Sebenarnya aku dan Maya berasal dari kabupaten yang sama tetapi kami berbeda sekolah waktu SMP. Maya sekolah di sekolah negeri sedangkan aku di sekolah swasta. Kedekatan kami dimulai sewaktu mengikuti tes seleksi di SMA ini. Sejak saat itu kami jadi teman yang sangat akrab. Begitu juga dengan keluargaku dan bundanya Maya , bunda yang memanggil kakak pada bundanya Maya serasa mempunyai saudara baru di perantauan. Mereka juga sangat akrab dan berbagi cerita tentang aku dan Maya.
Hari itu, tepatnya hari selasa, 10 agustus. Aku dipanggil Pak Fahry untuk keruangannya. Aku bertanya-tanya ada gerangan? Tak pernah Pak Fahry memanggilku sendirian seperti ini. Kalaupun tentang perlombaan FLS2N mengapa Pak Fahry tadi tidak mengatakannya saat masuk ke kelasku? Berbunda pertanyaan kini belum ada jawabnya. Kulangkahkan kaki menuju ruang guru saat bel istirahat berbunyi. Aku yang tak biasa ke ruang guru menjadi grogi juga, apalagi saat istirahat semua guru berkumpul disana. Saat aku menampakkan mukaku di pintu dan baru mengucapkan salam, Pak Fahry berteriak "inilah sang juara kita". Diiringi tepuk tangan guru yang lainnya. Pak Fahry mengatakan padaku bahwa perlombaaan FLS2N akan dimulai tanggal 20 agustus.
Dug suara detak jantungku keras. Aku punya waktu sepuluh hari lagi untuk berlaitih. Waktu yang bisa dikatakann singkat, tetapi juga bisa dikatakan panjang. Dikatakan singkat karena sepuluh hari aku tidak akan terasa sedangkan dikatakan panjang kalau hari-hari selama sepuluh hari tersebut kulaui dengan latihan dan latihan.
Aku pun mempersiapkan diri, ku telpon kedua orang tuaku dan memohon restu melalui gawai Pak Fahry. Suara gembira di seberang sana menjadi pelecut semangat. Bunda tanpa doamu aku bukan siapa-siapa.
Aku memasuki hotel tempat kami berlomba, di depan hotel sudah terpampang spanduk dengan bacaan" selamat datang para bintang". Satu kaliamat yang menajdi pemicu semangat. Para bintang, kami adalah para bintang yang siap untuk berlomba, bintang di langit yang kehadirannya membuat langit cerah dan indah. Kerlap-kerlip bintang menjadi suatu emandangan yang sayang jika ditinggalkan.
Aku sekamar dengan temanku yang berasal dari kota madya juga tapi dia akan berlomba dalam mencipta puisi. Klop batinku. Aku sekamar dengan orang yang tepat kami sama-sama mempunyai hobi dalam bidang sastra. Semoga kami dapat berkolaborasi dikamar nanti, latihan bersama dan tentunya memberi komentar positif untuk kemajuan. Namanya davinka, dia berasal dari saah satu sekolah favorid juga di kotaku. Davinka anak yang lugu dari kacamatanya sepertinya dia kurang cocok menjadi seorang penyair, dia lebih cocok sebagai seoraang fisikawan. Tapi menurut ceritanya bakat seninya di dapat dari bundanya yang seorang guru bahasa indonesia. Dia selalu diajari dengan menulis puisi dan membaca puisis sejak kecil. Tapi bakatnya lebih menonjol di bidang tulis menulis ketimbang memabaca.
Aku membaca sebait puisi yang ditulis davinka. Luar biasa batinku. Adalagi makhluk yang bisa merangkai kata menjadi puisi dan menggetarkan hati. Davinka seperti Maya. Semakin yakin aku kalau ternyata banyak sastrawan-sastrawan muda di dunia, yang akan meramaikan dunia panggung sastra.
Besok pagi kami berlomba , malam ini kami putuskan untuk tidur jam dua puluh dua malam. Atau jam sepuluh malam, setelah aktivitas makan bersama kami menuju kamar. Aku dan davinka melakukan panggilan Allah, kami menghadapnya, memohon restu. Semoga yang terbaik yang diberikanNya pada kami. Setelah sholat isya berjamaah, aku dan davinka berlatih, davinka mulai menulis sedangkan aku bergumam berlatih puisi yang akan kubaca esok. Aku harus mengharga davinka , tentu sebagai seorang penulis dia membutuhkan suasana tenang. Setelah davinka selesai menulis, aku disuruh membaca hasil tulisannya. Davinka pun bertepuk tangan. Aku hanya tersenyum. Lalu aku membacakan puisi yang akan ku aca bunda, davinka pun kusuruh menilai tentang caraku membaca puisi. Sekali lagi davinka bertepuk tangan. Dia geleng-geleng kepala yang aku tak tau apa maksudnya. " apa maksud gelengan kepalumu Vinka?" tanyaku. " aku tiada menemukan kesahan apapun Rifa, cara membac puisimu mebuatku merinding." Jawabnya. " Ah kamu vinka, disuruh mencari kesalahan malah memuji." Kataku. Kamipun tertawa , dilanjutkan cerita-cerita kecil sambil mengiringi rebahan badan. Lalu kamipun terpulas dan bermimpi indah.
Esok paginya aku terbangun karena suara azan subuh. Ku sentuh davinka lalu dia pun terbangun. Kami sujud bersama, mengharap ridho nya hari ini. Kami pun bersiap-siap untuk mengikuti lomba hari ini. Sebelum lomba diadakan pertemuan untuk memberitahukan kriteria penilaian. Aku sudah paham betul dengan kriteria penilaian nya. Karena aku telah membaca seluruh petunjuk dan teknis yang diberikan Pak Fahry kepadaku. Setelah penjelasan penilaian dilanjutkan pengambilan undian. Aku mendapat undian nomer delapan. Kali ini peserta yang bersaing sebanyak 13 orang, yang mewakili kota dan kabupaten di propinsiku.
Dalam hati aku bersyukur juga mendapat undian nomor delapan, karena aku bisa melihat gaya penampilan teman-temanku. Aku bisa mencuri perhatian juri denagn tampilan-tampilan sebelumnya. Hal ini menguntngkanku. Waktu pun berjalan terus . degup jantungku terasa semakin cepat. Tapi sering ku tanamkan pada diri untuk tenang.
Tibalah giliranku... denyutan jantung semakin cepat. Ketika sampai di panggung aku menenangkan diri dengan menatap semua juri dan penonton. Ketika degup jantung sudah normal aku mulai membaca judul puisiku. Kutenangkan diriku perlahan-lahan. Ku baca baris demi baris ku selesaikan bait-bait dengan mengalir, tiada beban, tiada perasaan bertanding yang penting aku berusaha sebaik mungkin. Makna kata demi kata aku telah memahaminya. Kata Pak Fahry kalau kita sudah paham dengan makna puisinya ekspresi itu akan mengalir saja. Itulah yangkurasakan.