Mohon tunggu...
Surikin SPd
Surikin SPd Mohon Tunggu... Guru - Ririn Surikin

Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rifana

22 Januari 2022   19:50 Diperbarui: 22 Januari 2022   19:52 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pada hari senin saat selesai upacara bendera kebiasaan sekolah mengumumkan para siswa yang menang dalam perlombaan. Kali ini aku juga mengalami hal yang sama. Aku dan beberapa teman yang mengikuti lomba di panggil ke depan untuk diberi penghargaan dari sekolah. Aku juara pertama membaca puisi, Naufal Rafif juara dua mading tiga dimensi, Ayu, juara tiga fotografi. Kami dipanggil kedepan setelah pemberian penghargaan dari sekolah kami di suruh memberikan pengalaman serta usaha apa yang dilakukan senhingga bisa mendapat juara. Aku pun menceritakan bagaimana proses keberhasilanku dalam membaca puisi begitu juga dengan naufal dan ayu. Mungkin pengalaman kami bisa di contoh bagi siswa-siswa yang lain.

Berjejer diantara ratusan piala, pialaku berdiri kokoh di barisan depan lemari sekolahku. Ratusan piala berjejer disana menjadi pemandangan pelecut semangat semakin lama piala yang didapat maka dia bergeser ke bagian belakang diisi dengan piala-piala yang baru. Tetulis dalam pialaku juara satu pembacaan puisi. Tertulis juga nama unversitasnya.

Ucapan selamat juga datang dari guru-guru dan kepala sekolahku. Setiap bertemu dengan ku mereka mengucapkan selamat atas keberhasilanku. Sikap guru- guru ini membuatku makin kagum pada mereka. Selain mereka telah menularkan ilmunya mereka tidak segan-segan untuk menghargai yang kecil. Menjunjung yang tertinggal. Mengangkat yang terpendam.

Demikianlah hari-hari setelah kemenangan pertamaku, aku selau mengikuti lomba-lomba baca puisi yang diadakan oleh perguruan tinggi maupun dinas pendidikan. Tapi aku mempunyai satu keinginan untuk berhasil pada FLS2N tahun ini. Pengalamanku ketika SMP yang baru juara dua dan itu tidak membawaku ke nasional menjadi pelecut semangat untuk tahun ini. Deretan prestasi membeca puisi yang ku peoleh dari universitas, menobatkanku untuk menjadi perwakilan sekolahku dalam ajang FLS2N. Pak Fahry telah berulang kali mengatakan padaku kalau aku akan di utus sebagai perwakilan sekolah untuk maju seleksi di kota. Lkalau aku berhasil seleksi di kota aku akan maju ke propinsi dan kalau aku bisa meraih juara satu propinsi maka aku akan menjadi perwakilan propinsi ke nasional. FLS2N kali ini akan diadakan di palembang.

Itu impianku kedepan. Aku pergi ke palembang untuk mewakili propinsi. Aku ingin bertemu dengan teman-teman yang mempunyai hobi yang sama. Aku harus berusaha untuk hal ini selanjutnya aku akan pasrahkan pada Allah SWT. Jika sudah berusaha dan berdoa maka tiada yang mustahil baguNya.

Hari berlalu bulan pun berganti, siang dan malam seperti berkejar-kejaran. Waktu seleksi FLS2N tingkat kota sudah didepan mata. Berbekal ilmu dan bimbingan dari Pak Fahry membuatku yakin pada langkah diri. Yang ada dipikiranku aku harus maksimal, tanpa harus memikirkan mendapat juara atau tidak, bagiku kali ini hal pertama yang ku lakukan aku harus bersaing dengan kawan-kawan SMA se kota madya. Puluhan  SMA mengikuti kegiatan ini. Dimata ku sainganku kali ini berat-berat. Cara mereka memaca puisi juga luar biasa. Aku  tampil dengan nomor undian tiga belas. Sebelum tampil aku benar-benar menyimak bacaan dari teman-temanku. Cara mereka memcanya, intonasi dan ekspresi mereka membuatku bertambah kaya. Ilmu dari mereka sedikit-sedikit ku kumpulkan.  Sudadah dua belas orang berlalu, sampailah ke nomor undianku. Kata orang nomor tiga belas adalah nomor sial, tapi aku tak pernah yakin akan hal itu. Bagiku nomor tiga belas sama seperti nomor-nomor lainnya.

Bahkan nomor tiga belas menjadi nomor keberuntungan bagiku. Setelah perlombaan kami selesai, kami menunggu pengumuman. Juri masih bekerja. Ku isi waktu ku dengan berjalan ke ruangan lain yang sedang audisi bernyanyi. Vokal solo, ya... itu tepatnya. Rasa kagumku bertambah di sini. Para peserta bernyanyi begitu sempurna seperti sudah menjadi penyanyi profesional. Lantunan lagu ayat-ayat cinta yang nyanyikan oleh rasa mereka bawakan dengan penuh penghayatan. Aku sendiri bingung ketika harus menentukan pemenangnya. Untung aku bukan jurinya,wkwkw....

Begitu pukul mengarah ke angka empat maka pengumuman kami dibacakan. Tiada disangka tiada di nyana, nomor tiga belas adalah pemenangnya. Kali ini aku terpilih lagi untuk mewakili kota madya ke propinsi, aku langsung sujud syukur berterimakasih pada sang illahi.  Tiada henti-hentinya karunia illahi padaku. Hal yang selama ini kuimpikan kini jadi kenyataan. Alhamdulillah ya Allah. Aku  maju ke propinsi untuk berjuang melawan teman-teman dari kabupaten lain.

Langkah semakin jelas tinggal satu langkah menuju nasional. Aku harus bekerja keras, berlatih membaca dan menginterpretasi puisi yang terpenting. Pada lomba tingkat propinsi banyak puisi yang sisajikan tetapi aku menentukan du apilihan. Pilihan pertama puisi berjudul "Jembatan" karangan  Sutarji Calzoum Bahri  dan puisi kedua berjudul " Nyanyian kemerdekaan" karangan Ahmadun Yosi Herfanda.

Pak Fahry selaku guru pembimbingku juga merasa bahagia. Diucapkannya selamat padaku berkali--kali. Aku ingin menangis rasanya. Kini setiap hari-hariku dipenuhi dengan puisi. Aku berlatih ditemani sahabat karibku Maya, yang selalu emmberi komentar positif untuk kemajuannku. Maya sang penyair berbakat selalu juga embuatkanku satu puisi yang dia bacakan khusus untukku." Maya. Cara membaca puisimu bagus, tapi mengapa engaku tidak mau membacakan puisi-puisimu ?" tanyaku suatu hari. Maya menjawab " tugas kuadalah membuat puisi dan kamu yang membacanya, suatu hari nanti aku ingin melihat engaku membacakan puisi karya ku Rifa." Demikian balasnya.

Oh ya... mungkin aku belum bercerita banyak tentang Maya. Maya sahabat ku di perantauan ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ujian yang diberikan Allah kepada Maya lebih berat dari ujian yang diberikan kepadaku. Waktu Maya kelas tiga SMP ayahnya meninggal dunia. Kini tinggAllah Maya bersama bunda dan kedua adiknya. Tekad Maya untuk maju perlu ku acungi dua jempol, dia sadar betul kalau tulang punggung keluarganya kini telah pergi, bundanya yang seorang penjahit kini menjadi tulang punggung keluarga. Tapi kulihat Maya seorang anak yang tegar, bersemangat, ulet dan rajin. Dia pernah bercerita kepadaaku bahwa dia berkeinginan kuliah di perguruan tinggi terkenal seperti Universitas Indonesia  ( UI ) atau di Institut Teknologi Bandung ( ITB ). Maya mau kulaih dengan bea siswa. Maya selain ahli menciptakan puisi juga ahli dalam bidang hitungan. Kedua otak kanan dan kirinya berfungsi. Maya pernah menjadi juara waktu Olimpiade Fisika da dsalah satu Universitas ternama di kotaku, Maya yang hobi eksakta sangat mempunyai kekurangannya dalam pelajaran yang sifatnya hafalan. Mungkin itulah yang menyebabkannya menjadi juara tiga di kelasku. Aku dan Maya selalu bersaing. Bersaing sehat dalam belajar. Kami juga bersaing bangun pagi, dan membereskan tempat tidur. Bagiku Maya teman yang luar biasa. Salah satu penyemangat hidupku di rantau.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun