempat dengan orang lain agar bisa sholat berjemaah di rumah Allah . Engaku rela kurang tidur karena menunggu waktu sholat subuh. Berzikir setiap malam, mengaji tiada pernah engaku lupakan.
Betul kata orang dalam satu lagu " Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga". Selama ini aku sebagai seorang anak selalu merasa lalai dalam merawatmu ayah. Aku lebih disbundakkan dengan urusan pribadiku, dengan keluarga kecilku. Lebih mengejar karier duniaku. Tak jarang engaku yang mulai menelponku untuk menanyakan khabarku. Kita memang tinggal di rumah yang terpisah tetapi masih di kota yang sama, kini aku menyesali semua perbuatanku Ayah.
Engaku pernah mengatakan kangen padaku, pada anakku. Tapi saat itu tidak bisa memenuhi keinginanmu untuk bertemu denganku dan cucumu, karena aku sedang keluar kota untuk mengikuti pelatihan. Akhirnya engaku pun pasrah dengan nada lirih mengatakan" ya sudah, nanti saja kalau Mbak dah pulang pelatihan langsung kerumah ya..." pinta mu saat itu. Saat di telpon itu aku pun mengiyakan. Tetapi kenyataannya... begitu pulang pelatihan aku tidak langsung kerumahmu. Karena segudang pekerjaan telah menungguku di sekolah. Sampai engaku menepon kembali menanyakan tentang kepulanganku, baru aku ke rumahmu. " Ayah, kalau ingat kejadian itu  aku malu atas kelakuanku saat itu, Begitu banyak dosaku padamu Ayah, " aku menyesal ayah, atas semua yang kulakukan padamu. Padahal selisih rumah kita tidak jauh. Ayah kalau kini ayah bisa hidup kembali aku janji akan menjengukmu setiap hari, akan merawatmu dengan penuh kasih sayang, akan selalu menuruti keinginan-keinginanmu.
Kini , walau setiap hari aku mengunjungi makammu, tapi aku tak dapat melihat jasadmu. Tidak bisa membelaimu, ayah. Hanya batu nisan yang selalu ku raba, ku bawa bercerita tentang kisah-kisah kita. Ayah, bukan aku tidak rela, bukan aku tidak ikhlas , tetapi semakin hari semakin dalam rinduku padamu. Makanya setiap hari aku ke sini ke pusaramu. Setelah melihat pusaramu rinduku berkurang. Beban-beban hidupku sepertinya hilang.
Begitu dalam rasa kehilangan itu ayah. Hingga lama aku dapat move on. Disaat aku sibuk dengan pekerjaan di sekolah atau kesibukan di rumah sesaat aku bisa melupakan wajahmu tetapi saat-saat sepi dalam sujudku maka seolah-olah engaku hadir di sampingku. Aku tau ayah sampai kapan pun engaku tak akan pernah meninggalkanku. Jauh di dalam hatiku aku masih berharap bisa bertemu denganmu.
Tak bisa hilang dalm ingatanku saat-saat terakhir kebersamaan kita. Saat itu aku menunggumu ayah, engaku kelihatan begitu gelisah, rasa panas selalu engaku utarakan. Perasaan haus yang berkepanjangan. Selalu kusuapi engaku dengan minuman. Tetapi engaku selalu membaca kalimat syahadat.
Dalam kegelisahanmu perlahan-lahan engaku meluruskan kaki, melipat kedu a tanganmu di atas dada dan menarik nafas. Ayah aku benar-benar menyaksikan kepergianmu. Kalimat Lailla ha illallah, itu yang terakhir ku dengar. Selanjutnya seluruh badanmu terasa dingin. Engaku telah pergi meninggalkan kami.
Ketika manusia pergi meninggalkan dunia hanya tiga amalan yang  akan dibawanya yaitu, Doa anak yang sholeh, amal ibadah, dan ilmu yang bermanfaat. Sebagai seorang anak tentu aku ingin engaku mulia di sana Ayah. Aku selalu berdoa untuk ketenanganmu, untuk peneranganmu . aku yakin ayah, ayah adalah orang yang baik, bahkan sangat baik. Semoga Allah mengampuni dosa --dosamu ayah.