Juminah berjalan mengendap-ngendap menuju ke sebuah rumah kayu yang bangunannya sepertinya sudah reyot. Rumah kayu yang berdiri di samping pohon nangka besar itu tampak menyeramkan. Kayu-kayu yang menyusunnya terlihat berwarna hitam. Warna hitam tergores dari jelaga, buah dari pembakaran kayu yang dilakukan oleh penghuni.
Pohon nangka yang berdiri kekar di samping rumah dengan daun yang rimbun, menurut orang dusun disebut sebagai tempat tinggal gondoruwo, makhluk tinggi besar, berkulit hitam, berambut gimbal, berwajah seram, dan bergigi taring tajam. Gondoruwo itu konon katanya suka menculik anak kecil di dusun dan dibawa ke pohon nangka.
Dari cerita itulah membuat orang-orang dusun tidak mau mengganggu dan mengusik pohon nangka dan penghuni rumah kayu itu. Juminah percaya dengan omongan itu sehingga saat menuju ke rumah itu, hatinya tak tenang, was-was menyelimuti perasaan. Jangan-jangan gondoruwo tiba-tiba berada di depan dirinya.
Malam itu malam jumat kliwon, malam yang dianggap oleh semua orang sebagai malam keramat. Senyap terasa malam itu, seolah-olah semua sedang menahan nafas. Mbak Kiro dengan memegang obor di tangan kanan menuju ke rumah kayu itu. Di tengah kecemasan itu hatinya bertambah ciut saat anjing liar menggonggong panjang. Menurut kepercayaan bila ada anjing menggonggong itu pertanda melihat setan atau makhluk halus.
Jalan setapak menujur rumah kayu terus disusuri hingga akhirnya berada di depan pintu rumah pintu itu. Diketuknya pintu kayu dengan pelan-pelan, "tok, tok, tok." Tak ada jawaban, diulangi lagi. Hasilnya rupanya sama. Mbok Siyo penasaran mengapa penghuni rumah kayu tak menjawab. Ia mencoba mengintip ke dalam, kebetulan di pintu itu ada lubang kecil. Dari lubang kecil itu ia bisa melihat ke dalam dengan jelas. Dirinya terperanjat ketika Mak Sampir, penghuni rumah kayu, sedang duduk membelakangi dirinya. Di depan Mak Sampir sepertinya ada sesajen beraneka rupa, ada telur putih, kembang telon, ayam, dupa, dan lain sebagainya.
Bau kemenyan menyeruak di hidung. Juminah menduga Mak Sampir sedang membaca mantra dan tengah berkomunikasi entah dengan siapa. Suasana menjadi mencekam saat Mak Sampir membaca mantra dengan keras, tiba-tiba angin bertiup dengan kencang. Juminah merunduk saat angin kencang itu menerpa dirinya. Saat merunduk dirinya menyenggol sebuah tiang kayu yang berada di sampingnya. Tiang kayu itu oleng sehingga roboh. Bunyi robohnya demikian keras sehingga suaranya sampai terdengar di dalam.
Mendengar ada sesuatu yang roboh di rumahnya, Mak Sampir langsung menoleh ke arah pintu dan menghentikan bacaan mantranya. Bangkit dari duduknya, Mak Sampir dengan dibantu tongkatnya berjalan terseok-seok ke arah pintu. Tongkatnya panjang di mana ujungnya terpasang kepala tengkorak. Tongkat itu dihentakkan ke lantai kayu sehingga menimbulkan dentum kuat. Hal demikian membuat Juminah menjadi takut bukan kepalang, takut sangat. Ia takut apa jadinya bila Mak Sampir marah padanya.
Juminah hanya bisa pasrah bila berhadapan dengannya.
"Krieeetttttttt...." suara menderit saat pintu itu dibuka.
Juminah langsung lemas saat Mak Sampir menatapnya tajam. Di tengah rasa takut yang membuat dirinya lemas, tiba-tiba perempuan tua itu tertawa cekikikan. Tawanya melengking membuat telinga Juminah seperti tertusuk sapu lidi. "Hi hi hi..... Hi hi hi.. Hi hi hi.... "
Mak Sampir tertawa melengking sebab tahu Juminah ketakutan.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134