Buah-buah pohon kelapa yang sudah diunduh oleh Samiun sudah dimasukan ke dalam keranjang. Dua keranjang yang terbuat dari jalinan bambu itu penuh dengan buah yang berbentuk bulat lonjong. Sebelum membawa ke pasar, Samiun masuk ke dalam rumah dan menemui Sarmini, "saya mau ke pasar, berdagang buah kelapa."
      "Kamu jaga rumah ini."
      Sarmini hanya mengangguk mendengar ucapan itu. Selanjutnya Samiun keluar rumah. Dua keranjang yang penuh dengan buah kelapa itu diangkat dengan sebilah batang bambu. Terasa berat di pundaknya namun sepertinya ia tak peduli. Kaki diayunkan dan selangkah demi langkah menghilang di jalan depan rumah.
      Sarmini menghela nafas panjang saat Samiun hilang ditelan rerimbunan semak dan pohon. Sarmini sepertinya merasa bebas setelah ditinggal laki-laki pemilik rumah. Dalam kesendiriannya itu ia melihat apa saja yang ada di rumah itu. Ia berjalan dari ruang tengah, kamar, hingga dapur. Sarmini merasa Samiun adalah orang yang sederhana. Semua peralatan ada di rumah itu meski tak sebagus barang yang dimiliki keluarganya.
      Di tengah kesendirian, dalam pikiran muncul untuk meninggalkan rumah itu. Pikirannya mengatakan, "saya tidak bisa lama-lama di sini. Terlalu lama di rumah ini bisa membuat aku menderita." Ia beranjak dari kursi yang menyangga pantatnya. Ia mengemasi pakaian yang pernah dipakai dan dimasukkan ke dalam tas. Sebuah tas bekas yang tengah menggantung di dinding. "Biarlah pakaian yang diberikan laki-laki itu yang saat ini aku kenakan, aku bawa," gumamnya dalam hati.
      Setelah merasa siap, perempuan itu menuju pintu keluar. Daun pintu dipegang dan selanjutnya digerakkan agar membuka, pintu terdorong hingga apa yang di luar bisa ditatap namun secara spontan ketakutan muncul, pintu segera didorong agar menutup rapat. Keringat dingin mengucur dari tubuh, wajahnya pucat.
      Apa gerangan yang membuat Sarmini merasa ketakutan? Rupanya ia melihat, di jalan depan rumah, beberapa puluh pemuda tengah menggelandang beberapa laki-laki dan satu orang perempuan. Para pemuda itu membawa pedang, klewang, dan clurit. Tak hanya menggelandang, para pemuda itu berteriak-teriak, "ini orang PKI, ini perempuan Gerwani."
      "Kita tangkap mereka karena dulu suka merebut tanah dan memberontak."
      "Selanjutnya kita penggal lehernya."
      Setelah pintu itu dikunci, Sarmini berlari mencari tempat persembunyian. Ia berlari ke mblandongan, kamar mandi. Ia meringkuk di sebuah sudut tempat itu. Badannya menggigil. Setelah meringkuk bersembunyi di tempat itu, Sarmini secara pelan bangkit. Dalam hati bertanya, apakah di luar sudah aman atau belum. Senyap terasa, hal demikian membuat ia berpikir bahwa di luar sudah tak ada lagi gerombolan pemuda pencari orang-orang PKI dan pendukungnya.
      Rasa takut dan traumanya berusaha didepak dari jiwa. Setelah suasana dirasa aman, niat untuk kabur dari rumah masih menggelora. Ia segera melangkah menuju pintu keluar. Pintu pun dibuka, kakinya mulai melangkah keluar. Nafas panjang dihela sebagai bentuk dirinya bebas seperti orang yang keluar dari kungkungan. Jalan setapak yang menghubungkan rumah itu dengan jalan disusuri namun tiba-tiba keringat dingin mengalir dari tubuh, wajahnya pucat. Ketakutan yang demikian membuat darahnya berhenti mengalir sehingga kakinya susah digerakkan padahal ia ingin segera berlari.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134