Mohon tunggu...
Surikin SPd
Surikin SPd Mohon Tunggu... Guru - Ririn Surikin

Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rifana

22 Januari 2022   19:50 Diperbarui: 22 Januari 2022   19:52 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sesaat  aku marah, marah pada Tuhan, marah dengan keadaan ku saat ini. mengapa aku tidak pernah lepas dari ujian. Aku masih sekecil ini . Allah tidak adil. Allah tidak sayang padaku. Sampai kubenturkan kepalaku pada dinding. Aduh... " Sakit " teriakku. Baru kusadari bahwa semua ini bukan mimpi. Semua ini kenyataan. Kenyataan yang harus kuhadapi. Ujian kedua kali. Setelah ujian akami kehilangan adik pertamaku , setelah ujian tentang penyakit adik keduaku kini ujian tentang bunda. Tak sanggup aku melihat bunda duduk disana. Tak sanggup aku melihat bunda yang menderita. Tak sanggup aku menatap matanya. Mata yang sayu yang selalu menjadi payung kehidupan selalu melindungiku.

Keesokan paginya aku dibawa ayah untuk menjenguk bunda. Hari itu aku tidak pergi ke sekolah. Aku yang meminta pada ayah. Karena aku ingin bertemu bunda , ingin melihat bagaimana keadaannya. Ingin ku peluk bunda. Aku ingin menghbundarnya. Aku kangen padanya.

Langkah kaki ini sangat berat ketika memasuki ruangan yang berjeruji besi. Mataku liar, mencari di dalam sel mana bunda. Tapi tak pernah ku jumpai. Saat ayah bertanya dengan seorang polwan, polwan itu mengatakan kalau bunda sedang dilakukan pemeriksaan. Kami harus menunggu kalau ingin bertemu.

Kami pun menungu. Detik demi detik  waktu terdengar olehku sangat keras. Aku panik. Mondar-mandir, duduk berdiri karena kegelisahan diri. Rasanya tak sabar aku ingin melihat bunda. Dalam keheningan itu ku dengar suara mengiba" Mbak Ana". Kupalingkan wajah " Bunda!!!" jeritku. Ku berlari memeluk bunda. Tangisanku pecah. Begitu juga dengan bunda kulihar butiran air bening mengalir dari matanya. Satu kalimatnya yang dia ucapkan" Maafkan Bunda Nak". Aku belum mengerti apa maksud ucapannya. Mengapa bunda yang meminta maaf padaku. Seharusnya aku yang meeminta maaf padanya.

Kesedihan hati kami tak terucap lewat kata kata, kami hanya saling berpelukan sambil berurai air mata. Sesaat bunda dipanggil oleh seorang polwan canttik dan memintanya untuk kembali keruangan untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya. Akupun terpaksa melepas pelukan bunda. Lalu bunda berjalan dengan langkah gontai menuju ruang pemeriksaan.

Begitu tersiksanya hatiku melihat bunda yang ayu berjalan layu . dipegang oleh seorang wanita yang aku tak tau entah siapa. Hanya sesekali bunda melambaikan tangan padaku ku balas lambaian pula. Bunda ... seandainya boleh bertukar peran biar aku yang menggantikan peranmu. Biar aku yang dibawa polwan cantik itu dan melakukan pemeriksaan. Bunda aku tak sanggup menyaksikan semua ini. Bunda .. pasti bunda tak bersalah, pasti bunda tidak melakukan penggelapan uang itu. Bunda ap yang harus aku lakukan untuk membelamu?

Ayah mengajakku pulang, setelah berbicara dengan bunda. Entah apa yang mereka diskusikan tetapi aku mendengar ada kata persidangan. Bayangan kata persidangan pun tak luput dari pikiranku. Bunda akan disidang, bunda akan jadi pesakitan. Akan ada jaksa, hakim, panitera dan bunda menjadi terdakwa. Tak sanggup aku membayangkan kalau hal ini benar-benar terjadi. Tapi itulah yang kuhadapi. Hal yang kupikirkan selama ini benar benar terjadi.

Dalam persidangan duduk di kursi pesakitan. Hakim memvonis bunda  terbukti bersalah karena telah  menerima uang hibah , Tetapi tidak bisa mempertanggungjawabkan laporan yang dbundaat. Sebagian dana tidak ada kwitansinya. Walaupun bunda sudah menjelaskan dengan berbagai cara tetapi karena tidak ada bukti maka itu tetap memberatkan tuduhan pada  bunda. Akhirnya bunda di putus hukuman penjara selama dua tahun.

Begitu vonis telah dibacakan. Riuh suara dipersidangan. Samar-samar ku dengar banyak yang  membela bunda, tetapi ada juga yang mencelanya. Ku lihat bunda berjalan layu  menuju pengacaranya. Berdiskusi entah membicarakan apa. Tetapi yang jelas putusan hakim lebih ringan dan tuntutan jaksa yang memutuskan bunda di hukum selama empat tahun. Setelah bunda berdiskusi dengan pengacara bunda kembali ke kursi pesakitan dan mengatakan menerima dengan semua putusan. Ya Tuhan.... bunda menerima hukuman yang diberikan hakim. Bunda menerima hukuman atas kesalahan yang tidak ia lakukan. Kepadanya dituduhkan menggelapkan uang empat puluh lima puluh juta rupian, padahal semua itu tidak benar. Tetapi karena tidak ada bukti bunda kalah dipersidangan.

Setelah selesai persidangan bunda langsung di bawa ke satu ruangan. Aku yang saat itu ingin memeluk  bunda tetapi tidak bisa karena bunda dijaga ketat oleh aparat kejaksaan. Aku hanya bisa menangis dan memeluk ayah. Kulihat ayah juga murka,tapi pada siapa harus ia lampiaskan. Akhirnya ayah hanya terduduk lemas di kursi ruang sidang. Lama kami hanya membisu diam tak bergerak. Rasanya badanku lemas. Tulang belulangku patah. Tak sanggup aku melihat bunda menderita seperti ini. Bunda..... jeritku memecah kesepian ruang persidangan.

Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Dua tahun bunda akan mengalami kehidupan di penjara. Luluh lantak rasanya seluruh tulang tulangku. Aku tak sanggup berdiri ketika putusan yang mengatakan aku harus berpisah dengan bunda. Aku tak bisa membayangkan berpisah dengan bunda. bunda yang sangat ku cintai, bunda yang sangat kuhormati, bunda yang selalu mendampingi suka dukaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun