Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Para Penggali Kubur

7 Februari 2022   11:41 Diperbarui: 7 Februari 2022   11:43 2304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mendengar kata-kata kasar dan nylekit, badan Samiun yang sudah lemas karena melihat pembantaian massal, menjadi tambah lemas. Ia membayangkan jarak antara rumah dan Kali Keyang tidak dekat. Bila dirinya jalan kaki tentu memerlukan waktu yang tak sebentar. Dibonceng naik sepeda motor saja memerlukan waktu setengah jam, apalagi kalau mengayunkan kaki.

Slamet meninggalkan Samiun dengan tak peduli. Dengan muka kesal, Samiun meninggalkan tempat itu. Sebelum beranjak, ia sempat melihat tempat pembantaian. Darah segar tercecer meruah di pasir basah yang sesekali tergerus oleh limpahan air sungai. Untuk tidak menimbulkan suasana yang menakutkan, Samiun menghampiri tempat itu dan menguruk dengan pasir yang ada. Cangkul diayunkan untuk memindahkan pasir yang ada ke ceceran darah segar itu. Setelah ceceran darah itu tertimbun tanah, Samiun meninggalkan tempat itu. Ia menatap ke atas, matahari sudah melewati batas hari.

***

            Selangkah dua langkah kaki Samiun mengayun. Ia mencoba untuk jalan santai untuk pulang. Jalan santai agar bisa menikmat suasana desa yang masih asri dan berudara segar. Pulang menuju ke rumah, Samiun harus melintasi kali dari terusan Kali Keyang. Kali Keyang beralur melingkar hingga menuju lintasan yang akan dilewati Samiun.

            Sasak, jembatan dari bambu, yang menghubungkan dua daratan sudah diinjak. Lewat sasak ia menuju desanya. Sasak itu bergoyang ditindih oleh berat badan Samiun yang sebenarnya tak seberapa. Dirinya cemas sebab merasa sasak itu sudah lapuk. Untuk itu ia berpegangan pada pagar sasak. Di bawah terlihat arus deras kali mengalir dengan pelan.

            Saat berada di tengah sasak, Samiun berhenti dan memandang air kali. Arus yang ada menghanyutkan kotoran-kotoran alam seperti batang pohon, ranting, dedaunan, dan kotoran manusia. Di tengah menikmati air sungai yang menghanyutkan kotoran alam, tiba-tiba dirinya melihat sesuatu mengapung dan bergerombol. Dirinya menerka-nerka, apa yang mengapung itu.

            Air yang menghayutkan itu terus bergerak sehingga semakin membuat pandangan Samiun semakin jelas dari apa yang mengapung itu. Begitu sudah dilihat dengan jelas, ia langsung berujar, "ya Allah." Apa yang mengapung dan bergerombol itu ternyata mayat-mayat dari orang yang dibantai tadi. Mayat-mayat itu mengapung tanpa kepala terbawa oleh arus kali. Lehernya sudah tak memuncratkan darah karena sudah tersapu oleh air kali.

            Setelah melintasi sasak, mayat-mayat itu makin lama mengecil dipandang hingga akhirnya hilang ditelan oleh rerimbunan pohon bambu yang tunbuh di kanan kiri kali.

            Tubuh Samiun lemas setelah melihat mayat-mayat itu namun dirinya harus meninggalkan tempat ia berdiri. Dengan tenaga yang masih ada, ia melanjutkan perjalanan.

            Sasak pun sudah dilewati. Sekarang ia harus menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya sawah yang tengah tumbuh padi. Dirinya tahu di antara petak sawah itu adalah milik orang-orang yang dibantai tadi sehingga muncul pikirannya, siapa yang mengurus petak sawah itu.

            Seharusnya tanaman padi itu harus sudah dipupuk namun tak terurus sehingga membuat tanaman itu terlihat layu. "Kalau banyak sawah tak terurus, bisa-bisa nanti akan masyarakat akan kekurang pangan," gumamnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun