Mohon tunggu...
Surikin SPd
Surikin SPd Mohon Tunggu... Guru - Ririn Surikin

Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rifana

22 Januari 2022   19:50 Diperbarui: 22 Januari 2022   19:52 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari itu terasa sangat panjang, pelajaran yang hanya empat puluh menit satu jamnya terasa begitu sangat panjang. Aku menunggu waktu pulang sekolah yang tek berujung. Tidak seperti biasanya aku selalu merasa haus akan ilmu, yangselalu tak tersa perjalanan waktu, yang merasa sangat senang di sekolah. Tapi tidak dengan hari ini. Detik-detik waktu menyiksaku. Aku ingin segera pulang dan mendapat kabar tentang bunda.

Akhirnya saat pulang tiba juga, bel panjang yang kunantikan terdengar juga. Kukemasi semua bukuku, kupastikan tidak ada yang tertinggal. Aku berjalan cepat menuju mobil langgananku untuk membawaku pulang.  Aku ingin cepat sampai di rumah dan menemukan bunda . aku ingin bertanya tentang kejadian apa sebenarnya yang terjadi. Tetapi apa yang terjadi?

Sesampainya dirumah aku tercengang. Rumah sepi, bahkan sangat sepi. Tiada suara bundaaku yang selalu menjawab salamku. Ku masuki rumah, tiada satupun orang di sana. Ayah mungkin lagi kerja, tapi bunda kemana, adikku juga tidak ada. Tidak ada perubahan di rumah ini dari pagi tadi. Tidak ada masakan di atas meja.  Jendela pun tidak terbuka. Aku ingin bertanya tapi pada siapa?

Ku bereskan rumah seketika, kuambil sapu dan membuka jendela- jendela. Walau sudah sore tapi semilir angin masih juga terasa. Kugiling pakaian dimesin cuci yang belum tersentuh tadi pagi. Piring bekas sarapan yang masih dimeja makan segera ku bersihkan. Bagiku pekerjaan rumah seperti ini tiada berat ku lakukan. Sejak kecil aku selalu diajari bunda untuk kerja-kerja sederhana seperti ini. Walau lebih sering bunda yang mengerjakan tetapi aku telah terbiasa melakukannya ketika bunda pergi.

Kesbundakan membereskan rumah membuat waktu tidak terasa. Tanpa kusadari sudah menjelang magrib. Saat ku dengar dari mesjid suara mengaji pertanda sholat magarib akan segera tiba. Ku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri diakhiri dengan mengambil wudhu sebagai syarat menuju sholat. Tapi sampai saat sesore ini adikku juga belum pulang. Ayah tidak kelihatan apalagi bunda yang entah dimana keberadaan dirinya sejak pergi dari semalam.

Tiba saat azan ku dengar ayah mengucap salam pertanda beliau sudah datang menggendong adikku yang penuh senyuman. Aku heran. Kenapa tidak bersama bunda? Dimana bunda... sebelum aku sempat bertanya " ayah sudah menyela " Mbak Ana sudah Sholat?" tanyanya. Aku menjawab " Belum Yah"  " ayok kita sholat bersama ajaknya ." " ayok yah" jawabku.

Ayah menjadi imam ketika sholat magrib kali ini. Beliau sholat dirumah. Padahal sangat jarang aku melihat ayah sholat dirumah ketika magrib. Kalau ada bunda di rumah ayah pasti sholat magrib di masjid. Bahkan sampai sholat isya, baru beliau pulang. Tapi kali ini beliau jadi imamku.hanya kami berdua yang sholat sedangkan adik kecilku hanya mengikuti sujud yang dilanjutkan dengan bermain.

Setelah selesai sholat, aku di panggil ayah, sangat lirih kata-katanya. " Mbak Ana, ada yang mau ayah katakan. " bisiknya. " Mbak Ana harus tabah dalam menerima kenyataan ini, Mbak itu penyemangat ayah, ayah sangat butuh mbak." Lanjutnya terbata-bata. "Apa yang terjadi yah." Tanyaku. " Bunda saat ini ada masalah, sekaranag beliau ada di kantor polisi dan menginap disana entah sampai kapan."

Duer!!! Terasa ada dentuman keras yang kudengar. Bahasa ayah sangat lembut namun bagiku bagai dentuman petir yang sangat dahsyat. Lemas tak bertulang rasanya badanku aku terjatuh dan tak mampu bangkit lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak!! Teriakku sekuat tenaga , Bunda tak mungkin  di penjara!!! " Tak Mungkin ayah." Bisikku dalam sesenggukan tangisku. Seketika airmata tak terbendung lagi. Aku menagis , menjerit meratapi nasib.

Ayah memelukku, menenangkanku, sambil terisak pula. Dalam kasih sayangnya belaian tangan dan pelukannya  membuat tangisanku sedikit reda. Kupandangi wajah ayah, ada raut luka di wajahnya. Aku tak tega melihatnya dan kembali menangis memeluk erat tubuhnya. Tiada kata-kata yang terucap lagi. Kami berdua hanya berdiam diri entah apa yang ada dipikiran ayah aku pun tak tau. Celotehan-celotehan adikku tidak kulayani lagi sampai dia datang menghampiri dan memelukku. Ku peluk adikku era-erat. Tangan mungilnya menghapus air mataku, tetapi hal ini membuatku bertambah sedih. Mungkin dia mengetahui kesedihan kami. Kubisikkan padanya bahwa kami harus kuat. Kuat dalam menghadpi ujian dari Tuhan. Allah menguji keimanan kami kembali.

Kembali badai menimpa keluarga kami, kalau dulu ujian adikku, kini tentang bunda  . Seorang bunda yang lemah lembut yang menyayangi kami sepenuh hati tapi kini tiada disampingku lagi.  Seorang bunda yang perkasa yang siap melindungi kedua anaknya. Bunda harus pergi meninggalkan kami untuk beberapa waktu. Sebagai seorang anak yang masih SMP aku tak  mengeri apa sebenarnya masalah bunda. Aku teringat kata-kata bunda beberapa waktu lalu tentang uang empat puluh juta. Apakah itu yang menjadi masalhnya? Aku seratus persen yakin bahkan kalau ada serbunda persen, aku juga yakin kalau bunda tidak bersalah. Kalau bunda tidak melakukan hal yang dituduhkan padanya. " Tidak mungkin, Tidak mungkin".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun