"Bapak mengajak kamu sebab penggali kubur satunya nggak bisa. Tangannya katanya kesleo."
Sobar anak yang baik, ia tahu perjuangan ayahnya yang membiayai dirinya untuk sekolah. Untuk itu dirinya tak mau membantah perintah orangtuanya. Ia mengiyakan ajakan itu. "Iya pak," ujar Sobar dengan pelan. Setelah Sobar tak merasa keberatan, dua orang itu pergi ke kuburan. Di pundak keduanya terpanggul cangkul. Di tangan kanan Samiun memegang sabit, sedang di tangan kiri Sobar membawa linggis. Alat-alat itulah yang akan digunakan untuk menggali tanah di pemakaman untuk dijadikan lubang kubur.
Pada hari itu, Pak Atmo meninggal dunia. Dulunya ia adalah kepala sekolah swasta. Sekolah swasta yang dikelolanya cukup maju. Berbagai prestasi di tingkat kabupaten diraih. Setelah dirinya pensiun, dirinya diganti oleh anaknya.
Menurut kabar, Pak Atmo meninggal dunia karena penyakit gula. Penyakit itu dideritanya sudah sejak lama. Setelah opname di rumah sakit selama dua bulan, akhirnya nyawanya tak tertolong.
Sesampai di kuburan, sudah ada dua penggali kubur lainnya. Empat orang dianggap oleh Samiun sebagai jumlah yang ideal. Kalau hanya dirinya dan Sobar tentu dirasa berat dan memakan waktu yang lama. Dalam menggali kubur, memang di antara penggali kubur saling memberitahu dan bila ada permintaan penggalian akan dikerjakan bersama-sama. Upah yang didapat akan dibagi secara adil.
Pada hari itu, para penggali kubur merasa senang sebab tanah yang digali terasa ringan sebab hujan tadi malam yang mengguyur membuat tanah menjadi lembek sehingga membuat tenaga yang dihempaskan tidak terlalu ngoyo. Tanah yang lembek membuat proses pembuatan lubang kubur dan liang lahat cepat selesai.
Setelah setengah jam penggalian lubang kubur selesai, jenazah Pak Atmo tiba. Proses pemakamannya pun lancar. Rintik-rintik hujan yang turun tak mengganggu proses pembumian jenazah itu.
Sebelum keluarga Pak Atmo meninggalkan peristirahatan terakhirnya, salah seseorang menghampiri Samiun. Dengan sembunyi-sembunyi ia menyelipkan segepok uang. Cara sembunyi-sembunyi merupakan cara yang sopan sebab kalau diberi secara vulgar, di depan mata banyak orang, hal demikian dirasa tak elok. "Terima kasih mas," ujar Samiun pada orang itu.
"Sama-sama," ujar pria yang sepertinya anaknya Pak Atmo.
Setelah semuanya meninggalkan tempat itu, kecuali Samiun, Sobar, dan dua penggali kubur lainnya, mereka berempat menuju ke balik pohon besar. Di balik pohon itu mereka membagi uang secara adil. Semuanya merasa senang.
"Sudah ya kang kalau begitu, aku pulang," ujar salah satu di antara dua penggali kubur itu.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134