Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Para Penggali Kubur

7 Februari 2022   11:41 Diperbarui: 7 Februari 2022   11:43 2304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bungkusan nasi itu dilahap keempat orang itu. Seteko teh pun habis diteguknya. Selepas mengisi perut dan mengusir rasa haus, Kudir dan Warso menghisap rokok yang dilintingnya sendiri. Sedang Sobar dan Miko nampak leyeh-leyeh kekenyangan. Di tengah asyiknya suasana itu, terlihat Soleh dengan sedikit berlari mendekati mereka. "Jenazah sudah tiba," ujarnya. Mendengar kabar yang demikian, sontak keempat laki-laki itu segera mengambil alat-alat galinya dan bergegas menuju ke tempat di mana ia menggali liang lahat tadi.

Soleh, Sobar, Warso, Miko, dan Kudir melihat iring-iringan penghantar jenazah Mbah Slamet memasuki Kuburan Gondo Arum. Di depan keranda jenazah terlihat istri Mbah Slamet, Mbah Karti, yang didampingi Heru, Sumiati, dan Cahyo. Ketiga orang itu adalah anak Mbah Slamet. Mata merah dan linangan air mata terlihat pada istri dan ketiga anak Mbah Slamet.

Iring-iringan jenazah yang menghantar Mbah Slamet terlihat cukup panjang, banyak orang yang menghantar kepergian sesepuh desa itu ke tempat peristirahatan terakhir. Tiba di dekat liang lahat, keranda diturunkan. Sebelum jenazah itu dimasukkan ke liang lahat, Pak Toha, ketua rukun warga, memberikan sambutan perpisahan. Di tengah sambutan itu terdengar suara sesunggukkan tangis yang terdengar jelas.

Istri dan anak Mbah Slamet sepertinya tak rela berpisah dengannya. Selepas Pak Modin membacakan doa dan mengumandangkan adzan, maka jenazah dimasukkan ke liang lahat. Mbah Karti dan ketiga anaknya langsung histeris dan meraung-raung. "Pake..., pake," aku ojo, jangan, ditinggal," Mbah Karti histeris. Untungnya saudara Mbah Slamet lainnya segera memegangi tubuh perempuan berumur 60 tahun itu sehingga tak mengganggu proses pemakaman.

Sobar, Kudir, Warso, dan Miko langsung menguruk liang lahat itu dengan tanah bekas galian tadi. Pacul dan sekop memindahkan tanah bekas galian itu perlahan-lahan ke dalam liang lahat hingga liang lahat itu tertutup tanah. Gundukan tanah sekarang terlihat di atas makam kuburan Mbah Slamet. Gundukan tanah itu pun ditabur dengan bunga tiga warna.

Selesai sudah prosesi pemakaman, satu per satu pengantar meninggalkan makam itu. Mbah Karti dan ketiga anaknya diajak beranjak oleh saudaranya untuk meninggalkan peristirahatan terakhir orang yang dicintainya. Dengan berat hati, Mbah Karti dan ketiga anaknya ikhlas mengangkat kakinya. Hanya Sobar, Kudir, Warso, dan Miko yang masih berada di samping makam Mbah Slamet.

Tak lama kemudian, Joko mendekati mereka. "Ini Mas uang rokoknya," ujar Joko. "O, yo matur suwun, terima kasih ya mas," Sobar tersenyum saat pegawai negeri sipil kecamatan itu menyelipkan uang puluhan ribu ke tangannya. "Sudah ya mas aku mulih, pulang," kata Joko sambil meninggalkan tempat itu, "Yo mas," jawab serempak keempat orang itu. Kuburan pun kembali sepi. Dalam suasana sepi itu mereka berempat membagi uang tadi dengan adil. Nampak wajah puas pada muka-muka para penggali kubur itu.

***

Di serambi rumahnya yang sederhana, Sobar duduk di sebuah kursi kayu yang sudah melapuk. Di tempat itu dirinya biasa menikmati sore hingga magrib. Bila ada orang melintas di depan rumah, orang itu menyapa Sobar, dirinya pun terkadang juga lebih dahulu menyapa orang yang melintas di depannya.

"Pak, piye, bagaimana hari ini ada rejeki," ujar istrinya. Pertanyaan itu mengagetkan Sobar. Dirinya pun tersenyum, "Syukur mbok," jawabnya dengan ala kadar. "Ya pak, mudah-mudahan rejeki kita banyak karena kebutuhan sehari-hari meningkat," papar istrinya. "Anak kita mau masuk SMA, terus yang kedua minta baju sekolah yang baru," istrinya kembali mengoceh. "Belum lagi bahan bakar minyak naik pak, apes, sial, kita nggak tercatat sebagai penerima kartu jaminan dari pemerintah," istrinya terus berseloroh.

"Iya, iya mbok, sabar saja, rejeki pasti akan datang pada kita," Sobar menimpali ocehan istrinya itu. "Sabar piye, bagaimana, to pak, wong anake butuh sekolah kok kon, disuruh, sabar," ujar istrinya yang mulai tak sabar dengan jawaban suaminya itu. "Dulu saat mau nikahi aku katanya mau menjamin hidupku luwih enak, mana bukti omonganmu itu," istrinya tambah ngomel.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun