Malam itu, selepas hujan yang sangat deras, suasana Desa Gunung Siji, yang setiap malam sudah sepi, bertambah sepi, di jalan-jalan yang menghubungkan antar rumah tak ada yang melintas
Penduduk desa lebih menikmati malam dengan berselimut sarung di kamar masing-masing. Bila malam itu ada yang melintas, mereka adalah binatang malam seperti kelelawar yang mencari mangsa.
Di tengah kesenyapan malam yang mendekap, di sebuah rumah yang terbuat dari anyaman babu, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi yang memecahkan kesunyian.Â
Di tengah suara tangisan itu secara serentak, dari beberapa mulut keluar suara, "Allhamdulillah." Dengan suara yang agak serak, Mbah Karti, sang dukun bayi menggendong bayi itu dan menepuk pantatnya sambil mengatakan, "Cep, cep, Ngger, diam ya nak."
Di rumah Pak Lunjak meski malam dingin membelit, namun suasana bahagia atas kelahiran anak pertama, sehingga dingin itu berhasil dihalau dengan kebahagian. Wajah Pak Lunjak memancarkan keceriaan laksana bulan yang bersinar di malam itu. Sementara wajah istrinya, Bu Cengkling, meski masih pucat, nampak teduh. Rintihan dan suara mengaduh dari mulutnya yang tadi kerap keluar, berubah menjadi senyuman yang tak pernah berhenti.
"Syukur Njak, anakmu sehat dan montok," ujar Mbah Karti kepada Pak Lunjak. "Aku harap kamu nanti mengasihi anakmu dan menjaga dia baik-baik," kata sang dukun bayi yang kesohor di Desa Gunung Siji itu sambil meletakkan bayi montok itu di kursi yang terbuat dari anyaman bambu.Â
"Terus mau Kamu namakan siapa anakmu itu," cerocos perempuan berumur 70 tahun itu. "Saya masih mencari di buku primbon Mbah soal nama," ujar Pak Lunjak. "Saya harus menyesuaikan dengan weton yang ada," tambah Pak Lunjak sambil menghisap cerutu rokok lintingannya sendiri.
"Yo wis ya, kalau begitu Aku pulang dulu, nanti kalau ada apa-apa dengan bayimu, Aku bisa dipanggil lagi," ucap Mbah Karti sambil mengemas beberapa barang yang biasa ia bawa saat menolong orang melahirkan. "Nggih Mbak," sahut Pak Lunjak sambil menyelipkan sebuah amplop di tas Mbak Karti. Saat menyelipkan amplop itu Mbah Karti dengan basa-basi ia mengatakan, "Wis ora usah repot-repot. Aku kan saudaramu." Amplop yang diselipkan ke dalam tas itu adalah upah buat Mbak Karti yang telah membantu persalinan istrinya.
Dengan membuka pintu rumahnya, Pak Lunjak melepas kepulangan Mbah Karti. Mbah Karti dengan membekap dirinya dengan sarung meninggalkan rumah Pak Lunjak. Setelah Mbah Karti hilang ditelan kegelapan malam, Pak Lunjak pun menutup pintu rumahnya kembali.
***
Di tengah rumah, Pak Lunjak membolak-balik buku primbon. Dibaca halaman demi halaman untuk mencari makna nama yang cocok untuk diberikan kepada anaknya.Â
Setelah sekian lama, keluarlah sebuah kalimat dari mulutnya, "Nah ini nama yang cocok buat anakku." Nama anaknya ditemukan setelah matanya tersandung pada kata yang mempunyai makna lincah dan tangguh. "Nama anakku adalah Trengginas," ujarnya dengan bersemangat.
Selepas menemukan kata itu, ia beranjak dari kursi kayu dan menuju ke tempat istrinya yang sedang menyusui anak yang belum punya nama itu. "Bu, Bu, aku sudah mempunyai nama yang cocok buat anak kita," kata Pak Lunjak yang mengagetkan istrinya yang sedang asyik menyusui bayi montok itu.Â
Meski kaget, namun Bu Cengkling tidak berang kepada suaminya yang tercinta itu. "Namanya apa Pak buat anak Kita ini," tanya istrinya dengan harap-harap cemas. "Trengginas," jawab Pak Lunjak.Â
Mendengar nama itu wajah istrinya biasa-biasa saja, tak ada kejutan. Soal nama baginya mungkin tak menjadi soal, yang penting bagi dirinya adalah anaknya sehat dan keturunan yang diinginkan sudah dikabulkan oleh Allah. "Ya sudah Pak, aku nurut saja," ucapnya.
Mendengar istrinya menerima usulan nama itu, Pak Lunjak pun tersenyum gembira. Ia kembali ke ruang tengah rumahnya. Ia menghampiri lemari yang sudah reot di ruang itu. Ia mencari-cari siapa tahu ada kertas putih yang bisa digunakan untuk menulis nama anaknya yang kemudian dipasang di dinding rumahnya.Â
Setelah mengobrak-abrik isi lemari, ia tak menemukan kertas putih, yang ada hanyalah kertas-kertas bekas dirinya meramal nomer buntut atau nomer judi. Meski sekolahnya hanya sampai sekolah rakyat, Pak Lunjak rupanya tidak kehilangan akal. Kalendar yang ada di dinding, yang bentuk lembaran per bulan, pada bulan yang sudah lewat disobeknya. Di balik lembaran kalender yang disobeknya itulah terhampar sebuah kertas yang tak ada coretan.
Di lembaran kertas yang tak ada coretan itu, Pak Lunjak dengan hati-hati dan tangannya yang tertatih-tatih menulis huruf demi huruf nama anaknya. Sekolahnya yang hanya sampai sekolah rakyat membuatnya cukup lama hanya untuk menulis kata Trengginas. Sehingga selepas kata itu tertuang dalam kertas yang ada, Pak Lunjak kegirangan. Selanjutnya ia mencoret di kertas itu hari, bulan, dan tahun lahir anaknya. Karena ia sudah biasa meramal nomer judi, maka tulisan yang berbentuk angka itu diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat.
Setelah nama anak, hari, bulan, dan tahun lahir semua sudah ditorehkan dalam kertas seukuran buku gambar yang biasa digunakan anak-anak sekolah di SD Inpres di Desa Gunung Siji menggambar, selanjutnya dipasanglah kertas itu di dinding rumah. Kertas itu berhasil melekat di dinding gedhek, anyaman bambu, dengan di pojok-pojoknya diselipkan lidi sebagai penahan agar tetap menempel di dinding rumahnya.Â
Kertas yang sudah tercoret nama anaknya itu dipandangi terus. Setelah puas, ia pun mengambil bungkusan rokok yang ada di sakunya. Ditariknya satu batang. Rokok sebatang itu dimasukan ke dalam mulutnya, tak lama kemudian api menyulut rokok kretek itu. Asap pun mengepul dan mulai memenuhi ruangan.
***
Pagi hari di hari ketujuh kelahiran Trengginas, rumah Pak Lunjak penuh dengan saudara dan tetangganya. Para saudara dan tetangganya datang ke rumah yang berada di bawah pohon jambu di ujung desa itu sambil membawa hasil bumi dari ladang atau sawah, ada yang membawa beras, buah kelapa, daun pisang, daun jati, daun pepaya, bahkan diantara mereka ada yang membawa beberapa ekor ayam.
Kedatangan mereka dengan membawa hasil bumi dan binatang peliharaan untuk slametan, syukuran, atas kelahiran Trengginas. Sebuah tradisi di Desa Gunung Siji bila ada di antara mereka yang bersuka cita seperti melahirkan, Â mengawinkan anak gadis atau jejaka, khitanan, ataupun berduka cita seperti kematian atau tertimpa malapeteka, maka mereka saling membantu bila tidak dengan harta cukup dengan tenaga. Mereka dengan suka rela datang ke tempat acara, bahu membahu untuk membuat nasi berkat yang akan didoakan oleh sesepuh desa dan pak modin.
Riuh rendah suara ibu-ibu di belakang rumah Pak Lunjak. Suara riuh rendah dari mereka karena masing-masing membincangkan berbagai hal dari masalah kelahiran Trengginas sampai masalah keluarga masing-masing. Suara riuh rendah itu terus terdengar hingga ruang tengah rumah Pak Lunjak, namun kerja mereka membuat nasi berkat, apem, berbagai macam sayuran tak terganggu. Justru dengan sambil mengumbar kata itulah yang membuat kerja mereka menjadi lebih cepat.
Istri Pak Lunjak yang berada di antara mereka hanya sesekali tersenyum ketika mendengar celotehan ibu-ibu. Badannya yang belum pulih benar selepas melahirkan membuat dirinya membatasi untuk bergerak. Ia membantu ibu-ibu semampunya. Melihat istri Pak Lunjak lebih banyak duduk di kursi, seorang ibu mengatakan, "Ya sudah Kamu diam saja, badanmu kan belum sehat benar."
Bila para ibu-ibu sibuk membuat makanan untuk slametan, lain dengan para lelaki yang juga datang ke rumah Pak Lunjak. Mereka ada yang sibuk mengambil tikar di mushola, mencari bambu di kebun, ada pula yang menyembelih ayam. Lain dengan ibu-ibu, para lelaki itu dalam bekerja hanya sesekali berseloroh, namun dari mulut mereka lebih banyak mengeluarkan asap rokok.Â
Berbagai macam rokok tersedia di meja di serambi rumah Pak Lunjak. Rokok kretek yang dibeli dari Pasar Dusun itu memang disediakan untuk mereka. Kesempatan rokok gratis yang tersedia itu benar-benar dimanfaatkan, maklum mereka jarang menghisap rokok dengan sebebas itu, kalaupun bisa seperti hari itu paling saat Hari Raya.
Seperti ibu-ibu, para lelaki pun kerjanya tak kalah gesit, tikar dari mushola yang sudah tiba di rumah Pak Lunjak segera digelarnya. Enam gelaran tikar langsung menutupi lantai rumah Pak Lunjak yang diplester dengan semen seadanya. Tikar yang sudah berumur 3 Hari Raya itu nampak bolong di sana-sini. Meski demikian, semua maklum sebab tikar yang ada itu sering digunakan, baik untuk sholat lima waktu maupun digilir ke rumah-rumah ketika diantara mereka ada yang berduka cita atau bersuka cita.
Di tengah keasyikan mereka mempersiapkan slametan tujuh hari kelahiran Trengginas, tiba-tiba terdengar suara bedug mushola, "Dug, dug, dug." Mendengar suara kulit sapi yang disangkutkan ke dalam kayu yang berbentuk bulat itu dipukul-pukul, riuh rendah suara di rumah Pak Lunjak sebentar senyap.
Diantara mereka ada yang bergegas ke mushola. Melihat diantara mereka bergegas ke tempat yang berada di pertigaan dusun itu, Pak Lunjak mengatakan, "Selesai sembahyang balik ke sini ya, Kita mangan siang bareng-bareng." Mendengar harapan itu, diantara mereka ada yang berseloroh, 'Ojo khawatir, pasti aku mbalik, kembali."
Benar, selepas imam mushola mengakhiri sholat dhuhur, mereka langsung bergegas kembali ke rumah Pak Lunjak. Rasa lapar yang ada di perut, menggerakan kaki-kaki mereka bergerak lebih cepat. Pak Lunjak pun dengan tersenyum menyambut kedatangan mereka, "Sudah lapar to?" ujarnya dengan sedikit bergurau. "Iyo Mas, perutku sudah tidak kuat ki," jawab Bodron, pemuda pengangguran di desa itu. Dulu ia pernah kerja di Malaysia, namun karena dokumennya tidak lengkap ia diusir oleh polisi Malaysia.
Nasi dengan sayuran, daging ayam, tahu, tempe, dan sambel, sudah tersedia di ruang tengah rumah. Melihat hal yang demikian, mulut para lelaki itu langsung terlihat nafsu laparnya. "Ayo kita nikmati," ujar Pak Lunjak menghalau rasa malu mereka. Dengan sedikit malu-malu dan basa-basi, mereka pun menuju ke tempat itu dan mengelilingi sajian yang sudah tersedia. Piring yang ada dibagi satu persatu, dan secara bergiliran mereka mengambil nasi, sayuran, tempe, daging ayam, tahu, dan sambel. Mereka nampak menikmati sajian itu. Wajah-wajah mereka nampak ceria ketika menyantap sajian olahan ibu-ibu.
***
Malam itu, rumah Pak Lunjak nampak terang benderang, 4 lampu petromak, 1 di belakang rumah, 1 di ruang tengah, dan 2 di depan rumah memancarkan cahaya yang terang benderang. Pada malam itu di rumah Pak Lunjak diadakan kenduri slametan atas lahirnya Trengginas. Seluruh warga, baik yang diundang atau tidak, berduyun-duyun ke rumah Pak Lunjak. Mereka entah ikut senang atas lahirnya Trengginas, sekadar mencari makan, atau hanya mencari hiburan malam, memenuhi rumah yang halaman depannya seluas lapangan bola voli itu.
Anak-anak dengan lugunya duduk bergerombol sambil ngobrol melihat-lihat siapa saja yang datang, siapa tahu orangtuanya tiba. Di tengah obrolan itu terkadang mereka ada yang melucu sehingga suara derai tawa muncul dari mereka. Sesekali anak-anak itu hilir mudik mencari ibunya yang saat itu ikut membantu menyiapkan kenduri. Untung waktu itu tidak hujan sehingga mereka bisa menikmati acara slametan itu.
Satu per satu warga dusun tiba di rumah Pak Lunjak. Sebagai penerima tamu, Pak Lunjak mempersilahkan warga dusun untuk masuk ke ruang tengah. "Mari masuk Pak Koder," ujarnya sambil menjabat tangan Pak Koder.Â
Pak Koder adalah tetangga Pak Lunjak yang rumahnya paling jauh. Pak Koder di desa itu terkenal sebagai orang yang hidup sendiri, istrinya sudah meninggal, sementara anak-anaknya pergi merantau ke Jakarta. Anaknya pulang biasanya saat lebaran. Umurnya yang sudah hampir satu abad namun masih terlihat kuat. Jalan dari rumahnya menuju ke rumah Pak Lunjak harus ditempuhnya dengan menyeberangi sungai. Dengan membawa obor, Pak Koder sudah biasa menyusuri malam. Tak ada rasa takut dari Pak Koder ketika harus melintasi ladang dan sawah yang sepi.
Pernah dahulu ada cerita ketika malam-malam sepulang dari sebuah acara slametan di salah satu rumah penduduk, Pak Koder dihadang oleh segerombolan makhluk yang berselimut kain hitam, manusia atau makhluk jadi-jadian, entahlan, namun dengan perasaan tenang Pak Koder menghadapi mereka. Ia bertanya, "Mau apa Kamu?" Mendapat pertanyaan seperti itu, segerombolan makhluk itu tidak menjawab.Â
Pak Koder pun kembali berujar, "Minggirlah, Aku mau lewat, aku tidak mengganggumu dan Kamu jangan menggangguku." Mendapat tutur kata seperti itu seketika segerombilan makhluk itu minggir, Pak Koder pun melanjutkan perjalanan pulang. Setelah sepuluh langkah, ia mencoba menengok ke belakang, dilihat di bekas tempat dirinya dihadang makhluk yang tak jelas wujudnya, tak ada apa-apa lagi, yang ada hanya gelap dan senyap.
Malam itu kedatangan di rumah Pak Koder selain untuk mengucapkan selamat atas lahirnya Trengginas, juga sebuah harapan agar dari acara slametan itu dirinya bisa makan gratis dan membawa nasi berkat. Dengan cara seperti itulah Pak Koder bisa menyambung hidup. Sebagai seorang peladang, hidupnya pas-pasan. Ia setiap hari makan dari hasil ladang yang ditanami berbagai tanaman ubi-ubian, seperti ketela.
Pak Modin dan Pak Jigglong akhirnya tiba pada malam itu, dan acarapun dimulai. Dalam slametan di Desa Gunung Siji, biasanya doa-doa secara Islam dan secara kejawen dilakukan secara bergantian. Di desa itu meski penduduknya beragama Islam namun diantara mereka masih menjalankan tradisi-tradisi leluhurnya. Meski demikian mereka tidak mempermasalahkan doa yang diucapkan secara bergantian.
Pertama-tama Pak Modin mengajak para tamu Pak Lunjak membaca surat Al Fatihah, selanjutnya diajaknya membaca-baca doa keselamatan lainnya. Doa pun ditujukan kepada Trengginas. Secara khusyuk, para para tamu pun mengikuti bibir Pak Modin. Suara serempak doa itu memecah kesunyian. Setelah selesai membaca doa-doa itu, Pak Modin menutup doa dan diamini oleh para tamu.
Selanjutnya giliran Pak Jigglong membaca sesuatu yang kalimatnya sudah tidak diketahui oleh warga. Berkomat-kamitlah mulut dia dengan khusyuknya. Tidak lama kemudian, ia minum air putih, air itu tidak ditelannya namun disemburkan, 'buurrrrrrr'. Melihat hal yang demikian, warga tidak kaget sebab ritual itu selalu dilakukan Pak Jigglong ketika dirinya melakukan doa menurut kepercayaannya, baik dalam suasana suka dan duka.
Selesai sudah pembacaan doa, baik yang dilakukan Pak Modin maupun Pak Jigglong, selanjutnya Pak Lunjak sebagai tuan rumah memberikan kata sambutan, "Saudara-Saudara sekalian yang dimulyakan oleh Allah. Malam ini Kami sekeluarga merasa senang Saudara-Saudara sudi datang ke gubuk Kami. Malam ini merupakan malam yang berbahagai sebab merupakan hari ketujuh kelahiran Trengginas, anak Saya. Berkat doa dan kedatangan Saudara-Saudara sekalian Saya harap Trengginas kelak bisa menjadi anak yang sholeh dan selalu menurut apa kata orang tua."
Setelah memberikan sambutan yang demikian, Pak Lunjak memberi kode kepada Bodron. Kode itu dimaksudkan agar Bodron dan sinoman (para pemuda) untuk menyajikan nasi yang telah disiapkan. Begitu mendapat kode itu, secepat kilat Bodron dan sinoman lainnya bergegas ke belakang rumah untuk mengambil nasi untuk para tamu. Baki-baki yang sudah disediakan segera mengangkut enam piring nasi yang siap disajikan.Â
Tak cukup setengah jam, seluruh piring nasi siap saji sudah di hadapan puluhan orang yang memadati rumah Pak Lunjak. "Monggo Saudara-Saudara nasi yang seadanya dinikmati," ujar Pak Lunjak. Mendengar perintah yang demikian, secara serentak para tamu langsung mengangkat piring dan menikmati sajian itu.
Suara benturan sendok dan piring serta suara mengunyah silih berganti. Sebagai makanan dengan menu  yang jarak dinikmati karena ada daging sapi dan ayam maka terlihat dalam bekas-bekas piring itu tak ada sisa. Makan daging sapi dan ayam adalah suatu hal yang jarang dinikmati oleh warga. Mereka makan daging sapi dan ayam, paling-paling ya dalam kesempatan seperti itu atau saat Hari Raya Qurban.
Saat Pak Lunjak melihat para tamunya sudah selesai menikmati makanan yang disajikan, ia memberi kode kembali kepada Bodron. Bodron pun tahu yang dimaksud, sehingga dengan sinoman lainnya, ia bergegas kembali ke belakang rumah, namun kali ini yang diambil bukan nasi siap saji tetapi nasi berkat. Nasi berkat adalah nasi yang dibawah pulang oleh warga selepas melaksanakan slametan. Dalam nasi berkat itu biasanya ada nasi, sayuran yang direbus, pisang, apem, dan daging ayam.
Selepas nasi berkat itu dibagi rata, satu persatu para tamu sambil menjabat tangan Pak Lunjak pamit untuk kembali ke rumah. Ketika berjabat tangan dengan Pak Koder, Pak Lunjak mengatakan, "Berani pulang to?" Mendapat gurauan yang demikian, Pak Koder dengan tersenyum percaya diri berujar, "Ya berani, lha wong Saya sudah biasa."
Meski ada banyak tamu yang sudah kembali ke rumah masing-masing, ada beberapa orang yang masih belum meninggalkan rumah Pak Lunjak. Beberapa orang yang tetap bertahan di tempat itu akan melakukan kebiasaan, yakni jagong bayi. Jagong bayi adalah kebiasaan di mana orang laki-laki begadang dan ngobrol ngalor ngidul di rumah keluarga yang baru memiliki anak. Namun dalam jagong bayi, biasanya mereka juga melakukan judi dengan kartu.
Malam itu beberapa orang memang hendak mau berjudi. Mereka itu memang penjudi desa. Di saat tidak ada jagong bayi pun mereka melakukan, entah di tengah hutan atau di rumah-rumah penduduk sambil bersembunyi. Sebenarnya para penjudi itu sudah sering berurusan dengan polisi, namun mereka tak kapok-kapok melakukan hal yang sama.
Bedres, Klewer, Klowor, Jegor, Bendruk, Gepes, dan Jonges, pun langsung membentuk lingkaran. Giliran pertama Jegor yang membagi kartu, mereka semua asyik menikmati perjudian itu. Pak Lunjak hanya melihat, sesekali ia melayani mereka bila butuh kopi. Habis satu putaran, dilanjutkan putaran selanjutnya. Saat berjudi sepertinya mereka tak kenal dengan rasa kantuk dan lapar.
Di tengah asyiknya mereka melakukan kegiatan yang dilarang agama itu, tiba-tiba terdengar suara bedug dari mushola. Rupanya keasyikan mereka dalam berjudi hingga tak sadar bahwa waktu subuh tiba. Subuh-lah yang membubarkan perjudian itu. Dan pemenang perjudian itu adalah Bendruk. Dengan wajah ceria Bendruk melangkah meninggalkan rumah Pak Lunjak, sementara yang lain dengan wajah kusut mengikuti Bendruk dari pulang. Di pertigaan dusun, para penjudi itu berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing.
Pak Lunjak sekarang tinggal sendirian, istrinya dan beberapa orang yang membantu acara slametan masih terlelap dalam tidurnya. Untuk tidak menunda pekerjaan, maka Pak Lunjak membersihkan rumahnya dari sisa-sisa makanan dan bungkus rokok. Digulungnya tikar yang ada di ruang tengah rumahnya. Ketika menggulung tikar, ia menemukan beberapa lembar rupiah. Dijumlahnya uang itu mencapai Rp100.000. Uang itu bukan uang penjudi yang jatuh, namun dalam tradisi judi, setiap selesai putaran, pemenang menyelipkan uang sekadarnya di bawah tikar untuk orang yang rumahnya ditempati untuk berjudi. "Syukur allhamdulillah," ujar Pak Lunjak meski uang itu didapat dari perbuatan yang dilaknat oleh Allah.
***
Siang itu Pak Lunjak tidak pergi ke ladang, entah karena kecapekan atau sebab yang lain, tidak jelas alasannya. Meski tidak pergi ke ladang bukan berarti waktu itu digunakan untuk tidur-tiduran. Dengan duduk di kursi ruang tengah, ia asyik mencoret-coretkan sesuatu pada kertas-kertas putih. Kertas-kertas itu dikumpulkan dari bungkusan-bungkusan bantuan sembako para warga dusun saat dirinya slametan. Coretan angka itu dibagi, dikurang, ditambah, dikali, dengan tanpa mengikuti kaidah ilmu matematika. Dasar apa yang digunakan Pak Lunjak mengubah-ngubah angka itu tidak jelas, apalagi dirinya hanya tamatan sekolah rakyat.
Bagi orang ilmiah apa yang dilakukan itu mungkin membuat bingung, namun bagi orang-orang yang suka membeli nomer judi, hal demikian mengasyikan. Sampai kapan ketemu nomer terakhir yang diinginkan itu biasanya sesuai dengan firasat. Apa yang dilakukan Pak Lunjak itu memancing perhatian istrinya. Istrinya tahu bahwa suaminya sedang meramal. Dengan basa-basi, istrinya itu menasehati, "Mbok ya sudah to Pak, mending kerja saja yang pasti-pasti." "Ingat judi itu dosa," tambahnya sambil menyusui Trengginas.
Mendapat wejangan basa-basi dari istrinya, Pak Lunjak sambil menyedot rokok kreteknya, berujar, "Iya Aku tahu itu dosa, tapi kalau nomernya tembus kan Kamu senang juga." "Kalau nomernya tembus kan Kita bisa beli susu buat Trengginas, beli beras, Â kopi serta untuk bayar utang," katanya dengan mengibas-ngibaskan spidolnya yang sudah mulai menipis. Mendapat alasan yang sedikit masuk akal itu, istrinya menimpali, "Ya sudah, kalau itu alasanmu, yang penting bagaimana agar Trengginas bisa minum susu dan tumbuh sehat itu yang harus Kita pikirkan."
"Nah!" ucap Pak Lunjak dengan girang. Teriakan gembira itu rupanya membuat kaget istrinya. "Ada apa to Pak?" tanyanya. "Ini lho Aku dapat nomer yang jos. Kayaknya nomer ini bisa tembus dan Kita dapat uang banyak," papar Pak Lunjak. "Nomer yang aku temukan adalah 972," lanjutnya. Â "Sudah Bu, Aku minta duitnya mau beli nomer ke bandar nomer," ucap Pak Lunjak sambil membereskan kertas-kertas putih yang sudah dicorat-coretnya itu. Mendengar apa yang dikatakan itu, istrinya berkata, "Apa? duit? Lha wong duit Kita sudah menipis. Buat slametan aja kemarin masih utang kok." Kalimat yang keluar dari mulut istrinya itu rupanya tidak disukai oleh Pak Lunjak. "Masak nggak ada duit? Kemarin saat slametan kan Saya sudah jual sepuluh ayam. Kamu jangan alasan," ujarnya dengan nada meninggi. "Kalau Kamu nggak ngasih duit Aku obol-obol lemari yang biasa buat menyimpan duit," bentak Pak Lunjak.
Nada tinggi dan bentakan itu rupanya tidak membuat istrinya takut. Mendapat bentakan dan nada-nada kasar dari suaminya, merupakan makanan sehari-hari bagi istrinya, sehingga kebiasaan itulah dirinya menjadi biasa. Dengan nada tinggi pula ia meladeni omelan suaminya itu, "Silahkan saja kalau mau obol-obol lemari." Rupanya tantangan dari istrinya itu diladeni oleh Pak Lunjak, dengan bergegas ia menuju kamar yang biasanya buat mereka tidur, dibukanya lemari itu dengan paksa.
Amarah dan nafsu Pak Lunjak untuk menemukan uang semakin membara ketika Trengginas menangis dengan suara melengking dan jeritan yang membuat telingan terasa panas. Meski masih kecil namun perasaan Trengginas sudah peka bahwa orangtuanya sedang bertengkar.
Setelah obol sana obol sini, akhirnya Pak Lunjak melihat uang yang dicarinya. Ketika ia melihat uang itu, tiba-tiba tatapan matanya menjadi kosong. Ia sadar bahwa apa yang dikatakan istrinya benar, bahwa uang yang dimiliki sudah menipis. Namun tatapan kosong itu berubah kembali ketika impian menjadi kaya dengan membeli nomer judi masuk kembali ke dalam otaknya. "Masa bodo, yang penting sikat dulu, masalah nanti urusan belakangan," gumamnya sambil menggenggam uang yang dibutuhkan.
***
Maghrib barusan pergi, namun di pertigaan dusun dan di Kios Gerto, banyak orang sudah bergerombol. Malam itu biasanya orang-orang desa membeli nomer judi
Pak Lunjak pun bergegas keluar dari rumahnya, dengan menggunakan kain sarung yang sudah berlubang, ia pergi ke Kios Gerto, setiap berpapasan dengan laki-laki dewasa, sapaan diantara mereka adalah, "Berapa nomernya?" Masing-masing pun memberikan nomernya, meski sudah saling memberi tahu nomer, mereka ada yang terpengaruh, namun ada pula yang tetap tidak berubah pendiriannya. Mereka mendapatkan nomer dengan cara masing-masing, ada yang meramal seperti Pak Lunjak, ada pula yang pergi ke dukun, bahkan ada pula yang menyepi di tempat-tempat angker.
Kodok dan Kuncar adalah dua pria yang suka menyepi di tempat angker. Karena sudah dilandasi nafsu untuk kaya mendadak, tempat seangker apapun, bagi pria yang sehari-hari mengurusi peternakan ayamnya Pak Sobirin, itu tidak menjadi masalah. Suatu ketika Kodok dan Kuncar menyepi di sebuah tempat yang jauh dari perkampungan desa.Â
Di tempat itu ada sebuah pohon besar yang konon tempat mahkluk halus berkumpul. Tak ada orang yang berani ke tempat itu apalagi di malam hari, konon katanya di tempat yang berada di pinggir jurang itu sering terjadi hal-hal yang aneh, seperti dikatakan ada ular raksasa, perempuan cantik yang berjalannya tidak menyentuh tanah, hingga mahkluh halus berbadan besar berambut gondrong dan bertaring tajam.Â
Untuk meredam agar makhluk halus tidak marah dan menyebar malapetaka, biasanya pada Malam Jumat Kliwon, Pak Jigglong dengan ditemani beberapa orang lainnya memberikan sesaji.Â
Dupa, kembang tiga warna, dan sepiring nasi dengan isi lauk pauk ayam dan sayuran yang direbus, kemudian ditaruh di bawah pohon besar. Saat pemberian sesaji, Pak Jigglong dengan mantranya berkomat-kamit memohon agar para makhluk halus tidak mengganggu warga.
Pernah katanya ketika Pak Jigglong tidak memberi sesaji, Desa Gunung Siji dilanda wabah penyakit, bila malam hari terdengar suara teriakan makhluk halus yang mencekam. Kejadian itu membuat ketakutan dan gelisah warga. Sadar makhluk halus marah, maka Pak Jigglong pun langsung minta maaf kepada mereka dan memberi sesaji.
Meski banyak cerita yang menyeramkan, namun hal yang demikian tidak membuat Kodok dan Kuncar gentar. Sebelum melakukan penyepian, Kodok dan Kuncar menyusun rencana. Ia merencanakan dalam penyepian itu akan duduk tepat di bawah pohon besar dan agar mereka tidak tertidur mereka membawa termos air panas, kopi, gula, dan rokok sepuluh bungkus.
Menjelang penyepian, tepat pukul 23.00, Kodok dan Kuncar berjalan mengendap-ngendap ke tempat angker itu. Suasana dingin yang menyergap dan aura mistik yang menghadang, tidak menghentikan langkah dua orang itu. Bunyi gesekan pohon yang tertiup angin serta kepak kelelewar dan suara lenguhan burung hantu menambah suasana mencekam. Mendekati tempat sasaran tiba-tiba ada suara yang membuat mereka menoleh ke belakang, "krak, krak, krak, blak." Mendengar suara itu, Kodok langsung menempel pada Kuncar. "Alah Dok jangan takut, itu ranting yang patah," ujar Kuncar menenangkan Kodok. Kodok pun berpikir, "Iya kali, ranting patah."
Akhirnya mereka pun sampai di bawah pohon besar. Kuncar langsung membersihkan tempat itu dari rumput dan bekas-bekas daun yang berjatuhan. Sementara Kodok tengak-tengok kanan-kiri, sedikit ketakutan. Tatapan Kodok terbatas oleh gelapnya malam, meski bulan purnama yang bersinar namun cahayanya sering tertutup oleh awan.Â
"Dok ayo bantu bersihin tempatnya," kata Kuncar. Ajakan Kuncar itu sedikit mengagetkannya. "Kalau mau dapat nomer yang jitu yang Kita harus ke sini," papar Kuncar. "Nggak usah takutlah kalau ketemu pocong atau kuntilanak, kalau digigit yang paling Kita jadi teman mereka," ujar Kuncar sambil cekikikan. Dengan sedikit ketakutan, Kodok pun ikut membersihkan tempat yang hendak dijadikan tempat lesehan. Setelah dirasa cukup bersih, Kuncar menggelar tikar kecil yang dibawa dari rumahnya. Termos air panas, kopi, gula, dan rokok yang ditaruh di dalam tas yang dibawa Kodok pun dikeluarkan.
"Ahhh, lega," ujar Kuncar. Mendengar nafas lega dari Kuncar, Kodok dengan suara lirih, berkata, "Masak di tempat kayak gini Kamu lega Car." "Tempat di sini katanya sudah sering membawa korban," tambahnya. "Nggak peduli," ujar Kuncar. "Ya penting Aku mau dapat nomer yang jitu, kemudian jadi kaya, dan setelah itu mau melamar si Menur," papar Kuncar sambil tertawa. "Terserah kamulah," ucap Kodok.
Akhirnya dua orang itu pun duduk di tikar, kadang-kadang posisinya berhadapan, kadang-kadang saling membelakangi. Bila orang-orang berusaha untuk tidak bertemu makhluk halus, dua orang itu malah sebaliknya. Mereka menunggu peristiwa aneh yang membuat mereka bisa memperoleh tanda atau simbol yang menunjukan angka-angka tertentu. Simbol atau petunjuk angka itu didapat entah dari banyaknya daun yang jatuh atau bunyi-bunyi tertentu yang bisa dihitung. Hal-hal di luar nalar inilah yang mereka cari.
Di tengah katuk yang mulai menggelayuti mata, tiba-tiba Kodok dan Kuncar dikejutkan dengan sebuah kafan putih yang melintas cepat. Melihat kafan putih melintas, bulu kuduk mereka pun merinding, mereka pun merapatkan duduk. Ketakutan pun muncul pada wajah-wajah mereka. Irama detak jantung Kodok dan Kuncar pun semakin tak terkendali, deg, deg, deg, begitulah bunyinya.
Belum selesai ketakutan itu menghilang, dari kejauhan nampak dua tulang belulang manusia yang menyusun menjadi sebuah tengkorak berjalan mendekati. Ketakutan yang bukan main-main pun menghinggapi mereka. Kodok sebetulnya ingin berlari, namun kakinya seolah-olah ada yang merantainya sehingga ia hanya bisa menggeser-nggeser pantatnya menjauhi Kuncar. Sementara Kuncar hanya terpaku pucat tak bisa bersuara. 'Kletak, kletuk, kletak, klutuk,' begitu suara jalan dua tengkorak itu semakin dekat. Ketika sudah ada di samping kanan dan kiri Kuncar, tengkorak-tengkorak itu duduk dan menyandar tubuhnya.
Disandari dua mahkluk halus yang belum pernah dijumpai secara nyata itu seolah-olah membuat jantung Kuncar berhenti, hanya matanya yang bisa bergerak-gerak. Ia tidak bisa memikirkan apa-apa, ia pun tidak tahu bagaimana keadaan Kodok. Ketika detak jantung yang terakhir hendak berdenyut, dua tengkorak tadi hilang. Hilangnya dua tengkorak tadi tidak serta merta membuat detak jantung Kuncar kembali normal. Setelah sekian menit, Kuncar baru bisa menggerakkan kaki, kemudian tangan, setelah itu baru lehernya. Detak jantungnya pun mulai berdenyut normal. Ia segera mencari Kodok, dilihatnya temannya itu menyembunyikan wajahnya ke tanah sementara pantatnya ditunggingkan.
"Dok, Dok," panggil Kuncar. "Kamu masih sadar?" tanya Kuncar. Mendengar suara itu, Kodok dengan ketakutan mengarahkan pandangan matanya ke suara itu. Begitu tahu itu adalah suara Kuncar, Kodok pun dengan suara yang serak-serak menjawab, "Ayo Kita pulang aja Car." Mendapat ajakan pulang, Kuncar mengatakan, "Jangan, Kita belum dapat tanda-tanda nomer judi." Begitu selesai Kuncar mengatakan yang demikian, tiba-tiba entah dari mana datangnya, di depan mereka muncul makhluk yang sangat mengerikan, bertubuh hitam legam, berambut panjang awut-awutan, dan bertaring panjang. Makhluk itu dengan suara yang sangat keras berteriak, "Wuuuu Waaaa", memekikan telinga. Makhluk itu tak hanya berteriak seperti orang yang disiksa di dalam nereka, namun seolah-olah mau memangsa Kodok dan Kuncar. Melihat hal yang demikian, Kodok dan Kuncar tak kuat, dan pingsanlah mereka.
***
Sinar matahari yang menyorot tajam tepat di mata Kodok dan Kuncar, membuat kedua orang itu sadar diri dari pingsannya. Begitu sadar, mereka dengan gugup dan gelagapan menoleh ke kanan dan kiri, tolehan mereka ke kanan dan kiri hanya menemukan rerimbunan pohon yang asri dan puncak pegunungan lain di Desa Gunung Siji.Â
Mereka mencari-cari apakah makhluk halus yang menyeramkan dan menakutkan itu masih berada di sekitar mereka. Ketika tak ada makhluk halus yang dicarinya itu, mereka bernafas lega. Mereka pun mulai bisa menggerakan tubuhnya dengan normal. Kuncar pun dengan sedikit melompat-lompat agar badannya menjadi lebih segar. Sementara Kodok dengan sedikit masih limbung mencoba menegakkan tubuhnya yang tambun dengan bantuan patahan ranting.
"Hua ha ha," tiba-tiba Kuncar tertawa lebar memecahkan kesunyian. "Akhirnya kita dapat nomer jitu," ujarnya lagi. "Nomernya mana Car," tanya Kodok. Kuncar pun menjelaskan, "Pertama Kita kedatangan 1 pocong, kemudian kedatangan 2 tengkorak, selanjutnya kedatangan 1 gondoruwo. Jadi nomernya adalah 121." "Bener itu Car nomernya?" tanya Kodok kurang setengah yakin. "Iyalah, percayalah sama Saya, Saya kan pengalaman," papar Kuncar dengan sombongnya. Karena Kodok tidak sepandai Kuncar dalam masalah yang demikian, maka Kodok pun percaya saja apa yang dikatakan Kuncar.
***
Kios Gerto tepat Pukul 19.00, nampak ramai, puluhan warga dusun menyemut di tempat itu, dengan berdesak-desakan mereka membeli nomer judi. Pekon sebagai pemilik Kios Gerto dipercaya oleh bandar judi dari kota untuk mengkoordinasi penjualan lotere di Desa Gunung Siji. Diantara puluhan calon pembeli, nampak Pak Lunjak, Kodok, dan Kuncar. Mereka sudah memiliki nomer masing-masing, Pak Lunjak mendapat nomer 972 dari meramal, sedang Kodok dan Kuncar memiliki nomer 121 yang diperolah dari penyepian itu.
"Kon nomer saya 972," ujar Pak Lunjak kepada Pekon saat dirinya sudah di depan meja untuk mencatat nomer-nomer para pembeli itu. "Sudah yakin dengan nomermu itu," gurau Pekon. "Entar meleset lagi," Pekon menambah gurauan itu. "Yakin saja," ujar Pak Lunjak mantap. "Kan rejeki sudah ada yang ngatur," tambahnya membela diri. "Ya sudah kalau gitu Aku catat," kata Pekon. Lembaran tanda jual nomer judi itu disobek Pekon dan diserahkan kepada Pak Lunjak. Secara spontan, Pak Lunjak pun menyerahkan duit sebagai tanda membeli.
Sambil berlalu dari Pekon, Pak Lunjak melewati Kodok dan Kuncar. Melihat Kodok dan Kuncar masih antri, disapanyalah mereka. "Piye nomermu," ucapnya. "Mantap dan jos Kang," timpal Kuncar. "Aku yakin iso tembus iki," tambah Kuncar sambil menggulung sarungnya yang mulai melorot. "Yo wis besok mudah-mudahan awake dewe kabeh podo bejo. Mudah-mudahan besok, Kita semua mendapat rejeki," sahut Pak Lunjak sambil meninggalkan mereka.
"Iki Mas nomerku," kata Kuncar ketika berhadapan dengan Pekon. "Berapa nomermu?" tanya Pekon. "121," ujar Kuncar. "Dari mana kamu mendapat nomer ini?" tanya Pekon. "Rahasia negara,' jawab Kuncar sambil tertawa. Mendengar jawaban seperti itu, Pekon berujar, "Paling menyepi." Tebakan yang benar itu rupanya membuat Kuncar dan Kodok agak kikuk. Kodok pun mencari bahan kibulan, "Enggaklah Mas, kemarin kan aku berdua jagong bayi di tempat Pak Lunjak." "Yo wis sak karepmulah piye nomer iku olehe. Ya terserah kamulah gimana nomer itu dapatnya," sahut Pekon sambil merobek lembaran tanda jual nomer judi. Melihat Pekon merobek lembaran nomer judi, badan Kuncar disenggolkan ke badan Kodok. Senggolan itu dimaksudkan agar Kodok memberi uang tanda beli nomer judi.
Satu per satu Pekon pun melayani antrian pembeli nomer judi lainnya. Antrian yang cukup panjang itu berakhir ketika jam menunjukkan hampir pukul 22.00. Selepas antrian selesai, Pekon pun langsung merekap nomer-nomer yang dibeli dan mencatat uang yang masuk dan selanjutnya disetor ke bandar judi.
***
Selepas subuh, di depan Kios Gerto nampak beberapa orang yang sepertinya menunggu sesuatu, ya mereka menunggu berapa nomer judi yang muncul. Dalam menunggu, mereka ada asyik yang mengobrol, ada pula yang asyik menikmati rokoknya. Di tengah mereka melakukan keasyikan masing-masing, Pekon menempelkan kertas putih di depan kiosnya.
Kertas putih itu bertanda nomer undian judi 472. Melihat nomer judi yang muncul itu, nampak wajah mereka ada yang gembira, ada pula yang kecut. Serta merta nomer undian judi yang muncul itu menyebar ke rumah-rumah warga desa, tak terkecuali rumah Pak Lunjak, Kodok, dan Kuncar.
Mendengar nomer judi yang muncul adalah 472, tentu membuat nomer milik Pak Lunjak, Kodok, dan Kuncar, meleset. Orang yang nomer judinya sesuai dengan nomer undian pastinya bersuka ria, begitu sebaliknya.
Dibantinglah kursi yang ada di ruang tengah itu ke luar rumah, "brakkk," begitu bunyinya. Apa yang dilakukan Pak Lunjak itu merupakan sebuah puncak dari kekesalan atas melesetnya nomer judi yang ditebak. Dengan tak tembusnya nomer itu maka mimpi untuk membelikan susu Trengginas dan menyahur utang sehabis slametan sirna sudah. Dengan tak tembusnya nomer itu maka beban ekonomi Pak Lunjak pun semakin tinggi.
Menyikapi amarah Pak Lunjak, istrinya menyingkir ke belakang rumah. Di bawah pohon pisang yang sedang berbuah, istrinya duduk sambil menyusui Trengginas. Ia duduk di tempat itu sampai amarah suaminya reda. "Ngger kalau besar mudah-mudahan Kamu tidak seperti bapakmu," ujarnya sambil menepuk-nepuk pantat Trengginas agar tenang.
Melihat nomernya tak tembus, Kodok dan Kuncar pun sempoyongan. Mereka pun langsung pergi ke Warung Nggimin. Di warung yang biasa menjual minuman keras itu, Kodok dan Kuncar membeli dua botol. Begitu dua botol sudah di tangan, mereka berjalan menuju ke kuburan desa. Mereka berpikir bila mabuk di tempat itu rasanya aman sebab tidak ada orang yang menghardiknya. Di bawah salah satu kuburan yang ada cungkup-nya, bangunan kuburan yang ada atapnya, mereka menegak air haram itu. Mereka bertujuan agar mabuk untuk melupakan kesedihan dan kejengkelan atas melesetnya nomer judi yang dibelinya.
Ketika dua botol itu habis, mabuklah Kodok dan Kuncar, omongan kedua orang itu pun menjadi meracau. "Dok sekarang Aku sudah kaya, Kamu mau apa pasti Aku belikan," ujar Kuncar. Lain Kodok lain Kuncar, bila mabuk, Kodok tidur mendengkur. "Aku mau jalan-jalan ke Amerika Dok biar bertemu dengan Obama. Obama kan sekolahnya di sini. Kamu tunggu di sini ya, " Kuncar pun semakin meracau.
Dengan jalan tergopoh-gopoh dan sempoyongan, Kuncar meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan hampir saja dia jatuh, untung banyak pohon sehingga dirinya berpegangan pada pohon-pohon itu. Orang-orang yang melihat Kuncar mabuk, mengacuhkan bahkan menghindar sebab bila diganggu atau diperhatikan jusru akan menimbulkan masalah. Masyarakat sudah tahu kebiasaan Kuncar dan Kodok suka mabuk.
Saat di pertigaan jalan, Kuncar yang masih mabuk nampak duduk di sebuah batu. Saat itu ada gadis desa lain yang sedang melintas. Melihat ada gadis cantik yang melintas, Kuncar pun tergoda, dengan langkah sempoyongan gadis itu didekati, tahu didekati orang mabuk, gadis itu panik, sehingga ia lari, namun Kuncar sempat mencolek pantatnya. "Ahhhh," gadis itu berteriak ketakutan sambil lari. "Ha, ha, ha, ha, kena Kamu," ujar Kuncar puas.
Gadis itu berlari sambil menangis. Ketika sampai di rumah, orangtua gadis itu menanyakan apa yang terjadi. "Saya dicolek oleh pemuda mabuk di desa sebelah," ujarnya dengan sesunggukan. "Apa Kamu dilecehkan oleh pemuda desa sebelah," ujar ayah gadis itu. Berita pelecehan itu pun menyebar ke mana-mana.
Entah siapa yang memprovokasi, ratusan pemuda di desa itu itu dengan membawa bambu runcing, golok, clurit, balok kayu, dan senjata tajam lainnya berkumpul di balai desa. Ratusan pemuda itu tidak terima warganya dilecehkan oleh pemuda dari desa sebelah. Tanpa ada yang mengomando, semua bergerak ke arah Desa Gunung Siji.
Begitu ada percik-percik akan terjadinya bentrok antardesa, aparat pun siap siaga. Aparatpun membentuk barikade di jalan untuk menghadang gerakan ratusan pemuda itu. Benar dugaan aparat, dilihatnya ratusan pemuda itu nampak sedang bergerak menuju ke arah Desa Gunung Siji dengan membawa berbagai macam senjata.
Ketika berhadap-hadapan dengan aparat, komandan aparat lapangan dengan pengeras suara mengatakan, "Bapak-Bapak sekalian, Kami harap Anda semua kembali ke rumah masing-masing, sebab pelaku pelecehan sudah Kami amankan," ujarnya. "Sekarang sebaiknya semuanya kembali. Tak ada gunanya Kita meluapkan amarah dengan cara melakukan tindakan anarkis," tegasnya sekali lagi.
Karena amarah, iri, dan cemburu para pemuda sepertinya sudah tidak bisa dikendalikan, maka komandan aparat di lapangan menemui seseorang yang dirasa adalah pemimpin aksi. "Tolong Pak, sebaiknya massanya bisa dikendalikan. Sebaiknya para pemuda itu ditarik mundur. Tidak bagus berbuat anarkis ke warga Desa Gunung Siji. Mereka kan juga saudara Kita semua," ujarnya. Pemimpin aksi, "Betul Bapak, Kami merasakan juga demikian, namun Kami susah mengendalikan emosi mereka. Paling Saya hanya bisa menghimbau saja," ucapnya. "Mereka susah dikendalikan karena sudah emosi," tambahnya.
Di tengah perbincangan itu tiba-tiba ratusan pemuda itu bergerak lewat kanan kiri barikade keamanan sehingga aparat kehilangan kendali. Posisinya sekarang aparat yang sepertinya dikepung. Jumlah yang tak seimbang antara aparat dan pemuda itu membuat situasi menjadi tidak menentu. Para pemuda pun bergerak ke arah pemukiman penduduk.
"Dor, dor, dor," tembakan pun terpaksa dimuntahkan dari senapan aparat. Tembakan itu pertanda agar massa tidak melakukan tindakan melanggar hukum. Tembakan itu tidak dihiraukan, akhirnya watercanon dari barakuda pun disemprotkan kepada kerumunan pemuda itu namun mereka tetap merengsek ke rumah-rumah yang ada. Rumah-rumah itu dilempar dengan batu, kaca-kaca dicongkel dengan linggis dan lempar dengan batu, tak cukup dengan itu, beberapa orang menyulut api ke dalam obor dan dilemparkan atap-atap rumah, ada pula sulutan api itu disentuhkan ke dinding-dinding bambu, sehingga terbakarlah puluhan rumah di Desa Gunung Siji. Sekejap desa itu menjadi lautan api. Kobaran api menjilat-jilat ke udara, kepulan asap hitam membumbung ke langit.
Pemadam kebakaran pun tak mampu mengatasi kebakaran itu, sebab selain mobil pemadam terbatas, cuma 2 mobil, jalan menuju ke Desa Gunung Siji sudah diblokir oleh perusuh dengan melintangan pohon-pohon yang ditumbangkan ke jalan.
Untung warga Desa Gunung Siji sebelumnya telah mengungsi, sehingga mereka selamat. Mereka oleh aparat diungsikan ke markas. Pak Lunjak dan istrinya pun mengungsi, dalam perjalanan menuju tempat pengungsian Trengginas digendong. Sementara Pak Lunjak membawa tas yang berisi baju seadanya. Sebenarnya beberapa pemuda Desa Gunung Siji ada yang melawan, namun karena tak seimbang mereka menyelamatkan diri.
Di markas aparat, ratusan pengungsi ditempatkan di aula dan masjid, nampak ibu-ibu, anak-anak, dan beberapa laki-laki duduk di sebuah hamparan karpet. Berada di pengungsian mereka menyatakan sedih sebab rumahnya dibakar padahal mereka tak mempunyai salah apa-apa. Sementara anak-anak sepertinya tak tahu apa yang terjadi, mereka hanya berlarian dan bercanda diantara mereka .
"Cep, cep, cep," ujar istri Pak Lunjak ketika Trengginas menangis. Saat di pengungsian Trengginas sering sakit, mencret, dan muntah. Hal demikian bisa terjadi karena ia sering berada di luar sehingga kena angin, dingin, dan makan yang tak teratur. Pak Lunjak dan istrinya bingung kondisi kesehatan anaknya. Untung saja ada bala bantuan kepada mereka. Bantuan tak hanya kebutuhan sehari-hari namun juga kesehatan. Pak Lunjak meminta dokter yang diperbantukan untuk memeriksa kesehatan Trengginas. Â
Petaka yang terjadi di Desa Gunung Siji menjadi isu nasional. Beritanya tersebar ke mana-mana. Para jurnalis pun segera mendatangi tempat itu, untuk mengorek-ngorek berita. Berita yang muncul di media massa pun berupa gambar-gambar rumah hangus. Dari situlah muncul simpati dan empati terhadap korban. Berbagai dukungan moral dan material pun mengalir pada para pengungsi.
Konflik yang terjadi di tempat di Desa Gunung Siji akar masalahnya bukan hanya soal pelecehan seksual namun juga disebabkan masalah lainnya. Sebetulnya konflik di Desa Siji tidak akan melibatkan ribuan orang dan menimbulkan korban bila terjadi diantara sesama warga satu desa sendiri, namun karena pelaku dan korban adalah berbeda asal, maka perbedaaan inilah yang menjadi pemicu bentrokan menjadi meluas.
Bentrokan itu bisa meluas karena ada yang memprovokasi. Desa sebelah yang sosiologinya cepat naik darah mudah disulut emosinya. Beda desa dijadikan isu untuk menggalang massa, menambah kekuatan, dan selanjutnya menyerang bersama-sama. Masyarakat awam menanggapi hal demikian tentu mudah tersulut, apalagi diprovokasi oleh berita di televisi yang memvisualikan kerusuhan di berbagai tempat. Juga diprovokasi oleh ketidakadilan sosial, kemiskinan, perampasan tanah oleh perusahaan, tak adanya keteladanan dari pemimpin serta ketimpangan pembangunan sehingga membuat desa yang satu lebih maju dari desa yang lain, wilayah yang satu lebih maju daripada wilayah yang lain, atau etnis yang satu lebih makmur dari etnis yang lain. Rasa frustasi masyarakat yang menghadapi problem dalam hidupnya itulah ditumpahkan dalam amuk massa.
Di dua desa itu sering terjadi konflik agraria. Konflik agraria ini melibatkan antara petani gurem dan pengusaha. Sebagai desa yang dikenal sebagai bumi agrobisnis, wilayah agroindustri, dan lumbung ternak, Desa Gunung Siji dan desa sebelahnya merupakan daerah yang subur. Kesuburan tanahnya inilah yang membuat desa-desa itu sebagai penghasil komoditas strategis seperti, kopi, lada, kakao, dan sawit. Komoditas itu memiliki nilai ekspor.
Karena tanahnya subur itulah maka banyak pengusaha mengincar tanah-tanah yang ada. Akibatnya konflik agraria pun marak. Di dua desa itu ada ratusan konflik agraria. Kekalahan masyarakat dalam konflik agraria dengan pengusaha itulah yang membuat mereka menjadi frustasi dan menjadi miskin. Hal inilah yang juga membuat mereka menjadi lebih emosional dan sensitif bila rasa ketidakadilan mengancam mereka.
Untuk segera mengatasi bentrok antar desa maka hukum harus segera cepat ditegakkan. Hukum yang ditegakkan bukan hanya saja mengusut pelaku pelecehan dan pembakaran rumah namun juga menciptakan kondisi yang kondusif sampai terjadinya suasana yang normal. Bila pemerintah tidak serius menangani masalah ini, bisa-bisa konflik ini akan meluas ke mana-mana.
Simpati dan empati dari masyarakat yang datang, membuat kerusakan-kerusakan tempat tinggal segera dibenahi. Sehingga beberapa bulan keadaan kembali normal. Pak Lunjak dan istrinya serta masyarakat lainnya, setelah seminggu di tempat pengungsian akhirnya kembali ke rumah masing-masing. Sambil rumah itu diperbaiki, dengan adanya bantauan dari pemerintah dan masyarakat donatur, Pak Lunjak menempati di sisi rumahnya yang utuh tidak terbakar atau dirusak oleh massa. Â Â Â
***
Ketika mengayunkan cangkulnya yang kesepuluh, istrinya dari kejauhan memanggil-manggil dirinya. Panggilan itu membuat Pak Lunjak terpaku karena istrinya lari mendekat ke dirinya. Ia heran mengapa istrinya sampai-sampainya ke ladang. "Pak, Pak, cepet pulang dicari Nyai Renten," teriak istrinya dari kejauhan. Ketika mendengar kata Nyai Renten, sontak wajah Pak Lunjak berkeringat. Pasti kedatangan rentenir dari desa sebelah, Desa Gunung Ngguling, itu akan menagih utang.
Kalau menagih utang, Nyai Renten selalu membawa tukang pukul, sehingga banyak orang ketakutan bila berurusan dengan dia. Tak heran bila istrinya sampai menemui dirinya dan memberitahu kedatangan perempuan berumur 40 tahun itu di rumahnya. "Dia bersama Kepal dan Jotos," ujar istrinya. Kepal dan Jotos adalah tukang pukul yang biasa dibawa Nyai Renten bila menagih utang kepada peminjam. Kepal dan Jotos disewa sebagai tukang pukul sebab selain mempunyai badan yang tinggi dan besar, mereka juga pendekar dari Perguruan Silat Ketek Stress. Perguruan Ketek Stress adalah perguruan silat yang paling banyak pengikutnya di Kecamatan Slawur. Sebagai seorang pendekar maka Kepal dan Jotos bila berkeliling desa selalu disapa oleh anak-anak muda di desa-desa yang berada di Slawur yang ikut di perguruan silat itu.
Kasihan kepada istrinya yang sudah datang ke ladang, Pak Lunjak pun mengiyakan ketika dirinya diajak untuk menemui Nyai Renten. Sambil mengelap mukanya yang penuh keringat dengan kaos yang menempel di tubuhnya, Pak Lunjak segera membawa cangkul itu ke gubuk yang berada di samping ladangnya dan selanjutnya dengan didampingi istri menuju ke rumah.
Begitu tiba di rumah, pertama kali yang dilihat Pak Lunjak adalah muka masam Nyai Renten. Sedang Kepal dan Jotos dengan muka yang santai tengah menikmati rokok yang dihisapnya. "Mana utangmu, katanya mau bayar sekarang," ujar Nyai Renten dengan judes. "Ya maaf Nyai memang rencananya hari ini mau bayar tapi kemarin nomer judinya tidak tembus," ujar Pak Lunjak dengan nada memelas. "Itu bukan urusanku, mau tembus atau tidak nomer judimu, Kamu harus bayar," Nyai Renten mengatakan hal demikian dengan nada yang lebih tinggi. "Sekali lagi maaf Nyai, Saya mohon dikasih waktu lagi untuk mencari uang agar bisa bayar utang Saya," kata Pak Lunjak. "Alasannya gitu-gitu saja," teriak Nyai Renten.
Nyai Renten pun melihat-lihat barang yang ada di rumah Pak Lunjak. Bila ada barang yang berharga mungkin barang itu akan disita namun karena tak ada barang yang bermanfaat Nyai Renten menghela nafas panjang. "Baik kali ini aku kasih kesempatan, namun bila berbohong lagi Kamu akan berhadapan dengan Kepal dan Jotos. Mereka yang akan menagih utang nanti," hardik Nyai Renten sambil meninggalkan rumah itu tanpa pamit. Sebelum meninggalkan rumah, Kepal dan Jotos memandang Pak Lunjak dengan tatapan yang menantang.
"Aduh Gusti hidupku kok jadi begini," keluh Pak Lunjak sambil menyadarkan punggungnya ke kursi setelah Nyai Renten pergi meninggalkan dirinya. Ia mempunyai utang ke Nyai Renten untuk slametan Trengginas. Utangnya lumayan besar. Sehingga dirinya selalu berangan-angan dan membayangkan agar utang itu segera lunas. Rencananya bila nomer judi yang dibelinya tembus, utang-utang itu akan dibayarnya, namun karena nomer judinya meleset maka impian itu hilang. "Ya sudahlah Bu, Kita jual sebagaian tanah untuk membayar utang," ujar Pak Lunjak kepada istrinya yang berada di sampingnya.
Mendengar kalimat yang demikian istrinya menimpali, "Lha kalau sebagaian tanah dijual, makan Kita apa kenyang?" "Tanah yang Kita miliki saja hasilnya nggak bisa membuat Kita kenyang," tambahnya. "Lha gimana lagi, Saya sudah berusaha ke mana-mana tetapi belum dapat duit," Pak Lunjak membela diri. "Ya setelah menjual sebagaian tanah Aku mau ke Malaysia saja," Pak Lunjak melanjutkan kalimatnya. Mendengar kalimat suaminya mau ke Malaysia, wajah istrinya antara haru, sedih, dan gembira. Haru karena suaminya serius mencari uang untuk keluarganya, sedih karena dirinya harus berpisah dengannya dalam waktu yang tidak sebentar, sedang gembira karena memberi harapan baru akan kehidupan keluarganya yang lebih baik di masa yang akan datang.
Bekerja di Malaysia yang sudah banyak dilakukan oleh warga desa terbukti mampu meningkatkan derajad dan ekonomi. Para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari Desa Gunung Siji, rumahnya sudah berdinding batu bata, memiliki parabola, dan ada yang memiliki sepeda motor.
***
Dengan berpakaian rapi, Pak Lunjak malam itu ingin menemui Pak Cutik. Pak Cutik adalah juragan tanah di Desa Gunung Siji. Sebagai juragan tanah, ia memiliki tanah yang berhektar-hektar
Tanah seluas itu selain dari warisan orangtuanya, juga karena ia membeli tanah-tanah warga desa yang menjualnya. Tanah yang dimiliki ditanami padi, ubi, buah-buahan, sayuran, dan tanaman yang memiliki nilai jual.
Tak heran bila di rumah Pak Cutik selalu ramai orang mengurusi hasil panen dari lahan-lahan yang dimiliki. Hasil panen seperti tomat, dikepak-kepak secara rapi dan selanjutnya dikirim ke kota. Di kota sudah ada toko serba ada yang menampung sayuran dan buah-buahan lahan Pak Cutik.
"Assalamu'alaikum," ucap Pak Lunjak ketika berada di pintu rumah Pak Cutik. Tak ada jawaban, maka salam itu diulang, ketika tak ada jawaban lagi maka ia pun mengulang. Meski sudah tiga kali mengucap salam, namun tak ada jawaban. Ketika mau mengucapkan salam yang keempat kalinya, tiba-tiba muncul anak kecil sambil mengatakan, "Mau mencari siapa?" Mendengar dan melihat anak kecil yang dirasa anaknya Pak Cutik itu, Pak Lunjak mengatakan, "Mau mencari Bapak. Bapak ada?" "Bapak masih sholat isya," ujar anak kecil itu dengan lugu. Tak selang lama muncullah seorang ibu, ibu itu kemudian dengan sapa hangat menyambut Pak Lunjak. "O, Pak Lunjak to. Masuk ke rumah Pak, Pak Cutik lagi sholat isya," ujar perempuan istri kedua Pak Cutik itu. Pak Lunjak sendiri merasa kaget sebab dirinya belum tahu perempuan itu namun ia kok sudah mengenalnya.
Dipersilahkan masuk ke dalam, Pak Lunjak pun melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Ruang tengah itu terasa sangat luas, sepuluh kursi kayu jati yang dibalut dengan rotan saling berhadapan. Satu kursi berada di ujung dengan posisi diapit oleh kursi yang saling berhadapan itu, di kursi itu biasa Pak Curik duduk ketika menerima tamu. Di ruang itu banyak kursi karena tamu yang datang silih berganti, kadang satu orang, kadang dua orang, bahkan sampai tujuh orang. Mereka datang ke rumah Pak Cutik dengan berbagai macam kepentingan dan alasan.
Ketika mengamat-amati ruang tengah, Pak Cutik dengan berbaju koko dan berpeci putih tiba-tiba menyapa Pak Lunjak, "Assalamu'alaikum." Mendapat sapaan itu, Pak Lunjak pun membalas, "Waalaikum salam." "Apa kabar Mas," sapa Pak Cutik lebih akrab. "Baik-baik saja Mas, Alhamdulillah," balas Pak Lunjak. "Tumben silaturahmi ke sini," kata Pak Cutik dengan tersenyum. "Ada maunya pasti?" tambahnya.
Maka Pak Lunjak pun mengutarakan bahwa kedatangannya itu ingin menjual sebagaian tanahnya. Ia menjual sebagaian tanahnya selain untuk membayar utang, sebagian uang hasil penjualan nanti akan digunakan untuk biaya ke Malaysia. Mendengar keluh kesah Pak Lunjak, Pak Cutik pun manggut-manggut. "O begitu to Mas," ujar Pak Cutik. "Tapi tanahmu itu kan sudah kecil nanti kalau dijual tambah kecil dong," tambahnya. "Terus letaknya tanahmu itu nggak strategis," kata Pak Cutik lebih lanjut.
Mendengar sedikit penolakan itu, Pak Lunjak berujar, "Iya Mas, Saya cuma minta tolong saja agar Saya bisa keluar dari masalah ini." "Memang Kamu punya masalah apa?" tanya Pak Cutik. Pak Lunjak pun menceritakan secara panjang lebar masalah yang dihadapi. Mendengar cerita itu Pak Cutik manggut-manggut. Setelah sedikit terdiam, Pak Cutik mengatakan, "Baik Aku sekadar menolong saja. Ya sebagian tanahmu aku beli, nanti biar Bleggur yang mengerjakan tanah itu." Bleggur adalah salah satu orang kepercayaan Pak Curik. Ia setiap hari membantu Pak Curik mengurus tanah dan hasil pertaniannya. Kalimat yang mengatakan, aku sekadar menolong merupakan ungkapan yang selalu diucapkan Pak Cutik ketika membeli tanah orang yang membutuhkan duit dalam waktu cepat.
"Baik besok uangnya diambil ya. "Jangan sekarang. Bawa uang malam-malam nggak aman," kata Pak Cutik sambil menjabat tangan Pak Lunjak. "Nggih Mas, terima kasih atas kesudiannya membeli tanah Saya," balas Pak Lunjak. Setelah itu, Pak Lunjak dengan wajah yang berseri-seri pamitan pulang.
***
Uang yang diikat dengan karet itu diletakan di meja Nyai Renten. Melihat uang itu, mata Nyai Renten membelalak. "Wooo, dari mana Kamu dapat uang secepat ini," ujarnya sambil menghisap rokok kretek hitam kesukaannya. "Dari jual sebagai tanah Nyai," jawab Pak Lunjak. "Jual tanah?!" Nyai Renten kembali bertanya. "Ya Nyai, sebagaian tanah garapan Saya telah saya jual untuk membayar utang kepada Nyai," Pak Lunjak menjelaskan. "Ha, ha, ha, ha," Nyai Renten tertawa lebar mendengar penjelasan itu. "Ya sudahlah memang kalau begitu, yang penting utangmu lunas," kata Nyai Renten sambil menyilangkan kakinya. Uang itu kemudian dihitung. "Pas," ujar Nyai Renten dengan mantap. Setelah tak ada tanda-tanda Nyai Renten menganggap penting dirinya, Pak Lunjak pun pamit, Â "Ya sudah Nyai saya pamit karena urusan Kita sudah selesai." "Ya sudah kalau begitu, kalau butuh duit lagi Kamu boleh ke sini," rayu Nyai Renten kepada Pak Lunjak. "Ya Nyai," jawab Pak Lunjak sekadarnya.
Pak Lunjak pun berdiri dan melangkah meninggalkan ruang tamu rumah rentenir itu. Ketika hendak meninggalkan ruang tamu, ia melihat Kepal dan Jotos yang sedang menginterogasi orang. Pak Lunjak berpikir kalau ia tidak membayar utang tepat waktu sesuai yang dijanjikan mungkin nasibnya sama dengan orang yang diinterogasi itu.
Selepas meninggalkan halaman rumah yang cukup megah, Pak Lunjak melanjutkan perjalanan yang sudah direncanakan. Ia hendak mencari perusahaan yang biasa mengirim TKI keluar negeri. Tempat perusahaan itu banyak membuka kantor di dekat Pasar Kota. Ia pun segera menuju ke Pasar Kota. Begitu tiba di sana, pasar sangat ramai, orang hilir mudik sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing.
Pak Lunjak melihat pasar yang demikian ramai membuat dirinya melongok ke sana ke mari. Gelagat seperti orang bingung itu ditangkap oleh seseorang yang telah memperhatikan dirinya. "Cari apa Mas," ujar seseorang itu. Karena belum kenal dan masih was-was dengan orang itu, Pak Lunjak pun berkata, "O, enggak Mas mau lihat-lihat pasar saja." "Mau cari kerja di luar negeri ya," tebak orang itu kepada Pak Lunjak. Orang itu sudah paham bila orang kelihatan celingak-celinguk di dekat pasar pasti hendak mencari perusahaan yang bisa menghantar kerja di luar negeri. Begitu melihat Pak Lunjak seperti itu maka ia segera menghampiri. Bagi orang itu bila mendapatkan satu orang TKI, ia akan mendapatkan komisi dari pemilik perusahaan pengirim TKI. Mendengar pancingan orang itu soal kerja di luar negeri, tatapan mata Pak Lunjak mulai berubah. "Memang Mas tahu di mana perusahaan pengirim TKI yang bisa mencarikan kerja di Malaysia?" tanya Pak Lunjak kepada orang itu. "Gampang Mas, jangankan ke Malaysia, ke Korea, Hongkong, Jepang, Arab Saudi, bahkan Amerika Serikat pun gampang. Bahkan kalau di bulan ada orang yang membutuhkan tenaga kerja Saya pun bisa mengirimkannya," jawab orang itu dengan tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalau di Malaysia pekerjaan yang ada apa Mas?" tanya Pak Lunjak dengan bersemangat. "Ijazah dan pengalaman Mas apa?" tanya balik orang itu. Mendapat pertanyaan seperti itu, dengan sedikit malu-malu, Pak Lunjak menjawab, "Anu Mas, Saya hanya lulusan sekolah rakyat dan hanya berkerja di ladang." "Nah itu cocok, memang Mas yang dicari-cari perusahaan di Malaysia," ucap orang itu bak motivator. Mendapat ungkapan yang memberi harapan itu membuat Pak Lunjak riang hatinya. Sikap curiga dan was-was kepada orang itu berubah menjadi sebuah harapan. "Terus di mana perusahaan pengirim TKI itu?" tanya Pak Lunjak penuh harap. "Bener mau kerja di Malaysia?" goda orang itu. "Kalau mau ya sudah ayo ikut Aku," ujar orang itu.
Mendapat ajakan penuh harapan itu, sikap Pak Lunjak seperti kerbau dicocok hidungnya. Ia mengikuti langkah orang itu di belakangnya. Selama menuju tempat perusahaan pengiriman TKI yang hendak ditunjukan oleh orang itu, Pak Lunjak melihat ruko-ruko kecil dengan memasang papan nama pengirim TKI keluar negeri. Papan nama itu bertuliskan siap mengirim TKI ke berbagai negara. Dalam setiap melintasi ruko-ruko itu semua orang menyapa, "Ke sini aja Mas perusahaan pengirim TKI ini cukup dua minggu langsung berangkat." Bahkan ada yang mengatakan, "Bebas biaya." Mendengar tawaran-tawaran itu sebenarnya Pak Lunjak tergoda, namun dirinya sudah bersama salah satu calo pengiriman tenaga kerja itu.
Sampailah ia di sebuah ruko, di ruko itu terpasang papan nama yang berbunyi Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet. Perusahaan pengirim TKI itu dijaga oleh seorang wanita muda yang untuk ukuran kota itu terbilang enak dipandang. "Mari duduk Mas," sapa wanita muda itu dengan ramah. Sapaan itu membuyarkan lamunan Pak Lunjak. "Eh, iya Mbak," ucapnya. "Mau kerja ke Malaysia?" tanya wanita muda itu. "Sudah tahu syarat-syaratnya?" tanya lagi wanita muda itu. "Belum Mbak, Saya belum tahu apa-apa," jawab Pak Lunjak dengan lugu. "Untuk kerja ke Malaysia syaratnya KTP, bisa bahasa Indonesia, sehat jasmani dan rohani, dan membayar uang Rp2 juta," wanita muda itu menjelaskan. Mendengar syarat-syarat itu, Pak Lunjak terperanjat. Terperanjat bukan karena soal KTP dan bisa bahasa Indonesia, namun uang Rp2 juta. Ia berpikir lahan sebagaian yang dijualnya itu hanya laku Rp5 juta. Digunakan untuk membayar utang ke Nyai Renten Rp2 juta. Kalau dirinya untuk pergi ke Malaysia dengan membayar uang Rp2 juta, apa cukup untuk istrinya hanya Rp1 juta.
Melihat Pak Lunjak bingung, orang yang tadi menghantar diriya ke Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet itu mengatakan, "Itu sudah murah Mas. Lainnya bisa sampai Rp4 juta." Mendapat kabar seperti itu, pikiran Pak Lunjak mulai tenang kembali. "Langsung daftar saja Mas, yang antri sudah banyak," ucap orang itu lagi. Lontaran orang itu dikuatkan oleh wanita muda penjaga ruko, "Iya Mas. Perusahaan Kami sudah berpengalaman mengirim TKI ke Malaysia." "Diantara perusahaan pengirim TKI yang ada di kota ini, Wani Cepet paling cepat memberangkatkan. Jadi tempat Kami tidak memiliki penampungan," tambahnya. Mendapat provokasi dan rayuan bertubi-tubi membuat luluh hati Pak Lunjak. Ia pun menyanggupi syarat-syarat itu. Diserahkanlah uang Rp2 juta itu kepada wanita muda itu. Melihat Pak Lunjak menyerahkan uang, orang yang menghantarkan itu nampak kegirangan. Ia berpikir akan mendapat komisi yang lumayan untuk bisa makan dan minum. "Bisa saya pinjam KTP untuk di-foto copy" ujar wanita muda itu kepada Pak Lunjak. "O bisa Mbak," jawab Pak Lunjak sambil merogoh dompetnya yang biasa untuk menyimpan KTP. KTP yang sudah usang itu diserahkan ke wanita muda. Dan wanita muda itu menyerahkan KTP itu kepada salah satu rekannya untuk di-foto copy di Toko Liong milik Ahong.
Wanita muda itu selanjutnya memberi kode pada pria penghantar untuk mendekat. Ia pun membisikan sesuatu kepada pria penghantar. Mendapat bisikan, pria itu tersenyum. Dan mewakili wanita muda, ia mengatakan, "Mas tiga hari kembali ke sini ya untuk berangkat bersama TKI yang lain ke Malaysia." Mendapat pemberitahuan seperti itu, Pak Lunjak kegirangan. "Siap Mbak, tiga hari lagi Saya pasti akan datang ke sini," ujarnya.
Selang tak lama, rekan wanita muda itu telah kembali dari Toko Liong, dan KTP Pak Lunjak pun diserahkan kembali. "Baik Mbak dan Mas kalau begitu Saya pulang dulu untuk siap-siap membawa perlengkapan," ujarnya sambil memasukan KTP itu ke dompetnya. "Silahkan Mas, hati-hati," ujar wanita muda itu dengan ramah.
Setelah Pak Lunjak menghilang ditelan keramaian, pria penghantar itu dengan serta merta berujar, "Mana komisi Saya." "Iya, iya, buru-buru banget sih," ujar wanita muda itu. "Dihitung saja belum," tambahnya dengan sedikit sewot. Dengan cekatan wanita muda itu menghitung kembali uang yang disetor Pak Lunjak. "Ya pas Rp2 juta," ucapnya. Kemudian ia menarik beberapa lembar uang itu dan menyerahkan kepada pria penghantar. "Asyiiik," ujar pria penghantar itu. Serta merta dan tanpa basa-basi serta pamit, ia meninggalkan wanita muda itu dan berjalan menuju arah pasar. "Dasar calo," wanita muda itu menggumam atas kejengkelan kepada pria itu yang dirasa tak tahu diri dan sopan santun.
***
Jam menunjukan pukul 15.00 WIB ketika Pak Lunjak tiba kembali di rumahnya. Dilihatnya istrinya sedang memandikan Trengginas. Melihat suaminya datang, istrinya segera menyapa, "Gimana Mas hasilnya." Mendapat pertanyaan seperti itu, dengan ogah-ogahan Pak Lunjak menjawab seadanya, "Biasa saja." "Biasa gimana to?" tanya istrinya. "Ya biasa, saja. Aku dapat duit dari Pak Cutik Rp5 juta. Rp2 juta buat Aku bayar utang ke Nyai Renten. Rp2 juta buat biaya cari kerja ke Malaysia. Sisanya Rp1 juta buat Kamu," Pak Lunjak menjelaskan. "Hah?! Cuma segitu," ujar istrinya dengan keheranan. "Memang cukup buat Aku dan Trengginas selama Kamu pergi ke Malaysia?" lagi istrinya menanyakan. "Cukup nggak cukup ya cuma segitu," ucap Pak Lunjak sambil masuk kamar.
Dari kamar terdengar suara deritan lemari. Lemari pun itu dikorek-korek. Pak Lunjak mencari tas yang biasa ia gunakan bila bepergian jauh. Setelah tas itu ditemukan, dibersihkannya dengan kain bekas yang biasa digunakan untuk membersihkan cermin. Setelah bersih dimasukan beberapa baju, celana pendek dan panjang, serta sarung. Penuh sudah tas yang tidak terlalu besar itu. Tas itulah yang akan menyertai dirinya pergi ke Malaysia.
"Saya tiga hari lagi berangkat ke Malaysia," ujarnya kepada istrinya yang tengah menyusui Trengginas. Pernyataan itu tak membuat istrinya kaget, justru ia ingin segera suaminya itu pergi ke Malaysia agar bisa sesegera mungkin untuk mengirim uang. Selama ini kehidupan mereka di bawah kecukupan sehingga sering utang sana-sini. "Ya sudah, mudah-mudahan Kamu cepat bekerja dan segera mengirim uang," kata istrinya.
Dengan tak menghiraukan harapan istrinya, Pak Lunjak menuju kamar mandi yang berada di samping rumah. Suara deritan roda penarik timba dari sumur terdengar ke dalam rumah ketika Pak Lunjak hendak mengisi bak mandi yang sudah lumutan itu. Setelah sepuluh kali menimba air dari sumur, bak mandi itu penuh. Tak lama kemudian terdengar suara byur, byur, byur, yang menandakan Pak Lunjak sedang membasuh badannya dengan air bening itu. Setelah mengosok badan dengan sabun mandi yang dibeli di Warung Mamik, terdengar kembali suara byur, byur, byur, suara air tumpah itu menandakan bahwa Pak Lunjak sedang membilas tubuh dari busa sabun mandi. Beberapa saat kemudian, diambilnya handuk yang diletakkan di pintu kamar mandi. Dikeringkannya badan yang penuh air dengan handuk yang sudah usang dan berwarna kumal. Dengan mengenakan sarung, Pak Lunjak keluar kamar mandi dan langsung menuju kamar. Istrinya heran setelah suaminya masuk kamar tak terdengar suara apapun dari kamar itu. Ditengoknya kamar itu, eh ternyata suaminya langsung tidur. Dengan wajah sedikit kesal, kain penutup kamar itu dihempaskan dari tangannya.
***
Dengan mata berkaca-kaca, ditataplah mata istrinya, hari itu Pak Lunjak harus pergi meninggalkannya untuk pergi ke Malaysia. "Bu, Aku pamit mau pergi ke Malaysia ya. Tolong Trengginas dijaga dan dirawat dengan baik-baik. Nanti Aku kirim duit sebulan sekali dari sana," ujarnya dengan suara terbata-bata.
Suasana yang mengharukan itu membuat istrinya menjadi merasa kehilangan suaminya. Tak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan dari mulutnya, hanya air mata berlinang ketika suaminya memeluk dirinya. Setelah mendekap erat-erat tubuh istri, Pak Lunjak kemudian melangkah meninggalkannya. Langkah demi langkah semakin menjauhkan dirinya dengan apa yang selama ini dicintainya.
Disusurilah jalan-jalan desa untuk menuju jalan besar. Setelah tiba di jalan besar, di mana jalan itu biasa dilewati mobil angkutan kota-desa, Pak Lunjak berhenti sejenak. Ia menunggu angkutan yang biasa mengangkut warga desa pergi ke kota. Sepuluh menit sudah waktu berlalu, namun angkutan berwana merah itu belum juga menampakan dirinya. Gundah gulana pun menghinggapi diri, ia pun hendak melangkah ke sebuah pohon di mana di bawah pohon itu sering dijadikan tempat berteduh orang. Ketika melangkah ke tempat itu, tiba-tiba terdengar suara deru mobil angkutan kota-desa. Mendengar deru mesin yang tidak mengenakan telinga itu justru membuat Pak Lunjak kegirangan. "Nah inilah yang Aku tunggu-tunggu," ujarnya kegirangan.
Begitu melihat calon penumpang, kernet angkutan kota-desa itu pun seperti biasanya meneriakan tempat tujuan, "Pasar Kota, Pasar Kota!" Pak Lunjak pun memberi kode dirinya akan naik dan menuju arah pasar, maka angkutan kota-desa itu menepi di dekat Pak Lunjak berdiri. Begitu angkutan kota desa itu berada di depannya, ia segera masuk ke dalam. Rupanya di dalam angkutan kota-desa itu sudah ada beberapa orang yang juga akan menuju Pasar Kota. Selang tak lama setelah dirinya duduk di angkutan kota-desa, kernet meminta ongkos. Pak Lunjak pun memberi uang kepada kernet itu.
Jarak sepanjang 15 km ke Pasar Kota ditempuhnya selama 45 menit sebab sedikit-sedikit angkutan kota-desa itu berhenti menunggu penumpang. Meski demikian para penumpang tidak ada yang protes sebab hal yang demikian sudah biasa. Mereka masih bersyukur ada angkutan kota-desa yang masih jalan. Kalau angkutan kota-desa tidak jalan mereka akan lebih susah, sebab untuk mencapai tujuan mereka harus jalan kaki.
Begitu tiba di Terminal Pasar Kota, Pak Lunjak langsung bergegas menuju Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet. Lalu lalang orang yang hendak menuju pasar sedikit menghambat laju Pak Lunjak menuju ke tempat itu. Ia pun ber-zig-zag melewati orang-orang. Melihat yang demikian, gerakan Pak Lunjak menjadi aneh dilihat orang sehingga semua mata tertuju pada dirinya. Entah tidak sadar atau cuek dirinya pun tidak sadar menjadi sorotan orang banyak.
Akhirnya tibalah di Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet. Dirinya heran, di situ rupanya sudah banyak orang yang modelnya mirip dengan dirinya, di mana berpakaian lusuh dan membawa tas yang tidak besar, tidak pula kecil. Melihat Pak Lunjak datang, wanita muda penjaga ruko Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet yang dulu mengurus keberangkatan dirinya, menyapa, "Silahkan duduk Mas." Mendapat sapaan seperti itu, tenang sudah hati Pak Lunjak. Ia pun mencari sela tempat yang ada, sebab di depan ruko Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet itu sudah penuh orang.
***
Waktu sudah menunjukan Pukul 15.00 WIB, namun tanda-tanda keberangkatan belum nampak sehingga timbullah kegelisahan diantara puluhan orang itu. Keluguan membuat mereka tidak berani protes, hanya berbisik-bisik menanyakan jam berapa berangkat. Diantara mereka ada yang berani menanyakan ke wanita muda penjaga ruko Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet. "Mbak jam berapa berangkatnya?" ujar salah satu diantara mereka. "Bentar lagi Mas, bisnya masih dibersihkan," ujar wanita muda penjaga ruko Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet itu. Mendapat jawaban seperti itu, para calon TKI itu sedikit lega. Mereka pun kembali menghitung menit menjelang keberangkatan.
Rasa gundah pun mulai menghinggapi kembali ketika dua jam sudah berlalu namun bus yang dijanjikan juga belum tiba, sehingga salah satu diantara mereka yang tadi bertanya mengulang pertanyaannya, "Mbak jam berapa berangkatnya?" Pertanyaan itu rupanya disahuti secara serempak yang lain, "Iya, kapan berangkatnya!?" ujarnya bersahut-sahutan. Mendengar nada protes yang demikian, wanita muda penjaga ruko Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet itu tidak gentar, ia menjawab, "Bentar lagi!" Ia tak gentar sebab ia sudah biasa memberangkatkan orang ke Malaysia dan keberangkatannya sering molor dan pastinya diprotes calon TKI. Setiap pemberangkatan pasti mengalami hal-hal yang demikian. Hal demikian membuat dirinya sudah biasa menghadapi. Bahkan wanita muda penjaga ruko Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet itu mempunyai pengalaman hampir dipukul calon TKI karena alasan terus ketika ditanya soal jam berapa rombongan akan diberangkatkan. Namun upaya pemukulan itu digagalkan oleh teman-temannya yang lain.
Di tengah suasana yang tidak menentu itu tiba-tiba muncul bus besar. Meski bus berukuran besar namun bus itu kelihatan terseok-seok jalannya, kalau belok miringnya bukan main, cat warna hitam sudah kelihatan kumal, kaca depannya kelihatan retak bekas dilempar orang. Melihat bus datang, semua calon TKI bersorak, "Yeeeee."
Begitu bus datang, Klewo meminta para calon TKI itu untuk sabar dulu. Sebagai pegawai Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet, Klewo hendak menjelaskan dulu rute-rute perjalanan ke Malaysia. "Bapak-bapak kumpul dulu ya, Saya mau menjelaskan bagaimana caranya agar Kita bisa sampai ke Malaysia, " ujar Klewo. "Ya cepet saja, Saya sudah tidak sabar untuk jalan," teriak salah seorang calon TKI.
"Begini, Bapak-Bapak naik bus ini ke Tanjung Priok, Jakarta, nah nanti di sana ada orang yang akan menjemput Bapak-Bapak untuk naik kapal laut," ujarnya. "Sampai di kapal nanti akan dijelaskan lagi oleh pegawai Perusahaan Pengirim TKI Wani Cepet yang ada di sana," tambahnya. Mendengar jawaban seperti itu, semua menjawab, "Yo wis."
"Baik, kalau sudah jelas silahkan Bapak-Bapak naik ke bus," ujar Klewo. Begitu mendengar perintah seperti itu, tanpa komando para calon TKI itu menyerbu bus. Begitu berada di dalam bus mereka memilih tempat yang dirasa strategis. Begitu pula Pak Lunjak, ia  memilih tempat yang strategis pula, ia memilih tempat duduk di belakang sopir, tujuannya agar pandangan matanya bisa lebih leluasa. Syukur posisi yang dicarinya itu ada sehingga ia merasa nyaman.
Setelah mereka duduk di dalam bus selama setengah jam, selanjutnya bus yang dikemudikan oleh Kaprok itu bergerak dan putaran roda pun semakin cepat berputar dan membuat bus meninggalkan kantor Perusahaan Pengiriman TKI Wani Cepet. Sebab kecapekan, para calon TKI pun lebih memilih memejamkan mata agar mereka tak merasa dihinggapi rasa bosan.
***
Dari kejauhan Pak Lunjak melihat istrinya sedang menggendong Trengginas meninggalkan rumah. Hendak dihampirinya istri dan anaknya itu. Ketika dia membuntuti, langkah istrinya semakin cepat. Ia pun berlari, namun usaha larinya belum mampu menyentuh badan istrinya. Semakin cepat ia mengejar, semakin cepat pula istrinya itu jauh dari dirinya. Di tengah hutan, ia kehilangan jejak langkah istrinya. Sendirilah Pak Lunjak di tengah hutan itu. Tiba-tiba sekelebat, ia melihat istrinya berada tak jauh darinya. Ia pun berteriak, "Istriku!" Mendengar panggilan itu, istrinya menoleh kemudian berjalan ke arah tengah hutan. Pak Lunjak pun mengejarnya, namun lagi-lagi ia kehilangan jejak. Puluhan pohon besar dan tinggi menghambat pandangan dirinya saat mengejar anak istrinya.
Di tengah nafas yang tersenggal-senggal, tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh suara auman harimau yang keras. Mendengar auman raja hutan itu ada dua kecemasan yang menghinggapi dirinya, kecemasan akan keselamatan diri sendiri serta kecemasan akan keselamatan anak dan istrinya. Untuk menghindari terkaman harimau dengan segera ia bersembunyi di bawah akar pohon besar, ia komat-kamit membaca sesuatu agar diri serta anak dan istrinya bisa selamat dari terkaman harimau. Saat komat-komit binatang berkulit loreng keemasan itu melintas persis di depannya. Seketika darah berhenti, jantung berdetak sekadarnya, dan tubuh menjadi kaku, begitu raja hutan itu berada hanya beberapa jengkal darinya.
Harimau bertubuh besar itu untungnya melintas begitu saja ketika berada di samping Pak Lunjak sehingga ketika kelebat ekornya semakin menjauh, darah mulai mengalir ke seluruh tubuh, jantung mulai normal berdetak, dan bagian-bagian tubuh mulai bisa digerakan. Wuss," bunyi nafas lega selepas kejadian yang mengancam dirinya itu. Ia pun segera keluar dari akar pohon besar tempat dirinya berlindung. Matanya pun menyorot ke sana ke sini untuk melihat apakah harimau itu benar-benar sudah jauh darinya. Setelah dirasa aman, ia pun mencari arah ke mana istri dan anaknya tadi meninggalkan dirinya. Sorot matahari dari arah tenggara membuat dirinya menuju ke arah selatan. Disusurinya tanah-tanah yang biasa dilewati babi hutan, rusa, dan hewan-hewan hutan itu.
Begitu ia berada di pinggir tebing, ia kaget melihat istrinya sedang berdiri persis di pinggir tebing. Istrinya dengan menggedong Trengginas menatap kosong ke depan. Pak Lunjak pun memanggil istrinya, "Istriku ini Aku suamimu." Mendengar panggilan lembut, istrinya itu menoleh kepadanya, setelah itu tersenyum kepadanya. Tak disangka senyuman itu adalah senyuman terakhir. Tiba-tiba ia melompat ke jurang yang dalam dan curam. Melihat istrinya melompat ke jurang, Pak Lunjak secara histeris berteriak, "Istriiiiiikuuu!" "Pak, Pak bangun," ujar Kaprok. Sopir bus itu membangunkan Pak Lunjak dari tidurnya. Pak Lunjak baru sadar bahwa dirinya telah bermimpi. Sebuah mimpi buruk baginya. Setelah benar-benar sadar dari tidur, ia mendengar banyak penumpang lainnya tertawa, dan berujar, "Mau ke Malaysia kok masih kangen sama anak istri." Mendengar ujaran itu semuanya pun tertawa, gerrr. Mendengar tertawaan para calon TKI itu Pak Lunjak tidak peduli, ia bersihkan keringat dingin dari mukanya.
***
Bus yang ditumpangi oleh para calon TKI itu sudah masuk ke Terminal Tanjung Priok. Meski pagi masih mendekap terminal itu, namun suasana sudah ramai. Angkot dan bus kota sudah parkir dan para kernetnya berteriak-teriak menawarkan kepada setiap orang trayek tujuan. "Blok M, Blok M,' ujar salah satu krenet. "Pasar Senen, Pasar Senen," ujar Krenet lainnya. Suaranya pun silih berganti sehingga suasana di terminal menjadi gaduh.
Setelah bus berhenti dan parkir tepat di depan Stasiun Tanjung Priok, antara terminal dan stasiun menjadi satu, Kaprok pun berteriak kepada seluruh penumpang. "Pak turun di sini semuanya ya. Dan kumpul di samping pintu gerbang stasiun serta jangan berpisah karena sebentar lagi ada petugas Perusahaan Pengirman TKI Wani Cepet," ujar Kaprok. Teriakan Kaprok itu rupanya tak ada jawaban, sebab para calon TKI itu masih antara tidur dan bangun. Kaprok pun juga tak peduli, ia segera turun dari bagaian kemudi bus dan bergegas di warung ia biasa mangkal. Ia berpikir urusan selanjutnya bukan urusan dirinya.
Satu per satu para calon TKI pun turun dari bus, termasuk Pak Lunjak. Bus yang tadinya penuh orang pun kembali kosong. Mereka pun berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Di tempat itu mereka ada yang ngrokok, minum kopi, makan pisang goreng di tempat Kaprok biasa nongkrong. Di tengah asyiknya menikmati kegiatan masing-masing, tiba-tiba mereka dihampiri oleh seseorang. "Bapak-Bapak sekalian, Saya Jenod dari Perusahaan Pengirman TKI Wani Cepet," ujarnya sedikit berdiplomasi. Mendengar ucapan seperti itu, para calon TKI itu ada yang cuek, ada pula yang setengah cuek, sedikit mereka yang serius. Pendidikan para calon TKI yang rendah terkandang sering tidak mempunyai etika sehingga ketika ada masalah-masalah yang serius pun mereka tidak bisa menanggapi secara normal.
Bagi Joned sikap yang demikian sudah biasa mereka alami sehingga dirinya tetap tersenyum meski seolah-olah para calon TKI itu tak butuh. "Begini Bapak-Bapak, setelah semuanya puas menikmati rokok, kopi, dan makanan kecil, selanjutnya mengikuti Saya untuk menuju ke kapal laut yang akan membawa Bapak-Bapak menuju Pulau Batam," ujarnya. Mendengar kata kapal laut, para calon TKI mulai tersengat kembali untuk pergi ke Malaysia. Maka rokok, kopi, dan pisang yang sudah dan akan masuk ke dalam mulutnya segera dihabiskan dan bila rokoknya masih berbatang panjang dimatikan. "Yo, yo Aku siap iki," ujar diantara mereka.
Mereka pun akhirnya seperti bebek digiring menuju kandang, mereka berduyun-duyun menuju ke kapal laut. Sepanjang jalan orang-orang melihat rombongan itu dan orang-orang sudah bisa menyimpulkan bahwa mereka akan berangkat ke Malaysia, sebab hal demikian sudah biasa terjadi. Orang-orang yang berada disepanjang jalan yang mereka lintasi, kadang-kadang komentarnya miring. "Mau-maunya kerja di Malaysia," kata seorang yang duduk di pagar terminal itu. Yang lain pun menimpali, "Daripada menjadi kuli di sana mending jadi kuli di sini." "Siap-siap saja diusir sama Datuk Nadjib," ujar seorang pria lainnya dengan lagak sok pinter.
Entah mendengar atau tidak celotehan itu, para calon TKI tak peduli pada semuanya. Setelah berjalan selama 15 menit, tibalah mereka di sebuah pinggir laut di mana ada sebuah kapal besar yang sedang tertambat. Kapal dari besi itu terlihat cukup mampu mengatasi gelombang dan angin yang akan membawa mereka ke Pulau Batam. Kapal yang berlabuh dengan diikat tambang putih besar itu nampak sedang naik turun diombang-ambingkan oleh ombak pelabuhan.
"Nah ini Bapak-Bapak kapal yang akan membawa ke Batam. Nanti tiba di sana ada karyawan Perusahaan Pengiriman TKI Wani Cepet yang akan menjemput Bapak-Bapak sekalian," ujar Joned. "Sekarang biar lebih cepat silahkan Bapak-Bapak masuk ke kapal saja. Saya sudah berkoordinasi dengan penjaga kapal bahwa tiketnya semua sudah diurus," tambahnya. Perintah itu langsung diiyakan oleh para calon TKI, mereka pun langsung menaiki tangga kapal menuju ruang yang sesuai dengan tiket mereka, bagian paling murah. Meski kondisi bagian yang mereka tempati seperti tempat jemur ikan, hanya diberi fasilitas kasur, namun sepertinya mereka tidak mempersoalkan. Banyak diantara mereka yang baru pertama kali ini naik kapal laut sehingga tidak bisa membedakan mana kelas ekonomi, bisnis, dan VIP.
Mereka pun segera mencari tempat yang sesuai dengan selera masing-masing, ada yang dipojok, dekat pintu, ada pula yang di tengah bercampur dengan ratusan penumpang lainnya. Pak Lunjak memilih tempat yang berada di pojok. Begitu tas yang dibawa ditaruh, ia segera menggelar kasur dan selanjutnya merebahkan diri.
Ketika Pak Lunjak menggulingkan tubuhnya, rupanya gerakannya itu terbentur oleh badan seseorang. Orang itu tidur di sampingnya. Ruangan yang sudah penuh membuat penumpang kapal itu berdesak-desakan. "Wah geser dikit dong Kang," ujar Pak Lunjak kepada orang itu. Orang itu pun dengan sedikit keengganan menggeser tubuhnya.
"Toot, toot, toot," bunyi kapal laut menyeruak keras di ruangan itu. Suara keras itu membangunkan orang-orang yang tertidur dan orang-orang yang tidur ayam pun terbelalak matanya. Tak lama kemudian terdengar dari box sound system suara yang mengatakan bahwa kapal laut akan segera berangkat. Peragaan penyelamatan kapal bila dalam keadaan bahaya pun muncul di layar televisi yang ada di ruangan itu. Peragaan penyelamatan kapal yang diperagakan oleh seorang gadis manis itu hanya ditonton begitu saja oleh penumpang.
Kapal laut pun secara perlahan-lahan tapi pasti mulai beranjak meninggalkan pelabuhan terbesar di Indonesia itu. Burung-burung camar beterbangan mengelilingi kapal seraya mengucapkan selamat jalan. Nelayan yang berada di perahu-perahu kayu yang terlihat melintas pun melambaikan tangannya yang seolah-olah juga mengucapkan selamat jalan. Makin lama bangunan Pelabuhan Tanjung Priok semakin kecil hingga akhirnya menghilang. Hal demikian menunjukan bahwa kapal laut sudah bergerak jauh ke tengah laut.
"Kamu dari mana," ujar Pak Lunjak kepada orang yang di sampingnya itu. "Lha Aku kan tadi satu bus dengan Sampeyan," ujar pria itu. "Jenengmu sopo, namamu siapa," tanya Pak Lunjak. "Kenthus," ujar pria itu sekadarnya. "Kamu juga mau ke Malaysia," tanya Pak Lunjak lagi. "Aku ini sudah yang ketiga kalinya ke Malaysia," ujar Kenthus. Mendengar jawaban seperti itu Pak Lunjak terperanjat, "Lhaah?!" "Kok bisa ya," gumamnya. "Ya bisa dong, kalau sudah biasa ke Malaysia itu gampang apalagi caranya ilegal," papar Kenthus.
Rupanya Pak Lunjak tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Kenthus soal ilegal. "Apa itu ilegal yang Kamu maksud?" tanya Pak Lunjak. Kenthus pun menguraikan bahwa ilegal adalah cara-cara yang tidak syah atau tidak sesuai dengan aturan hukum. Jadi mereka menjadi TKI di Malaysia dengan cara-cara diluar ketentuan yang resmi. "Jadi kita ini TKI tidak resmi?!" ujar Pak Lunjak dengan nada sedikit keras. "Iyalah kan bayarnya cuma Rp2 juta dan syaratnya cuma KTP," ujar Kenthus dengan mringis. "Asu tenan iki," sumpah serapah keluar dari mulut Pak Lunjak. "Kalau tahu begini mending Saya jadi kuli saja di Jakarta," suara gelegar keluar dari mulutnya.
Melihat emosi mulai naik, Kenthus pun berujar kepada dirinya, "Tenang saja, bukan Kamu satu-satunya yang mengalami penipuan atau menjadi TKI ilegal. Ada ribuan orang mengalami nasib seperti Kita. Justru Kita harus senang dengan status ilegal karena kita bisa cepat berangkat. Kalau mau jujur menjadi TKI prosesnya lama dan syaratnya berbelit-belit." "Kamu mau menunggu selama dua bulan ke Malaysia?" tanya kenthus kepada Pak Lunjak. Mendapat paparan yang demikian, darah Pak Lunjak yang mulai naik kembali turun normal, ia sepertinya membenarkan apa yang dikatakan tadi, dengan hanya membayar Rp2 juta dan KTP dia bisa bisa berangkat cepat ke Malaysia. Mungkin kalau menempuh secara legal, ia tidak memenuhi syarat sebab selain umurnya sudah cukup tua, ijazahnya hanya sekolah dasar.
"Kamu perlu tahu juga bahwa orang-orang seperti Kita ini sering dijadikan komoditas politik oleh LSM dan pejabat pemerintah," ujar Kenthus. "Maksudnya?" Pak Lunjak penasaran. "Kalau diantara Kita ada yang disiksa atau tidak dibayar gajinya, mereka pada ribut namun tidak pernah menyelesaikan secara tuntas masalahnya," Kenthus menjelaskan.
"Terus selanjutnya gimana," ujar Pak Lunjak kepada Kenthus. Sambil menyandarkan badannya ke dindingnya ruangan, Kenthus menjawab, "Ya sudah nanti kita ikuti saja perintah dari petugas perusahaan pengiriman TKI." "Kita siap-siap saja ditangkap oleh polisi Indonesia atau polis Malaysia," tambahnya. "Ditangkap?" tanya Pak Lunjak. "Ya bisa saja ditangkap karena saat menuju ke Malaysia Kita kayak manusia perahu makanya untuk menghindari polis Malaysia saat menuju ke pantai negeri jiran itu pada malam hari," ujar Kenthus. Pak Lunjak pun semakin bingung dengan sebutan manusia perahu. "Apa itu manusia perahu?" tanyanya lagi. Kenthus yang sudah pengalaman memaparkan bahwa manusia perahu itu adalah pencari kerja ilegal dengan menaiki sebuah perahu kayu menuju ke sebuah wilayah negara lain, keberadaan mereka selalu menghindari aparat keamanan. Bila tertangkap mereka akan dikarantina di sebuah pos keamanan. "Waduh jadi perjalanan ini penuh resiko?" ujar Pak Lunjak. "Ya inilah cara Kita paling cepat dan mudah untuk bisa pergi ke Malaysia," jawab Kenthus.
Obrolan mereka yang serius dan ngalor-ngidul itu membuat mereka lelah. Ketika kantuk menyerang, mereka pun tak sangup menghindar. Secara tak sadar mereka tertidur. Â Gelombang yang menggoyang kapal tak bisa membangunkan mereka. Mereka sudah asyik dalam lelapnya.
***
Matahari bersinar terang menyoroti kapal itu, dengan maju secara perlahan kapal itu berusaha menyandar di Pelabuhan Batam. Tak mudah memang mengatur haluan agar kapal cepat merapat.
Ketika hendak sandar, suara mesin kapal kadang terdengar keras, kadang terdengar lirih. Hal itu menunjukaan kapal sedang mengatur sudut mencari posisi yang tepat untuk bersandar. Setelah dengan sedikit susah payah akhirnya kapal mulai bisa merapat dermaga. Tali besar seukuran tangan laki-laki dewasa dilempar oleh salah seorang awak kapal. Lemparan itu langsung ditangkap petugas pelabuhan dan segera ditambatkan di salah satu besi penambat. Kapal ditambatkan agar tidak terbawa ombak ke tengah laut.
Begitu pintu keluar kapal dibuka, penumpang keluar bagaikan air ledeng yang dibuka krannya, mengalir begitu deras. Penumpang kapal mengalami kejenuhan dan tekanan yang membosankan setelah berlayar berjam-jam sehingga begitu mendarat mereka tak sabar untuk cepat-cepat menginjakan kakinya di darat.
Rombongan para calon TKI pun juga segera turun dari kapal itu. Begitu tiba di pojok terminal pelabuhan, seseorang menghampiri. "Bapak-Bapak dari Perusahaan Pengiriman TKI Wani Cepet ya?" ujar pria yang matanya sipit kayak orang China itu. "Ya," ujar mereka serentak. "Nah nama saya Hang, orang yang diberi kepeceryaan Perusahaan Pengiriman TKI Wani Cepet di Batam," paparnya. "Nah Bapak-Bapak sekarang telah di Batam, karena perjalanan ke Malaysia pada malam hari dan sekarang masih pagi maka Bapak-Bapak akan kami giring dulu ke tempat penampungan," kata Hang. Mendengar penjelasan itu, entah karena ngantuk dan lapar atau masih asing dengan suasana Batam maka mereka menurut saja ketika diajak jalan menuju tempat penampungan.
Mereka pun berjalan meninggalkan pelabuhan dan melintasi gang-gang sempit dan akhirnya tiba di sebuah bangunan kayak gudang. Begitu masuk ke dalam bangunan itu terlihatlah bangunan kayu yang tersusun bertingkat dan sepertinya digunakan untuk tidur. Dan terkejutlah mereka melihat ratusan orang ada yang sedang tidur, duduk, dan ngobrol di shaf-shaf kayu itu. Para calon TKI itu hanya celingak-celinguk begitu tahu banyak orang di tempat itu.
"Ini tempat penampungannya," ujar salah seorang calon TKI kepada Hang. "Ya, dan beginilah tempatnya, karena perusahaan pengiriman TKI anda membayar Kami sangat murah," ujar Hang menjelaskan. Mendengar jawaban seperti itu, semua calon TKI diam. "Nah Bapak-Bapak silahkan cari tempat yang kosong dan nanti Jam 23.00 kita berangkat ke Malaysia. Sekarang silahkan istrirahat," papar Hang. Hang pun pergi meninggalkan mereka.
Mereka pun mencari tempat-tempat yang tersisa di shaf-shaf kayu itu. Di tempat itu berlaku hukum rimba, siapa yang kuat ia yang akan mendapat tempat sehingga sering terjadi keributan ketika seorang calon TKI baru masuk ke tempat penampungan. Bila calon TKI baru melayani arogansi penghuni lama pasti akan terjadi perkelahian massal dan hal yang demikian sering terjadi. Demikian pula Gonjel, sebagai calon TKI baru ia dilarang menempati sisa ruang yang ada. Gonjel yang biasanya di kampung tukang belah kayu pun marah, dan berkata, "Asu Kamu, kalau berani ayo kita selesaikan di depan." Mendengar tantangan seperti itu, penghuni lama pun meladeni, "Bangsat anak baru saja sudah mentang-mentang." Untung saja ketika hendak terjadi perkelahian, satpam penampungan segera melerai. "Goblok semua, masalah seperti ini saja ribut. Sama-sama orang miskin saja sombong," ujar satpam penampungan itu membentak dan melecehkan mereka. Akhirnya mereka kembali ke tempat masing-masing dan Gojel pun mencari tempat yang lain.
Syukur Pak Lunjak mendapatkan penghuni lama yang baik sehingga tak ada keributan. "Silahkan Mas," ujar penghuni lama kepada Pak Lunjak. "Ternyata kita tetangga kabupaten ya," ujar orang itu begitu Pak Lunjak memperkenalkan diri. "Ya sudah Kamu Saya anggap saudara sendiri di sini," ujar pria yang namanya Slamet itu. "Makasih Mas Slamet," ujar Pak Lunjak. "Mas Slamet kok bisa di sini," tanya Pak Lunjak. "Ceritanya panjang Mas," ujar Slamet. "Istirahat saja dulu nanti Saya ceritakan," ujar Slamet lagi. Pak Lunjak menurut. Direbahkan badannya ke papan kayu itu. Tak selang lama dirinya sudah berada di dunia lain.
***
"O, begitu to," ujar Pak Lunjak setelah Slamet menceritakan riwayat hidupnya. Slamet menjadi penghuni penampungan TKI itu sudah lama. Ia lebih memilih tinggal di tempat itu karena mau pulang ke kampung halamannya malu. Harapan dari keluarganya agar Slamet pulang membawa uang banyak belum tercapai. Untuk itu dirinya masih mau kembali ke Malaysia untuk menebus janji kepada keluarga agar setelah bekerja di Malaysia hidup keluarganya menjadi lebih baik.
"Ya sudahlah ini merupakan jalan hidup yang harus Kita lalui," ujar Pak Lunjak menghibur diri. "Mudah-mudahan apa yang Kita lakukan ini bisa membawa perubahan bagi keluarga,"ucap Pak Lunjak sambil membaringkan tubuhnya.
"Terus kapan Kamu mau ke Malaysia," tanya Slamet. "Nanti malam katanya," jawab Pak Lunjak. Mendengar jawaban seperti itu Slamet tersenyum malas-malas. Ia berpikir, ah paling-paling juga begitu. Berdasarkan pengalamannya menjelang daratan Malaysia para calon TKI dipaksa turun dari perahu kayu menuju ke perkebunan kelapa sawit. Cara itu dilakukan untuk menghindari polis Malaysia. "Ya selamat jalan dan berkerja," ujar Slamet.
Tak terasa sore sudah tiba di Pulau Batam. Rombongan para calon TKI Perusahaan Pengiriman TKI Wani Cepet pun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke Malaysia. Selepas maghrib, Hang menjemput mereka dari penampungan. Digiringnya mereka keluar dari tempat itu dan menuju ke sebuah pantai yang sepi dan masih banyak tumbuh pohon kelapa. Di tempat itu tertambat sebuah perahu kayu bermesin kecil. Perahu yang bertuliskan Nusa Bahari itu sepertinya cukup untuk membawa sekitar 10 penumpang.
Rombongan yang dikomandoi Hang itu akhirnya sampai di pantai yang sepi itu. Disuruhnya para calon TKI itu naik perahu kayu itu. "Jangan berisik ya Pak," ujar Hang. "Dan jangan menyalakan api," ujarnya lagi. Menyalakan api tentu akan memancarkan cahaya dan dengan demikian menandakan ada sebuah perahu yang sedang bergerak. Untuk mengelabui aparat keamanan biasanya pengirim TKI ilegal akan menyamarkan perjalanan, salah satunya dengan melakukan perjalanan di malam hari sehingga gerak perahu tak terpantau.
"Tek, tek, tek, tek," bunyi mesin perahu itu mulai terdengar. Perahu mulai bergerak meninggalkan pantai yang sepi itu. Dengan lambaian tangan Hang melepas kepergian mereka. Makin lama perahu itu semakin ke tengah. Di tengah perjalanan tukang kemudi perahu itu berteriak, "Woooooiiiiiiiiiii" sambil membanting kemudi dan mempercepat daya laju perahu. Para penumpang tidak sadar ada bahaya mengancam. Mereka baru sadar ketika kapal tangker besar ada di samping mereka. Perahu itu hampir ditabrak kapal tangker. Bila ditabrak kapal tangker tentu perahu itu akan hancur lebur. Kapal tangker itu melintas begitu saja sebab perahu itu memang salah sebab selain tidak menyalakan lampu juga memotong lintasan.
Makin lama perahu itu sendiri di tengah lautan, sejauh mata memandang hanya gelap. Di langit hanya nampak beberapa bintang yang memancarkan redup cahayanya. Cahaya bintang itu tak mampu menolong mereka melihat birunya Selat Malaka. Mereka hanya mendengar suara mesin perahu dan debur ombak. Sesekali mereka berpapasan dengan perahu nelayan yang bercahayakan lampu petromax. Sesekali perahu nelayan yang ditemui itu berbendera Indonesia, selanjutnya yang ditemui berbendera Malaysia. Saat berpapasan mereka melempar salam seadanya.
Setelah tiga jam melewati Selat Malaka. Dari kejauhan nampak seperti sebuah lampu bergoyang-goyang. Tukang kemudi perahu itu pun menuju ke arah lampu itu. Hal demikian menunjukan bahwa titik tujuan telah tiba. Perahu itu akhirnya buang jangkar hanya beberapa meter dari daratan Malaysia. Tukang kemudi perahu itu mengatakan, "Telah tiba di Malaysia, silahkan semuanya meloncat ke laut dan menuju arah lampu itu. Laut tidak dalam jadi jangan khawatir tenggelam." "Kok begini," ujar salah seorang calon TKI. "Nggak usah ribut, laksanakan secepatnya sebelum polis Malaysia mengetahui," ujar tukang kemudi perahu itu.
Karena dilanda rasa cemas berada di tempat yang baru dikenal, mereka pun pada menceburkan diri ke laut, byur, byur, byur, memang air laut tidak dalam, hanya sebatas pinggang. Setelah mereka menceburkan diri, perahu itu segera menghidupkan mesinnya dan balik kucing secepatnya. Dengan berjalan terhuyung-huyung karena dijepit ombak dari kanan kiri, para calon TKI itu berjalan menuju daratan ke arah lampu itu.
Sesampai di pantai, salah seorang yang membawa lampu itu dengan suara keras berkata, "Cepat, cepat, cepat." Mereka pun berlari menuju ke sebuah truck yang diparkir tidak jauh dari pantai itu, "Naik, naik, naik," teriak orang pembawa lampu itu. Begitu semua sudah naik truck, sopir truck segera menghidupkan kendaraan angkut massal itu dan meluncur ke sebuah arah yang tidak diketahui oleh mereka.
Truck itu melaju dengan kecepatan tinggi melintasi kelokan jalan di tengah perkebunan sawit. Gelap yang melingkupi perkebunan sawit itu membuat mereka tidak tahu di mana posisinya. Mereka hanya tahu bahwa dirinya berada di tengah perkebunan sawit yang luas. Sejauh mata memandang hanya nampak jajaran pohon sawit yang berbaris teratur. Akhirnya truck itu berhenti di sebuah tempat yang mirip bangunan pabrik, mereka disuruh turun oleh pria pembawa lampu tadi. "Silahkan turun dan masuk ke ruangan itu," ujarnya sambil menunjuk sebuah ruangan besar mirip penampungan yang ada di Batam. "Silahkan tidur dan istirahat, besok pagi semuanya mulai bekerja di perkebunan sawit ini," kata pria pembawa lampu tadi sambil meninggalkan mereka.
Mereka yang sudah merasa tertipu dan tidak tahu apa-apa akhirnya seperti kerbau dicocok hidungnya. Mereka pun menuju ke tempat di mana tempat tidur ala kadarnya dan segera melupakan impiannya.
***
"Deng, deng, deng," bunyi pintu dari seng itu dipukul keras-keras oleh seseorang yang bertubuh besar. Kerasnya benturan antara besi yang dipegang seseorang yang bertubuh besar dengan seng itu menimbulkan suara yang keras dan memekakan telinga ratusan orang yang sedang terlelap dalam tidurnya. Apa yang dilakukan itu untuk menunjukan bahwa pagi telah tiba dan mereka semua harus menunjuk ke perkebunan sawit.
Dengan sedikit kalang kabut ratusan orang itu menyingkirkan selimut sarungnya  dan bergegas menuju ke kamar mandi yang tersedia. Beberapa baris antrian panjang pun terbentuk di depan kamar mandi yang ada. Saking banyaknya orang yang ingin mandi membuat diantara mereka ada yang hanya sempat membasuh mukanya. "Pyuk, pyuk, pyuk," begitu bunyi orang-orang yang membasuh muka dengan seadanya. Mereka berpikir bila antri mandi akan ditinggal oleh truck dan ketidakhadirannya di kebun sawit tidak dihitung. Pastinya gaji akan berkurang.
Setelah selesai membasuh muka, mereka disuruh menuju truck yang sudah dibagi berdasarkan petak-petaknya. Pak Lunjak sebelumnya sudah diberi tahu bahwa dirinya berada di petak 7, sehingga dirinya menuju ke truck nomer 7. Ada sekitar 30 orang yang terangkut dalam truck itu. Begitu semua sudah siap dengan alat semacam linggis, truck itu bergerak menuju petak 7. Petak demi petak dilalui dan tibalah di petak 7. Tiba di tempat itu seluruh TKI turun dari kendaraan angkut itu, kemudian oleh mandor mereka dibagi-bagi. Pak Lunjak mendapat tempat di bagian selatan di petak 7. Karena pekerjaan lebih mengandalkan tenaga, setelah diberi tahu bagaimana caranya mengambil buah pohon sawit, maka secara naluriah ia cepat bisa menyesuaikan diri bekerja di tempat itu.
Mulai hari itu, Pak Lunjak menjadi pekerja di perkebunan sawit, ia menerima gaji yang cukup buat makan sehari-hari dan sedikit untuk mengirim kepada istrinya. Suka tidak suka hal demikian ia lakukan untuk keberlangsungan hidup. Perasaan dirinya antara menyesal dan tidak ketika sehari-hari harus bekerja berat mirip romusha. Entah sampai kapan dirinya bekerja seperti itu, ia tidak tahu, ia berpikir apa yang terjadi terjadilah.
***
Hari itu para TKI merasa senang, sebab Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) akan mengajak mereka untuk mendukung Tim Nasional Indonesia saat melawan Tim Nasional Malaysia dalam AFF Cup 2010 di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur. Para TKI akan dijadikan pemain ke-12 alias suporter.
Karena kehadiran suporter penting maka KBRI memobilisasi seluruh para TKI untuk berduyun-duyun ke stadion. Langkah untuk memobilisasi para TKI yang dilakukan KBRI adalah dengan menerjunkan petugas ke kantong-kantong para TKI dan mengajak mereka untuk mendukung Tim Nasional Indonesia dengan memberi potongan tiket bahkan memberi tiket secara gratis kepada para TKI.
Pentingnya dukungan para pemain ke-12 dalam Tim Nasional Indonesia yang posisinya ditempati para TKI itu sudah terbukti dalam semifinal AFF 2004. Ribuan TKI yang datang ke Stadion Bukit Jalil mampu mendongkrak semangat tim nasional Indonesia yang tertinggal 1-0, kemudian berubah menjadi unggul 1-4. Dukungan para TKI itulah yang mampu menyemangati Kurniawan D. Julianto, Charis Julianto, Ilham Jaya Kusuma, dan Boaz Salosa, mencetak gol ke gawang Tim Nasional Malaysia.
Jumlah yang dibutuhkan pemain ke-12 yang jumlahnya mencapai ribuan, bukan suatu hal yang susah untuk dimobilisasi oleh KBRI. Jatah dari FAM atau PSSI-nya Malaysia sebanyak 15.000 kursi, suatu kuota yang kecil. Bila FAM rela memberi jatah kursi kepada suporter Indonesia hingga 50%, dengan kapasitas Stadion Bukit Jalil yang mencapai 100.000 hingga 120.000, itu juga bukan hal yang sulit untuk dipenuhi, sebab jumlah TKI yang berada di negeri jiran itu mencapai kisaran 1.000.000 orang. Mendapat fasilitas nonton gratis itu Pak Lunjak kegirangan, "Asyik bisa jalan-jalan ke Malaysia." Dengan acara itu beban kerja berat yang dilakukan bisa dihindari.
Kegirangan Pak Lunjak dicibir oleh Badri, salah seorang TKI lainnya. Diakui apa yang dilakukan oleh KBRI terhadap para TKI ini seperti belah bambu, suatu
ketika diangkat atau dibutuhkan, satu saat yang lain dicuekin bahkan dibiarkan ketika mereka membutuhkan bantuan dan pertolongan. "Banyak sudah cerita dan fakta perlakuan kasar, siksaan, bahkan sampai pembunuhan terhadap para TKI di Malaysia, namun KBRI bersikap pasif bahkan membiarkan apa yang terjadi," ujarnya.
Badri menjelaskan dari tidak adanya perlindungan dan bantuan hukum tersebut membuat Pemerintah Malaysia selama November 2010 pernah mengusir TKI sebanyak 1.132 orang. Dari data yang ada, pada tahun 2009 pengusiran TKI mencapai 32.000 orang, tahun 2008 sebanyak 35.143 orang dan tahun 2007 sebanyak 34.652 orang. Terhadap pengusiran ini mengapa KBRI tidak melakukan apa yang dilakukan ketika hendak memobilisasi mereka untuk mendukung Tim Nasional Indonesia, dengan memberi berbagai kemudahan dan fasilitas.
"Bila pertandingan sepakbola mampu memberi perhatian kepada para TKI di Malaysia, tentu kita berharap tim nasional Indonesia suatu ketika juga mengadakan pertandingan di Arab Saudi, dan negara tujuan para TKI lainnya, sehingga KBRI di sana juga melakukan mobilisasi para TKI," harapnya. Dengan adanya pertandingan sepakbola, nasib mereka bisa menjadi lebih diperhatikan.
Apa yang dikatakan Badri diperkuat oleh Komir, TKI dari salah satu kampung terpencil. Menurutnya, nasib TKI di Saudi Arabia mungkin sama bahkan lebih parah dengan nasib para TKI yang berada di Malaysia. Berdasar data dari Migrant Care, jumlah TKI yang bermasalah pada tahun 2008 sebanyak 45.626 orang. Tahun 2009 sekitar 44.569 orang dan selama Januari-Oktober 2010 mencapai 25.064 orang. Dari data itu, korban terbanyak bekerja di Arab Saudi, berkisar 48,29% hingga 54,10%. Para TKI itu mengalami berbagai nasib yang mengenaskan dari, seperti gaji tidak dibayar, kekerasan seksual, dianiaya sampai tewas, serta dianiaya hingga mengalami cacat fisik.
Bahkan berita yang terakhir diberitakan di media massa, tahun 2010, ada sekitar 300 TKI yang menggelandang hidupnya di kolong jembatan layang di kawasan Kandara, Jeddah. Berita adanya TKI yang menggelandang di Arab Saudi ternyata tidak hanya di Jeddah, namun juga di Makkah. Mereka memilih menjadi gelandangan sebab mereka diperlakukan secara diskriminatif dan tidak adil oleh majikannya, seperti masalah gaji kurang, beban pekerjaan tak sesuai kontrak, korban kekerasan majikan, baik penyiksaan maupun kekerasan seksual," ujar Komir. Dan yang lebih menyulitkan ketika mereka tak lagi memegang kartu identitas karena paspor ada di tangan majikan.
Semua hal di atas menunjukan adanya ketidakseriusan dan ketidakpedulian dari KBRI di Arab Saudi. Berbagai kasus penyiksaan yang berujung pada kematian dan tidak dibayar
gajinya, seolah-olah sebuah cerita yang tak kunjung selesai. Selesai kasus yang satu
muncul kasus yang lainnya.
Diungkapkan Komir, pemerintah Indonesia mungkin hanya mengambil keuntungan dan aji mumpung dari keberadaan TKI. Desakan penghentian pengiriman TKI sepertinya tidak akan didengar oleh pemerintah Indonesia, sebab dengan dihentikannya pengiriman para TKI maka devisa negara akan menurun. Pada tahun 2006 para TKI yang bekerja di luar negeri selama setahun menyumbangkan devisa kepada negara sebesar Rp 60 triliun. Dengan devisa itu mampu memberi makan kepada sekitar 30 juta orang di Indonesia. Apa yang dihasilkan para tenaga kerja itu sebuah prestasi yang luar biasa sebab jumlahnya kedua terbesar setelah peringkat utama dari sektor minyak bumi dan gas (migas).
Dengan paparan di atas, terlihat bahwa pemerintah Indonesia hanya mengambil madu dari para TKI. Pemerintah hanya mengambil keuntungan devisa dari pahlawan devisa, sebutan untuk TKI, dan dimobilisasi ketika ada kepentingan nasional di negara tersebut. Namun ketika madu itu diraih, pemerintah tidak mengambil pusing atau cuek kepada para TKI ketika mereka diberi racun oleh para juragan di mana mereka mengadu nasib di luar negeri. "Mengapa KBRI tidak melakukan mobilisasi kesejahteraan dan perlindungan kepada para TKI?", protes Komir.
***
Saat di Stadion Bukit Jalil, Pak Lunjak memakai kaos merah dan bertuliskan Indonesia serta ada gambar garuda di dada. Ia bergabung dengan 15.000 suporter Indonesia lainnya untuk mendukung Tim Nasional Indonesia. Jumlah itu kalah banyak dengan suporter Malaysia yang jumlahnya mencapai 70.000.
Hiruk pikuk kedua suporter saling bersahutan ketika pertandingan terjadi. Namun suporter Malaysia, karena sebagai tuan rumah, mereka lebih galak dan curang sebab mereka menggunakan laser untuk mengganggu konsentrasi pemain Indonesia, khususnya penjaga gawang Markus Horison.
Merasa matanya disorot dengan laser maka Markus protes kepada wasit, wasit pun menghentikan pertandingan untuk beberapa saat sambil meminta penonton tidak melakukan hal yang demikian. Hal demikian rupanya tidak dihiraukan oleh suporter Malaysia, buktinya saat Babak II, mereka mengulangi lagi. Pemain Indonesia akhirnya secara kompak melakukan mogok main.
Akibat hilangnya konsentrasi dan teror dari suporter Malaysia, maka akhirnya Indonesia kalah 3-0. Â Gol-gol Malaysia dibuat oleh Mohd Safee Bin Mohd Sali 2 gol dan 1 gol oleh Mohamad Ashari Bin Samsudin.
Kekalahan itu membuat kecewa pendukung Tim Nasional Indonesia, termasuk Pak Lunjak. "Adu kalah lagi kalah lagi," ujarnya dengan menggerutu. "Kapan Indonesia bisa menang," gumamnya. Kekalahan itu sesaat membuat sedih namun selanjutnya ia senang kembali karena bisa menikmati suasana Kuala Lumpur. "Dapat kaos dan makan kayak kampanye saja," kelakarnya. Selanjutnya ia bersama dengan TKI lainnya kembali ke tempat penampungan.
***
Untuk kesekian kalinya, Tentara Diraja Malaysia melanggar batas wilayah perairan Indonesia. Tidak hanya itu, Tentara Diraja Malaysia mengklaim bahwa wilayah itu adalah miliknya
Tentu hal ini menimbulkan reaksi dari rakyat Indonesia, protes dan demonstrasi marak di berbagai kota di Indonesia yang mengecam sikap pemerintah Malaysia.
Ulah Malaysia pun semakin menjadi-jadi, buktinya tiga aparat Pengawas Perikanan DKP Provinsi Kepulaun Riau ditangkap Polisi Malaysia. Peristiwa itu terjadi ketika 5 orang petugas DKP sedang melakukan patroli dengan menggunakan kapal Dolphin 015. Ketika berpatroli mereka memergoki lima kapal nelayan Malaysia tengah mencuri ikan di perairan Tanjung Berakit, sebelah utara Pulau Bintan.
Kelima aparat itu membagi tugas, 3 orang membawa kapal nelayan Malaysia, 2 orang mengamankan tujuh nelayan Malaysia dalam kapal DKP. Saat dalam perjalanan menuju markas Polair Polda, iring-iringan mereka dihadang oleh Polisi Malaysia yang meminta agar tujuh nelayan itu dibebaskan. Suasana tegang bahkan sempat terjadi insiden penembakan ke udara oleh Polisi Malaysia.
Akhirnya, 2 petugas aparat Indonesia berhasil membawa tujuh nelayan Malaysia ke markas Polair di Sekupang, Batam, namun 3 aparat lainnya justru digiring aparat Malaysia meninggalkan perairan Indonesia menuju Johor.
Akibat ulah semua itu dan saking jengkelnya, atas lambannya sikap pemerintah Indonesia kepada Malaysia, membuat masyarakat membentuk laskar sipil untuk mengganyang Malaysia. Di Jawa Tengah ada relawan anti Malaysia yang jumlahnya mencapai 100 orang. Mereka sudah latihan tenaga dalam dan menamakan diri Koalisi Bela Republik Indonesia (KBRI).  Latihan tenaga dalam dimaksudkan untuk persiapan menghadapi konflik dengan  Malaysia.
Seratus relawan itu siap diterjunkan di daerah perbatasan untuk mengamankan wilayah Indonesia. Relawan itu bersumpah melawan tentara Malaysia dan siap mati demi mempertahankan bangsa dan negara Indonesia. Â Hal serupa juga terjadi Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan tempat-tempat lainnya.
Menghadapi yang demikian, Malaysia pun juga tidak tinggal diam, mereka pun hendak membentuk organisasi paramiliter, Laskar Wathaniyah. Untuk merekrut anggota laskar, para TKI pun juga ditawari. Pak Lunjak pun mendapat sodoran kesedian untuk menjadi anggota laskar. "Mendapat fasilitas gaji, makan dan minum, seragam, dan dilatih di asrama," ujar salah seorang yang menawarkan itu. Mendapat iming-iming itu, Pak Lunjak sangat tertarik, bagaiaman tidak dengan menjadi laskar, kesejahteraan dan derajadnya akan naik.
Kemiskinan yang telah melilit dirinya membuat rasa nasionalismenya goyah. "Saya menjadi orang Indonesia tidak sejahtera, ketika pemerintah Malaysia menawarkan pekerjaan yang mapan dan sejahtera kenapa tidak Saya ambil," gumamnya. Tertarik menjadi anggota laskar tidak hanya Pak Lunjak, banyak TKI lainnya juga mempunyai pandangan yang sama. Mereka berpikir pemerintah Indonesia tidak memperhatikan mereka. "Buat apa nasionalisme kalau lapar," ujar TKI lainnya. "Apa guna ideologi kalau tidak bisa membikin sejahtera," katanya lagi.
Laskar Wathaniyah yang berada di perbatasan Indonesia-Malaysia diperkirakan mencapai 40 ribu orang, untuk mengamankan kepentingan Malaysia di sepanjang perbatasan. Perbatasan wilayah daratan antara Indonesia dengan Malaysia terbentang sepanjang 2.001 km. Perbatasan wilayah daratan antara Kalimantan Barat dengan Sarawak sepanjang 966 km. Sedangkan perbatasan wilayah daratan antara Kalimantan Timur dengan Sabah sepanjang 1.035 km.
Ketika situasi memanas maka pemerintah lewat elitnya berhasil meredakan masalah sehingga semuanya dianggap selesai. Akibatnya, laskar yang dibentuk di berbagai kota di Indonesia tidak jadi pergi ke daerah perbatasan, meski demikian semangatnya perlu dihargai. Dan pembentukan Laskar Wathaniyah yang berasal dari TKI pun dibantah oleh pemerintah Indonesia. "Batal menjadi orang yang terhormat," ujar Pak Lunjak ketika perekrutan menjadi anggota laskar dibatalkan.
***
Pagi itu Pak Lunjak membaca sebuah koran yang tercecer di penampungan. Dilihatnya berita heboh rakyat dan pemerintah Indonesia soal iklan jual TKI di kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur, serta kasus pemerkosaan TKI oleh tiga Polisi Diraja Malaysia di kantor polisi Bukit Mertajam, Pulau Penang, dan satu TKI lagi diperkosa oleh majikannya. Â "Orang dan pemerintah Malaysia tak pernah jera melakukan kesalahan. Mengapa mereka gampang dan tak jera melakukan pelecehan dan penganiayaan terhadap TKI," ujarnya.
Pak Lunjak bergumam, tindakan pelecehan dan sejenisnya terhadap TKI sebenarnya sudah sering terjadi, namun selepas peristiwa itu biasanya pemerintah Malaysia dan Indonesia menganggapnya sudah selesai. "Pemerintah Indonesia menganggap wajar, dan pemerintah Malaysia menganggapnya biasa sehingga kejadian itu tidak menimbulkan efek jera. Akibatnya pelecehan terhadap TKI akan terulang," katanya kepada Bopeng. Bopeng juga seorang TKI yang sudah berada di Malaysia 4 tahun. Ia memilih bekerja di Malaysia karena sebagai petani ia selalu gagal panen.
Bopeng menuturkan, orang-orang Malaysia melecehkan TKI, bisa jadi karena tingkat kemampuan dan keterampilan yang dimiliki sangat rendah dan hanya mengandalkan tenaga. Lain bila TKI memiliki kapasitas dan keahlian lebih dari orang Malaysia, pasti ia akan disanjung-sanjung dan dipuja-puja.
"Sebetulnya banyak orang Indonesia bekerja di Malaysia, namun mereka tidak disebut TKI dan tidak dilecehkan. Hal demikian karena mereka bekerja di tempat-tempat terhormat dan kemampuan di atas kemampuan orang Malaysia," paparnya. Lebih lanjut diungkapkan, banyak tenaga-tenaga pengajar dan peneliti di perguruan tinggi dan pusat penelitian adalah orang asli Indonesia, mereka di sana dihormati dan diberi fasilitas lebih oleh pemerintah Malaysia.
Pak Lunjak mengatakan, untuk itu agar tindak pelecehan tidak terjadi terus-menerus kepada TKI, pemerintah Indonesia harus mulai bertindak, saat ini juga, agar orang-orang yang bekerja di Malaysia memiliki ketrampilan dan keahlian yang lebih baik. Kemampuan yang dimiliki TKI tidak harus seperti profesor, dokto, atau master, namun keterampilan yang membuat dirinya memiliki daya tawar yang layak dan dihormati.
Bopeng menimpali, selama ini orang Indonesia bekerja di Malaysia sangat mudah, selain jarak yang tidak jauh, juga karena ada persamaan bahasa. Namun kemudahan ini justru membuat orang yang pergi ke Malaysia tidak terseleksi, siapa saja bisa, orang tidak lulus sekolah dasar pun bisa bekerja di Malaysia. "Namun hal inilah yang membuat mereka dilecehkan. Mereka dilecehkan bisa jadi tidak paham masalah hukum, upah, dan profesionalisme kerja," ujarnya.
"Rendahnya keahlian, keterampilan, dan tak paham hukum, membuat TKI banyak yang terjebak pada pelanggaran-pelanggaran hukum seperti menjual narkoba atau tindak pembunuhan. Sehingga hal ini semakin membuat repot pemerintah Indonesia dan semakin memanaskan hubungan kedua negara," ujar Bopeng sambil meneguk teh manis kesukaannya.
Tiba-tiba ada TKI lainnya menghampiri mereka, Cemul, karena sudah tahu apa yang dibicarakan, Cemul pun ikut ngobrol dan berujar, mudah dan dekatnya mencari kerja di Malaysia juga dimanfaatkan oleh perusahaan jasa pengiriman TKI. Perusahaaan pengiriman TKI dengan sembarangan dan kapan saja bisa memberangkatkan TKI, baik legal dan ilegal, meski banyak ilegal-nya. Dengan demikian, perusahaan pengiriman jasa TKI selama juga harus bertanggungjawab bila ada apa-apa dengan TKI.
"Pengiriman TKI secara ilegal dan keterampilan yang hanya mengandalkan tenaga kasar, membuat mereka sering dideportasi," papar Cemul. Lebih lanjut diungkapkan, pemerintah Malaysia mendeportasi TKI pastinya karena mereka tidak memiliki keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan. Pasti pemerintah Malaysia tidak akan mendeportasi orang Indonesia yang bekerja menjadi dosen di perguruan tinggi, meski surat-suratnya kurang lengkap.
Lalu apa yang mesti dilakukan" tanya Bopeng dan Cemul. Pak Lunjak pun mengatakan, pemerintah harus menertibkan perusahaan jasa pengiriman TKI. Karena melalui mereka TKI itu dikirim secara berbondong-bondong. Selama ini banyak perusahaan jasa pengiriman TKI dalam mendistribusikan TKI secara serampangan dan tidak bertanggungjawab. Banyak perusahaan jasa pengiriman TKI mengantar mereka ke Malaysia namun begitu tiba di sana mereka dilepas begitu saja. "Banyak perusahaan jasa pengiriman TKI juga seperti iklan itu yakni menganggap TKI sebagai sesuatu yang diperjualbelikan begitu saja. Kayak kita-kita ini," ungkapnya.
Pak Lunjak menuturkan pemerintah harus membekali para TKI mempunyai ketrampilan yang dibutuhkan di negara itu. Bila di Malaysia membutuhkan tenaga di perkebunan maka pemerintah harus melatih TKI dengan pengetahuan masalah-masalah perkebunan. "Demikian pula bila dibutuhkan menjadi penjaga rumah maka pemerintah harus memberi ketrampilan pada masalah kerumahtanggaan," katanya. Keterampilan yang dimiliki inilah yang akan menjadi daya tawar kepada majikan dan perusahaan pengiriman jasa TKI.
Tenaga kerja dari Filipina dihormati di Malaysia dan negara-negara lainnya karena mereka memiliki keterampilan. Sehingga kalau mereka dibutuhkan, cara perekrutannya dilakukan secara terhormat, lewat kontrak misalnya, bukan diiklankan seperti barang atau hewan ternak.
Tak hanya itu menurut Pak Lunjak. Dikatakan pemerintah Indonesia harus menekan pemerintah Malaysia agar memberi perlindungan hukum dan budaya kepada para TKI. Pemerintah Malaysia harus diingatkan bahwa TKI-lah yang membangun infrastruktur dan gedung di Malaysia. Perlindungan hukum dan budaya ini bukan untuk kepentingan TKI namun untuk menjaga keharmonisan kedua bangsa.
Bila hubungan kedua negara tidak harmonis, selanjutnya akan bisa mengganggu perekonomian dan politik. "Misalnya, bila pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman TKI ke Malaysia, negara itu pasti tidak akan mampu membangun infrastruktur, dan akan kekurangan tenaga, akibatnya roda perekonomian Malaysia pastinya terganggu," tegasnya.
***
"Trengginas, Trengginas," panggil istri Pak Lunjak kepada anaknya itu yang sedang berada di luar rumah. "Cepat ke sini bantu si Mbok," ujarnya. Mendengar panggilan itu, Trengginas pura-pura tidak mendengar, ia lebih asyik bermain layang-layang. Merasa tidak dihiraukan, istri Pak Lunjak pun kembali memanggilnya, "Nak Kamu dengar nggak Si Mbok memanggil." Setelah ibunya berujar demikian, Trengginas baru menuju ke arah ibunya yang berada di dapur. "Ada apa Mbok," kata Trengginas sambil meletakan layang-layangnya. "Tolong carikan daun pisang di kebun buat membungkus tempe yang Si Mbok bikin," jawab istri Pak Lunjak. "Berapa banyak Mbok," tanya Trengginas. "Sepuluh potong saja," jawab istri Pak Lunjak.
Setelah ditinggal Pak Lunjak beberapa tahun di Malaysia, Trengginas sudah tumbuh besar. Umurnya sekarang sudah saatnya masuk ke sekolah dasar. Di rumah yang ia tahu hanya Si Mbok-nya saja. Sedang bapaknya, dirinya hanya diberi tahu oleh Si Mbok bahwa bapaknya pergi ke Malaysia untuk bekerja. Selama ditinggal pergi bapaknya, Trengginas terkadang ikut kakek dan neneknya yang tinggal di desa sebelah. Dari perhatian Si Mbok, kakek, dan neneknya, pertumbuhan Trengginas cukup baik sehingga tubuhnya tambun, bulat, dan gendut.
Saat usia Trengginas sudah waktunya masuk SD, istri Pak Lunjak mengirim surat kepada suami agar dirinya pulang. Ia mengharap suami pulang agar anaknya lebih mendapat perhatiaan saat bersekolah. Kepulangan suami itu diharapkan untuk bisa mendaftarkan Trengginas masuk sekolah, dan bila perlu menghantar atau menjemput di masa awal-awal sekolah.
Surat yang isinya singkat yang bertuliskan, Pak pulang ke Desa Gunung Siji, anakmu mau sekolah, itu dikirim lewat kantor pos yang berada di dekat kantor kecamatan. Dengan perangko paling murah, surat itu diserahkan kembali kepada pegawai kantor pos. "Mudah-mudahan alamatnya benar dan suratnya cepat tiba di Malaysia," ujar istri Pak Lunjak di depan pegawai kantor pos.
***
Selepas subuh, istri Pak Lunjak mulai berbenah di dapur, gelas dan piring yang kotor dibersihkan. Alat pemasak nasi, dandang, yang penuh jelaga hitam digosok-gosok  menggunakan sabut kelapa yang diolesi dengan sabun cream. Jelaga hitam menempel di dandang karena selama ini ia memasak dengan menggunakan bahan bakar kayu. Kayu-kayu yang di pekarangan cukup banyak, sehingga ia tidak direpotkan untuk membeli minyak tanah.
Selepas perkakas dapur dibersihkan, istri Pak Lunjak mengambil sapu lidi yang berada di belakang rumah. Sapu lidi yang dibuat sendiri itu biasa digunakan untuk membersihkan halaman depan rumah dari daun-daunan yang berguguran. Setiap sore dan malam, bila angin menghembus kuat daun-daunan pada berjatuhan.
Ayunan sapu lidi yang digerakkan oleh istri Pak Lunjak mulai menyapu daun-daun itu. Saat tengah asyik melakukan pekerjaan rutin di pagi hari itu, samar-samar ia melihat sesosok lelaki yang pernah ia kenalnya. Sosok itu makin lama makin mendekat. Ketika jarak tinggal 10 meter, ia langsung berteriak, "Pakeeee." Rupanya sosok yang datang itu adalah suaminya. Disambutlah suaminya itu, dipeluknya erat badan suaminya yang kelihatan agak kurus itu. "Allhamdulillah sudah datang," ujarnya sambil meletakkan kepalanya di dada suaminya. 'Ya sudah, yang penting Aku tiba di rumah ini dengan selamat," ujar Pak Lunjak suaminya itu.
Tas yang dibawa oleh suaminya itu kemudian dibawa istri Pak Lunjak dan secara serentak pasangan hidup yang telah lama berpisah itu menuju ke dalam rumah. "Trengginas mana?" tanya Pak Lunjak begitu sampai di ruang tengah rumah itu. "Biasa jam segini masih tidur," jawabnya. "Kan dia belum sekolah," tambahnya. "Ya sudah kalau begitu. Tolong aku dibuatkan teh manis," timpal Pak Lunjak. Dengan segera istrinya pun menuju ke dapur membuat teh manis, tak lama kemudian teh manis yang telah dibuat itu disuguhkan kepada suaminya.
"Keadaan kamu bagaimana Bu," tanya Pak Lunjak kepada istrinya sambil meneguk teh manis itu. "Ya beginilah Pak, Saya hidup seadanya, untung kakek dan nenek Trengginas membantu mengasuh anak Kita," jawabnya. "Sekarang anak Kita mulai wajib sekolah sehingga Saya menyuruh Bapak pulang agar lebih memperhatikan dia," tambahnya. "Minggu depan SD Inpres Desa Gunung Siji mulai membuka pendaftaran murid baru, jadi tolong dia diantar ke sekolah itu dan didaftarkan masuk sekolah," ujar istrinya yang duduk di depannya itu.
"Saya pikir uang yang dibawa dari Malaysia cukup untuk membayar biaya pendaftaran dan membeli baju sekolah, buku, dan perlengkapan lainnya," ujar istrinya. Mendengar soal biaya pendaftaran, baju sekolah, buku, dan perlengkapan lainnya, Pak Lunjak menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa uang yang dibawa dari negeri jiran itu tidak banyak. Separuhnya sudah habis buat biaya perjalanan pulang ke kampung halaman dan sisanya buat menyambung hidup dengan anak dan istri, sehingga ia tidak menjawab soal biaya-biaya sekolah itu. "Ya, minggu depan Aku antar anak kita daftar di sekolah, ujarnya dengan nada yang tidak bersemangat.
Mendengar suara orang bercakap-cakap, Trengginas pun keluar dari kamar tidur, begitu berada di ruang tengah, ia langsung mendekat ke ibunya. Ia hanya melongo ketika melihat seorang laki-laki berada di ruang itu. Istri Pak Lunjak langsung berujar, "Ini Bapakmu Nak." Mendengar ujaran yang demikian, Trengginas masih diam dan menahan kantuknya. Pak Lunjak pun juga sama mengatakan, "Iya Nak aku Bapakmu." "Sini sama Bapak," ujarnya lagi. Meski demikian, Trengginas masih malu-malu.
Trengginas kurang paham dengan siapa bapaknya karena ketika Pak Lunjak pergi ke Malaysia dirinya masih kecil sehingga wajar bila ia belum tahu wajah bapaknya. Setelah beberapa hari dan setiap saat telah bertemu dengan bapaknya, akhirnya Trengginas mulai menerima kehadirannya. Ia mulai mau ketika dipangku atau dibelai bapaknya.
***
Pagi itu Trengginas bangun lebih awal. Setelah melipat selimut sarungnya yang sudah kumal, ia bergegas menuju ke sumur yang berada di samping rumah. Diisi bak mandi yang penuh lumut itu dengan sepuluh kali kerek air yang ditimba. Setelah bak mandi penuh, ia masuk ke dalam kamar mandi yang beratap triplek. "Byur, byur, byur," begitu bunyi air yang membilas dan membasuh tubuhnya yang penuh keringat. Setelah tubuhnya basah, ia segera menggosok dengan sabun mandi yang mulai menipis, karena sudah tipis maka busa dari sabun mandi itu tidak menggelembung. Ia tidak peduli ketika sabun mandi yang digosokkan di tubuh tidak berbusa dan tidak merata. Kemudian ia membasuh kembali tubuhnya yang sudah digosok dengan sabun mandi ala kadarnya. "Byur-byur, byur," air sumur itu telah mengusir busa yang ada di tubuh gendut dan tambun itu.
Hanya beberapa basuhan tubuh Trengginas sudah bersih dari busa sabun mandi, ya jelas cepat bersih dari busa sabun mandi sebab busanya tidak banyak. Diambillah handuk yang sudah mulai bolong dan dilingkarkan kepada badan dan digerak-gerak. Air yang menempel di tubuhnya pun mulai kering. Setelah memakai celana pendek, ia keluar dari kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi, dirinya melihat bapaknya juga sudah siap-siap mandi.
Dengan sedikit berlari ia menuju kamar. Di dalam kamar ia segera memakai baju yang dibelinya saat lebaran. Ia berpakaian rapi karena ia mau mendaftarkan masuk sekolah. Selepas Pak Lunjak mandi, ia pun segera memakai pakaian yang dirasa paling bagus. Ia akan mengantar anaknya ke SD Inpres Gunung Siji untuk mendaftarkan anaknya.
Setelah semuanya rapi, bapak dan anak itu akhirnya meninggalkan rumah menuju jalan besar. Ia menunggu angkutan kota-desa yang rutenya melewati SD Inpres Gunung Siji. Tak selang lama, angkutan kota-desa itu lewat. Dengan segera bapak dan anak itu naik angkutan kota-desa itu. Di dalam angkutan, Pak Lunjak melihat beberapa orangtua terlihat bersama dengan anak seumur Trengginas. Pak Lunjak berpikir bahwa mereka juga akan mendaftarkan anaknya sekolah.
Begitu hampir melewati SD Inpres Gunung Siji, salah seorang diantara mereka berteriak, "Stop, stop." Begitu mendengar teriakan stop, sopir angkutan segera menepi. Setelah membayar ongkos, para orang tua yang membawa anaknya itu turun dari angkutan dan menuju ke sekolah.
Dilihat oleh Pak Lunjak di beranda sekolah sudah banyak para orangtua dengan anak-anaknya. Tercatat ada sekitar 30 orangtua di sekolah itu yang hendak mendaftarkan anaknya bersekolah. Meski para orangtua itu sudah menunggu, namun panitia penerimaan murid baru belum membuka pendaftaran. Panitia masih sibuk mengobrol di ruang guru. Entah apa yang diobrolkan.
Jam menunjukan pukul 08.00, salah seorang guru keluar dari ruang guru dan mengatakan, "Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu silahkan masuk ke ruang Kelas I, karena pendaftaran mau dimulai," ujarnya. Mendengar perintah yang demikian, mereka dengan bergegas masuk ke ruang Kelas I. Tak susah mencari ruang Kelas I, sebab di pintu ruang itu tertulis dengan jelas Kelas I. Dengan sedikit heboh, para orangtua itu mencari tempat duduk, ada yang mencari tempat duduk paling belakang, ada pula yang duduk mencari tempat pojok. Pak Lunjak sendiri mendapat tempat duduk bagian tengah.
Setelah semua mendapat tempat duduk, ruang Kelas I itu terdengar suara gaduh, sebab para orangtua saling berkenalan antar mereka sedang anak-anaknya asyik sendiri-sendiri. Trengginas terlihat banyak diamnya, ia masih pelonga-pelongo (linglung) melihat ruangan itu. Di dinding dilihatnya seorang gambar perempuan yang bersanggul, tidak jauh dari gambar itu ada gambar pula seorang yang di dadanya terselip sebuah keris, ada pula gambar seorang yang memainkan biola. Trengginas pun melihat gambar seorang yang membawa klewang dan sebuah tameng. Ia belum paham dan belum diterangkan bahwa gambar-gambar yang ada di ruang itu adalah gambar para pahlawan.
Di tengah kegaduhan ruang kelas, tiba-tiba muncul seorang pria yang sudah berumur dan berambut putih. Pria yang ternyata kepala sekolah itu didampingi oleh seorang perempuan yang berkebaya dan bersanggul besar. Perempuan itu adalah guru senior di SDN Inpres Gunung Siji. "Assalamu'alaikum Warahmatulah Wabarakatuh," ujar kepala sekolah itu. Mendapat salam, seluruhnya menjawab dengan serentak, "Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh."
"Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian nama Saya Soemardi, Saya adalah Kepala Sekolah SDN Inpres Gunung Siji. Sedang yang di samping Saya ini adalah Ibu Soetarmie, Ibu ini sudah lama menjadi guru Kelas I," ujarnya berpanjang lebar. "Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian, pada hari ini adalah hari pendaftaran murid baru di sekolah ini. Biar lancar maka pendaftaran dimulai dari kursi paling depan kemudian dilanjutkan ke kursi berikutnya," tambahnya.
Setelah mendapat penjelasan itu, satu persatu orangtua maju ke depan dan duduk di depan meja kepala sekolah yang didamping Ibu Soetarmi. Ditulislah nama anak itu, tempat tanggal lahir, nama orangtuanya, dan pekerjaan. Setelah itu si anak oleh Ibu Soetarmi diberi pertanyaan dan disapa dengan keibuan. Pertanyaan yang diajukan oleh Ibu Soetarmi itu adalah,"Sudah berani sekolah?" "Coba tangannya dilingkarkan ke kepala."
Tibalah giliran Pak Lunjak maju ke depan. Setelah di depan kepala sekolah dan Ibu Soetarmi dirinya agak gugup, demikian pula Trengginas agak takut, masih minder. "Nama anak siapa," tanya kepala Sekolah. "Trengginas," ujar Pak Lunjak dengan suara gemetar. "Tempat dan tanggal lahir?" tanya kepala sekolah. Pak Lunjak pun menyebut di mana tempat anaknya lahir serta tanggal dan tahun lahir sesuai surat kelahiran. "Pekerjaan Bapak apa?" tanya kepala sekolah lagi. "Biasa Pak seperti yang lainnya, tani dan pernah pergi ke Malaysia," jawabnya. "O, baik semua sudah Kami catat dan selanjutnya Trengginas akan diberi pertanyaan oleh Ibu Soetarmi," ujar kepala sekolah.
Saat Trengginas hendak ditanya oleh Ibu Soetarmi, ruangan menjadi hening. Para orangtua yang lain dan anaknya melihat ada yang lucu pada diri Trengginas sebab bentuk tubuh Trengginas yang bulat, gendut, tambun serta pendek. Ditanyailah Trengginas, "Ke sini tadi naik apa?" Mendapat pertanyaan demikian ia pelonga-pelongo, dan tidak bisa menjawab, Pak Lunjak pun membantu jawaban pertanyaan itu, "Naik angkutan kota-desa Ibu." "Kok Kamu diam, masih takut ya," sapa Ibu Soetarmi lagi kepada Trengginas. Mendapat sapaan yang demikian, Trengginas dengan suara lirih mengatakan, "Iya Ibu." "Jangan takut ya, di sini banyak teman-temanmu yang lain," Ibu Soetarmi menjelaskan.
Melihat Trengginas yang pelonga-pelongo, salah seorang anak yang kelihatan bandel, berteriak,"Pelonga-pelongo kayak anak kebo alias gudel." Mendengar teriakan seperti itu terdengar suara ledakan tawa, 'gerrr'. Kepala sekolah dan Ibu Soetarmi pun tak bisa menahan tawa. Mendengar anaknya disebut gudel, Pak Lunjak sendiri bingung, diantara tersenyum dan marah. "Baik Pak Lunjak pendaftaran sudah selesai dan Trengginas Kami nyatakan diterima," ujar kepala sekolah. Mendegar pernyataan yang demikian, hati Pak Lunjak girang sekali, sebab anaknya dinyatakan diterima di SDN Inpres Gunung Siji.
Jam menunjukan pukul 12.00, seluruh anak yang diantar oleh orangtuanya sudah menyelesaikan administrasi pendaftaran. "Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian, semua anak yang diantar sudah terdaftar dan semuanya Kami terima. Mulai minggu depan Kelas I mulai masuk," ujar kepala sekolah. "Dengan demikian maka pendaftaran Kami tutup dan silahkan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian bisa kembali ke rumah masing-masing," ujar kepala sekolah lagi.
Dengan serentak para orangtua itu berdiri dari kursi dan segera keluar ruangan. Mereka bergegas meninggalkan ruang itu bisa jadi sudah bosan. Mereka yang biasanya bekerja di sawah, kebun, atau di lapangan memang tidak biasa berlama-lama di ruangan dan dalam suasana yang formal. Tak heran bila mereka buru-buru meninggalkan suasana seperti itu.
Sekejap, ruangan menjadi kosong dan tinggallah kepala sekolah dan Ibu Soetarmi. Setelah merapikan berkas-berkas yang ada, kedua orang itu pun meninggalkan ruang Kelas I. Â Begitu ruangan sudah tidak ada siapa-siapa. Penjaga sekolah alias kebon, Pak Koer, segera mengunci ruangan. SDN Inpres Gunung Siji pun kembali sepi dan senyap.
***
"Ayo Nak, makannya cepat dihabiskan setelah itu Kita pergi ke pasar buat membeli baju sekolah," ujar istri Pak Lunjak kepada Trengginas yang sedang makan.
Mendengar perintah agar makan dipercepat, Trengginas mempercepat makannya. Nasi tiwul yang ada di piring dilahap dengan segera, sementara segelas teh pahit yang ada di samping piring itu segera diteguk. Nafsu makan yang tinggi tak heran membuat badan Trengginas menjadi besar dan tambun.
Selesai makan, piring dan gelas itu dibawa ke sumur untuk dicuci. Kemudian ia membasuh muka dengan seember air yang ditimba dari sumur. Ia pun kemudian menuju kamar dan berganti pakaian yang agak bagus. Setelah rapi, ia berujar kepada ibunya, 'Sudah Mbok, ayo Kita berangkat ke pasar." Mendengar teriakan itu istri Pak Lunjak gembira karena anaknya ternyata patuh kepada perintahnya.
Sebab istri Pak Lunjak sudah siap berangkat ke pasar dari tadi, selanjutnya mereka berdua meninggalkan rumah. Digandeng tangan kanan Trengginas oleh ibunya menyusuri jalan desa menuju ke jalan besar untuk selanjutnya naik angkutan kota-desa ke arah pasar. Jalan desa yang dilewati sudah ramai oleh hilir mudik orang yang menuju ke sawah atau ladang. Di jalan desa mereka saling sapa dan menanyakan kabar. "Mau ke pasar membelikan baju sekolah Trengginas," ujar istri Pak Lunjak kepada salah seorang ibu yang hendak menuju sawah.
Tak terasa istri Pak Lunjak dan Trengginas tiba di jalan besar, angkutan kota-desa yang ditunggu-tunggu belum lewat. Di saat menunggu angkutan yang lewat, tiba-tiba Supeno melintas dengan sepeda motornya. Melihat istri Pak Lunjak dan Trengginas berdiri di pinggir jalan, Supeno menghentikan laju sepeda motor. "Mbak mau ke mana?" tanyanya. Melihat seseorang laki-laki yang mengendarai sepeda motor berdiri di depannya, istri Pak Lunjak kaget, sedang Trengginas hanya pelonga-pelongo. Setelah Supeno membuka helm cangkilnya, helm yang biasa digunakan pembalap motor cross, ia baru sadar, "O, Kamu to No. Saya pikir siapa." "Saya mau ke pasar membelikan baju sekolah Trengginas. Menunggu angkutan belum lewat-lewat," ujarnya. "O, kebetulan Saya juga mau ke pasar hendak membeli sabuk (ikat pinggang). Kalau mau Mbak bareng saja sama Saya," kata Supeno sambil memegang helm cangkilnya. "Yo wis kebetulan sekali kali begitu, ini namanya rejeki," istri Pak Lunjak menerima tawaran itu. Akhirnya mereka dibonceng Supeno menuju ke pasar.
Supeno adalah pemuda desa sebelah, ia masih bersaudara dengan istri Pak Lunjak. Sesekali selama Pak Lunjak pergi ke Malaysia, Supeno datang ke rumah untuk menghantar sembako titipan kakek dan neneknya Trengginas.
'Wusss,' sepeda motor tua itu melaju cukup cepat menuju ke pasar, dalam perjalanan istri Pak Lunjak melihat angkutan sedang melintas, namun dirinya sudah dibonceng oleh Supeno sehingga tak perlu lagi naik angkutan itu.
Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, akhirnya sepeda motor Supeno tiba di tempat parkir pasar. Turunlah mereka dari boncengan itu. Setelah sepeda motor diparkir dan mereka bertiga menuju tempat yang dicari. "Mbak Saya misah dulu ke arah tukang sabuk ya. Nanti Saya tunggu kalau sudah memperoleh sabuk," ujar Supeno. "Iya No, Saya ke arah penjual baju. Nanti tunggu saja di warung kopi, biar Kamu bisa ngopi dan merokok," ujar istri Pak Lunjak sambil tersenyum. Ia tahu Supeno kegemarannya adalah merokok dan ngopi di angkringan. Bahkan tiap malam dirinya bersama dengan pemuda desa lainnya melakukan hal demikian, ngrokok, ngopi, sambil ngobrol nggak karuan sampai larut malam di angkringan Pak Ji yang mangkal di pinggir jalan desa.
Supeno pun menuju arah penjual sabuk, sementara istri Pak Lunjak dan Trengginas ke arah penjual baju. Pasar pada hari itu sangat ramai, pembeli dan pedagang nampak sibuk tawar menawar. Dengan sedikit berdesak-desakan akhirnya tiba di bagian penjual baju. Ia melihat beberapa baju anak sekolah yang dipajang para penjual. Ia melihat dan memilih ukuran yang pas dengan ukuran tubuh anaknya yang tambun dan gendut. Di tengah melihat-lihat baju sekolah, ia dikejutkan oleh suara yang memanggilnya dirinya, "Nduk, Kamu cari apa?" ujar seseorang yang berumur 60 tahun. Dilihatnya orang yang memanggil dirinya dan ia kaget bahwa yang memanggil adalah Mbok De. Mbok De adalah pedagang yang paling lama jualan di pasar itu. Ia menjual berbagai pakaian dari anak-anak hingga perempuan dewasa, seperti kotang (BH) dan celana dalam.
"Saya mau membelikan baju sekolah buat Trengginas," ujar istri Pak Lunjak. "Ya sudah beli saja sama Mbok De. Kita kan masih saudara, jadi soal harga nggak usah dipikirkan," sahut Mbok De yang memang masih saudara dekat. Dulu saat istri Pak Lunjak lahir, Mbok De-lah yang memandikannya. MbOk De menganggap ia seperti anaknya sendiri. Karena rumah Mbok De pindah ke kota, membuat mereka jarang bertemu, bertemu paling-paling kalau saja lebaran. Dalam setiap lebaran biasanya istri Pak Lunjak silaturahmi ke rumah Mbok De.
"Ukuran baju anakmu berapa?" tanya Mbok De. "Aduh anakmu ukuran tubuhnya besar ya," ujar Mbok De begitu melihat Trengginas berada di sampingnya. "Kalau mencari baju seukuran anakmu susah, karena ia ukuran anak kecil bukan, ukuran orang dewasa juga tidak," ucap Mbok De sambil memilah-milah baju anak-anak yang dijualnya. "Tapi Saya akan mencarikan sampai dapat, jangan khawatir," tutur Mbok De. Sebagai seorang pedagang yang sudah lama, Mbok De memang pintar menyakinkan dan merayu sehingga pembeli cepat terbujuk, demikian pula istri Pak Lunjak terhipnotis oleh rayuan Mbok De.
"Ini mungkin cocok buat anakmu," kata Mbok De sambil menyerahkan baju berwarna putih dan celana warna merah itu. Diterimanya pakaian sepasangan itu dan selanjutnya ditempelkan kepada badan Trengginas untuk mengukur apakah baju dan celana itu kebesaran atau kekecilan. "Kurang besar sedikit," ucap istri Pak Lunjak. "Mosok to?" Mbok De keheranan. Kemudian ia memilah dan memilih kembali baju dan celana yang dimilik. Setelah membolak-balik baju dan celana yang ada, rupanya tidak ditemukan ukuran yang diinginkan. "Waduh nggak ada Nduk," ujarnya. Mendengar jawaban yang demikian, istri Pak Lunjak kecewa, namun Mbok De langsung berujar, "Tapi jangan khawatir Aku carikan ke tempat yang lain."
Mbok De lalu memanggil Yu Ji. "Yu coba kamu carikan baju dan celana di atas ukuran ini ke tempat Mbok Jo, mungkin di sana ada," ujarnya. Yu Ji adalah perempuan yang membantu Mbok De dalam berdagang. Perintah itu langsung dijalankan oleh Yu Ji. Ia bergegas menuju ke tempat Mbok Jo sambil membawa baju dan celana tadi. Setelah ditunggu selama 20 menit Yu Ji datang sambil membawa baju dan celana pesanan. "Segini ya Mbok?" tanya Yu Ji. "Iya, sepertinya ini pas buat Trengginas," ujar Mbok De sambil menerima baju dan celana itu. "Nduk, coba baju dan celana kamu cobakan kepada anakmu," kata Mbok De sambil menyerahkan baju dan celana itu kepada istri Pak Lunjak.
"Wah ini pas," ujar istri Pak Lunjak sambil menunjukan rasa puas setelah baju dan celana yang diinginkan ada, "Terus harganya berapa?" "Sudahlah Kita kan saudara jadi nggak usah dipikirkan soal harga," kata Mbok De. "Waduh nanti Mbok De nggak punya untung," ucap istri Pak Lunjak. "Rejeki itu di tangan Allah, sudahlah nggak usah dipikirkan soal harga. Berapa yang Kamu beri Mbok akan terima," ucap Mbok De. Sebab istri Pak Lunjak tidak mau berpanjang lebar dan basa-basi, ia pun menyerahkan uang yang nilainya tidak kurang dari baju dan celana itu. Ia berpikir Mbok De juga manusia sehingga kalau dibayar murah pasti nggrundel (kecewa) di belakang. Melihat uang yang dibayar itu, Mbok De berujar," Yo wis matur nuwun yo Nduk. Nanti kalau mau membeli baju, ke sini saja. Kita masih saudara jadi pasti Aku kasih murah."
Setelah baju dan celana itu dibungkus oleh kertas koran oleh Yu Ji, Istri Pak Lunjak pamit kepada Mbok De, "Mbok De, Â Aku pamit dulu ya, sudah ditunggu oleh suami." "Yo Nduk, hati-hati di jalan ya," jawab Mbok De sambil memasukan uang dagangan ke dalam dompet.
Istri Pak Lunjak pun menuju ke tempat parkir di mana sepeda motor Supeno berada di tempat itu. Sampai di tempat parkir, dilihatnya Supeno sedang duduk di angkringan sambil merokok dan ngopi. Dihampirinya Supeno, Â "No sudah dapat sabuknya?" Pertanyaan itu mengagetkan asyiknya Supeno yang sedang menghisap rokok. "O, Mbak. Sudah," jawab Supeno. "Baju dan celana Trengginas sudah dapat Mbak?" tanya balik Supeno. "Sudah tadi dapat di tempat Mbok De," jawabnya. "O, di tempat Mbok De ya. Gimana kabar Mbokk De?" tanya Supeno. Antara Supeno dan Mbokn De juga ada tali keluarga sehingga ketika disebut nama itu, Supeno langsung ingat bahwa ia adalah saudaranya. "Kabar Mbok De baik-baik saja, sepertinya jualannya makin ramai," papar istri Pak Lunjak. "Ya sudah Mbak kalau begitu Kita pulang saja," kata Supeno sambil menghisap rokok dalam-dalam dan selanjutnya meneguk kopinya sampai habis.
Setelah membayar kopi dan 2 pisang goreng, Supeno menuju ke tempat parkir sepeda motor. Ditunjukkanlah kartu parkir itu kepada tukang parkir dan dibayarnya ongkosnya. Setelah mesin dihidupkan Trengginas naik dan duduk di belakang Supeno dan selanjutnya istri Pak Lunjak naik di belakang Trengginas. Sepeda motor pun mulai bergerak dan meninggalkan keramaian pasar. Disusuri jalan-jalan kota sampai masuk ke jalan ke arah Desa Gunung Siji.
Ketika hendak tiba di istri Pak Lunjak dan Trengginas yang tadi berdiri menunggu angkutan, Supeno memperlambat laju sepeda motor. Begitu tepat berada di bawah pohon beringin, sepeda motor tadi berhenti. "Sampai sini ya Mbak, Saya tidak bisa menghantar sampai ke rumah, sebab ada janji sama Tiwuk. Tiwuk minta dianter ke rumah saudara. Tiwuk adalah pacar Supeno. Tiwuk adalah gadis bahenol di kampung Supeno sehingga dirinya dibuat bertekuk lutut. "Yo wis nggak papa No, diantar sampai sini saja sudah senang," ucap istri Pak Lunjak. Setelah turun dari sepeda motor, Supeno pergi meninggalkan mereka. Istri Pak Lunjak dan Trengginas kembali ke rumah dengan menyusuri jalan desa dan sawah-sawah.
***
Tiga potong ubi besar dan segelas teh manis itu disantap oleh Trengginas. Sarapan itu dilakukan sebelum dirinya pergi ke sekolah pada hari pertama. Selepas sarapan, ia diantar oleh Pak Lunjak berangkat sekolah. Rata-rata murid baru di SDN Inpres Gunung Siji masih diantar oleh orangtua sebab jarak antar rumah dengan sekolah rata-rata jauh. Hanya beberapa murid yang jalan kaki sebab rumahnya berdekatan dengan sekolah.
Setelah tiba di sekolah, Pak Lunjak mengatakan kepada Trengginas, "Sudah ya Nak Bapak jalan dulu. Kamu sudah besar jadi harus berani," ujarnya. Pak Lunjak tentu tidak akan menunggu anaknya sampai sekolah bubar. Bila demikian, pekerjaannya akan terganggu. Ia kembali ke sekolah bila jam sekolah berakhir.
Ketika masuk halaman sekolah, Trengginas melihat anak seumur dengan dirinya dengan berbagai rupa, anak yang tinggi, anak yang pendek, anak yang gendut, ada pula yang kurus, ada pula yang perempuan dengan rambut pendek, ada pula yang rambut panjang. Karena belum kenal maka dirinya diam saja.
"Teng, teng, teng," bunyi bekas rel kereta api yang dipukul dengan palu oleh Pak Koer memekakan telinga. Bunyi itu bertanda kelas akan dimulai. Anak-anak Kelas 1 berhamburan masuk kelas, di dalam kelas mereka berebut kursi yang ada, ada anak yang dengan ngotot memperebutkan kursi, ada pula yang diam melihat tingkah mereka rebutan kursi. Trengginas menunggu kursi kosong yang ada, setelah semua mendapat kursi, dan terlihat ada kursi yang kosong, Trengginas menuju ke tempat itu dan mendudukinya. Di sampingnya sudah ada seorang murid yang tubuhnya lebih kecil darinya.
Tak lama kemudian Soetarmi masuk ke ruang Kelas 1. Pada hari itu ia berpakaian kebaya warna coklat dan baju warna merah. "Selamat pagi semuanya," ujar Soetarmi menyapa. Mendengar sapaan itu, hanya beberapa anak menjawab, "Pagi Ibu." Mereka belum terbiasa menjawab sapaan sehingga Soetarmi memaklumni. Ia pun berujar, "Kalau disapa selamat pagi kalian harus menjawab selamat pagi juga ya." "Sekarang Ibu ulang, selamat pagi semuanya," ujarnya. Serentak mereka menjawab, "Pagi Ibu." "Nah demikian, bagus," ucap Soetarmi sambil duduk di kursi depan.
"Sekarang Kita akan belajar membaca dan menulis, namun sebelum pelajaran dimulai kalian harus saling mengenal. Untuk itu semua harus saling mengenalkan diri. Dimulai dari kursi paling depan," ujar Soetarmi berpanjang lebar. Maka satu persatu murid-murid baru memperkenalkan diri, "Saya Klowor," ujar salah seorang diantara mereka. "Saya Klewer," ucap murid selanjutnya. "Saya Gandhos." "Saya Jorenges." "Saya Klepon." "Saya Solebo." "Saya Ketif." "Saya Aling." "Saya Kicak." "Saya Mawar." "Saya Joreno." "Saya Lego." "Saya Tumpuk." "Saya Kendil." "Saya Legam." "Saya Bambang." "Saya Ani." Begitu masing-masing memperkenalkan diri. Giliran Trengginas, "Saya Trengginas." Mendengar perkenalan dari Trengginas, Legam berujar, "Wah Trengginas kayak gudel." Mendengar gurauan Legam semua murid tertawa terbahak-bahak. Soetarmi hanya tersenyum dan langsung berujar, "Tidak boleh begitu ya." Disebut gudel sebab badan Trengginas seperti anak kerbau, gudel, yang tambun dan gemuk serta pendek.
"Baik sekarang keluarkan bukunya dan Kita belajar membaca dan menulis," kata Soetarmi sambil menuju papan menulis. Di papan tulis hitam, dengan menggunakan kapur, Soetarmi menulis Ini Budi, Ini Wati, dan Itu Iwan. Setelah menulis seluruh murid disuruh mengikuti apa yang diucapkan. "Ini Budi, Ini Wati, Itu Iwan." Dengan penuh semangat murid-murid mengikuti kata-kata itu sehingga suaranya membahana hingga keluar ruangan.
Satu jam sudah pelajaran membaca dan menulis itu diberikan. Dan selanjutnya terdengar bunyi, "Teng, teng, teng." Tanda pelajaran selesai dan waktunya istirahat. Mendengar suara itu Soetarmi mengatakan, "Baik anak-anak, jam pelajarana sudah selesai dan kalian boleh istirahat." Mereka pun berhamburan keluar ruangan.
Di halaman sekolah, mereka yang sudah mulai saling kenal mengakrabkan diri. Mereka mulai ngobrol satu sama lainnya, ternyata teman satu bangku Trengginas adalah Aling, ia adalah anak keturunan WNA yang memiliki toko kelontong yang tidak jauh dari sekolah. Aling anaknya juga pendiam sehingga saat ngobrol dengan Trengginas agak malu-malu.
Di tengah asyiknya Trengginas dan Aling ngobrol, Legam yang didampingi Klowor dan Klewer mendekati. "Gudel rumahmu di mana?" tanyanya. Mendengar sebutan yang bukan namanya, Trengginas tersinggung dan marah. "Kamu panggil apa!?" tanyanya. "Gudel," jawab Legam. Mendapat jawaban seperti itu tiba-tiba tangan kanan Trengginas menghantam muka Legam, "Plak." Mendapat hantaman itu rupanya Legam tidak terima dan membalas sehingga terjadilah perkelahian diantara mereka. Sementara temannya yang melihat bersorak-sorak, 'Ayo, ayo, ayo tendang, ayo pukul." Melihat ada perkelahian di halaman sekolah, Soetarmi dan Pak Koer segera menghampiri dan memisah. 'Eh, apa-apaan ini baru kenal sudah berkelahi," ujar Soetarmi. "Dia yang memulai," ujar Legam sambil menunjuk Trengginas. "Saya pukul karena ia memanggil Saya gudel," kata Trengginas tidak mau kalah. "Sudah, sudah, semua harus dihukum berdiri di depan kelas," Soetarmi mengatakan demikian sambil menarik kuping kedua anak itu.
***
Malam itu dengan ditemani sebuah ublik, lampu kecil yang bahan bakar minyak tanah dan bersumbu dengan kain, Trengginas berada di ruang tengah rumah. Malam itu dirinya mulai belajar. Belajar dari apa-apa yang sudah diberikan di sekolah. Dirinya mengulang kembali membaca dan menulis seperti yang diajarkan oleh Soetarmi. Diulang-ulangnya tulisan dan bacaan, Ini Budi, Ini Wati, dan Itu Iwan. Sampai dirinya sudah hapal.
"Gimana sekolahmu tadi Nak," tanya ibunya saat ia tengah asyik membaca dan menulis. "Baik Mbok. Trengginas dapat teman banyak," ujarnya. "Syukur kalau begitu," sahut ibunya. "Ya sudah lanjutkan belajarmu, kalau sudah selesai sholat isya kemudian baru tidur," ibunya mengatakan demikian sambil menunjuk dapur. "Ya Mbok," jawab Trengginas sekadarnya.
"Uaaah," Trengginas menguap tanda mengantuk. Diberes-beresinya buku yang ada di depannya dan dimasukan ke dalam tas. Tas itu kemudian ditaruh di lemari yang berada di ruang tengah. Selanjutnya ia menuju ke kamar mandi, wudhu untuk sholat isya. Sholat isya yang dilakukan jam 20.30 itu dilakukan di kamar yang biasanya dirinya tidur. Setelah salam tanda sholat selesai, sarung kumal yang dipakai sholat itu kemudian dibuat selimut. Suara jengkring dan kepak burung hantu menghantar dirinya memejamkan mata.
***
Jam pertama pelajaran pada hari itu adalah pelajaran agama. Guru agama Pak Kasim sudah nampak berada di ruang guru. Sambil menunggu bel tanda masuk berbunyi, murid-murid di sekolah itu bermain di halaman, ada yang bermain kucing-kucingan, ada yang bermain gendongan, ada pula yang ngobrol di beranda sekolah. Suara teriakan mereka bermain terdengar hingga jalan raya.
"Teng, teng, teng," Pak Koer pun sudah memukul besi bekas rel kereta api itu dengan palu. Hal demikian menunjukan bahwa kelas mulai masuk. Seluruh murid masing-masing kelas berebut masuk ke ruangan. Selang tak lama, halaman sekolah menjadi lengang. Hal demikian menunjukan bahwa seluruh murid sudah masuk ruangan.
Di dalam ruang Kelas 1, murid-murid sedang menunggu Pak Kasim. Beberapa saat kemudian, Pak Kasim masuk dan menyapa, "Assalamu'mualaikum." Salam dari Pak Kasim itu disambut dengan serempak oleh seluruh murid tak terkecuali Aling, "Waalaikum salam." "Baik anak-anak hari ini Kita mulai pelajaran agama Islam," ujar Pak Kasim. "Hari ini Bapak akan menerangkan seseorang yang disebut kafir," katanya sambil duduk di kursi guru yang berada di depan bangku-bangku murid. "Orang layak disebut kafir  bila orang itu dengan terang-terangan  tanpa  malu  melawan dan  memusuhi agama Islam, serta bangga akan perbuatannya yang terkutuk," paparnya. Lebih lanjut dikatakan, "Menurut Syariat Islam, manusia kfir terdiri dari beberapa makna, yakni, orang yang tidak mau membaca syahadat, tidak mau sholat, tidak mau puasa, dan tidak mau zakat."
Mendengar paparan itu semua murid nampak khusuk mengikuti karena Pak Kasim dalam menyampaikan dengan suara meledak-ledak. Gaya mengajarnya sama seperti ketika dirinya menjadi khotib sholat jumat di masjid desa. Selain sebagai guru agama, pria alumni sekolah guru agama dan pondok pesantren itu adalah tokoh agama di desa.
Ketika semangat-semangatnya mengajar tiba-tiba terdengar suara "Teng, teng, teng." Bel itu menunjukan bahwa pelajaran usai dan saatnya istirahat. Sebelum meninggalkan kelas, Pak Kasim mengucapkan salam. Selepas menjawab salam, para murid berhamburan keluar kelas.
Untuk mengusir rasa capek, murid-murid melampiaskan dengan bermain, namun ada pula yang membeli jajanan dan es. Bagi yang membawa sangu mereka berebut membeli jajanan yang dijual Mbok Bon. Mbok Bon pastinya bukan istrinya James Bond, detektif dari Inggris yang kesohor itu, namun ia  adalah istri Pak Koer penjaga sekolah. Karena istrinya penjaga sekolah maka ia diberi tempat di samping gedung sekolah untuk membuka warung kecil-kecilan. Di warung kecil itu berbagai makanan seperti pisang goreng, ketela rebus, ketela goreng, kerupuk, es lilin, dan minuman lainnya tersedia. Dengan harga terjangkau warung itu selalu dikerubuti murid-murid untuk membeli jajanan.
Saat itu Trengginas tidak membawa uang, namun karena berteman baik dengan Aling, Aling yang membayar jajanan yang diambil Trengginas. Di saat berjalan sama Aling, Trengginas bertemu dengan Legam, Klewer, dan Klowor. Rupanya Legam tak jera melecehkan Trengginas. Disapanya Trengginas, "Hai gudel." Mendengar sapaan itu, Aling meredakan amarah Trengginas, "Sudah, sudah, nggak usah dilayani," ujar Aling sambil menarik Trengginas menuju ke arah pohon di depan kelas.
Di bawah pohon itu, Trengginas dan Aling menikmati jajanan pisang goreng, ubi rebus serta es lilin. Sambil ngobrol jajanan dan es lilin itu dihabiskan. Bersamaan dengan jajanan dan es lilin itu habis, bunyi bel tanda masuk berbunyi. Mereka berdua pun berlari menuju ke ruang Kelas 1. Murid yang lainnya juga demikian. Setelah pelajaran agama, jam kedua adalah pelajaran membaca dan menulis. Seperti biasanya, pelajaran ini diajar oleh Soetarmi. Ciri dari Soetarmi ini adalah ia selalu menggunakan kebaya batik dan dipandukan dengan baju berwarna putih atau merah. "Baik semuanya, kita akan melanjutkan pelajaran membaca dan menulis," ujarnya saat berada di kelas.
Namun sebelum pelajaran dilanjutkan, tiba-tiba kepala sekolah berada di pintu kelas dan memberi kode Soetarmi agar keluar kelas sebab ada berita penting. Setelah menghampiri kepala sekolah, kepala sekolah itu nampak mengucapkan kata-kata yang serius kepada dirinya. Para murid tak ada yang mendengar apa yang diucapkan oleh kepala sekolah kepada Soetarmi. Mendengar apa yang diucapkan oleh kepala sekolah, wajah Soetarmi berubah pucat dan air matanya berlinang. Karena para murid masih lugu, ia tidak tahu mengapa gurunya itu menjadi demikian.
Soetarmi pun kembali ke meja guru yang berada di kelas dan memberesi buku-buku yang dibawanya. Setelah itu ia meninggalkan kelas begitu saja. Menghadapi yang demikian, meski masih lugu, para murid keheranan dan bertanya-tanya. Setelah kepala sekolah dan Soetarmi berjalan menuju ke ruang guru, dengan serempak anak-anak bergegas berdiri dan berjalan hingga pintu Kelas 1 melihat apa yang terjadi. Nampak di depan ruang guru ada 2 tentara dan 1 lagi orang yang berambut cepak berpakaian preman. Kedua tentara dan 1 lagi orang yang berambut cepak masuk ke ruang guru setelah kepala sekolah dan Soetarmi berada di dalam.
Para murid tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa tentara itu berada di sekolah. Setelah setengah jam berada di ruang guru, Soetarmi didampingi oleh 2 tentara dan 1 orang berpakaian cepak itu keluar dari ruang guru dan langsung masuk ke dalam sebuah mobil yang berada di depan sekolah. Ketika melihat gurunya masuk ke mobil tentara, pikiran murid-murid bermacam-macam, ada yang berpikiran gurunya pergi ke Kodim, ada pula yang berpikiran gurunya akan berlatih baris berbaris di lapangan kecamatan.
Begitulah cerita Soetarmi, di saat mengajar ia dijemput oleh tentara. Ia dijemput oleh tentara karena secara tidak langsung pernah menjadi bagian dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Dulu dirinya pernah dilitsus namun karena ada beberapa lembar hasil litsus ketlesut, kececer, membuat data tentang dirinya tidak lengkap sehingga dirinya selamat dari cap anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) dan simpatisannya, namun entah kenapa hasil litsus itu ditemukan lagi sehingga dirinya terbukti menjadi bagian dari organisasi yang dinyatakan terlarang oleh Orde Baru.
Soetarmi adalah seorang janda, suaminya sejak tahun 1966 tidak jelas ke mana perginya, sebab pada tahun itu saat dirinya pergi ke rumah saudaranya dan kembali pulang ke rumah, di rumah tidak ada siapa-siapa. Suaminya yang biasanya setiap sore di rumah itu pergi entah ke mana. Ia pun bertanya-tanya kepada tetangganya, namun tetangganya tidak ada yang tahu ke mana suaminya pergi. Dibalik kegelisahannya ia tiba-tiba ia melihat sebuah pesan yang ditulis di sebuah kertas yang ditempelkan di dalam lemarinya. Bunyi pesan itu berbunyi, Ibu saya pergi setelah dijemput oleh para pemuda dari Barisan Anshor. Saya tidak tahu hendak dibawa ke mana. Kalau tidak pulang, tidak usah dicari. Ini sebuah resiko ketika Kita menuntut keadilan atas reforma agraria. Dengan membaca pesan itu dirinya tahu bahwa suaminya ditangkap dengan tuduhan sebagai bagian dari PKI. Membaca pesan itu, mata Soetarmi berlinang sebab sudah ratusan orang ditangkap, diangkut naik sebuah truk, dan dibunuh. Dirinya tidak tahu dimana suaminya dipenggal hidup-hidup apakah di kuburan desa atau dibuang ke Pulau Nusa Kambangan atau Pulau Buru.
Soetarmi ingat juga cerita dari mantan Wakil Sekjen Gerwani, Sulami. Sulami bercerita banyak tentang kejadian di tahun 1965/1966. Sebagai anggota Gerwani tentu ia diuber-uber selepas Peristiwa G 30 S. Namun ia bersyukur dalam peristiwa itu dirinya selamat, meski akhirnya ia harus masuk dalam penjara. Saat ditanya siapa yang melakukan pembantaian terhadap orang-orang PKI dan simpatisannya, ia menjawab, "Salah satunya Banser."
Cerita yang sama juga diungkapkan oleh seorang Guru Besar di Universitas Udayana, Bali. Semasa kecil, guru besar itu adalah anak seorang pengurus PNI. Ia menceritakan bahwa tanah yang dibeli oleh orangtuanya itu pernah mau direbut oleh orang-orang PKI. Dalam sebuah kesempatan, meski masih kecil, ia hampir saja bentrok dengan orang-orang PKI itu bila mereka benar-benar merebut tanah orang tuanya.
Selepas Peristiwa G 30 S meletus, ia menceritakan Banser-Banser dari Banyuwangi datang ke Bali. Mereka mencari orang-orang PKI dan simpatisannya yang berada di Bali. Guru besar yang saat itu masih kecil, oleh Banser disuruh menunjukan di mana rumah-rumah orang PKI. Entah karena atas petunjuk itu atau Banser tahu sendiri rumah-rumah orang PKI, maka rumah-rumah orang PKI itu dibakar.
***
Murid-murid yang berdiri di pintu Kelas 1 itu bubar saat Bu Koestini menghampiri mereka. "Ayo kembali ke bangku masing-masing," hardiknya. "Bu Soetarmi ada urusan jadi Kalian dipulangkan," ujarnya.
Mendengar kata pulang secara serempak murid-murid itu mengatakan, "Horeee." Mereka pun mengemasi buku-buku yang ada dibangku, memasukan ke dalam tas masing-masing, dan langsung menghambur keluar ruangan. Melihat tingkah yang demikian, Bu Koestini hanya geleng-geleng kepala. Selanjutnya dirinya kembali ke Kelas 3 untuk mengajar murid-muridnya.
"Waduh Ling, Bapakku belum jemput Aku, gimana nih," ujar Trengginas kepada Aling ketika berada di gerbang sekolah. 'Kalau begitu main saja dulu ke rumahku Nas," jawab Aling. "Memang nggak mengganggu Kamu," tanya Trengginas lagi. "Nggak-lah, jam segini mama dan papaku jaga toko jadi Saya sama Apho," kata Aling sambil membenarkan sepatunya. "Apho?" tanya Trengginas. "Apho itu artinya nenek," Aling menjelaskan.
Ketika mereka berjalan melintasi sebuah sungai, Aling bercerita kepada Trengginas bahwa dulu di sungai itu mengalir air yang bersih dan jernih. Dulu sungai itu dibuat mandi anak-anak kecil, bahkan banyak orang mencari ikan lele di sungai baik dengan cara memancing atau dengan racun putaz. Namun sungai itu mempunyai cerita yang sedih. "Kok bisa?" tanya Trengginas kepada Aling. Aling pun berkata, begini ceritanya, pada suatu hari, di pinggir sungai itu timbul semacam kegaduhan dan suara ribut-ribut. Hal demikian memancing orang-orang di sekitar secara spontan berlari ke arah pinggir sungai. Apho Saya yang saat itu masih kecil dan lugu juga ikut lari ke pinggir sungai. kerumunan orang di pinggir sungai saling bertanya-tanya, "Ada apa, ada apa?"
Tak lama kemudian, ada orang yang berujar, "Ada perempuan buang bayi ke sungai" orang itu lalu berkronologi, perempuan itu naik becak dari arah barat, ketika becak yang ditumpangi melintas di pinggir sungai, tiba-tiba perempuan itu melempar sebuah bungkusan tas kresek ke arah sungai, namun mungkin tas itu tidak diikat membuat isi tas kresek keluar, ternyata isi tas kresek itu berupa jabang bayi yang sudah mati. Mayat jabang bayi terlihat melayang di udara selepas dilempar. Dari sinilah ketahuan perempuan itu sedang membuang bayi. Peristiwa itu bukan yang pertama, pada hari-hari selanjutnya masih ada perempuan yang juga buang bayi. "Saya dapat cerita dari Apho," ujar Aling.
Trengginas dan Aling pun terus berjalan menuju ke rumah. Ketika melintas di sebuah rumah yang sangat tua, Trengginas bertanya kepada Aling. "Ling itu rumahnya siapa?" "O, itu rumahnya Ndoro Tondo," jawa Aling. "Siapa itu Ndoro Tondo?" tanya Trengginas lagi. "Dia orang sakti tetapi sudah lama meninggal dunia," Aling menjawab pertanyaan Trengginas yang tak berhenti.
Agar tidak bertanya lagi Trengginas pun bercerita, "Begini ceritanya menurut Apho." Dulu di tahun 1930-an, ada orang yang sakti mandraguna, yakni Ndoro Tondho. Rumah Ndoro Tondho pada masa itu adalah rumah yang bagus dan memiliki halaman yang luas. Di halaman rumah tumbuh berbagai macam pohon buah-buahan, seperti mangga, rambutan, dan pohon bambu. Kalau musim mangga, anak-anak kampung mengambil mangga-mangga yang jatuh dari pohon, bahkan ada yang melempari mangga yang masih berada di pohon. Bila ada yang ketahuan melempar mangga, ia akan dikejar oleh pembantu Ndoro Tondho.
Di depan rumah Ndoro Tondho ada jalur kereta api yang menghubungan kota dan desa. Suatu hari, kereta api berangkat dari stasiun hendak menuju ke desa. Suara kereta api itu begitu gemuruh ditambah dengan bunyi peluit yang menyakitkan telinga. Merasa terganggu dengan gemuruh suara mesin dan lengkingan peluit, Ndoro Tondho marah. Sebab sakti, Ndoro Tondho mengeluarkan kekuatan ilmunya, "Berhentilah kereta api." Apa yang dikatakan itu menjadi kenyataan. Seketika, mesin kereta api macet sehingga tidak bisa berjalan.
Paham Ndoro Tondho murka, masinis meminta maaf kepada Ndoro Tondho. Ndoro Tondho menerima permintaan maaf masinis. "Seketika mesin hidup, dan kereta api pun melanjutkan perjalanan," demikian Apho bercerita seperti yang dituturkan kepada Aling.
"Sekarang Kamu ganti cerita Nas, masak Aku terus yang cerita," Aling protes kepada Trengginas. "Cerita apa?" tanya Trengginas. "Ya terserah mungkin di desamu ada apa gitu," Aling menjelaskan. Trengginas pun sedikit berpikir, kemudian berkata, "O, ini cerita dari Mbok-ku." "Cerita apa tuh," Aling tak sabar. "Begini ceritanya," Trengginas mulai bercerita.
Di tahun 1980-an, Desa Gunung Siji masih sangat sepi. Bila malam tiba, tak banyak orang keluar rumah, penduduk enggan keluar rumah karena suasana desa masih banyak hal diliputi misteri. Di malam hari yang terdengar hanya suara jengkrik dan kepak sayap burung kelelawar bahkan ada yang melihat serigala berkeliaran dan bila hujan turun terdengar suara-suara katak yang menarik perhatian lawan jenisnya. "Kalau dalam bahasa Jawa disebut kodok ngorek," ujar Trengginas.
Melihat hal demikian ada seorang ibu yang ingin menginginkan malam hari di desa menjadi ramai, maka ia pun mencoba untuk membuka warung jajanan dan kopi  di malam hari. Suatu malam warungnya buka, berbagai jajanan dan kopi dihidangkan untuk dijual. Ia duduk sambil menunggu pembeli. Dalam suasana senyap, tak ada suara angin berhembus, tiba-tiba datanglah seorang perempuan cantik dengan rambut terurai panjang. Ibu pedagang itu kaget sebab perempuan cantik itu telanjang bulat. Kaget dan ada perasaan yang tak enak, ia pun langsung berteriak, "Ku.. ku.. ku tilang," Saking takutnya ia salah teriak. Setelah menguasai keadaan, ia pun berteriak kembali, "Ku... ku... ku... kuntilanak." Selepas kejadian itu, ibu pedagang itu sakit dan tidak jualan lagi. Dusun pun kembali sepi.
"Wuuu dasar, Mbok-mu itu paling suka nonton film Indonesia ya," protes Aling. "Nggak tahu. Gimana nonton film, bioskop saja di desaku tidak ada," kata Trengginas. "Kalau Kamu nggak puas dengan cerita itu, cerita dari bapakku saja," Trengginas menghibur Aling agar tak kecewa. "Cerita apa lagi?" Aling penasaran.
"Begini ceritanya," Trengginas mulai bertutur, dengan buru-buru Pak Dekor membawa sebuah besek, sebuah tempat yang dibuat dari anyaman bambu. Bungkusan itu dibawanya dari sebuah rumah sakit bersalin menuju ke rumah. Dalam perjalanan menuju rumah, tiba-tiba ban motor kempes. Berhentilah ia di sebuah tambal ban. Ban yang kempes itu oleh pemilik tambal ban, Jeber, dibetulkan. Setelah beres, Pak Dekor membayar upah kepada Jeber dan melanjutkan perjalanan namun alangkah kagetnya ketika sampai di rumah, besek yang dibawanya tertinggal. Ia sadar bahwa besek itu ada di tambal ban milik Jeber.
Ia kembali ke tempat Jeber namun Pak Dekor tidak menemukan besek itu. Ia bertanya kepada Jeber, "Mas tahu bungkusan besek?" Mendapat pertanyaan itu Jeber menjawab," Sudah Saya buat rawon dan Kami makan bersama keluarga." Mendapat jawaban itu Pak Dekor kaget bukan kepalang. Ia menjelaskan bahwa besek tadi adalah ari-ari anaknya yang hendak ditanam di rumah, ari-ari adalah daging yang keluar saat bayi keluar. Begitu mendengar daging yang dikira daging sapi itu adalah ari-ari, Jeber langsung pingsan.
"Begitu cerita dari bapakku," kata Trengginas. "Iya, ya, jadi Kita harus hati-hati kalau makan daging," Aling mengingatkan. "Betul, betul, betul," Trengginas menegaskan. "Kayak Upin dan Ipin saja," Aling mengomentari penegasan dari Trengginas itu. Keduanya pun tertawa.
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan menuju rumah Aling. Sampai di rumah Aling, Trengginas kaget sebab selain rumahnya besar, ornamennya bergaya rumah China seperti yang ia lihat di film-film silat. Pagar besi itu digedor-gedor oleh Aling. Begitu digedor terdengar suara gonggongan anjing, "Huk, huk, huk, huk." Mendengar gonggongan anjing, Trengginas hampir saja lari, namun Aling segera berujar, "Jangan takut Nas, kalau siang dirantai tapi kalau malam baru dilepas." Meski demikian Trengginas masih nampak pucat. Pintu besi itu pun dibuka, nampak seorang perempuan muda di depan mereka. "Kok sudah pulang," tanya perempuan muda. Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Aling, dan ia segera masuk disusul Trengginas.
Perempuan muda itu adalah pembantu yang ikut keluarga Aling. Ketika hendak menuju ke rumah bagian dalam, Trengginas melihat seekor anjing besar berwarna hitam sedang diikat di sebuah tiang besi. Lidahnya menjulur-julur dan tatapan matanya tajam ke arah Trengginas. Anjing itu menggonggong kembali, "Huk, huk, huk, huk." Trengginas secara reflek memegang pinggang Aling. Aling pun tertawa melihat hal yang demikian.
Sampai di pintu rumah, terdengar sapaan dari seorang nenek, "Haiyaa, kok sudah pulang jam segini." "Iya Pho gurunya ada urusan," ujar Aling. "Haiyaa, gimana mau maju kalau sedikit-sedikit pulang, sedikit-sedikit pulang" kata Apho. Mendengar kalimat itu Aling meringis, "hiii." "Apho dulu saat sekolah di jaman Belanda sangat disiplin," ungkap Apho sambil duduk di kursi goyang. "Itu teman Kamu?" tanya Apho kepada Aling sambil melihat Trengginas. "Iya Pho, rumahnya jauh dan belum dijemput bapaknya, maka Aling ajak main ke sini," ujar Aling. "Haiyaa, inilah akibatnya kalau sekolah tidak tepat waktu bikin lugi olang," ujar Apho dengan logat Tionghoa-nya yang masih kental.
"Ya sudah Kamu ajak temanmu makan bubul ayam yang Apho bikin," ucap Apho. Aling dan Trengginas pun menuju meja makan, di situ sudah tersedia 2 mangkuk bubur ayam. Dengan sekejap Aling menyantap bubur ayam itu sedang Trengginas masih malu-malu menyantapnya.
Di mangkuk itu tak tersisa sedikit pun bubur ayam, karena lapar kedua bocah itu melahapnya hingga habis. Selanjutnya Aling mengajak Trengginas menuju ruang tengah. Di ruang tengah terlihat sebuah foto besar di mana Aling duduk diapit oleh papa dan mamanya sementara di belakangnya nampak seorang perempuan dan laki-laki. Trengginas sambil menunjuk foto itu bertanya, "Yang dibelakang itu siapa Ling." "Yang perempuan kakakku nomer dua, namanya Wulan Kwek, sekarang ia kuliah di Singapura. Sedang yang laki-laki kakakku pertama, namanya Hoke, ia sekarang kuliah di Amerika Serikat," ujar Aling. Mendengar penjelasan yang demikian, Trengginas dalam hatinya berkata meski hanya membuka toko kelontong namun laba yang dihasilkan sangat banyak sehingga keluarga Aling mampu menyekolahkan kakak-kakaknya ke luar negeri. "Sedang Aku ingin kuliah di Australia," ujar Aling kepada Trengginas yang tengah melamun mendengar kekayaan keluarga tionghoa itu. "Kalau Kamu nanti ingin kuliah di mana Nas," tanya Aling. Mendengar pertanyaan itu Trengginas hanya tersenyum, ia tidak bisa menjawab, sebab dirinya merasa keluarganya adalah keluarga miskin sehingga orangtuanya belum tentu mampu membiaya kuliah.
Di tengah obrolan itu Aling mencari sebuah kaset video yang berserakan di bawah meja televisi. Didapatlah kaset yang dicarinya. "Ini Aku punya film silat Cheng Lung, judulnya Dewa Mabuk. Kuputar biar kita nonton bareng-bareng," katanya sambil memasukan kaset video itu ke tape video. Setelah dipencet tombol-tombol yang ada muncullah gambar seorang pemuda tampan yang berkaos putih dan bercelana hitam yang sedang berlatih di sebuah tanah lapang dengan jurus-jurus tertentu. Di tengah latihan itu dari kejauhan nampak seorang tua yang berjenggot mengawasi latihan, orang tua itu adalah guru si pemuda. Bila pemuda itu salah gerakan maka gurunya akan memukul dengan tongkat yang dibawa.
Hampir dua jam, mereka menikmati tayangan itu. Tak terasa akhirnya dalam gambar tertuliskan The End. Dengan tulisan itu maka tayangan film selesai. "Wah selesai padahal masih asyik," ujar Aling. "Iya, ya padahal masih seru," timpal Trengginas. Tiba-tiba papanya  Aling muncul, "Lho kok sudah pulang?" tanyanya. "Iya gurunya ada urusan," jawab Aling. "Lha ini siapa?" tanya papa Aling. "Ini teman Aling namanya Trengginas," jawab Aling. "Rumahnya di mana," tanya papa Aling lagi. "Di Desa Gunung Siji," jawab Aling. "Ini sudah siang, Kalian makan dulu setelah itu nanti biar Kepul mengantar temanmu pulang," kata papa Aling. "Ya pa, nah Trengginas ayo Kita makan dulu setelah itu Kamu pulang, pasti bapakmu mencari Kamu. Nanti Kamu diantar Kepul naik sepeda motor pulang ke rumah," kata Aling kepada Trengginas.
Kepul adalah pembantu keluarga Aling yang melayani pembeli di toko kelontongnya. Mendengar perkataan yang demikian, Trengginas hanya mengangguk. Mereka berdua pun menuju meja makan. Di meja makan sudah tersedia makanan yang cukup mewah bagi Trengginas seperti telur dadar, daging ayam, daging sapi, kerupuk, tahu, tempe, dan peyek. Makanan seperti itu bagi Trengginas bisa disantap hanya di saat Lebaran. Mereka berdua pun menyantap makanan yang dimasak oleh pembantu keluarganya Aling.
Selepas makan, Trengginas diantar keluar rumah oleh Aling dan di depan rumah, Kepul sudah duduk di sepeda motor yang digunakan untuk mengantar. Trengginas pun duduk di belakang kepul. Setelah dirasa aman, Kepul pun menjalankan sepeda motor itu. Lambaian tangan Trengginas menandakan perpisahan dengan Aling.
***
Malam minggu, Kical, Klepon, Solebo, dan Trengginas ingin tidur di rumah Aling. Rencana itu sangat mungkin sebab papa dan mamanya Aling sedang pergi ke Singkawang, Kalimantan Barat, mengunjungi saudara. Aling pun setuju. "Iya, boleh-boleh saja, papa dan mamaku pergi ke tempat Koh Mbing, di Singkawang. Aku nggak ikut karena sudah sering ke sana," kata Aling kepada keempat temannya itu.
Mereka berlima mempunyai rencana hendak ke pasar malam yang lagi buka di lapangan kecamatan. Tentu kalau minta ijin kepada orangtua mereka pasti tidak akan diberi ijin, untuk itu mereka mencuri-curi waktu yang ada biar bisa pergi ke sana.
Pada malam minggu, mereka sudah di rumah Aling. Apho sudah tidur. Apho tidur lebih awal sebab tadi sore ia baru pulang dari Suhu Ho. Di tempat Suhu Ho, Apho melakukan terapi tusuk jarum untuk menyembuhkan penyakit degeneratifnya. Ia disarankan oleh Suhu Ho agar banyak-banyak istirahat. Nasehat Suhu Ho itu dipatuhi oleh Apho sehingga sejak sore ia sudah tidur.
Ketika Apho sudah tidur, Aling meminta kunci pintu rumah kepada Kepul. "Jangan bilang sama papa dan mama Aku pergi ke pasar malam ya," hardik Aling kepada Kepul. Kepul tidak menjawab hanya diam. Sebagai anak juragan, Kepul tidak mau bertindak macam-macam, ia hanya diam dan melaksanakan perintah saja bila majikan dan anaknya menyuruh. Sebagai orang yang mencari pekerjaan kepada keluarganya Aling, yang ia tahu bekerja sebaik-baiknya dan mendapat uang yang bisa menghidupi anak dan istrinya.
Dengan mengendap-ngendap, kelima bocah itu berjalan menuju ke arah pintu gerbang rumah. Saat hendak menuju ke pintu gerbang mereka dikejutkan oleh suara gonggongan yang sangat keras, "Huk, huk, huk, huk." Mendengar gonggongan itu kecuali Aling semuanya berteriak dan berlari ke arah dinding, "Waaaa." Menghadapi yang demikian, Aling berteriak kepada anjing hitam dan besar itu, "Hus, hus, blacky, blacky." Dihalaunya anjing itu masuk kandang. Karena sudah akrab dengan Aling, anjing itu menuruti perintah. Begitu anjing masuk kandang, segera pintu kandang blacky digembok sehingga anjing itu tidak bisa keluar.
Kelima bocah itu pun menarik nafas lega, "Wusss." Mereka melanjutkan jalan menuju pintu gerbang rumah. Dibuka pintu itu dan mereka keluar, pintu pun digembok lagi. Malam itu jalan menuju lapangan kecamatan nampak padat, orang-orang berduyun-duyun menuju ke tempat yang sama.
Di sepanjang jalan sudah terlihat banyak orang berjualan tahu petis, putu, dan kacang goreng. Begitu tiba di lapangan kecamatan, suasana sangat ramai. Di sana ada banyak orang berjualan mainan, makanan, pakaian, dan berbagai macam permainan seperti komedi putar, kincir angin, kereta mobil, tong setan, bola maut, rumah hantu, ombang-ambing, kora-kora, dan musik dangdut Orkes Melayu Puspa Nada.
Mereka berlima dengan berdesak-desakan dengan pengunjung lain mengeliling seluruh pasar malam. Semua hal dilihatnya, dari mainan hingga orang jualan obat dengan bermain sulap. Mereka pun bersuka cita ketika melihat komedi putar yang sedang berputar atau ombang-ambing yang sedang mengayun-ayunkan orang yang menaiki. Meski demikian mereka kurang tertarik untuk mencoba permainan itu.
Saat mereka melintas di depan musik dangdut Orkes Melayu Puspa Nada, banyak laki-laki berdiri dan berkerumun di tempat itu. Mereka hendak menonton musik asli Indonesia itu. Para lelaki itu antusias ingin menonton sebab penjaga karcisnya berteriak-teriak menawarkan pertunjukan dengan mengatakan,"Ayo nonton-nonton ada pertunjukan striptease-nya." "Dijamin kencang otot-otot Anda," ujar penjaga karcis itu sambil menggoda. Mendengar teriakan itu, Solebo berujar,"Nonton yuk." Mendengar ucapan Solebo, keempat bocah lainnya hanya meringis. "Jangan nanti nggak boleh sama penjaganya, kan Kita masih kecil," kata Kicak. "Nggak mungkin, penjaga karcis yang dilihat bukan orang kecil atau orang besar tetapi mempunyai karcis atau tidak. Kalau punya karcis pasti boleh masuk," Solebo menjelaskan.
Diantara mereka, memang Solebo pikiran yang lebih cepat dewasa. Setelah dipaksa-paksa Solebo akhirnya semuanya mau nonton. Karena Solebo yang paling nafsu menonton dan badannya tidak terlihat sebagai anak kecil, maka ia membeli karcis. Dibelilah 5 karcis pertunjukan. Setelah membeli karcis ia kembali ke kerumunan bocah itu. Dibagikan karcis itu satu-satu. Setelah masing-masing mendapat karcis mereka dengan berbaris antri menuju pintu masuk. Sebenarnya penjaga kaget ketika ada 5 bocah hendak masuk ke dalam pertunjukan itu, namun penjaga akhirnya tidak peduli sebab mereka memiliki karcis. Disobek karcis itu satu persatu, dan mereka akhirnya bisa berada di dalam. Di dalam sebagaian kursi sudah terisi penuh, mereka berempat mencari tempat duduk yang kosong. Mereka mendapat tempat duduk kosong di tengah.
Duduklah mereka di tempat itu. Di panggung nampak beberapa pemusik yang sedang memadukan alat musik, suara kendang, bas, dan gitar, terdengar saling susul menyusul. Setelah irama musik padu, muncullah seorang laki-laki yang berpakaian jas hitam dengan memegang microphone. "Apa kabar semua," ujarnya dengan lantang. "Ok, malam ini Kita akan menyaksikan pertunjukan musik yang paling panas di dunia," kelakarnya. "Lagu pertama akan dibawahkan oleh Lina Kura-Kura," teriaknya.
Begitu ia meninggalkan panggung. muncullah Lina Kura-Kura. Penyanyi yang berambut panjang ini tampil sangat seksi, hanya menggunakan celana pendek tipis dan berpakaian sangat ketat sehingga lekuk-lekuk tubuhnya sangat menonjol. Melihat Lina Kura-Kura, suara penonton menjadi senyap namun di panggung justru sebaliknya hinggar binggar oleh suara musik. Penyanyi yang wajahnya mirip Julia Perez itu bergoyang heboh ketika menyanyikan lagu Jaran Dor.
Seiring dengan suara musik yang bertalu-talu, Lina Kura-Kura menggoyang-goyangkan pantatnya di depan penonton. Tak hanya itu, goyang kayang ke arah penonton dilakukan sehingga bagian yang vital yang tertutupi celana pendek terpampang di depan penonton. Selepas goyang kayang, dadanya yang diganjal dengan spon itu digesek-gesekan kepada tukang suling. Melihat hal yang demikian, penonton bukan berteriak-teriak seperti layaknya penonton dangdut di lapangan terbuka namun justru diam seribu bahasa. Semua  jakun di leher penonton nampak bergerak-gerak. Perilaku kelima bocah itu sepertinya sama dengan perilaku orang dewasa, yakni menahan nafas melihat goyangan Lina Kura Kura.
Nafas lega terhembus dari hidung dan mulut penonton ketika Lina Kura-Kura mengakhiri lagu Jaran Dor. Begitu Lina Kura-Kura keluar panggung, pria berpakaian jas hitam keluar sambil memegang microphone. "Apa sudah puas," teriaknya. "Masih banyak penyanyi yang akan mengocok perut dan bagian organ lain milik Anda," katanya sambil tersenyum lebar menggoda. "Pasti semuanya sudah tidak sabar lagi untuk melihat penyanyi berikutnya. Baiklah inilah penyanyi kedua Rona Birama," pria berpakaian jas hitam itu pun meninggalkan panggung.
Rona Birama keluar dari sisi kiri panggung. "Test," ucapnya saat memegang microphone. Setelah dirasa tak ada gangguan di microphone, penyanyi yang berdandan mirip Raja Dangdut Rhoma Irama itu langsung mendendangkan lagu Sapu Angin. Suara Rona Birama yang fals membuat penonton kurang menikmati, mereka pun pada berisik, namun berisik itu hilang ketika ada seorang perempuan yang bertubuh semampai, mungil, berambut panjang, dan wajah mirip Miyabi artis porno dari Jepang menjadi penari latar.
Perempuan itu mengenakan longdress dan pakaian atas sedikit ketat. Dilenggak-lenggokan badannya mengitari Rona Birama. Beberapa menit setelah melenggak-lenggokan badan, ia melepas longdress. Melihat hal yang demikian, seluruh penonton terbungkam diam seribu bahasa, hanya ada suara nafas-nafas yang berpacu dengan asap rokok. Longdress yang sudah tak melekat di tubuh perempuan itu membuat celana dalam string warna pink yang dikenakan nampak jelas. Tak ada rasa malu bagi perempuan itu di depan panggung dengan celana dalam string yang terlihat, ia pun tetap melenggak-lenggokkan badan. Ketika masuk bait keempat lagu, perempuan itu melepaskan baju, ketika baju itu dilepas angin di tempat pertunjukan itu seolah-olah tak bergerak, wajah dan tubuh penonton menjadi kaku seperti patung kayu.
Baju yang dilepas itu semakin menunjukan bentuk kewanitaan perempuan itu. BH yang dikenakan warna merah mudah seolah-olah tak mampu menahan lemak yang ada di dadanya. Tonjolan besar nampak di dada perempuan itu. Dengan hanya mengenakan celana dalam string dan BH, perempuan itu terus melenggak-lenggokan tubuhnya. Suara jantung penonton seolah-olah meledak ketika bagian tubuh yang di bawah pusar digesek-gesekan ke tubuh Rona Birama. Â Â Â
"Peet" tiba-tiba listrik padam. Lampunya mati membuat penonton yang tadi diam seribu bahasa langsung berubah 180 derajat dengan berteriak keras-keras,"Woee, lampu mati!, lampu mati!" Tak lama kemudian lampu menyala kembali dan keluarlah pria yang berpakaian jas hitam tadi. "Ha, ha, ha, ha. Nggak kuat ya," ujar pria berpakaian jas hitam itu.
"Selanjutnya Kita saksikan lagu terakhir yang akan dinyanyikan Trio Jaran Edan dengan sebuah lagu Dibolongi," ujarnya. "Tang ndut, tang ndut, tratang, tratang, ndut, ndut," begitu bunyi kendang bertalu-talu, seiring bunyi kendang dari samping panggung muncullah tiga perempuan bertubuh semampai. Begitu melihat kehadiran tiga penyanyi berwajah cantik, secara serempak penonton mengatakan, "Wooo." Setelah itu hanya hembusan nafas yang keluar deras dari hidung dan mulut penonton. Pakaian yang dikenakan oleh Trio Jaran Edan, bagian bawah hanya selebar kain penutup organ vitalnya sedang bagian dada sebuah BH yang transparan sehingga membuat penonton terhipnotis.
"Dibolongi, dibolongi, dibolongi Mas, aduh enake. Dibolongi, dibolongi, dibolongi Mas, ojo tanggung-tanggung. Bolong gede, bolong gede, cepet mlebune. Bolong cilik, bolong cilik, susah mlebune. Arti dari lagu itu adalah, dilubangi, dilubangi, dilubangi Mas, aduh enaknya. Dilubangi, dilubangi, dilubangi Mas, jangan tanggung-tanggung. Lubang besar, lubang besar, cepat masuknya. Lubang kecil, lubang kecil, susah masuknya. Demikian syair yang dilantunkan Trio Jaran Edan.
Trio Jaran Edan tidak hanya sekadar berdendang namun juga bergoyang seperti kuda gila, pantat dan dada merupakan bagian organ yang sering digerak-gerakan dan digoyang-goyangan. Anehnya, bila di lapangan terbuka, jenis dangdut koplo seperti yang demikian membuat penonton berjingkrak-jingkrak, namun di tempat pertunjukan itu penonton seolah-olah seperti patung kayu, diam seribu bahasa, hanya tatapan mata yang tajam ke arah depan.
Hipnotis semakin kuat ketika Trio Jaran Edan memperagakan tarian kuda kawin. Karena seru sampai ada seorang penonton yang berteriak, "Terussss." Selang tak lama setelah tarian itu, Trio Jaran Edan melenggak-lenggokan badannya menuju ke sisi kanan kiri ke arah keluar panggung. Selesai sudah pertunjukan itu. "Apa masih kurang Puas?" tanya pria berpakaian jas hitam. "Baik kalau tidak kuat silahkan nonton pertunjukan selanjutnya. Pertunjukan selanjut Kelas XXX. Demikianlah pertunjukan paling panas di dunia ini," katanya dengan menawarkan pertunjukan yang lebih seru untuk selanjutnya. Musik pun mengalunkan lagu Sampai Jumpa dan pria berpakaian jas hitam itu mendendangkan dengan suara merdu.
Akhir dari pertunjukan tidak membuat penonton segera meninggalkan ruangan. Mereka masih duduk di tempat. Mungkin mereka masih terbayang-bayang dengan para penari latar yang berwajah mirip Miyabi, Lina Kura Kura, dan Trio Jaran Edan. Sedang Kical, Klepon, Solebo, Trengginas, dan Aling berencana langsung meninggalkan tempat ketika pertunjukan dinyatakan selesai namun Solebo berujar, "Tunggu dulu Saya belum bisa berdiri." Entah apa yang menyebabkan Solebo tidak bisa berdiri. "Tinggal saja," hardik Klepon. "Iya, ya, sudah malam," tegas Kicak. Mendengar protes dari Klepon dan Kicak, dengan agak tertatih-tatih Solebo berdiri dan dengan terhuyung-huyung berjalan menuju pintu keluar. Begitu di luar, tatapan mata orang dewasa memandang kelima bocah itu. Ada yang usil menyindir kelima bocah itu,"Kecil-kecil malam-malam masih kluyuran. Apalagi nonton pertunjukan kayak begini." Mendengar usilan itu Solebo yang menjawab, "Nyoben. Biarin."
Meski sudah larut malam namun pasar malam itu masih ramai, Aling dan Trengginas mengajak pulang. "Ayo pulang sudah malam," ujar Aling dan Trengginas serempak. "Ya sudah Kita pulang. Tapi Aku kencing dulu ya," kata Solebo sambil mencari tempat yang agak gelap. Setelah air yang dari tubuhnya ditumpahkan, Solebo kembali ke kerumunan mereka. Mereka berlima kembali menyusuri jalan menuju rumah Aling.
***
Jalan menuju SDN Inpres Gunung Siji pagi itu ditutup oleh polisi, akibatnya para murid dan orangtua yang mengantar anaknya tertahan sejauh 1 km dari sekolah. Masyarakat di sekitarnya dan pelintas jalan pun bergerombol melihat apa yang terjadi di sekolah itu. Terlihat di depan sekolah ada mobil bertuliskan Densus 88, dengan puluhan polisi berseragam hitam-hitam, menggunakan helm baja, serta menyandang senapan laras panjang sedang mengepung sekolah itu. "Mengapa sekolah dikepung polisi bersenjata lengkap Pak," tanya Pak Lunjak yang saat itu mengantar Trengginas ke sekolah kepada salah seorang polisi yang menahan masyarakat agar tidak mendekat ke sekolah. "Ada teroris yang bersembunyi di sekolah," ujarnya dengan tegas. "Hah ada teroris?" ujar masyarakat lain yang mendengar keterangan polisi itu. "Ya, teroris itu bernama Pak Kasim," jawab polisi itu. "Pak Kasim terbukti terlibat dengan salah satu jaringan terorisme yang sekarang sedang gencar dibasmi oleh Densus 88," papar polisi itu sambil menerima sebuah pesan dari handy talky-nya. "Pak Kasim guru agama dan tokoh agama di Dusun Gunung Siji ini terlibat dalam jaringan terorisme?" tanya Pak Lunjak keheranan.
Salah seorang Komandan Densus itu dengan pengeras suara menyampaikan sebuah pesan, "Saudara Kasim, Saya harap anda menyerah karena sekolah ini sudah dikepung Densus 88. Saya harap Anda jangan melakukan perlawanan, sebab bila Anda melakukan perlawanan itu akan merugikan diri Anda dan sekolah ini." Begitu tidak ada jawaban, puluhan anggota Densus dengan mengendap-ngendap serta membidikan arah senjata ke ruang guru bergerak secara serentak maju.
Makin lama pasukan itu mendekati pintu ruang guru. Dalam ruang guru itu hanya ada Pak Kasim sebab ia merupakan guru yang paling awal tiba di sekolah. Di saat sendiri di ruang guru itulah penggrebekan terhadap dirinya terjadi. Begitu sampai di ruang guru, sebuah bom dengan hulu ledak kecil yang diletakkan di ujung sebuah tongkat sepanjang dua meter yang dibawa oleh salah satu anggota Densus 88 didekatkan di daun pintu. Begitu tepat di daun pintu, pemicu ditarik, "Bumm." Sebuah ledakan yang cukup keras terdengar.
Beberapa detik setelah bunyi ledakan bom dengan hulu ledak kecil itu terdengar, selanjutnya terdengar bunyi, "Dor, dor, dor, dor, dor, dor." Rentetan suara tembakan dari senapan laras panjang itu memekakan telinga dan membuat masyarakat yang disekitarnya berlarian menjauh bahkan ada yang tiarap. Setelah daun pintu rusak, pintu itu didobrak dengan sepatu lars polisi, "Brakkkk." Pintu pun terbuka dan secepat kilat 5 anggota Densu masuk ke ruang guru dengan mengarahkan senapan ke depan. Sedang anggota Densus lainnya betjaga di luar. Tak lama kemudian, 5 anggota Densus keluar dari ruang guru dengan membawa secara paksa Pak Kasim keluar, nampak tangan Pak Kasim diborgol dan kepalanya ditutup.
Salah satu panser bertuliskan Densus 88 pun bergerak dengan gesit mendekati pintu gerbang sekolah, dibukanya pintu belakang panser itu dan Pak Kasim dengan sedikit didorong masuk ke dalam panser itu.
Panser dengan diiringi mobil patwal selanjutnya bergerak meninggalkan tempat itu. Suara sirene mobil patwal yang meraung-raung membelah keramaian jalan yang menghubungkan kota dan desa. Selanjutnya sekolah itu dipasang garis polisi berwarna kuning. Dengan pemasangan garis kuning maka di tempat itu tidak boleh orang masuk. Tempat itu tertutup selama digunakan untuk penyelidikan dan investigasi Densus.
Dengan kejadian itu maka proses belajar di SDN Inpres Gunung Siji terganggu. Para orangtua yang mengantar anaknya dan murid-murid yang sudah dekat dengan sekolah pun pulang kembali ke rumah masing-masing. Orangtua murid dan guru pasrah sebab kalau mereka nekat masuk sekolah pasti akan diancam dengan sebuah hukuman. "Kita pulang Nak," ujar Pak Lunjak kepada Trengginas yang hanya pelonga-pelongo melihat kejadian itu.
***
"Ini fitnah. Ini Fitnah," ujar Pak Kasim berulang-ulang ketika berada di ruang interograsi Mako Brimob. "Gimana fitnah, data-data menunjukan Anda terlibat terlibat dalam jaringan terorisme," bentak dengan suara keras keluar dari mulut seorang interogrator
 "Data-data bisa dibuat. Ini hanya sebuah rekayasa untuk mengalihkan isu dari berita-berita korupsi yang dilakukan pemerintah dan aparat," ujar Pak Kasim. Pak Kasim yang gemar membaca lalu menunjukkan sebuah data menurut wartawan kawakan Australia yang pernah bertugas di Indonesia, David Jenkins, dalam bukunya yang berjudul Soeharto & Barisan Jenderal Orba, mengupas sebuah fakta adanya pihak intelijen di balik aksi Komando Jihad. Komando Jihad diciptakan dengan tujuan untuk mendiskreditkan umat Islam.
Disebutkan dalam buku itu, bila paham akan seluk beluk Dinas Intelijen Indonesia serta filosofi kelompok elite di sekitar Soeharto, percaya bahwa sangat mungkin Komando Jihad diciptakan sebagai taktik menghadapi Pemilu 1977. Komando Jihad dijadikan sarana bagi Kopkamtib untuk menangkap dan menindak politisi-politisi Islam saat itu.
Pak Kasim lebih lanjut mengungkapkan dalam buku itu disebut, pada tahun 1978 Mantan Perdana Menteri Muhammad Natsir menyatakan bahwa Pemimpin Komando Jihad Ismail Pranoto, yang dijatuhi hukuman seumur hidup pada September 1979, sebenarnya 'seorang agen provokator yang didalangi Ali Murtopo.'
"Saya hanya seorang guru agama dan tokoh agama di desa. Saya tidak mengenal apa itu terorisme," Pak Kasim menjelaskan lagi. "Tidak usah banyak alasan, data menunjukan Anda terlibat dalam jaringan terorisme," ujar interogrator lainnya. "Anda Kami tahan untuk penyelidikan lebih lanjut," ujar interogrator pertama. "Ini sebuah rekayasa dan permainan intelijen," kata Pak Kasim.
***
Kekosongan guru membaca dan menulis serta guru agama untuk Kelas 1 sudah ada penggantinya. Untuk guru membaca dan menulis, Bu Koestini yang biasanya mengajar Kelas 3 digeser ke Kelas 1, sedang guru agamanya didatangkan dari Kantor Wilayah Kementerian Agama. Nama guru agama itu adalah Pak Jilal.
Setelah garis kuning itu dilepas oleh polisi, sekolah kembali berlangsung. Selama 3 hari sekolah itu dinyatakan tertutup sehingga aktivitas belajar mengajar tidak ada. Pada hari ini sekolah kembali normal berjalan, dan masing-masing kelas terjadi pembelajaran. Di Kelas 1 sendiri pelajaran dilanjutkan dengan belajar menulis dan membaca, Ini Ibu Budi, Itu Ayah Budi.
***
Pada hari senin pagi, SDN Inpres Gunung Siji melakukan upacara bendera. Dalam upacara itu yang berkesempatan menjadi petugas komandan upacara, paskibra, dan petugas lainnya adalah Kelas 5. Setelah semua siap, semua peserta upacara masing-masing barisan disiapsiagakan. Biasanya dalam upacara itu kepala sekolah menjadi inspektur upacara, namun para murid tidak melihat kepala sekolah. Justru yang dilihat oleh para murid seorang yang baru. Orang itu berbadan gemuk, tinggi rata-rata, berambut putih, dan memakai kaca mata hitam. Orang itu rupanya yang menjadi inspektur upacara. Ketika saat amanat inspektur upacara, orang itu dalam amanatnya mengatakan, "Selamat pagi anak-anak semua. Nama saya Pak Hasan Solikin. Saya di sini sebagai kepala sekolah menggantikan kepala sekolah yang lama." Mendengar amanat seperti itu, secara serempak, dari mulut para murid keluar kata, "Ooooo." Para murid baru sadar ternyata kepala sekolah lama diganti dengan kepala sekolah yang baru. Para murid bertanya-tanya mengapa kepala sekolah yang lama begitu saja menghilang. Bukankah dulu ketika terjadi pergantian kepala sekolah terjadi salam pisah dan salam kenal tetapi kali ini kok tidak.
Beberapa hari kemudian, rupanya para murid mendengar bocoran berita bahwa kepala sekolah yang lama ditahan oleh kejaksaan negeri karena ia diduga melakukan korupsi uang bantuan sekolah. Uang bantuan sekolah yang seharusnya digunakan untuk membeli alat peraga dan alat-alat olahraga ternyata digunakan untuk membeli mobil dan memperbaiki rumahnya. Akibat dari tindak korupsi itu, proses belajar murid-murid menjadi terganggu. Seharusnya mereka bisa mendalami mata pelajaran IPA dengan alat peraga, tapi karena alat peraga tidak ada, mereka hanya belajar teori. Demikian pula seharusnya para murid ketika berolahraga, sepakbola, menggunakan bola bermerek, namun karena dana untuk membeli bola dikorupsi oleh kepala sekolah yang lama, maka saat sepakbola para murid menggunakan bola plastik, itupun dengan uang patungan."Rasain tuh kepala sekolah koruptor," ujar salah seorang murid Kelas 6. Â "Biar masuk penjara," ujar murid Kelas 6 lainnya. "Kok kayak elit anggota DPR dan menteri saja melakukan korupsi," ujar seorang murid Kelas 5 yang ikut nimbrung dalam obrolan di bawah pohon sekolah.
***
Hari itu murid-murid Kelas 1 sudah duduk rapi di tempat masing-masing, buku tulis dan pensil sudah ada di bangku. Mereka menunggu Bu Koestini masuk kelas untuk mengajarkan pelajaran selanjutnya. Pelajaran hari itu adalah belajar mengarang. Pelajaran mengarang diberikan setelah para murid dirasa mampu membaca dan menulis. "Baik anak-anak sekarang belajar mengarang. Kalian bisa menceritakan pengalaman sehari-hari dalam karangan itu," ujar Bu Koestini. "Karangan yang Kalian bikin 2 lembar halaman ya," ujarnya lagi.
Mendapat penjelasan yang demikian, rupanya Jorenges belum paham sehingga ia bertanya, "Mengarang saat Saya membantu orangtua boleh Ibu?" "Boleh," ujar Bu Koestini singkat. "Kalau Saya mengarang gudel pergi ke pasar," ujar Legam mengejek Trengginas. Rupanya apa yang dikatakan Legam itu memancing tawa para murid yang lain. "Ha, ha, ha, ha," begitu gemuruh tawa itu terdengar. "Sudah kalau sudah paham semua, silahkan dikerjakan," tegas Bu Koestini.
Suasana di ruang Kelas 1 hening ketika para murid asyik menggoreskan pensil di kertas putih. Gesekan pensil di atas kertas putih itu terkadang terdengar. Nampak ada murid yang cepat menuangkan imajinasinya ke dalam karangan, namun ada pula yang sedikit-sedikit menatap ke langit-langit yang seolah-olah mencari imajinasi pengalaman untuk dituangkan dalam karangan.
Di tengah asyiknya pelajaran menggarang, tiba-tiba di depan pintu kelas berdiri seorang perempuan yang berbadan gembrot dengan menenteng tas. Perempuan yang berpakaian kebaya dipandu dengan baju lengan panjang berwarna pink itu selanjutnya berujar, "O, ini to yang namanya Koestini." Mendengar suara yang tiba-tiba memecahkan keheningan itu semuanya menoleh ke arah suara itu. Bu Koestini pun terperanjat memandang perempuan gembrot itu. "Iya, Saya Koestini," jawabnya. "Alah, Kamu jangan pura-pura tidak tahu ya. Saya ini istrinya Pak Ber!" kata perempuan gembrot itu. "Terus apa hubungannya Saya dengan Pak Ber?" tanya Bu Koestini dengan sedikit sabar. "Ih, jangan pura-pura bego ya. Kamu kan mau merebut suamiku!" Mendengar tuduhan itu Bu Koestini mukanya merah. "Itu tidak benar Ibu. Saya tidak kenal dengan suami Ibu," bantahnya. "Di sini, di hadapan murid Kamu ngaku nggak kenal sama suamiku tetapi kalau cek in Kamu kayak kuda binal," kata perempuan gembrot itu dengan wajah yang semakin kaku.
Melihat gurunya dilabrak oleh seseorang yang tidak diketahui asal usulnya, para murid hanya melongo. Mendengar suara ribut-ribut, kepala sekolah, beberapa guru, dan Pak Koer, segera menuju ke tempat kejadian. Melihat kepala sekolah datang, perempuan gembrot itu berujar kepada kepala sekolah, "Ini lho Pak, anak buahmu itu mau merebut suamiku." "Itu fitnah Pak," sahut Bu Koestini dengan muka pucat. "Mana ada maling mengaku," ujar perempuan gembrot itu dengan nada judes. "Baik, baik, mari kita selesaikan di ruangan Saya. Tidak pantas ribu-ribut di depan anak-anak kecil," ujar kepala sekolah dengan bijak. "Iya, Pak biar Koestini ini kapok main serong dengan istri orang," perempuan gembrot itu nyerocos tidak mau kalah. "Mari Ibu-Ibu, Kita ke ruang Saya," ujar kepala sekolah kepada kedua perempuan yang berselisih itu.
Mereka pun menuju ruang kepala sekolah. Para guru yang melihat kejadian itu pun kembali ke ruang masing-masing, sementara Kelas 1 dijaga oleh Bu Budrek. Bu Budrek sebagai guru Kelas 4 ditugaskan oleh kepala sekolah untuk sementara waktu menjaga murid Kelas 1. Di hadapan kepala sekolah, perempuan gembrot itu menceritakan panjang lebar tentang hubungan suaminya dengan  Bu Koestini, sedang secara panjang lebar pula Bu Koestini membantah.
Setelah kejadian itu, Bu Koestini tidak pernah datang ke sekolah. Ia malu kepada kepala sekolah, para guru, dan murid atas tuduhan itu. Ia mengajukan pindah ke sekolah lain. Para murid Kelas 1 pun meski masih lugu memahami dan mengerti apa ayang terjadi pada Bu Koestini. Kepindahan Bu Koestini ada yang disambut sedih, ada pula yang biasa-biasa saja, namun bagi Legam kepindahan Bu Koestini disambut gembira karena ia sering dihukum, seperti kupingnya dijewer atau disuruh berdiri di depan kelas. Legam sering dihukum karena ia adalah murid yang bandel.
***
Belasan tahun kemudian
***
Koran itu dibentangkan oleh Trengginas, dilihatnya satu persatu nama dan nomer siapa-siapa saja yang ada di situ. Mata Trengginas terhenti pada sebuah nomer dan nama, "Hiyaaaa, Aku diterima," ujarnya dengan kegirangan. Dirinya girang karena namanya ada di koran itu dan nomernya cocok dengan nomer testnya, dengan demikian dirinya lolos dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri. Tentu saja dirinya bahagia sebab untuk bisa lolos dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri, ia harus bersaing dengan ribuan mahasiswa lainnya. "Asyik, asyik, asyik," ujarnya kegirangan sambil menari-nari. Bentuknya tubuhnya yang pendek, badannya tambun, dan rambutnya botak membuat orang yang melihatnya terhibur ketika Trengginas seperti itu, menari sambil bilang asyik-asyik. Ia tidak sadar ulahnya dilihat tetangga-tetangganya.
"Kenapa Kamu seperti itu Nas?" tanya tetangga sambil tersenyum. "Aku senang karena lulus masuk perguruan tinggi negeri," balas Trengginas yang menghentikan goyangannya. "O, sebentar lagi Kamu jadi mahasiswa dong," tetangganya mendekati. "He, he, he," Trengginas hanya tersenyum."Syukur kalau begitu, biar desa ini ada sarjananya," ujar tetangganya itu sambil duduk di teras rumah Trengginas.
Setelah meluapkan kegembiraannya, Trengginas baru sadar kalau orangtuanya belum tahu dirinya lulus masuk perguruan tinggi negeri. Ia dalam hati bertanya apakah orangtuanya mampu membiayai atau tidak.
Ia ke belakang dan mencari orangtuanya. Dilihat orangtuanya tidak ada di belakang, ia mencari ke ladang di mana biasa orangtuanya di tempat itu untuk menggarap lahan. Benar perkiraaan, orangtuanya terlihat sedang mencangkul. Dihampiri, "Pak Saya diterima masuk perguruan tinggi negeri," ujar Trengginas. Mendapat laporan seperti itu, Pak Lunjak justru bertanya, "Perguruan tinggi itu apa to?" Mendapat pertanyaan seperti itu dalam hati Trengginas mengatakan, orangtua ini bodoh amat, masak perguruan tinggi nggak tahu. Namun sebagai bentuk penghormatan anak kepada orangtua, Trengginas dengan santun menjawab, "Perguruan tinggi itu sekolah setelah SMA." "O begitu ya," Pak Lunjak baru paham. "Terus perguruan tinggi di mana?" Pak Lunjak kembali bertanya. "Universitas Silada di Pulau Swaba," Trengginas menerangkan.
Mendengar nama Pulau Swaba, Pak Lunjak kaget, sebab pulau itu terkenal dengan keindahan pantai dan menjadi tujuan wisata turis dari dalam dan luar negeri. "Di situ Kamu mau kuliah atau wisata?" tanya Pak Lunjak keheranan mengapa dirinya memilih perguruan tinggi kok di pulau itu. "Ya kuliah to Pak," jawab Trengginas dengan segera.
Pak Lunjak duduk di atas tanah pembatas ladang, ia diam sambil melihat hamparan tanah yang bekas dicangkul. "Ya sudah Kamu kuliah yang bagus, Bapak biayai sekuatnya. Bapak sadar yang menyebabkan Kita miskin karena ilmu Bapak cuma sampai sekolah rakyat. Mudah-mudahan selepas kuliah ekonomi keluarga Kita terangkat," ujarnya.
Mendengar ungkapan dari hati yang mendalam dari orangtua, Trengginas terharu. Ia pun menjabat tangan orangtua, sesuatu yang biasanya hanya dilakukan di saat Lebaran, tangan itu kemudian dicium dengan lebut.
***
Dengan menggunakan kaos bertuliskan Hawai Beach dan bawahan jeans yang sudah kumal, Trengginas pergi ke rumah Aling. Ketika tiba di rumah Aling, di depan rumah nampak 2 mobil yang sedang diparkir. Rumahnya pun nampak lebih ramai dari hari-hari biasa. Trengginas mengira di rumah Aling ada acara, ia sebetulnya hendak mengurungkan niat bertemu Aling karena nanti dirasa mengganggu acara. Namun ia tidak jadi mengurungkan niat dan tetap masuk ke rumah itu dan mencari Aling. Tepat di depan rumah ketemulah dirinya bertemu Kepul, "Mas, Aling ada?" "O, ada kebetulan dia mau ke bandara udara mau berangkat ke Australia," jawab Kepul. "Hah, ke bandara udara mau ke Australia?" Trengginas keheranan. "Iya, Koh Aling mau sekolah di sana," ujar Kepul dengan lugu. Trengginas baru sadar bahwa sejak dulu temannya itu ingin kuliah di Australia, sehingga saat ujian masuk perguruan tinggi negeri tidak ikut.
"Koh Aling, Koh Aling, ini ada Trengginas," teriak Kepul. Tak lama kemudian Aling keluar, "Hai Trengginas apa kabar?" sapa Aling dengan ramah. "Baik, baik Ling," jawab Trengginas. "Mau ke Australia ya Ling?" Trengginas pura-pura tidak tahu. "Iya Nas, Aku mau kuliah di sana, kebetulan Kamu ke sini, ikut ke bandara udara yuk, masih ada kursi kosong di mobil yang mau mengantar Aku," Aling menawarkan kepada Trengginas. Ajakan itu tentu diiyakan Trengginas. Dirinya belum pernah pergi ke bandara udara.
Setelah semua siap, papa, mama, Aling, Apho, Trengginas, dan keluarga lainnya, segera masuk mobil. Dua mobil itu segera bergerak meninggalkan rumah bertingkat dua. Karena mengejar waktu boarding, laju mobil bergerak di atas kecepatan rata-rata. Kendaraan roda empat lain yang bergerak ke arah selajur semua didahului. Dan tibalah mobil-mobil itu di tempat parkir bandara udara.
Trengginas membantu mengangkat tas yang dibawa Aling. Ketika hendak cek in. Di tengah sisa waktu yang ada, Aling dan Trengginas duduk di sebuah kursi di depan sebuah toko souvenir. "Kamu mau mengambil jurusan apa di Australia Ling?" tanya Trengginas. "Manajemen," jawab Aling. "O, bagus itu," Trengginas memujinya. "Ke Australia naik pesawat milik BUMN?" Trengginas mencari topik pembicaraan lain. "Tidak Nas, Aku naik maskapai asing. Aku sedikit kecewa naik pesawat milik BUMN. Dulu saat di pesawat Aku minta nambah teh, pramugari bilang iya, Â tapi eh ternyata nggak dilayani, malah pergi tanpa tanggung jawab," Aling memaparkan. "Kalau yang milik swasta dalam negeri malah lebih parah Nas, selain sering delay, kadang-kadang mereka seperti angkutan kota-desa, nunggu penumpang sampai penuh baru berangkat." Mendengar apa yang dikatakan Aling, Trengginas hanya bisa manggut-manggut. "Saya naik maskapai asing bukan berarti tidak nasionalis," Aling menegaskan.
Di tengah asyiknya perbincangan, tiba-tiba terdengar pengumuman diharap semua penumpang yang hendak naik milik maskapai asing itu diharap masuk ke ruang boarding karena pesawat hendak take off. Mendengar itu, Aling menjabat tangan semua saudaranya termasuk kepada Trengginas, dan khusus kepada mama, papa, dan Apho, Aling memeluk erat-erat. Lambaian tangan perpisahan dilakukan kepada semua pengantar. Aling pun masuk ke ruang bagian dalam menuju ruang boarding. Badan Aling pun hilang ditelan oleh kerumunan orang yang juga hendak menuju ke tempat yang sama.
***
Sore itu Trengginas sudah berada di terminal bus. Dengan membawa pakaian seadanya, ijazah, SKKB, dan bekal secukupnya, ia mencari bus malam arah Pulau Swaba. Celingak-celinguk membuat Trengginas didatangi seseorang, "Mau ke mana Mas." Dengan sedikit curiga, Trengginas menjawab dengan tak bersemangat, "Mencari bus ke Pulau Swaba." "O, kalau bus ke arah Pulau Swaba tempatnya di pojok sana. Kalau tidak keberatan Saya antar ke tempatnya," orang itu menawarkan diri. "Berapa ongkos bus ke Pulau Swaba?" Trengginas mulai berani bertanya. "Nanti di sana ada teman Saya. Paling nggak mahal karena bus ini ekonomi tapi dapat makan dan minum saat berhenti di Pantai Pasir Merah," orang itu menjelaskan.
Mendapat gambaran seperti itu, Trengginas gembira, ia pun melangkah mengikuti orang itu berjalan. Sampailah ia di pojok terminal. Dilihatnya beberapa bus berjejer dengan aneka rupa warna dan kelas yang menawarkan perjalanan ke Pulau Swaba. Ada bus yang mewah, ada pula bus yang sederhana. Ia pun memilih bus yang sesuai dengan kantongnya. Bus yang cocok dengan kantongnya itu adalah Bus Cepat Jaya. Setelah tiket di tangan, Trengginas naik ke bus. Sambil menunggu keberangkatan, ia mencoba untuk tidur, namun usaha itu gagal karena banyak calo yang berteriak-teriak menawarkan kursi yang kosong kepada calon penumpang.
Setelah tiga perempat kursi Bus Cepat Jaya terisi, bus pun berangkat ke arah Pulau Swaba. Sepanjang perjalanan, Trengginas melihat pesisir pantai. Kapal nelayan dan perkampungan kumuh merupakan paduan yang ada ketika ia melihat kondisi pesisir. Tepat tengah malam, Bus Cepat Jaya tiba di batas pulau dan harus menyeberang ke Pulau Swaba. Untuk menyeberangi Selat Pulau Swaba, seluruh kendaraan harus naik kapal ferry. Karena jumlah kapal dengan seluruh kendaraan yang hendak menyeberang tidak seimbang maka kendaraan itu harus antri. Dilihatnya antrian itu begitu panjang.
Sambil menunggu bus masuk kapal, Trengginas menggunakan waktu yang ada untuk melihat pelabuhan. Tolah toleh dan celingak-celinguk saat dirinya melihat sesuatu yang selama ini belum pernah dilihatnya secara langsung, yakni pelabuhan. Dilihatnya di tempat itu banyak penjual makanan dan buah-buahan, pedagang asongan pun hilir mudik menawarkan dagangannya.
Di tengah asyiknya melihat geliat orang di pelabuhan, bus yang dinaiki masuk ke dalam lambung kapal. Trengginas pun dengan berlari mengejar bus, namun oleh seorang petugas diteriaki, "Woi, Mas di situ bukan jalan orang. Jalan orang lewat tangga." Mendengar teriakan itu, Trengginas dengan kebingungan melihat mana tangga yang dimaksud. "Tangganya sebelah kiri jalan Mas," orang itu menunjukkan arah. Matanya langsung menoleh arah kiri. Begitu melihat tangga yang dimaksud, secepat kilat ia berlari ke arah itu. Dinaiki tangga dengan cepat, nafasnya pun mulai tersenggal-senggal. Ketika hendak masuk ke dalam kapal, seorang petugas mencegatnya, "Mana karcis kapal?" "Saya naik Bus Cepat Jaya Pak," ujar Trengginas dengan nafas tersenggal-senggal. "Mana bukti tiket bus?" petugas itu meminta bukti. Trengginas mengambil tiket bus yang ada di dompet dan ditunjukan. Setelah benar-benar ia penumpang bus yang dimaksud, Â petugas itu mempersilahkan masuk.
Plong yang dirasakan setelah dirinya sudah berada di kapal. Tahu bus yang dicari ada di bawah dan tidak akan bergerak selama berada di kapal, maka ia tidak naik ke dalam bus. Ia memilih duduk di tempat penumpang kapal. Ketika kapal bergerak menuju ke Pulau Swaba, Trengginas bangkit dari tempat duduk dan berdiri di bagian kanan kapal. Dilihatnya  keindahan laut di selat itu, nampak gunung menjulang di pulau yang baru ditinggalkan. Gelombang selat yang tidak tinggi membuat kapal tidak terayun-ayun sehingga menambah keasyikan Trengginas melihat alam ciptaan Tuhan.
Pulau Swaba yang hendak dituju makin lama makin didekati, hingga akhirnya merapatlah kapal itu. Begitu kapal merapat, ia tidak mau mengulangi kecerobohan yang dilakukan tadi, yakni tertinggal bus, sehingga dengan bergegas ia pun menuju ke Bus Cepat Jaya. Untuk mencapai tempat itu, ia harus melewati jalan sempit di antara kendaraan-kendaraan besar yang terangkut di kapal. Tubuhnya yang tambun mempersulit dirinya bergerak. Dengan sedikit kesusahan dan harus memiringkan tubuhnya ke kanan dan kiri sampailah ia di pintu Bus Cepat Jaya, dibukalah pintu itu dan segera naik. Dilihatnya semua penumpang sudah berada di dalam.
Jalan antara kapal dan pelabuhan pun sudah tersambung, satu persatu kendaraan besar yang berada di lambung kapal keluar, termasuk Bus Cepat Jaya. Suasana lain dilihat Trengginas ketika berada di Pulau Swaba. Nampak banyak anjing berkeliaran dan bahasa yang dirasa belum akrab dengan telinganya. Bus pun melaju kembali ke arah Kota Pulau Swaba. Entah merasa kelelahan atau bosan dengan pemandangan yang hanya dilihatnya hamparan sawah yang menghijau, Trengginas pun memilih tidur.
Trengginas terbangun dari tidurnya ketika ada teriakan dari kernet, "Tiba, tiba, tiba." Matanya terbelalak ketika dirinya masuk ke terminal yang pernah belum dikunjungi. Di sebuah bangunan induk terminal terpampang sebuah tulisan Terminal Jebung. Di tempat inilah dirinya sadar bahwa ia sudah berada di kota yang dituju. Satu persatu penumpang turun dan antri mengambil barangnya di bagasi yang berada di samping kanan dan kiri badan bus. Trengginas yang barang bawaannya tidak banyak, tak perlu mengambil di bagasi, barang yang dibawanya cukup ditaruh di tempat barang yang berada di atas tempat duduknya.
Sesampai di tempat angkutan kota, ia bertanya kepada seseorang yang berpakaian biru dan di lengannya tertulis Dishub Provinsi Swaba, "Pak di mana Universitas Silada itu ya?" "O, adik naik angkutan kota warna biru itu nah ia lewat pas di depan kampus," petugas dishub itu menjelaskan. "Terima kasih Pak," Trengginas mengucapkan rasa balas budi. Tempat antrian angkutan kota berwarna biru itu dihampiri, dan dipilihnya antrian paling depan yang menunjukkan bahwa angkutan itu yang paling dulu jalan. Di angkutan itu sudah ada beberapa orang duduk di dalam.
Penuh sudah akhirnya angkutan kota itu, dan bergerak si biru meninggalkan Terminal Jebung. Di kota yang pertama kali Trengginas datangi itu, dilihatnya kesibukan masyarakat yang cukup padat, kanan kiri banyak toko mebel, rumah makan, bengkel, dan toko serba ada. "Kampus, kampus," teriak sopir. Mendengar kata itu Trengginas bilang, "Kiri Pak." Sopir pun mengarahkan angkutan menepi, dibayar ongkos semestinya, dan anagkutan itu meninggalkan Trengginas.
Dililhatlah bangunan kampus itu dan di gerbangnya tertulis Universitas Silada. Suasana kampus nampak ramai, banyak orang seusia dirinya yang datang ke kampus, mereka diantar oleh orangtua. Ia pun masuk ke dalam kampus dan mencari info tempat pendaftaran ulang. Dilihat petunjuk tempat pendaftaran ulang. Ia menuju arah petunjuk itu, dengan mengikuti petunjuk, sampailah ia ke sebuah tempat bangunan yang sangat besar mirip balairung. Di situ terlihat puluhan petugas pendaftaran ulang yang tengah sibuk melayani calon mahasiswa baru.
Setelah ia memilih tempat pendaftaran ulang untuk jurusan dan fakultas yang dipilih, arsip yang dibutuhkan pun diserahkan kepada petugas. "Kurang satu dik, yakni bukti pembayaran dari bank," ujar petugas itu sambil merapikan arsip yang diserahkan Trengginas. "Nah setelah membayar di bank, nanti adik kembali ke sini ya," Â petugas itu menyarankan.
Trengginas pun menuju loket bank yang ditunjuk, antrian nampak panjang, dengan sabar ia ikut dalam antrian itu. Tibalah giliran dirinya membayar uang yang telah ditentukan. Bukti pembayaran pun diberikan dari pegawai bank kepada dirinya. Bukti pembayaran itu selanjutnya diserahkan kepada petugas daftar ulang. Akhirnya Trengginas pun mendapat secarik bukti bahwa semua persyaratan telah dipenuhi, dengan demikian ia sudah resmi tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Silada.
***
Kelihatan ngantuk dan lelah nampak di muka Trengginas. Setelah urusan pendaftaran selesai, ia segera mencari tempat duduk yang nyaman di kampus itu. Dilihatnya sebuah taman kampus yang begitu asri dan rindang, dirinya menuju ke tempat itu
Di taman kampus nampak seorang mahasiswa yang sepertinya sudah senior sedang membaca buku karangan Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah. Kedatangan Trengginas tidak dihiraukan oleh mahasiswa itu, Trengginas duduk tidak jauh darinya. Diletakkan tasnya dan ia duduk sambil menikmati keteduhan taman kampus. Dihirupnya udara yang sejuk dalam-dalam. Selanjutnya ia merebahkan diri di tempat duduk itu. Rupanya matanya terpejam dan tertidurlah dirinya.
Rasa lapar membangunkan tidur Trengginas, ketika matanya terbuka mahasiswa senior tadi sudah tidak ada, yang nampak di matanya sekarang beberapa mahasiswa yang umurnya jauh di atas dirinya. Trengginas menghampiri mereka, "Mas di sini warung nasi yang paling dekat di mana ya?" Mendapat pertanyaan itu, salah satu diantara mahasiswa itu menjawab, "Di belakang kampus, dari sini ya sekitar 100 meter." "Makasih Mas," ujar Trengginas sambil meninggalkan tempat itu.
Ia pun berjalan ke arah yang ditunjukan, setelah berjalan 200 langkah, ditemukan warung nasi. Warung nasi itu nampak sederhana, menyediakan makanan yang biasa dirinya santap, seperti tempe, tahu, sayuran, kerupuk, dan sambel. Duduklah ia di bangku panjang di warung itu. "Bu makan nasi ya," Trengginas mengatakan yang demikian. Dengan tidak pakai basa-basi, penjual nasi itu mengambil nasi kemudian diberi tempe dan tahu serta sayuran secukupnya. Disodorkan makanan itu kepada dirinya. Seporsi makanan sederhana itu kemudian disantapnya.
Penjual nasi itu tahu bahwa Trengginas adalah mahasiswa baru di Uniersitas Silada. Penjual nasi dengan basa-basi bertanya, "Mahasiswa baru ya." Mendapat sapaan itu Trengginas yang sedang meneguk air putih menjawab, "Iya Bu." "Sudah mendapat tempat kos?" penjual nasi itu bertanya lagi. "Belum," Trengginas menjawab dengan wajah kekenyangan. "Kalau mau di tempat Saya ada satu kamar kosong. Kamar kosong itu ditinggalkan penghuni karena bulan kemarin ia sudah diwisuda," penjual nasi itu menawarkan tempat kos. "Berapa perbulan?" tanya Trengginas. Penjual nasi itu menjawab harga perbulannya. Mendapat tawaran harga kos yang harganya seperti itu, dirinya berpikir sesaat. Setelah dipikir-pikir harga itu cocok dengan uangnya, "Iya Bu. Saya ambil kos di tempat Ibu." Mendapat kepastian dari Trengginas, penjual nasi itu memanggil pembantunya. "Kamu antar Mas ini ke rumah Kita ya, Dia mau kos di kamar nomer 7 yang kosong," perintah penjual nasi itu kepada pembantu.
Trengginas dan pembantu itu pun berjalan menuju rumah yang dituju. Gang-gang yang dilintasi memperlihatkan rumah yang berada di kanan kiri sepertinya kos-kosan para mahasiswa sebab rumah-rumah itu nampak banyak kamar dan halamannya nampak beberpa sepeda motor yang diparkir. Di rumah-rumah itu terlihat para mahasiswa duduk dan bercengkerama dengan teman-temannya di depan kamar.
"Ini Mas tempatnya," ujar pembantu itu. Trengginas melihat kamar yang ada cukup sederhana, di dindingnya terlihat bekas coretan rumus-rumus ilmu alam. Kasur dan lemari yang ada sudah nampak usang, bekas digunakan penghuni lama. "Ya Mas terima kasih," Trengginas pun memasuki kamar itu dan memindahkan apa yang ada di dalam tas ke lemari. "Kalau begitu Saya kembali kembali ke warung ya Mas," pembantu itu pun meninggalkan Trengginas.
***
Setelah sekitar 2 minggu mengikuti acara Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek) kepada mahasiswa baru. Minggu ini adalah minggu pertama dirinya mulai mengikuti perkuliahan. Selepas jam 07.00 Trengginas pergi ke kampus. Sampai di kampus, sudah banyak mahasiswa berada di dekat Gedung A, di mana kuliah pertama akan diikutinya. Ia heran mengapa banyak mahasiswa yang sudah senior juga ada di gedung itu. Ada yang berbisik, "Mereka akan kuliah bersama Kita karena belum lulus." Mendengar bisikan seperti itu dirinya kaget. Kemudian dibisikin lagi, "Pak Agung dosen mata kuliah ini terkenal killer, ia pelit memberi nilai, mahasiswa sering diberi nilai E dan menghambat mahasiswa lulus." Mendengar bisikan kedua itu, Trengginas menjadi merinding. Â
"Pak Agung, Pak Agung datang," kata salah seorang mahasiswa senior di tengah kerumunan mahasiswa yang hendak mengikuti mata kuliah itu. Semua bergegas masuk ke ruang kelas. Trengginas yang belum tahu mana itu Pak Agung mengikuti saja apa yang dilakukan oleh mahasiswa yang lain, yakni masuk ke ruang kelas.
Setelah mahasiswa duduk di kursi yang tersedia, suasana hening ada di ruang kelas, tiba-tiba muncullah seorang yang sudah tua, rambut putih, dan bertampang kaku. Melihat dosen itu, dalam diri Trengginas muncul kesimpulan bahwa orang itu sangat serius dan kaku sehingga dirinya membenarkan apa yang dibisikan tadi. "Baik hari ini Kita akan mempelajari mata kuliah thermodinamika," mendapat penjelasan itu, muka tegang langsung muncul dari wajah-wajah para mahasiswa. Selanjutnya dengan uraian panjang Pak Agung menjelaskan teori-teori itu. Mendengar penjelasan itu, ada mahasiswa yang paham, ada pula yang hanya menatap kosong. Di antara mereka sedikit-sedikit melihat jam tangan yang dipakai, mereka berharap agar mata kuliah itu cepat selesai.
Begitu jam kuliah dari Pak Agung usai, semua mahasiswa menarik nafas lega. Mereka seolah-olah lepas beban yang ada dipundak. Begitu Pak Agung keluar dari ruang, selanjutnya buurrr semua juga menghambur keluar.
***
Begitu tiba di kos, tas yang dibawa Trengginas dilempar. Dan ia pun meloncat ke kasur yang sudah kumal, ia tidak peduli dengan mata kuliah yang diberikan Pak Agung tadi. Ilmu yang diberikan tadi masuk atau tidak ke dalam otak, tidak dipikirkan, yang penting saat ini waktu yang ada digunakan untuk melepaskan kejenuhan.
Di tengah antara tidur dan tidak, Trengginas mendengar bahwa di Pulau Swaba ada kawasan wisata pantai, Pantai Pelangi, yang indah dan bila malam hari suasana sangat menarik dengan kerlap-kerlip lampu yang terpancar. Ia berpikir untuk menghilangkan rasa tidak nikmat di kampus dengan mencoba mengunjungi Pantai Pelangi di malam hari. Pikirannya sudah bulat dirinya akan pergi ke sana nanti malam.
"Bu, Saya bisa pinjam sepeda motornya yang jelek dan sepertinya tidak terpakai itu," tanya Trengginas kepada Ibu Kos. "O, ya pakai saja, tapi nggak tahu bensinnya masih ada atau tidak," Ibu Kos itu mempersilahkan Trengginas meminjam sepeda motor yang tidak dipakai itu. Ibu Kos oleh anak-anak kos dikenal sebagai orang yang baik hati sehingga banyak anak kos yang betah tinggal di tempat itu. "Makasih ya Bu," ujar Trengginas.
Sepeda motor itu dibersihkan dari kotoran debu sehingga bentuk sepeda motor menjadi berbeda dengan bentuk sebelumnya. Dibukanya tangki dan Trengginas melihat masih ada sedikit bensin di dalamnya. Dia berpikir saat di jalan akan mampir ke SPBU untuk mengisi bensin sebanyak 2 liter. Dituntunlah sepeda motor itu keluar rumah, dan dihidupkan mesinnya. Setelah kelima kalinya pedal starter dihentakkan, barulah mesin sepeda motor itu hidup.
Gas pun mulai digerakkan dan sepeda motor pun sedikit demi sedikt mulai bergerak dan melaju. Setelah berada di jalan, Trengginas melihat jalan yang dilewati nampak ramai, sehingga dia harus hati-hati saat mengendarai. Begitu melihat SPBU, ia membelokkan arahnya ke tempat itu dan mengisi tangki sebanyak 2 liter. Ketika tangki penuh hatinya puas sebab dia berpikir tidak akan kehabisan bensin kalau berputar-putar melihat Pantai Pelangi.
Ketika memasuki kawasan Pantai Pelangi, Trengginas melihat banyak cewek bule yang berpakaian seronok berjalan di jalan-jalan. Bagi bule berpakaian yang seperti itu, seperti hanya memakai singlet, baju pantai, celana pendek dan mini dan pakaian terbuka lainnya adalah hal yang biasa, namun bagi Trengginas hal demikian merupakan sesuatu yang aneh, tetapi dirinya sepertinya menikmati.
Sepanjang jalan di kawasan Pantai Pelangi, Trengginas melihat banyak cafe, restoran, toko souvenir, hotel, homestay, agent perjalanan wisata, toko peralatan wisata, dan hal-hal yang kadang tak ada hubungannya dengan wisata.
Setelah merasa puas berkeliling sepanjang Pantai Pelangi, dirinya berhenti di sebuah jalan yang di tempat itu sangat ramai. Dilihatnya ada sebuah kafe yang sangat menarik bagi dirinya, yakni sebuah bangunan cafe yang mirip rumah cowboy, terbuat dari kayu dan bertingkat. Di pintu masuk cafe itu tertulis plang besar Cafe Boncel. Ia pun memarkir sepeda motor dan menuju ke cafe itu.
Di dalam cafe suasana sangat ramai, pengunjung sudah memenuhi kursi dan meja yang ada, di sebuah ruang pojok nampak bule, baik cowok dan cewek saling bercengkerama, di sebelah ruang tengah terlihat seorang bule cewek yang sedang asyik ngobrol dengan seorang pria pribumi. Trengginas memilih ruangan yang berada di lantai 2, sebab di lantai itu dirasa masih banyak kursi kosong. Di lantai 2 dirinya tidak hanya mendapat kursi, namun pandangan yang lebih luas dan bisa dengan jelas melihat sebuah layar film ukuran sedang  di ruang tengah. Layar film ukuran sedang yang biasanya memutar film-film dewasa itu bisa dilihat dari lantai 1 maupun lantai 2.
"Pesan minuman apa?" tanya pelayan cafe kepada Trengginas. Mendapat tawaran seperti itu dengan spontan menjawab, "Sprite." Sambil menunggu minuman yang dipesan datang, dirinya celingak-celinguk melihat suasana cafe yang pertama kali dikunjungi itu. Ia melihat ada seorang bule cewek, dengan pakaian sedikit terbuka, sedang duduk sendiri. Bule cewek itu nampak asyik merokok dan di atas mejanya nampak sebuah botol minuman beer. Kepulan asap sering keluar dari mulut bule cewek itu.
"Silahkan minumannya," ujar pelayan itu kepada Trengginas. Datangnya pelayan itu mengganggu keasyikan dirinya ketika melihat bule cewek. Untung pelayan segera pergi dan ia kembali melihat bule cewek yang sendirian. Ia ragu-ragu menghampiri, takut kalau merasa diganggu bila didekati. Rupanya dirinya tidak kuat untuk mendekati bule cewek itu dan dengan agak gemetaran dihampiri. "Hai," ujar Trengginas. Bule cewek itu dengan tersenyum menjawab, "Hai juga." "Boleh Saya duduk sini," Trengginas duduk di sebelahnya. "O, silahkan," jawab Bule cewek itu. "Siapa nama Kamu?" tanya Trengginas. "Kate," jawabnya.
Dua anak manusia beda ras itu akhirnya nampak akrab dan ngobrol. "Kamu bisa besok antar Aku melihat gunung, tebing, dan danau, di pulau ini?" Kate mengharap Trengginas bisa mengantar dirinya wisata. Mendapat ajakan itu, Trengginas seperti mendapat rejeki dari langit yang tak ternilai harganya, sehingga dia pun langsung mengatakan, "Bisa, bisa, bisa." Mendapat jawaban seperti itu Kate tertawa cekakan. "Baik kalau begitu besok ketemu di Hotel Novital. Kamu tunggu di loby jam 08.00, Ok?" Kate berjanji. "Ok," balas Trengginas. "Baik sekarang Aku mau balik ke hotel, capek karena dari siang sampai sore Aku berenang di pantai," Kate minta ijin meninggalkan Cafe Boncel.
Ketika Kate pulang hati Trengginas kecut dan kesal sebab dirinya belum puas menikmati cantik wajah Kate. Namun dirinya senang besok bertemu kembali. Ketika Kate berdiri di depannya, Trengginas melihat kesempurnaan tubuh wanita dari Australia itu, memiliki tubuh yang tinggi, berambut pirang, berkulit putih kemerahan, dan lekukan tubuh yang seksi. Melihat mata Trengginas nakal, Kate tersenyum. "Selamat malam, sampai jumpa," sapanya dan pergi meninggalkan Trengginas sendiri.
Saking asyik ngobrol dengan Kate, dirinya lupa bahwa sprite yang dipesan masih di meja tempat duduknya tadi dan belum diminum, ia pun segera kembali ke meja itu, dibuka tutup botolnya dan glek, glek, glek, minuman itu dimasukan ke dalam mulutnya.
***
Pagi-pagi Trengginas sudah duduk di loby Hotel Novital. Ia menunggu Kate keluar dari kamar. Hari itu Kate minta diantar keliling Pulau Swaba untuk melihat gunung, danau, dan suasana pedesaan. Loby hotel bintang 4 itu nampak luas. Dilihatnya banyak wisatawan dari luar negeri hilir mudik, ada yang mauk cek in, ada pula yang cek out.
Di sebelah loby, nampak ruang breakfast tampak penuh para tamu hotel sedang menikmati sarapan pagi. Kursi-kursi yang tersedia penuh oleh para tamu yang sedang asyik sarapan. Aneka makanan, buah-buahan, minuman, dan kue yang tersedia, semua dicicipi oleh mereka. Bagi wisatawan asing, sarapan yang tersedia digunakan untuk merasakan enaknya makanan asli Pulau Swaba.
Di tengah menikmati rasa empuk sofa loby hotel, Trengginas dikejutkan oleh sapaan yang lembut, "Hei, selamat pagi." Suara lembut itu ternyata Kate. Dirinya pagi itu melihat Kate tampak cantik dan seksi, ia menggenakan kaos ketat berwarna putih dan celana jeans serta topi warna pink. "Apa Kamu sudah siap?" tanyanya. "Siap," ujar Trengginas dengan suara yang terburu-buru seperti orang bernafsu.
Mereka berdua, ketika berjalan nampak sangat lucu, Kate bertubuh tinggi dan seksi sedang Trengginas bertubuh pendek dan gemuk. Meski demikian Kate tidak mempermasalahkan perbedaan fisik itu. Kate berdiri menunggu di depan hotel, dan Trengginas mengambil sepeda motor yang diparkir. Tak lama kemudian, sepeda motor yang dikendarai itu sudah di depannya dan Kate pun membonceng sepeda motor.
Sepanjang jalan menuju tempat wisata, nampak Trengginas membual apa saja, entah Kate mendengar atau tidak bualan itu, dirinya hanya tersenyum dan kadang-kadang bilang, "O, ya?"
Ketika tiba di sebuah gunung yang menjulang tinggi, bak seorang pemandu wisata yang profesional, Trengginas menerangkan, gunung ini namanya Gunung Gejah, gunung ini merupakan gunung tertinggi di Pulau Swaba dengan ketinggian 3.500 meter di atas permukaan laut. Gunung ini berada di Kecamatan Slikur, Kabupaten Sroto. Gunung Gejah dulu pernah meletus sehingga penduduk di sekitarnya ditransmigrasikan ke pulau lain. Gunung Gejah merupakan gunung api yang memiliki kawah yang besar dan dalam, dari tempat itu sering mengeluarkan asap dan uap air.
Masyarakat di sekitar percaya di gunung itu  tempat bersemayam para leluhur dan di puncaknya dipercayai sebagai pusat kekuasaan dan kerajaan para leluhur. "Oleh sebab itu masyarakat sekitar tiap tanggal dan bulan tertentu mengadakan slametan," ujarnya.
Mendengar pemaparan itu, Kate tertegun dan sesekali mengatakan, "Wooo."
Selanjutnya Trengginas dan Kate menuju ke tempat wisata Danau Bulan. Trengginas memaparkan kepada Kate bahwa Danau Bulan adalah sebuah danau yang terletak di kawasan Pasopisa, Desa Bentar Abang, Kecamatan Ringin Limo. Danau Bulan adalah salah satu gugusan danau di kawasan itu, selain Danau Bulan, ada Danau Wulan, dan Danau Srengenge. Di antara danau yang ada, Danau Bulan yang merupakan danau tercantik sehingga leluhur mereka memilih di tempat itu untuk melakukan pemujaan kepada Dewi Langit Biru sebagai danau kebaikan dan kecantikan. "Tak heran di sini para penduduk khususnya perempuan suka membasuh mukannya dengan air danau agar awet muda," ujar Trengginas.
Di tempat-tempat itu Kate benar-benar menikmati, ia selalu mengambil foto dengan latar belakang tempat-tempat wisata itu. Ia selalu mengatakan, "Indahnya," ketika melihat pemandangan alam yang tidak dijumpai di negaranya. Bahkan saat di danau ia juga membasuh mukanya dengan air yang bening dan dianggap sakral. "Segar," ujarnya selepas membasuh muka dengan air danau.
"Tidak terasa malam akan tiba," ujar Kate. "Waktunya pulang," tambahnya. Trengginas pun mengiyakan. Sepeda motor itu pun mengarah ke hotel. Menjelang tiba di hotel, Kate berujar, "Saya ingin makan ikan bakar." Trengginas menuruti kemauan Kate. Dengan segera ia mengarahkan sepeda motor ke rumah makan ikan bakar yang berada di tepi pantai. Ketika tiba di tempat itu, sudah banyak orang berada di rumah makan ikan bakar yang paling enak di Pulau Swaba.
Mereka berdua mencari tempat duduk yang kosong. Untung masih ada tempat duduk yang kosong untuk dua orang. Tak lama setelah mereka duduk, pelayan mendatangi mereka dan menyodorkan menu makanan dan minuman. Kate memilih ikan bakar kerapu dan ice juice buah naga, sedang Trengginas cukup memilih nasi goreng dan teh manis.
"Tadi perjalanan yang menyenangkan," kata Kate ketika menunggu makanan datang. "Iya, perjalanan yang menarik," sahut Trengginas. "Saya suka jalan-jalan di pulau ini," ujar Kate lagi. Mereka pun asyik ngobrol. Makanan dan minuman yang dipesan akhirnya tiba. "Silahkan," ujar pelayan itu dengan ramah. Kate tersenyum saat pelayan itu menyilahkan dengan ramah. Entah karena lapar atau enak rasanya, Kate sangat menikmati menu itu, sehingga duri ikan itu pun masih dinikmati. "Sangat lezat," "Ini makanan yang enak," ujarnya. Mendengar rasa senang Kate, Trengginas hanya tersenyum. "Ok, Kamu tunggu di sini Aku mau bayar," kata Kate kepada Trengginas sambil dirinya menuju cashier. Beberapa lebar uang dikeluarkan dari tas kecil dan lunas sudah semua makanan yang dipesannya.
"Ayo sekarang Kita ke hotel," ajak Kate. "Ok," sahut Trengginas. Mereka berdua pun dengan sepeda motor kembali menuju ke hotel. Sampai di hotel, Trengginas membawakan souvenir yang dibeli Kate hingga kamar. Di kamar 205 itulah Kate tidur. Trengginas ikut masuk kamar. Souvenir yang dibeli ditaruh di meja dan ia duduk di kursi yang ada. "Kamu senang di kamar ini?" tanya Kate. "Senang sekali," jawab Trengginas dengan wajah yang cerah. "Ok, Aku mau mandi dulu," Kate pun menuju kamar mandi. Kamar mandi itu berdinding kaca sehingga transparan sekali ketika ia berada di dalamnya apalagi saat lampu di kamar mandi itu dinyalakan sehingga jelas sekali tubuh Kate terlihat dari luar. Melihat hal yang demikian, jantung Trengginas berdetak kencang, keringat dingin keluar dari tubuh, matanya tak bergerak memandang bayang-bayang Kate yang terlihat jelas. Tubuh Kate yang tinggi, lekukan tubuh yang sexy, jelas tergambar.
Setengah jam sudah Kate mandi, ia keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang dililitkan dalam tubuh. Detak jantung Trengginas semakin tidak karuan ketika ia keluar dari kamar mandi dan berdiri tidak jauh darinya. "Hai, jangan diam saja," ujarnya ketika melihat Trengginas diam seribu basa. Entah siapa yang menggerakkan tubuh Trengginas mendekat ke arah perempuan itu, Kate yang membelakangi Trengginas tidak sadar kalau laki-laki yang mengantar jalan-jalan tadi mendekat. Ia kaget ketika dirinya di dekap oleh tubuh yang pendek dan gemuk. "Hei, apa yang kamu kerjakan," ujarnya.
Rupanya Trengginas tidak menggubris kata-kata itu, bak seperti gundel yang kehausan susu induknya, ia menerjang tubuh Kate dengan naluri anak kebo. Bergerak tak karuan tubuh Trengginas mendekap tubuh Kate. Kate yang awalnya hendak menghalau tubuh Trengginas, entah kenapa tiba-tiba tidak mampu, meski tubuh Trengginas pendek dan gemuk, namun tenaganya begitu kuat ketika mendekap tubuh Kate.
Didorongnya tubuh Kate ke atas ranjang dan naluri gudel pada diri Trengginas muncul demikian kuatnya, sekarang yang muncul hanya nafas-nafas yang berpacu dengan suara ranjang yang berderit-derit. Lenguhan dan rintihan Kate muncul saat nafsu  Trengginas menjadi nafsu hewan.
"Ahh," Trengginas pun terguling di samping Kate ketika puncak nafsunya tercapai. Kate pun demikian juga. Setelah terdiam beberapa saat, selanjutnya Kate mulai mengeluarkan isi hatinya, "Trengginas mengapa Saya melakukan hal demikian kepadamu?" Kate pun menjawab sendiri, "Saya lagi ada masalah dengan suamiku. "Masalah apa yang menimpa Kamu?" tanya Trengginas yang masih tergolek di sampingnya. Kate pun menceritakan, suaminya adalah seorang politisi yang ternama. Namun saat ini dirinya telah mengundurkan diri. Ia mengundurkan diri bukan karena korupsi, namun terungkap melakukan selingkuh dengan sekretarisnya. "Meski negara Kami penuh kebebasan namun masalah selingkuh bisa mencoreng muka pejabat publik," ujarnya. "Pejabat publik di negara Kami dituntut untuk selalu berbuat baik," tambahnya.
Kate pun melanjutkan, suamiku tidak hanya mempermalukan keluarga namun juga membuat elektabilitas partai tempat suamiku bernaung menjadi turun. Saya menikah dengan dia sudah 15 tahun dan memiliki 3 anak. Saya yakin ini adalah ulah oposisi dengan operasi intelijen yang ingin menjatuhkan posisi suamiku dan partainya. Bukti-bukti perselingkuhan yang dilakukan melalui email, semuanya diekspos ke publik. "Ini sangat memalukan," ujar Kate geram.
Akibat perselingkuhan itu, suamiku mengundurkan diri. Ia tidak kuat dengan desakan dari kalangan oposisi dan press. Padahal suamiku mempunyai jasa besar terhadap bangsa dan negara. Ia mampu mencairkan ketegangan negara Kami dengan musuh-musuhnya. Tak hanya itu, suamiku juga mampu memperjuangkan kelompok minoritas, gay, homosex, lesbi, untuk bisa duduk dalam parlemen, aparat pemerintah, polisi, dan militer. "Sudahlah ini mungkin nasibku, suamiku, serta keluargaku," ucap Kate.
Suasana kamar itu menjadi hening. Selanjutnya karena rasa capek setelah berwisata dan melakukan hubungan tak sesuai dengan norma agama dan ketimuran membuat mereka akhirnya langsung terlelap dalam tidur.
Sinar matahari membangunkan lelap tidur Trengginas, dilihatnya Kate masih nampak pulas, ia enggan membangunkan. Ia lupa bahwa hari itu dirinya harus kuliah, ia pun menulis pesan di atas kertas dan diletakkan di meja. Pesannya ia mau kuliah dan nanti malam mau bertemu kembali.
***
Terlambat sudah Trengginas tiba di Gedung BC, dengan demikian kalau dirinya tetap masuk ruangan pasti akan disuruh keluar. Pagi Jam 10.00 hari itu adalah mata kuliah Kewiraaan. Dosennya adalah Kolonel Soeprapto. Sebagai seorang tentara tentu Soeprapto menegakkan disiplin yang tinggi saat mata kuliahnya, mahasiswa yang terlambat datang dilarang masuk. Tak hadir berarti akan mempengaruhi nilai akhir saat ujian.
Dengan muka cemberut, Trengginas duduk di samping Gedung BC. Ia menyesal mengapa tadi malam tidak pulang saja dari Hotel Novital sehingga dirinya tidak terlambat datang. Namun dalam hati ia berpikir kalau pulang malam pasti ia tidak bisa bersenang-senang dengan Kate.
"Hai Kamu mengapa tidak kuliah," seorang mahasiswa senior menyapa. "Terlambat datang," jawabnya. "O, pantas. Memang Pak Soeprapto terkenal disiplin," ujar senior itu. Trengginas hanya tersenyum. "Mau rokok?" seniornya menyodorkan rokok kepadanya. "Nggak ah, nanti kecanduan," jawab Trengginas. "Saya dulu begitu seperti Kamu nolak merokok namun sekarang kecanduan tapi nggak masalah bagiku," senior itu menerangkan sambil menghembuskan asap dari rokok yang dihisap.
"Kamu kok nggak pulang saja kalau nggak masuk kelas," senior itu bertanya. "Jam 12.00 ada kuliah Teknik Dasar," jawab Trengginas. "O, sama dong Aku juga kuliah itu," seniornya menimpali. "Kok baru sekarang kuliah?" Trengginas balik bertanya. Dengan tersenyum, seniornya berujar, "Ya biasa, nggak lulus, dosennya pilih kasih." "Pilih kasih gimana?" Trengginas penasaran dengan jawaban itu. "Nilai A, B, C, D, E, dan F, dilihat siapa mahasiswanya. Kalau kenal dikasih lulus, kalau nggak kenal nggak dikasih lulus," jawab senior dengan santai.
Di tengah perbincangan keduanya tiba-tiba mahasiswa yang mengambil mata kuliah Kewiraan berhamburan keluar dari ruang. Dengan demikian berarti kuliah sudah selesai. Wajah mereka nampak ada yang kecapekan, ada pula yang berseri-seri. Mereka kemudian bergerombol menunggu kuliah selanjutnya.
Dari kejauhan nampak dosen mata kuliah Teknik Dasar sedang berjalan menuju ke Gedung BC. Melihat dosen datang, semua bergegas masuk ke dalam ruangan, termasuk Trengginas. Anehnya para mahasiswa memilih tempat duduk yang belakang sehingga kursi yang depan nampak kosong, entah mengapa mereka melakukan yang demikian.
Dosen yang bernama Ponikek itu sudah berada di depan mereka dan selanjutnya mengajarkan teknik-teknik dasar dan konsep-konsep teknologi. Mendapat mata kuliah itu, sepertinya ada mahasiswa yang serius mengikuti, ada pula yang ogah-ogahan, bahkan ada yang mengisi buku teka-teki silang yang dibeli di bus kampus tadi. Trengginas sendiri nampak tidak konsentrasi pada mata kuliah itu, ia berharap agar kuliah itu segera selesai dan segera malam agar dirinya cepat bertemu dengan Kate.
"Ada pertanyaan," ujar Ponikek selepas menjelaskan mata kuliah yang diajarkan. Tak ada yang menjawab pertanyaan dari Ponikek. "Ok, kalau begitu mata kuliah ini Kita akhiri dan minggu depan kuis," ucapnya. Mendapat pernyataan itu di satu sisi mahasiswa senang karena kuliah cepat berakhir, namun di sisi lain mereka deg-degan sebab minggu depan mereka kuis. Trengginas tidak peduli ada kuis minggu depan, yang penting hari itu mata kuliah cepat diakhiri.
***
Malam itu sekitar pukul 19.00, Trengginas telah memarkirkan sepeda motor pinjaman dari Ibu Kos di tempat parkir Hotel Novital
Ia bergegas menuju loby, tidak langsung duduk namun menuju receptionist, "Maaf bisa dihubungkan dengan Kate kamar nomor 205." "Baik Bapak, mohon ditunggu," ujar seorang receptionist yang berwajah anggun itu. Ia pun mengecek di daftar nama nama dan kamar yang disebut. "Maaf Bapak, tamu nomor 205 sudah cek out tadi siang," ujar receptionist sambil memandang Trengginas. "Sudah cek out?" tanya Trengginas. "Iya Bapak, dia sudah cek out dan mengatakan akan kembali ke negaranya," sahut receptionist lainnya.
Mendengar  jawaban itu wajah kecewa terlihat di muka Trengginas. "Terima kasih," ujarnya kepada receptionist dengan suara lemah. "Sama-sama Bapak," receptionist menjawab secara serempak.
Dengan sedikit gontai, Trengginas melangkah menuju tempat parkir dan diambil sepeda motornya. Untuk mengenang saat pertama kali bertemu dengan Kate, ia ingin mengunjungi Cafe Boncel. Arah sepeda motor yang dikendarai menuju ke tempat itu, namun saat sampai di Cafe Boncel, cafe itu sudah penuh, pengunjung terlihat ada yang kembali karena di dalam sudah tak ada kursi yang kosong.
Kecewa, ia pun putar-putar tidak karuan di tempat wisata Pantai Pelangi, sampai akhirnya merasa kehausan. Ketika berhenti di sebuah tempat, Â ia melihat ada sebuah cafe yang kelihatan tidak ramai. Cafe yang depannya dihiasi dengan anyaman bambu itu menarik Trengginas untuk masuk ke dalam. Benar dugaannya, setelah berada di tempat itu kursi-kursi yang ada tak ada yang menduduki. Meski pengunjung hanya satu, dua orang, namun cafe itu tetap memutar film. Tamu yang ada tengah menikmati film cowboy. Trengginas pun duduk di tempat yang paling pojok. Sebuah minuman kesukaannya sprite dipesan.
Saat menikmati film, tiba-tiba dirinya melihat seorang bule cewek sendirian masuk ke dalam cafe. Dengan berpakaian baju lengan pendek dan rock selutut, bule cewek itu duduk di kursi bagian tengah. Dengan memberi kode kepada pelayan, bule cewek itu memesan minuman pinacolada. Ketika pesanan pinacolada disuguhkan, bule cewek langsung menikmati sambil menonton film yang ditayangkan.
Melihat hal yang demikian, Trengginas berpikir ini kesempatan untuk berkenalan dengan dia. "Hai, apa kabar," sapanya. Sapaan itu dicuekin, meski demikian Trengginas tetap duduk di sampingnya. Bule cewek itu acuh. "Enak ya minumannya," Trengginas memancing pembicaraan. "Kamu siapa," bule cewek itu bertanya dengan nada sedikit judes. "Saya Trengginas anak pantai," ujarnya dengan tertawa ngakak. "O, anak pantai?" bule cewek itu sedikit mulai terbuka. "Bagus anak pantai," ujarnya lagi. "Siapa nama Kamu?" tanya Trengginas. "Sheverine," cewek bule itu memperkenalkan diri. "Woo nama yang bagus," Trengginas memuji.
"Mengapa Kamu ada di sini?" tanya Sheverine. Trengginas pun menceritakan pengalamannya saat bertemu Kate dan pergi ditinggal tanpa pesan. "Woo, cerita yang menyedihkan," Sheverine menggumam dengan lirih. Â "Tidak masalah, mungkin Kamu nanti bisa bertemu dengan Kate lagi," Sheverine tersenyum. Keduanya pun terlibat pembicaraan yang asyik, kadang-kadang terdengar gelak tawa dari tempat itu. Obrolan semakin akrab ketika Sheverine memesan bir. Â
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 23.00, "Saya akan kembali ke hotel," Sheverine beranjak dari kursinya. Trengginas pun nampak kecewa, dirinya belum puas ngobrol sambil memandang wajah Sheverine yang ayu.
Ketika Sheverine meninggalkan Cafe dan berjalan menuju ke hotel, Trengginas menempelnya dan masih mengajak ngobrol, Sheverine dengan ogah-ogahan melayani obrolan itu. Sampailah di depan kamar hotel di mana Sheverine tinggal. Kunci elektrik digesek, klik, terdengar dan warna hijau muncul di tempat suara itu. Sheverine masuk ke dalam kamar dan Trengginas juga ikut masuk, entah kenapa perempuan berambut pirang itu tidak protes ketika Trengginas ikut masuk ke dalam.
Trengginas duduk di kursi di depan televisi kamar hotel. Sheverine masuk ke dalam kamar mandi dan berganti pakaian. Trengginas kaget ketika perempuan jangkung itu keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan celana dan BH string. Sheverine menarik Trengginas ke dalam tempat tidur. Selanjutnya Trengginas berubah menjadi seekor gudel anak kerbau yang haus menyusu ke induknya. Tenaga manusianya berubah menjadi tenaga hewan ketika harus bergumul dengan Sheverine. Bak seperti anak kerbau yang tidak lama kena air, Trengginas menggelepar gelepar di atas tubuh Sheverine. Sheverine yang bertubuh jangkung dan lebih besar dibanding tubuh Trengginas yang pendek dan gedut pun tak kuasa menahan gejolak nafsu Trengginas.
"Ahhh," keduanya pun secara serentak mengucapkan demikian ketika berada di puncak nafsu. Selesai melakukan perbuatan itu, Sheverine langsung bangkit dan menuju ke meja, diambilnya beberapa lembar dollar dan berujar. "Uang buat Kamu, sekarang  pergi," ujarnya dengan nada tegas. "Mengapa pergi?" ujar Trengginas. "Keluar, keluar!" ujar Sheverine sambil melempar beberapa lembar uang bergambar George Washington ke muka Trengginas. "Ok, Ok," jawab Trengginas. Ia pun segera memakai baju dan celananya dan mengambil uang yang tercecer dan selanjutnya pergi meninggalkan kamar Sheverine.
Sheverine adalah seorang istri yang tidak bahagia. Ia sebenarnya mencintai suaminya, namun suami lebih sibuk mengurus kerjanya, sehingga Sheverine suka ditinggal sendiri di rumah. Ketika kebutuhan biologis jarang dipenuhi inilah yang membuat dia mencari laki-laki lain untuk memuaskan. Bagi Sheverine apa yang dilakukan itu bukan atas nama cinta namun untuk kebutuhan jasmani. Hatinya masih berharap agar suami memberi dia cinta sesungguhnya.
***
"Trengginas kenapa Kamu kok jarang kelihatan di kos," ujar Ibu Kos. Mendapat pertanyaan itu dirinya hanya tersenyum, "Biasa Bu, cari proyek." "Kalau niat kuliah ya harus rajin ke kampus, jangan main saja," Ibu Kos menasehati. "Wakakakakkak," Trengginas tertawa lebar. Pada hari itu suasana kos terlihat ramai, teman-temannya, baik sefakultas atau lain fakultas sedang berkumpul, Trengginas pun ikut nimbrung dan ngobrol macam-macam dari pengalaman di kampus maupun pengalaman pribadi. Di situ ada temannya seperti si Ulang, Eling, Onoy, Kojed, Siful, Sidar, Ingko, dan Firan.
Teguran dari Ibu Kos kepada Trengginas membuat dirinya malam itu tidak keluar rumah. Digunakan waktu yang ada untuk menambah keakraban diantara anak kos.
***
Di dekat ruang administrasi, terlihat para mahasiswa sedang mengerubungi sebuah pengumuman. Mereka dengan teliti dan seksama membaca selembar kertas yang menerangkan sesuatu. "Apa nih?" ujar salah seorang mahasiswa. "Pengumuman beasiswa," ujar mahasiswa yang lain. "Syaratnya apa?" tanyanya lagi. "Indeks prestasi minimal 2,75," jawabnya lagi. "Wah nggak cukup Aku. Indek prestasiku cuma 2,3," ujarnya dengan cengengesan. Mahasiswa yang mengatakan dengan cengengesan karena ia termasuk mahasiswa yang malas.
Trengginas yang ada di tempat itu terlihat seksama melihat pengumuman. Ia hanya meringis. Satu per satu mahasiswa meninggalkan tempat itu dan pergi ke tempat kuliah masing-masing. Hari itu Trengginas akan kuliah Mekanika. Ia pun menuju ke Gedung DC. Di salah satu ruang gedung itu kuliah diadakan. Sampai di gedung itu, sudah ada puluhan mahasiswa nongkrong menunggu dosen datang.
Menjelang jam kuliah tiba, dosen pun terlihat di muka para peserta kuliah dan masuk ke dalam ruang kuliah. Seperti biasa, saat kuliah berlangsung Trengginas tidak serius mengikuti, pikirannya hanya tertuju pada Pantai Pelangi. Ia selalu berharap agar kuliah cepat selesai dan malam segera tiba agar dirinya bisa pergi ke sana.
***
"Trengginas Kamu mau ke mana?" tanya Ibu Kos ketika dirinya hendak menghidupkan mesin sepeda motor. Â "Belajar ke rumah teman," kata Trengginas berbohong, padahal ia hendak ke tempat wisata Pantai Pelangi."Nah itu namanya mahasiswa teladan," Ibu Kos itu terhibur dengan ucapan anak kosnya. "Hati-hati ya di jalan," Ibu Kos berujar lagi. "Ok," sahut Trengginas dengan mantap sambil perlahan-lahan menarik gas sepeda motor sehingga kendaraan roda dua itu berjalan.
Sampailah ia di tempat cafe di mana dirinya bertemu Sheverine. Ia seperti biasanya duduk di bagian pojok belakang. Ia pergi ke cafe bukan untuk mencari hiburan namun mencari bule cewek. Hatinya bergembira ketika ada seorang bule cewek datang. Bule cewek itu menuju ke cashier dan memesan makanan dan minuman. Dalam hati Trengginas, "Ini dia rejeki." Selepas memesan makanan dan minuman, bule cewek itu mencari tempat duduk dan dipilihlah di bagian tengah. Tanpa basa-basi dan tak mau membuang waktu, Trengginas langsung menghampiri, "Hei," sapanya. Bule cewek itu sedikit terperanjat dan membalas," Hei juga." "Boleh Saya duduk di sini," Trengginas basa-basi berkata demikian. "Silahkan," ujar bule cewek itu dengan nada datar. "Nama Saya Trengginas," ujarnya. "O, Nama Saya Eve," balas bule cewek itu. "Nama yang bagus," puji Trengginas.
Tiba-tiba datanglah seorang bule cowok yang berbadan besar menghampiri mereka. "Hei kekasih," ujar Eve kepada bule cowok itu. "Ini pacar Saya," ujar Eve kepada Trengginas. Mendengar ia pacarnya, harapan Trengginas menjadi buyar dan kecewa sehingga ia cepat-cepat ingin meninggalkan tempat duduk itu. "Nama Saya James," pacar Eve itu mengulurkan tangan tanda ingin berkenalan dengan Trengginas. Trengginas dengan tersenyum menyambut uluran tangan dan tidak menyebut nama dirinya. "Maaf, Saya mengganggu Anda," ujar Trengginas dengan wajah memelas. "Saya pindah tempat kalau begitu," ujarnya lagi. Mendengar perkataan itu Eve dan James tertawa.
Dirinya kembali ke tempat duduk semula. Sekarang dirinya hanya bisa melihat Eve dan James asyik dan mesra ngobrol berdua. Ia berpikir malam itu dirinya tidak bertemu dengan bule cewek. Di tengah rasa gundah, ia melihat seorang bule cewek dengan tubuh gemuk dan agak pendek datang di cafe. Ia langsung duduk di tempat yang tidak jauh darinya. Melihat bule cewek yang demikian, Trengginas kurang bersemangat untuk mendekati. Dirinya hanya duduk termangu. Namun entah kenapa, pikirannya berubah saat hendak pulang, ia ingin berkenalan dengan bule cewek itu. Karena sudah biasa, ia langsung mendatangi dan duduk begitu saja di sampingnya. Karena sudah tahu Trengginas akan menghampirinya maka ia tidak kaget. 'Hei," sapa Trengginas. Bule cewek itu tersenyum, dan ia langsung mengatakan, "Bisa Kamu mengantar ke hotel Aku yang jaraknya agak jauh dari sini. Kamu cuma menghantar saja." Mendapat permintaan yang tiba-tiba, sebenarnya Trengginas jengkel. Dalam hatinya mengatakan, "Emangnya Aku tukang ojek. Namun ia tidak peduli dengan sikap yang demikian, ia malah berpikiran sebaliknya bahwa ini peluang untuk mendapatkan apa yang diinginkan sehingga ia mengatakan, "Pasti bisa." "Ok, setelah Aku minum Kita langsung pergi," kata bule cewek yang namanya Sherli.
Dengan beberapa kali teguk, minuman yang dipesan itu sudah habis. "Ok, ayo," Sherli mengajak Trengginas meninggalkan tempat itu. Diboncenglah Sherli. Trengginas mengarahkan sepeda motornya ke hotel tempat yang dituju. Dalam perjalanan, rupanya tangan Sherli memeluk badan Trengginas. Mendapat sentuhan yang demikian, nafsu gudel Trengginas secara sontak keluar. Dengan reflek kegudelan tangan Sherli oleh Trengginas ditarik dan diletakkan di bawah pusar, tepatnya di bagian vital Trengginas. Mendapat perlakuan yang demikian, Tangan Sherli tidak berontak, malah ia membuka resleting celana Trengginas dan memegang serta memainkan bagian vital itu.
Pasti Trengginas menikmati dan menyukai apa yang dilakukan Sherli. Agar permainan itu lama, jarak hotel yang sebenarnya sudah dekat, oleh Trengginas arah sepeda motor dialihkan ke jalur yang lain supaya menjauh dari tempat tujuan. Hal itu diulang-ulang, begitu hendak mencapai tujuan, dialihkan lagi arahnya, baru setelah ada yang keluar dari bagian vital milik Trengginas, arah sepeda motor  benar-benar menuju ke hotel yang hendak dituju.
Begitu tiba di depan hotel, Sherli langsung turun dari boncengan. "Ok, terima kasih," ujarnya sambil memberi uang kepada Trengginas dan meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Sebab Sherli tidak seperti Kate, Sheverine, dan Eve, dirinya tidak membuntuti hingga masuk kamar.
***
Gelak tawa anak-anak kos itu berhenti ketika Bendar datang. Bendar adalah anak Jurusan pariwisata Universitas Silada. Ia biasa sering main ke tempat kos itu. "Apa kabar Ndar," sapa Onoy. "Sip deh," balas Bendar. "Gimana kuliah prakteknya," tanya Kojed. "Banyak  pengalaman baru," ungkap Bendar. "Apa tuh pengalaman barumu," Sidar ingin tahu.
Bendar bercerita, saat di Pantai Pelangi, dirinya bertemu dengan bule cewek, meski umurnya sudah lebih dari 40 tahun, namun masih kelihatan seger. "Dia mengaku kerja sebagai perawat di negaranya," ujarnya,  "Selanjutnya dia mengundang Aku makan malam." Mendengar cerita itu semua secara serentak berkata, "Woooo." "Namun Aku nggak mau," ujar Bendar dengan tersenyum. "Karena Aku ada acara lain," tambah Bendar. "Goblok  Kamu Ndar," ujar Firan. "Iya sih akhirnya Aku nyesel, aku menolak sebenarnya jangan image saja," kata Bendar dengan tersenyum. "Biasanya habis makan malam diajak begituan," kata Si Ulang. "He, he, he, he," Bendar tersenyum menyesal.
***
Hari itu halaman Kampus Universitas Silada penuh dengan mahasiswa. Mereka berkumpul di tempat itu sedang melakukan demonstrasi, menuntut agar rektorat memperhatikan transportasi kampus. Selama ini transportasi kampus dirasa terlalu mahal sehingga membebani biaya hidup mahasiswa. Mahasiswa menuntut agar rektorat menyelenggarakan bus kampus yang murah. "Kami menuntut transportasi kampus yang murah," ujar seorang demonstran.
Demonstrasi itu membuat angkutan yang ada mogok jalan sehingga pelaksanaan kuliah terganggu. Hal demikian justru membuat Trengginas senang, sebab para mahasiswa sepakat tidak kuliah dengan alasan ikut demonstrasi. Namun aneh, dirinya tidak ikut dalam demonstrasi, malah pergi ke Pantai Pelangi.
Pantai Pelangi siang itu terlihat ramai, wisatawan dalam negeri dan luar negeri memenuhi pantai yang bergelombang indah. Wisatawan luar negeri menggunakan kesempatan itu untuk berjemur sehingga pandangan orang di pantai itu tertuju pada bule-bule cewek yang hanya menggunakan baju pantai. Apalagi yang berjemur bule cewek yang masih muda pasti menjadi sorotan banyak mata.
Trengginas berada di tengah orang yang menikmati indahnya Pantai Pelangi. Matanya mengawasi kalau-kalau ada bule cewek yang bisa didekati. Celingak celinguk, melihat sana melihat sini, pada perangainya. Kesabaran  rupanya berbuah hasil. Dilihatnya dua bule cewek terlihat sedang duduk di bawah pohon.  Dua bule cewek itu nampak kelelahan setelah menyusuri pantai. "Hei," sapa Trengginas. Dua bule cewek itu hanya tersenyum. "Lelah ya," ujarnya memancing perhatian. Dua bule cewek itu masih tersenyum saja. "Nama Saya Trengginas," ujarnya. "Woo," ujar salah satu bule cewek itu. "Ok, namaku Hannah," ujar bule cewek itu. Bule cewek satunya tersenyum, "Saya, Victoria." "Kamu anak pantai?" tanya Hannah. "Betul," jawab Trengginas. Hannah dan Victoria tersenyum.
Ketiganya mulai ngobrol, Trengginas bertanya macam-macam tentang keduanya dari asal usul dan sudah ke mana saja berwisata di Pulau Swaba. Setelah melayani bualan Trengginas, Victoria dan Hannah mengatakan ingin kembali ke hotel. Â "Ok, Kita akan kembali ke hotel," ujar Victoria mengakhiri obrolan itu. Â "Boleh Saya pergi ke tempat Kamu menginap?" tanya Trengginas. Hannah dan Victoria tidak menjawab. Ia begitu saja meninggalkan Trengginas. Merasa tak diperhatikan, Trengginas mengikuti dari belakang ke mana Hannah dan Victoria berjalan. Untuk mengakrabkan suasana Trengginas mencoba membual kembali.
Tak beberapa lama, tibalah mereka di hotel yang ditempati kedua perempuan itu. Hannah dan Victoria langsung menuju ke kamar. Trengginas masih mengikuti mereka hingga pintu kamar. Hannah dan Victoria tertawa lebar melihat Trengginas masih saja menyusul. Ketika mereka masuk kamar, mereka cuek ketika Trengginas ikut masuk.
Karena capek, Hannah dan Victoria langsung menuju tempat tidur, Hannah berada di sisi kanan, sedang Victoria berada di sisi kiri. Karena tempat tidurnya lebar maka di tengah kosong, dasar Trengginas ia ikut nggelosor di bagian tengah tempat tidur itu. Hannah dan Victoria cuek melihat perilaku Trengginas. Tak ada respon penolakan, nafsu gudel Trengginas muncul, dipeluknya Hannah dari belakang, Hannah diam, selanjutnya diraba-raba bagian dada Hannah. Melihat ada gerakan-gerakan di tempat tidur, Victoria membalikan badannya ke arah Trengginas. Dilihat Trengginas sedang meremas-remas dada Hannah.
Melihat hal yang demikian Victoria berang, "Hei Kamu keluar dari sini, Ia pacar Saya, Kita adalah lesbian." Mendengar kata-kata lesbi, Trengginas terkejut, sebetulnya dirinya tidak masalah dengan Hannah, namun karena Victoria berang, ia harus keluar, bila nekat pasti akan dilaporkan ke security hotel dan ia bisa diamankan dan dipukuli. Agar aman, ia pun bergegas keluar kamar. Â
***
Dengan tergopoh-gopoh Trengginas meninggalkan hotel tempat di mana Hannah dan Victoria tinggal. Dirinya sadar saat di luar hari sudah berganti, dari sore ke malam. Pergantian hari itu justru disyukuri, ia  malas pulang ke kos dan lebih memilih untuk tetap berada di kawasan wisata Pantai Pelangi.
Hotel tempat Hannah dan Victoria rupanya tidak jauh dengan Cafe Boncel. Dengan berjalan kaki hanya ditempuh waktu 7 menit. Manusia bertubuh tambun dan pendek serta kepala botak itu menuju cafe yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan asing untuk ngobrol hingga larut malam.
Dari kejauhan ia melihat cafe masih sepi, dirinya senang dengan kondisi itu sebab ia bisa mendapat tempat duduk dan mengawasi kalau-kalau ada bule cewek datang. Dugaannya benar ketika berada di dalam Cafe Boncel, masih tersedia kursi-kursi kosong. Ia memilih tempat biasa yang ia tempati di lantai 2. "Pesan sprite ya," ujarnya kepada pelayan yang melintas. "Baik," jawab pelayan itu.
Sambil menunggu minuman yang dipesan, dirinya masih teringat peristiwa yang dialami, ternyata 2 bule cewek yang diincar adalah lesbi. Pantas saja ketika bertemu di pinggir Pantai Pelangi kedua bule cewek itu nampak mesra sering berangkulan. Lamunan itu buyar ketika pelayan menyodorkan minuman yang dipesan serta tagihan yang harus dibayar.
Dibukanya tutup botol minuman itu dan diteguk, gleg, gleg, gleg, tiga tegukan menghilangkan rasa haus yang ada di tenggorokan. Hilang rasa haus dirinya bertambah ketika melihat dua bule cewek naik ke lantai 2.
Dirinya girang bukan main sebab tubuh dan tampang 2 bule cewek itu lumayan cantik. Dua bule cewek itu duduk tidak jauh darinya. Sepertinya dua bule cewek itu baru pulang dari Pantai Pelangi, nampak bekas-bekas pasir di kaki dan tangga. Trengginas berpikir dua bule cewek itu habis berjemur.
Pelayan Cafe Boncel menghampiri mereka sambil menyodorkan daftar makanan dan minuman. Setelah mencatat pesanan, pelayan meninggalkan mereka dan selang tak lama datang kembali dengan membawa minuman mirip ice juice dan dua piring kentang goreng. Dua bule cewek itu menikmati minuman dan makanan itu. Di tengah asyiknya menguyah dan meneguk, Trengginas menghampiri, "Hei," sapanya. Diantara mereka langsung menjawab, "Ya." "Trengginas," ujarnya memperkenalkan diri. Bule cewek yang menjawab sapaan itu menyambut perkenalan itu, "Saya Elena." Sedang bule cewek yang satunya nampak cuek. "Kalau temannya itu namanya siapa?" tanya Trengginas pada Elena. "O, itu Tanya," Elena menerangkan.
"Habis berjemur?" Trengginas bertanya dengan sok akrab. "Betul, Kami habis berjemur," Elena menyahut. "Kamu berdua sangat cantik," Trengginas memuji. "Woo, terima kasih," Elena kegirangan. "Kamu siapa?", Tanya mulai berbicara. "Anak pantai," ujar Trengginas dengan tertawa lebar. Tertawanya bahkan sampai terdengar sampai ke lantai 1. "Gendut dan pendek," Tanya menyindir bentuk tubuh Trengginas. "Kamu mirip Danny De Vito," Tanya tertawa. Danny De Vito adalah pemain film Twins yang berpasangan dengan Arnold Schwazenegger. Arnold bertubuh tinggi besar, sedang Danny bertubuh gendut dan pendek. Mendapat sindiran itu, Trengginas hanya tersenyum. "Tidak masalah, Kamu hebat," Tanya menghibur.
Akhirnya mereka bertiga ngobrol, sudah satu jam mereka ngobrol, namun Trengginas tidak menangkap bahwa Elena dan Tanya membutuhkan dirinya. Trengginas berpikir daripada seperti itu mending dirinya pindah saja ke cafe yang satunya. "Saya mau pulang," ujarnya. "Mengapa pulang?" Elena pura-pura terkejut. "Ada janjian dengan yang lain," Trengginas beralasan. Ia pun beranjak, namun sebelum meninggalkan tempat itu tanpa basa-basi ia mencium pipi Elena. "Wooo," Elena kaget dan selanjutnya tertawa.
Dengan wajah penyesalan karena Elena dan Tanya ternyata tidak membutuhkan dirinya, Trengginas meninggalkan Cafe Boncel. Sepuluh langkah menjauh dari cafe, dirinya dihadang oleh tiga cowok berbadan tegap, rambut gondrong, nampak tato di tangan mereka dan ada giwang di telinga. Diantara 3 cowok itu, 2 memakai kaos hitam dengan bertuliskan nama grup rock heavy metal kesohor, Iron Maiden dan Sepultura, sedang satunya kaos bergambar penyanyi reagge dari Jamaica, Bob Marley. "Hei Kamu anak mana?!" gertak cowok yang memakai kaos bertuliskan Iron Maiden. "Kamu jangan seenak sendiri mengambil tamu di sini!" ujar cowok yang memakai kaos Sepultura. Tamu adalah istilah wisatawan asing di kawasan Pantai Pelangi. "Kami anak pantai di sini!" cowok yang memakai kaos bergambar Bob Marley membentak dengan suara keras.
"Saya anak desa sebelah," jawab Trengginas. "Mana buktinya, mana KTP-mu?" cowok yang memakai kaos Iron Maiden meminta bukti. "Apa hak Kamu minta KTP," Trengginas hendak mengelak. "Saya sudah sering melihat Kamu di sini mendekati cewek bule, enak saja kamu seperti itu. Yang di sini adalah jatah Kami," ujar pria yang memakai kaos Bob Marley. Tanpa diduga kepalan tangan ketiga cowok itu menghantam muka Trengginas, 'dassss' begitu bunyi benturan kepalan tangan menghantam muka. Belum selesai rasa sakit, mereka menambah dengan hantaman dan tendangan. Trengginas pun tersungkur dan babak belur akibat dikeroyok tiga cowok yang mengaku anak pantai itu.
Keributan itu rupanya memancing wisatawan yang melintas di depan Cafe Boncel. Mendengar keributan, satpam Cafe Boncel keluar dan menuju ke tempat itu, dilerainya pengeroyokan itu. "Sudah, sudah, selesai, selesai," ujar satpam itu. Setelah tahu bonyok, ketiga cowok itu dengan tanpa merasa salah meninggalkan Trengginas yang terkapar.
Satpam itu menghampiri, "Baik-baik saja kan?". "Sakit Pak," jawab Trengginas. "Mereka preman dan anak pantai di sini. Kami di sini enggan menegur kepada mereka sebab suka menggunakan cara-cara kekerasan bila lahannya diganggu," ujar satpam itu. "Maksudnya lahan itu apa Pak?" Trengginas tidak mengerti yang dimaksud dengan kata lahan yang diucapkan. "Ya masing-masing anak pantai memiliki wilayah-wilayah sendiri. Di wilayah masing-masing mereka menawarkan menjadi pemandu wisata kepada wisatawan luar negeri. Mereka senang bila yang dipandu adalah bule cewek atau cewek dari Jepang," paparnya. "Kejadian pemukulan seperti Anda ini bukan yang pertama kali, beberapa bulan yang lalu juga terjadi karena ada pengunjung seperti Anda keluar dari cafe dengan bule cewek," satpam itu menerangkan. Â
 ***
Kejadian dikeroyok tiga anak pantai membuat Trengginas trauma. Dirinya berpikir kalau ke Pantai Pelangi pasti merasa tidak aman dan nyaman, sebab anak-anak pantai pasti masih ingat dirinya
Untuk melanjutkan kegemaran mencari bule cewek, ia berpikir akan mencari tempat yang lain, yakni di Pantai Benur dan Nusa Delima.
Peristiwa itu juga membuat dirinya lebih sering berada di kos. Ia bisa berkumpul dengan Ulang, Eling, Onoy, Kojed, Firan, Sidar, dan teman kos lainnya. "Nggak ke Pantai Pelangi Nas?" tanya Eling. Trengginas hanya tersenyum, rupanya teman-temannya pada tahu kalau dirinya suka ke Pantai Pelangi. "Di sana enak ya kalau dapat bule cewek?" Eling bertanya lagi. Trengginas tersenyum lagi, Eling tidak tahu bahwa gara-gara suka mencari bule cewek ia dikeroyok 3 orang. Hal demikian membuatnya trauma. "Memang enak jadi gigolo," Ulang tiba-tiba berujar demikian. Mendengar kata-kata yang rendah itu rupanya membuat Trengginas tersinggung, "Apa Kamu bilang, gigolo?!" "Lha kalau bukan gigolo apa?" Ulang pun menjawab. "Heh kalau ngomong yang benar dong, Saya cari tamu," Trengginas membantah tuduhan itu sambil mendekat kepada Ulang. "Ha, ha, ha, Kamu kemarin kan cerita making of love dengan bule kan," Ulang mengungkapkan apa yang pernah diceritakan Trengginas.
 Rupanya Trengginas tidak diterima, dipegang kerah baju Ulang. Melihat ada keributan, Eling pun memisah, "Sudah, sudah, sama teman sendiri jangan ribut." "Kalau bilang gigolo lagi Aku matiin Kamu," Trengginas mengancam. "Ya memang gigolo," Ulang tak mau kalah dan tak takut ancaman. "Bubar, bubar," ujar Eling. Karena Eling di kosan orang yang paling dihargai maka akhirnya mereka bubar.
Trengginas masuk ke dalam kamar. Di kamar ia bercermin, dilihat wajahnya yang masih luka-luka, ia meraba luka-luka itu. Di tengah melihat luka-luka di cermin, dirinya secara tidak sadar melamun, dalam lamunannya tiba-tiba mendengar suara yang entah dari mana asalnya, "Hai Trengginas." "Sedang apa Kamu." Suara yang aneh itu semakin terdengar di telingan. "Kamu jadi gigolo ya sekarang?" mendengar kata yang pernah dilontarkan si Ulang itu dirinya terkejut dan berteriak, 'Tidaaaak." Rupanya teriakan itu membuyarkan lamunannya. Dipukul  cermin itu, 'braaakkkk,' kaca di cermin pecah dan berjatuhan.
***
      Seminggu sudah ujian akhir semester dilaksanakan, hari itu para mahasiswa pergi ke kampus hendak melihat nilai yang diraih. Trengginas pun demikian, ia juga ingin mengetahui hasil ujian akhir. Tak heran bila kampus saat itu ramai. Mereka berdebar-debar, nilai apa yang diraihnya.
Saat pintu gedung administrasi jurusan dibuka, semua segera menyerbu ruang pengumuman. Mereka ingin melihat nilai kelulusan pada setiap mata kuliah. Saat melihat hasil ujian, terdengar suara kegirangan, ada pula suara kegeraman. "Hore Aku lulus," ujar salah seorang diantara mereka. 'Sialan Aku sudah belajar masih saja dapat nilai D," ucap yang lain sambil menahan amarah. Trengginas yang berada dikerumunan nampak kelihatan pucat, dari 8 mata kuliah hanya 2 yang lulus, yakni mata kuliah Kewiraan dan Agama yang mendapat nilai B dan A, sedang 6 mata kuliah yang lain ia hanya mendapat nilai E dan D. Dengan demikian, 6 mata kuliah harus diulangnya pada semester depan. "Sialan ini gara-gara kebanyakan ke pantai,"gumamnya.
Ia dongkol, ia ingin melampiaskan kekecewaan, namun ke mana dan mengapa. Biasanya ia melampiaskan kekecewaan dengan pergi ke Pantai Pelangi, namun ia masih trauma dengan 3 anak pantai yang telah mengeroyoknya. Akhirnya ia melampiaskan kekecewaan dengan pergi ke warnet. Sesampai di warnet di samping kampus, dibuka situs-situs porno seperti www.xxx.com. Ia baru sadar kalau dirinya memiliki alamat email, dibukanya www.yahoo.com, dan diketik alamat sandi rahasia email. Begitu membuka, ia kaget banyak menerima kiriman dari netter, entah yang dikenal atau tidak, tapi ada satu yang diingat yakni email-nya Aling, teman di kampung dan satu sejak SD hingga SMA. Dibukalah surat dari temannya itu, tertulis Aling ingin melancong ke Pulau Swaba dan ingin bertemu dengan dirinya. Kapan dan di mana bertemu di email itu juga tertulis dengan jelas.
Pada hari dan tempat yang telah ditentukan, Trengginas pergi ke tempat wisata Nusa Delima, sebuah area wisata yang elit. Ia menuju ke hotel di mana Aling tinggal. Hotel itu berada paling ujung di area wisata itu namun dengan tempat seperti itulah paling banyak dicari sebab lokasinya menjorok ke laut sehingga pandangannya ke laut lepas.
Ia sudah duduk di loby, ia pun sudah meminta bantuan receptionist untuk menghubungkan dengan kamar yang ditempati temannya itu. Tak berapa lama, datanglah Aling, ia kaget Aling sekarang lain dengan yang dulu, wajahnya sekarang mirip seperti Jacky Chan. "Wee, Aling Kamu kok lain tidak seperti dulu," sapa Trengginas kegirangan. Mendengar pujian itu, Aling hanya tertawa. Tak lama kemudian Trengginas dikagetkan seorang cewek cantik mirip Agnes Monica. Melihat Trengginas bingung, Aling langsung menjelaskan, "Ini pacarku, namanya Cynthia." "Wooo," Trengginas kagum. Agar Trengginas tak terfokus pada Cynthia, Aling langsung memecah fokus, "Saya libur kuliah, makanya liburan ke sini," ujar Aling. "Saya besok keliling Pulau Swaba, Kamu ikut ya Nas." Karena yang mengajak Aling dan dirinya tak mempunyai kegiatan maka ia menerima tawaran itu.
"Kamu belum makan kan, ayo sekarang Kita makan," ajak Aling. Tanpa basa-basi Trengginas mengikuti Aling dan pacarnya menuju ke restoran hotel. Setelah duduk di kursi yang ada, pelayan menyodorkan menu makanan dan minuman. Trengginas bingung melihat menu makanan dan minuman, semua berbau asing, daripada bingung dan tak kenyang maka ia memilih nasi goreng dan teh manis. "Cuma pesan nasi goreng dan teh manis?" tanya Aling dengan bercanda. "Iya Ling yang penting kenyang," mendengar Trengginas mengatakan demikian, semua tertawa.
***
Kesokan hari, dengan menggunakan sedan mewah, Aling, Cynthia, Trengginas, dan pengemudi, mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di Pulau Swaba, seperti danau, gunung, hutan, dan tempat peninggalan masa-masa dahulu kala. Di tempat yang dikunjungi mereka berfoto ria. Cynthia terlihat gembira ketika melihat indahnya sebuah danau, saking gembiranya ia tak bosan-bosan meminta difoto di tempat itu.
Sampai akhirnya mereka mengunjungi Pantai Pelangi, ketika di tempat itu Trengginas terlihat was-was dan tegang, namun ia tidak mau memperlihatkan sikap itu kepada Aling. Bila Aling diberitahu masalahnya pasti akan mengganggu kenyamanan. Mobil yang ditumpangi itu berhenti di pinggir Pantai Pelangi. Mereka bertiga keluar dari mobil, Cynthia langsung bergegas menuju pantai, sedang Aling dan Trengginas terlihat santai. Trengginas melihat pantai ramai, banyak bule cewek yang menjadi incaran namun karena ada masalah, rebutan bule cewek, dengan anak pantai maka ia tidak mengunjungi tempat itu selama beberapa bulan.
Akhirnya Trengginas bisa menguasai diri dan merasa aman. Ia pikir ketiga anak pantai itu sudah lupa dirinya. Sehingga ia mengajak Aling dan Cynthia menyusuri pantai. Nafsu gudel Trengginas muncul lagi ketika melihat bule-bule cewek sedang berjemur. Dalam hati, selepas Aling kembali ke Australia ia akan ke Pantai Pelangi lagi, apapun resikonya, karena ia sudah lama tidak bersenang-senang dengan bule cewek.
***
Setelah 4 hari di Pulau Swaba, pada hari ini, di tempat pemberangkatan bandara, Aling yang didampingi Cynthia berpisah dengan Trengginas. Aling sempat memeluk dan menjabat tangan Trengginas sebelum boarding. Teman akrab sejak sekolah dasar itu akhirnya benar-benar berpisah.
Seperti rencana, selepas mengantar Aling ke bandara, Trengginas akan pergi ke Pantai Pelangi. Sepeda motor yang ada di tempat parkir diambil dan selanjutnya menuju ke pantai. Jalur menuju tempat yang dituju nampak penuh kendaraan yang lalu lalang sehingga dirinya tidak bisa melaju cepat. Gas sepeda motor yang ada di speedometer hanya menunjukan kecepatan 15 km/jam. Ia tetap bersabar meski sebenarnya ingin segera tiba.
Akhirnya tibalah di Pantai Pelangi. Sepeda motor ditaruh di dekat sepeda motor pengunjung lainnya. Ia menyusuri pantai, terlihat banyak wisatawan asing yang menikmati panasnya matahari, ada yang berjemur, ada yang berenang, tak sedikit yang berselancar. Dirinya melihat banyak bule cewek, yang sendiri, berdua, bertiga atau bersama dengan bule cowok di sepanjang pantai, namun ia masih ketar-ketir kalau ketahuan anak pantai lainnya.
Setelah berjalan menyusuri pantai, ia minggir ke tempat yang agak teduh, di tempat itu agak sepi dibanding dengan tempat sebelumnya. Ia duduk di sebuah pohon yang cukup rindang. Mata jelalatan melihat ke segala arah, siapa tahu ada bule cewek yang berada tidak jauh darinya. Jelalatan mata berhenti ketika ada seorang wisatawan cewek yang dilihat dari bentuk fisiknya berasal dari Jepang sedang berjalan sendirian. "Apa kabar?" sapa Trengginas. "Baik," jawabnya. "Nama Saya Trengginas," ujarnya sambil mengikuti cewek itu. "Siapa nama Kamu?" tanya Trengginas. "Mihiro," jawab cewek itu. Dugaan Trengginas benar cewek itu dari Jepang. Jalan Mihiro tiba-tiba berbelok menuju ke tempat penjual air dalam kemasan. Trengginas membuntuti, "Berapa harganya?" tanya Mihiro kepada penjual air dalam kemasan. Penjual air dalam kemasan itu menyebutkan nilai rupiahnya. "Biar Saya yang bayar," ujar Trengginas ketika mendengar harganya tidak mahal. "Terima kasih," ujar Mihiro dengan manja.
Mihiro duduk di bawah pohon di dekat penjual air dalam kemasan. "Dari mana tadi?," tanya Trengginas. "Menyusuri pantai," jawab Mihiro sambil meneguk air dalam kemasan itu. "Makanya sangat haus," canda Trengginas. Mihiro tersenyum. "Kamu tinggal di mana di sini?" Trengginas mengakrabkan diri. "Jauh, Aku dapat hotel 5 km dari Pantai Pelangi," Mihiro menjelaskan. "Nanti Saya antar ya," Trengginas menawarkan jasa. Mihiro mengangguk.
Sunset telah menghilang di Pantai Pelangi, pengunjung mulai meninggalkan pantai termasuk Trengginas dan Mihiro. Dengan dibonceng sepeda motor, Mihiro diantar menuju tempat menginapnya. Di sepanjang jalan Mihiro minta berhenti ketika melihat sesuatu yang masih aneh di depannya, seperti melihat souvenir khas Pulau Swaba atau tempat makan asal Jepang. Justru yang demikian membuat Trengginas merasa senang sebab dirinya bisa lebih akrab dengan Mihiro. Mihiro tambah mesra dan manja kepada Trengginas. Bila harga barang yang diinginkan terjangkau oleh uang Trengginas, dialah yang membayar. Ia bergumam, "Nggak papa yang penting Saya bisa bersama Mihiro."
Setelah puas menikmati pemandangan sepanjang jalan, tibalah mereka di hotel. Karena dinilai Trengginas baik, maka Mihiro mengajak masuk ke dalam kamar. Begitu tiba di kamar, karena Mihiro merasa badannya kotor, berkeringat, bau asin garam pantai, dan ada pasir yang masih melekat, ia segera mengambil handuk menuju ke kamar mandi. Dari dalam kamar mandi terdengar suara air mengucur dari shower. Trengginas yang merasa sudah mengeluarkan uang dan mengantar Mihiro ke hotelnya, ia berpikir bila menggunakan jasa pemandu wisata tentu akan mahal, untuk itu siasat bulusnya dikeluarkan, untuk mengganti apa yang sudah dikeluarkan, ia tidak canggung-canggung masuk ke dalam kamar mandi. Begitu Trengginas masuk ke dalam kamar mandi, Mihiro kaget dan ada suara teriakan, namun selanjutnya tak ada lagi suara Mihiro minta tolong atau mengusir keluar, yang ada suara di kamar mandi saat itu adalah suara kucuran air diselingi dengan nafas terburu-buru serta desah suara yang mengaduh.
***
Hubungan Trengginas dan Mihiro tidak hanya di situ, selama di Pulau Swaba, Trengginas yang menghantar ke mana Mihiro pergi. Trengginas mengaku pada teman-teman kosnya bahwa bersama Mihiro mereka seperti pacaran. Ketika jalan-jalan mereka gantian yang membayari bila makan atau belanja lainnya. Namun yang pasti dicari Trengginas dari Mihiro adalah seperti apa yang terjadi di kamar mandi.
Setelah seminggu di Pulau Swaba, akhirnya Mihiro harus kembali ke negaranya. Ketika berpisah di bandara, Mihiro meneteskan air mata. Ia melihat Trengginas sebagai orang yang telah berbuat baik dan menolong dirinya. Trengginas hanya terpaku diam. "Kapan-kapan Aku ke sini lagi, sayounara" uja Mihiro sambil melambaikan tangan tanda perpisahan.
 Mihiro sangat suka kepada Trengginas sebab Trengginas dirasa seperti Yasuhito. Yasuhito adalah calon suaminya. Mereka berniat nikah pada Agustus 2011 namun pernikahan itu tidak terlaksana sebab ketika tsunami melanda Jepang pada Maret 2011, Yasuhito menjadi salah satu dari 15.269 korban tewas. Saat itu Yasuhito sedang mengendarai mobil menuju rumahnya. Rumah Mihiro yang berada di bukit dekat pantai membuat Yasuhito harus melewati jalan di pinggir pantai. Ketika Yasuhito sedang asyik  mendengar lagu Suju, grup K-Po, tiba-tiba gemuruh air bah menggulung mobilnya, ia terperangkap dalam mobil, serasa dibanting-banting oleh badan mobil, hingga akhirnya dia tewas.
Mihiro merasa bersalah, sebab dirinya yang memaksa Yasuhito pergi ke rumahnya. Padahal hari itu ia harus menyelesaikan pekerjaan. Dirinya histeris ketika Yasuhito ditemukan relawan tengah terkapar dan tak menghembuskan nafas. Â
Akibat dari tewasnya Yasuhito, Mihiro menjadi pemurung. Ia masih sering teringat ketika bersama Yasuhito jalan-jalan ke Pulau Swaba berdua. Menikmati pemandangan berdua dan makan berdua. Untuk mengenang masa-masa bersama Yasuhito, maka Mihiro pergi ke Pulau Swaba.
***
Hari itu Trengginas, Onoy, Kojed, dan Firan pergi bersama-sama ke Pantai Pelangi. Ketiga orang itu mau pergi ke pantai karena diajak oleh Trengginas. 'Daripada bengong di kos mending jalan-jalan," rayu Trengginas kepada tiga orang itu saat di kos. Entah karena rayuan atau menghilangkan rasa jenuh, mereka akhirnya mau diajak jalan.
Masing-masing ke pantai membawa sepeda motor. "Siapa tahu ada empat bule cewek bisa Kita ajak jalan bersama," ujar Trengginas. Saat di jalan keempat orang itu menjadi perhatian orang sebab dengan sedikit ugal-ugalan mereka mengendarai motor seenaknya. Bahkan sesekali Firan mengendarai sepeda motor sambil berdiri. Melihat hal yang demikian, para wisatawan bersuit-suit. Bahkan banyak bule yang mengacungkan jempol. Keanehan mereka dianggap oleh wisatawan sebagai hiburan tambahan.
Sampai di pantai sepeda motor itu diparkir rapi di tempat parkir yang tersedia. Mereka bergegas menuju ke laut dan segera berenang. Gelak tawa terdengar saat mereka berada di dalam air. Gelombang laut yang tidak besar membuat mereka mampu berenang ke tengah. Ketika ada orang berselancar tangan mereka melambai-lambai agar tidak ditabrak. Sebab ada pengalaman ketika ada yang berenang kemudian tidak memberi lambaian tangan kepada orang yang berselancar, membuat ia ditabrak. Tabrakan antara papan selancar dengan muka itu membuat perenang rusak mukanya sehingga ia harus dioperasi plastik.
Setelah berenang ke sana ke mari, keempat orang itu akhirnya naik ke darat. Segera ia menuju di bawah pohon untuk mengeringkan badan dari basah dan rasa asing. Untuk menetralkan rasa asin, mereka menuju ke pancuran yang sudah disediakan pengelola pantai. Di tempat itu, pengunjung pantai selepas berenang pasti membasuh badannya dengan air tawar agar badan menjadi segar dan bebas dari rasa garam.
Dilihat pancuran itu penuh sehingga beberapa orang yang ingin menikmati fasilitas itu harus antri. Antrian di depan Kojed adalah seorang bule laki-laki yang sudah tua. Sedang di belakang Firan, seorang bule cewek. "Hei," sapa Firan kepada bule cewek itu sambil menunggu giliran. "Ya, Aku mau membilas badan," ujar bule cewek itu. "Sama," ujar Firan. "Antriannya panjang banget," bule cewek itu memprotes fasilitas yang ada. Firan pun tersenyum.
Ketika giliran Firan, ia mempersilahkan bule cewek itu duluan, "Woo terima kasih," ujarnya. Guyuran air pada bule cewek itu membuat tubuhnya menjadi seger, tak hanya itu, air yang diambil dari perusahaan air daerah itu menyingkap kecantikannya. Merasa diperhatikan Firan, bule cewek itu hanya tersenyum. Setelah dirasa cukup menghilangkan bau asin dan membersihkan dari pasir yang ada di tubuh, bule cewek itu meninggalkan tempat.
Sekarang Firan yang ganti membasuh tubuh  dengan air tawar itu. Rupanya Firan tak lama-lama membersihkan tubuh  sebab dengan beberapa gerakan, air yang yang mancur itu bisa menghilangkan bau asin dan kotoran lain yang ada. Ia pun meninggalkan pancuran itu, dan giliran orang selanjutnya maju.
Ketika hendak meninggalkan tempat itu, Firan melihat bule cewek itu sedang duduk memandang ke pantai. Di dekatinya, "Hei," sapanya. Tahu yang menyapa adalah orang yang sudah menolong dirinya, ia pun membalas, "Hei juga." Â "Siapa namamu?" tanya Firan."Celia," jawabnya. "Woo Celia," Firan kagum. "Celia sama siapa?" tanya Firan lagi. "Bersama tiga temanku lagi, Imogen, Siobhan, dan Lizzy," Celia menyebut teman-temannya. Celia berteriak memanggil temannya yang masih berada di air. Merasa dipanggil, Imogen, Siobhan, dan Lizzy, berlari menuju kepada arah Celia.
"Ada apa?" tanya Imogen. "Ha, ha, ha," Celia tertawa. "Aku mau memperkenalkan orang ini kepadamu," Celia berujar. "Woo, hebat," kata Lizzy. "Saya juga tidak sendiri namun juga membawa teman," papar Firan. Ia pun memanggil Trengginas, Kojed, dan Onoy. Melihat Firan bersama bule cewek, mata Trengginas langsung hijau. Mereka bertiga segera ke tempat Firan dan Celia. Mereka semua pun akhirnya saling berkenalan.
"Ok, acara Kita apa?" tanya Celia. "Bagaimana kalau besok Kita jalan-jalan keliling Pulau Swaba," Firan mengajukan usul. "Ok, usul yang bagus," Siobhan mulai bicara. "Namun malam ini Kita pesta ikan bakar, bagaimana setuju?" Trengginas tidak mau pertemuan itu berlalu begitu saja. "Ok," "Ok, "Ok," satu persatu mengatakan demikian. Â "Tapi pesta ikan bakarnya tidak di sini namun di Pantai Jengkoreng," ujar Trengginas. Pantai Jengkoreng letaknya 4 km dari Pantai Pelangi, namun untuk mencapai tempat itu jalannya harus memutar dan harus melewati bandara. Karena mereka membawa sepeda motor maka mereka berboncengan, Firan dengan Celia, Trengginas dengan Imogen, Kojed dengan Lizzy, Onoy dengan Siobhan.
Ketika mereka melaju bersama, orang-orang pada memperhatikan mereka, perbedaan ras dan ukuran tubuh manusia yang berbeda membuat yang dibonceng dan membonceng kadang tak seimbang. Meski demikian kedelapan orang itu tak mempermasalahkan. Orang-orang yang melihat pasti menduga mereka adalah anak pantai.
Merasa senang diboncengi Siobhan, Onoy menyanyikan lagu Anak Pantai yang dipopulerkan Imanez, Bangun pagi sinar mentari hangat di hati, seiring Bob Marley nyanyikan lagu cinta, aku belum mandi dan gosok gigi, aku sudah di air, dengan segelas kopi kupandang lautan lepas, ngak kenal waktu, ngak kenal hari yang ku tahu hanyalah sunset dan sunrise, ooo... anak pantai, ooo... suka damai, mulai petang dengan mata redup, aku rebah di atas pasir, memandang gadis-gadis cantik kulitnya merah terbakar, gairahku memuncak waktu kan tiba, kuambil gitar teriakkan isi hati, mengundang orang-orang di sekitarku, berbagi rasa bersama, ngak kenal waktu, party selalu yang kusuka hanyalah sunset dan sunrise, ooo...anak pantai, ooo...suka damai.
Belum puas dengan lagu itu Onoy pun kembali melantunkan sebuah lagu, berjudul Apa Kabar ciptaan Tyo Mally, lalu lalang pecanda bahasa, di sebuah pulau dewata, disertai penuh perjuangan, untuk mengejar cita-cintanya, hai...how are you apa kabar, hai...let's dance and havefun, hai...how are you apa kabar, hai...come on have a good time, bertemu dengan gadis kangguru, berjanji untuk teman hidupku, setiap hari bilang i  love you, apakah ini sudah nasibku, kenangan indah di pantai kuta, sebagai saksi dalam bercinta, percaya kasihku tak akan lupa, akupun cinta Indonesia.Â
Akhirnya, sampailah mereka di Pantai Jengkoreng. Mereka menuju ke rumah makan ikan bakar yang paling murah. Masuklah mereka di tempat itu, masih banyak tempat duduk yang kosong sehingga mereka bebas memilih tempat. Mereka duduk berhadap-hadapan seperti posisi saat boncengan. Pelayan pun menyodorkan menu makanan dan minuman. Mereka ada yang memilih ikan bawal, bandeng, dan kakap. Minuman yang mereka pesan pun bervariasi, ada juice buah naga, es kelapa muda, es buah, dan air putih.
"Kamu senang ke sini," tanya Trengginas kepada mereka. "Woo, senang sekali, negeri Kamu negeri yang indah dan kaya raya," ujar Celia. "Sebelum ke sini, Kita berempat kemarin ke Jogjakarta, Borobudur, Solo, Prambanan," ujar Imogen. "Saya juga membeli batik," tambahnya. "Di sini orangnya ramah-ramah dan mudah tersenyum kepada orang-orang seperti Kami," ungkap Siobhan. Â "Namun ada jengkelnya Saya sama tukang becak, ia selalu menghantar ke tempat yang tidak Aku tuju, mereka membawa Kami ke tempat orang jual kaos dan bakpia," ujar Celia. "Kadang juga mereka mengubah rute yang Kami sepakati seenaknya," tambahnya.
Mendengar hal yang demikian Onoy tertawa. "Kalau tukang becak mengantar Anda ke penjual kaos dan bakpia, ia mencari komisi dari para penjual itu." "Wooo," keempat bule cewek itu heran.
Di tengah asyiknya ngobrol, makanan yang dipesan tiba, beberapa piring ikan dan beberapa bakul nasi diantar oleh pelayan. Setelah ikan bakar dan nasi ditaruh meja, minuman yang dipesan pun juga diantar, sehingga di meja nampak penuh makanan dan minuman. "Kita jadi pesta ikan bakar," ujar Trengginas dengan ceria.
Sebelumnya mereka asyik ngobrol, sekarang mereka asyik makan, karena mereka lapar maka makanan yang ada tak ada yang tersisa. "Makanan yang enak," ujar Siobhan. "Kami jarang sekali makan beras jadi menikmati sekali," kata Lizzy. "Besok Kita ke tempat ini lagi," Celia demikian. "Ok, karena Kamu sudah mengantar ke tempat yang Kami suka, maka biar Kami yang bayar," kata Imogen.
"Terima kasih," ujar Firan. Imogen pun menuju ke cashier dan membayar semua tagihan. Ia kembali ke tempat duduk tadi. "Baik, selanjutnya Kita antar ke hotel sekaligus biar tahu dan besok  Kita langsung ke hotel," kata Firan lagi. "Yuuuuhuuuu," teriak Lizzy dan Siobhan tanda mereka senang. Mereka akhirnya kembali ke pasangan bonceng masing-masing dan kendaraan menuju ke kawasan wisata Pantai Pelangi. Di kawasan itulah hotel tempat Celia, Imogen, Siobhan, dan Lizzy, tinggal. Selepas mengantar, Trengginas, Onoy, Kojed, dan Firan, kembali ke kos.
***
Sesampai di kos, mereka langsung ada yang mandi, ada pula yang duduk-duduk di beranda sambil main gitar. Firan dan Trengginas terlihat sedang duduk di Beranda
Â
 "Gimana setelah ke Pantai Pelangi bersama-sana, punya pengalaman baru kan?" kata Trengginas yang duduk di samping Firan. Firan pun hanya tersenyum. "Gimana tadi Kamu bisa kenal dan dekat sama Celia," tanya Trengginas lagi. Firan menceritakan bagaimana proses perkenalan dengan Celia. Dari saat antri di tempat pancuran umum, hingga Firan mempersilahkan Celia lebih dulu meski saat antrian Firan di depan. "O, begitu ya," Trengginas paham. "Lha Kamu kan sudah sering kenalan sama bule cewek, seharusnya lebih paham," ucap Firan kepada Trengginas.
"Kamu untung bisa boncengan sama Celia, ia cantik dan seksi," Trengginas iri. "Kan sama saja, semua bule," Firan menimpali. "Kalau besok Kita tukeran gimana, Aku boncengan sama Celia, Kamu sama Imogen," Trengginas mengajukan usul. "Nggak mau, Aku senang sama Celia, " Firan menolak. "Kamu sudah sering main dengan bule cewek, masak masih kurang," Firan protes. "Maksudmu?" tanya Trengginas. "Kan sudah sering tidur sama bule cewek," Firan pun terus terang.
Mendengar kata-kata seperti itu, Trengginas mencekik leher Firan. Mendapat perlakukan seperti itu, ia membalas dengan sekuat tenaga melepaskan cekikan. Ketika berhasil melepaskan cekikan Trengginas, tangan Firan yang sudah mengepal hendak meninju muka Trengginas, namun berhasil ditepis, Trengginas bak seperti sumo mendorong tubuh Firan dengan badannya, sehingga Firan pun terdesak ke dinding. Namun ketika Trengginas merunduk tinju Firan mengenai kepala Trengginas, mereka pun bergelut dan berguling-guling.
Suara ribut-ribut memancing perhatian dari kamar anak-anak kos dan kamar Ibu Kos. Semuanya keluar, ketika melihat Trengginas dan Firan berkelahi, Ibu Kos berteriak, "Aduh, aduh, aduh, kenapa ini?" teman-teman yang lainnya melerai. Onoy dan Kojed menarik Firan, sementara Sidar dan Ulang menarik Trengginas. Mereka didudukan di kursi yang berada di beranda. Eling sebagai mahasiswa yang dituakan dan dihormati mendekati, "Ada apa sih kok ribut sama teman sendiri?" 'Itu si gudel yang mulai," ujar Firan. Mendengar julukan yang pernah dikatakan oleh temannya saat SD, Trengginas berang. Dalam hati ia bertanya benarkah dirinya bertubuh seperti anak kerbau, yakni gedut, tambun, dan pendek. Ia cepat tersadar, dan berkata, "Itu orang nggak tahu terima kasih, sudah diajak ke Pantai Pelangi, diajak tukar boncengan nggak mau." "Maksud tukar boncengan itu apa?" Eling menginvestigasi.
Trengginas malu mengatakan, sehingga Firan bercerita, tadi mereka berempat kenalan sama 4 bule cewek, yakni Celia, Imogen, Lizzy, san Siobhan. Saat ke Pantai Jengkoreng Firan berboncengan dengan Celia, Trengginas dengan Imogen, Kojed dengan Lizzy, Onoy dengan Siobhan. "Nah sekarang Trengginas minta tukar boncengan, ia mau dengan Celia," ujarnya.
Mendengar ungkapan seperti itu, Eling bertanya kepada Trengginas, "Benar seperti itu?" Trengginas diam. "Apa istimewa Celia sehingga Kamu ingin boncengan sama dia?" Eling bertanya lagi. "Karena Celia lebih cantik dan seksi," seloroh Kojed. Mendengar ungkapan itu semua tersenyum. "O, begitu to," Eling jadi paham. "Lha Kamu kenapa nggak mau tukar?" Eling ganti bertanya kepada Firan. "Ini bukan masalah cantik dan seksi tetapi Aku lebih dulu kenal Celia," Firan menjelaskan. "Kalau pun Aku kenal lebih dulu dengan Imogen, Lizzy, atau Siobhan, Aku nggak akan tukar boncengan," Firan menegaskan.
Mendengar semua ungkapan itu, teman-teman kos jadi mengetahui siapa yang salah dan siapa yang benar. "Ya sudah kalau begitu, sebaiknya Kamu tidak minta tukar boncengan," Eling mengatakan demikian kepada Trengginas. Trengginas diam. "Sudah, sudah, Kita bubar, malam sudah larut, besok teman Kita ada yang ujian. Lagian Kita jangan suka bikin gaduh karena sudah disorot sama tetangga kanan kiri. Para tetangga menyebut Kita sudah sering mengganggu kenyamanan," Eling menasehati. Setelah mendengar kata-kata itu penghuni kos masuk kamar dan suasana menjadi hening dan sepi.
***
Pagi sekitar pukul 06.00, Onoy menggedor-gedor pintu kamar Trengginas, sedang Kojed menggedor-gedor pintu kamar Firan. Mereka mengingatkan bahwa hari ini sudah berjanji untuk jalan-jalan bersama Celia, Imogen, Lizzy, dan Siobhan. "Bangun, bangun, bangun," teriak Onoy di depan pintu kamar Trengginas. Hal yang sama diteriakkan Kojed saat di depan pintu kamar Firan, "Bangun, bangun, bangun."
"Ingatkan Kita janjian sama cewek bule itu," Onoy memancing Trengginas. Mendengar kata bule-bule cewek, Trengginas pun segera bangun dari tidur, ia baru sadar bahwa hari ini sudah janjian dengan mereka. Hal yang sama juga dialami Firan, bahwa hari ini sudah sepakat untuk bertemu lagi.
Onoy dan Kojed yang sudah mandi menunggu dengan duduk-duduk di beranda, sementara kedua temannya itu mandi. "Pengalaman pertama mengantar tamu," ujar Onoy cengengesan. "Ha, ha, ha," Kojed tertawa. "Enak ya kalau setiap hari seperti ini," Onoy memancing percakapan. "Kamu mau jadi anak pantai?" tanya Kojed. "Mau," Onoy langsung menjawab. "Sembarangan," Kojed berkata demikian. "Kok sembarangan," Onoy bingung dengan kata yang diucapkan temannya itu. "Jadi anak pantai itu tidak semudah yang Kamu bayangkan. Mereka juga bekerja keras, setiap hari di bawah terik matahari sehingga warna kulitnya hitam, dan bila berebut rejeki kadang-kadang harus adu fisik diantara mereka sendiri," Kojed menjelaskan. "Itu si Trengginas pernah dipukuli anak pantai lainnya gara-gara kenalan dengan cewek bule di wilayah mereka," kata Kojed.
Sambil meneguk kopi hitam bikinan sendiri, Kojed pun kembali bercerita, pernah ada teman kita namanya Manuring, hampir dipukuli oleh anak pantai. Ia hampir dipukuli karena sok akrab dengan bule cewek di sebuah cafe. Untungnya salah satu anak pantai itu seetnis dengan Manuring. Manuring yang sadar telah mengganggu wilayah anak pantai itu akhirnya minta maaf sama mereka. "Lagian mencari bule cewek itu dapatnya juga untung-untungan," papar Kojed. "Agar dapat biasanya harus bermuka tebal, sok akrab, dan berpakaian dan berdandan aneh," Kojed berkata dengan serius. "Kalau Kamu kuliah terus setiap hari nongkrong di pantai dan cafe, kuliahmu pasti terganggu," Kojed menasehati. "O, begitu ya," Onoy pun jadi paham.
Di tengah asyik perbincangan itu, secara serempak, Firan dan Trengginas menghampiri. "Kalau sudah siap, ayo Kita meluncur," kata Onoy. Tanpa banyak basa-basi mereka mengambil sepeda motor masing-masing, dan segeralah melaju ke hotel tempat keempat cewek itu tinggal. Karena semalam Firan dan Trengginas berkelahi, maka hubungan kedua orang itu menjadi dingin dan kaku, sehingga ketika menuju ke hotel, Firan melaju paling depan, sedang Trengginas paling belakang. Biasanya mereka berempat beriringan. Setengah jam jarak untuk menempuh ke hotel dari kos.
Saat sampai di depan samping hotel, Firan berujar, "Biar satpam tidak curiga kepada Kita, salah satu yang menemui mereka di loby, selanjutnya diberitahu Kita menunggu di sini." "Usul yang bagus," ujar Onoy dan Kojed serentak. Akhirnya dipilihlah Trengginas ke loby hotel. Trengginas disuruh menjemput karena sudah biasa keluar masuk hotel.
Di depan receptionist, Trengginas meminta bantuan untuk menghubungkan ke kamar di mana keempat bule cewek itu tinggal. Salah satu dari receptionist itu kemudian menekan nomer-nomer tertentu di telephon. Setelah ada nada sambung dan terhubung, salah satu receptionist itu menyampaikan pesan. "Baik Bapak, mereka sudah siap menuju ke loby," ujarnya.
Trengginas duduk di kursi yang ada di loby. "Hei," ujar Celia. "Onoy, Firan, dan Kojed, di mana?" tanya Lizzy. "Mereka di depan hotel dan sudah siap menunggu kalian," ujar Trengginas. "Ok, mari Kita jalan," ajak Imogen. Mereka berlima berjalan menuju di mana Firan, Kojed, dan Onoy menunggu. Ketika mereka saling melihat, muka mereka langsung ceria.
Akhirnya mereka berboncengan kembali sesuai dengan pasangan yang kemarin, Firan dengan Celia, Trengginas dengan Imogen, Kojed dengan Lizzy, Onoy dengan Siobhan. Setelah semua sudah siap, sepeda motor melaju ke arah Balai Raja. Balai Raja adalah sebuah tempat wisata mirip Istana Bogor. Di tempat itu ada sebuah bangunan istana raja yang megah. Balai Raja berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Sang Raja di Balai Raja memiliki kegemaran menunggang kuda. Kuda yang dimiliki tidak hanya satu namun puluhan. Menarik dari kuda-kuda yang ada, semua warnanya putih dan berekor panjang. Saking sayang sama kuda, kuda itu dilepas begitu saja di halamannya yang sangat luas. Halaman Balai Raja rumputnya tak pernah kering, selalu hijau, hal demikian karena letak Balai Raja berada di daerah pegunungan sehingga curah hujan  sangat tinggi. Karena rumput selalu hijau maka penjaga Balai Raja tak perlu memberi makan. "Woo, mirip Istana Bogor. Kalau di sana rusa, di sini kuda," ujar Siobhan. Siobhan tahu Istana Bogor karena ia pernah mengunjungi kota itu.
Di sampin kanan kiri Balai Raja ada Kebun Raja. Bila Sang Raja gemar akan kuda, maka permaisuri suka dengan bunga. Karena Sang Raja mencintai permaisuri, ia menghadiahi permaisuri dengan bunga-bunga yang dibawa sepulang melawat dari Sriwijaya. Bunga-bunga yang indah dan semerbak wangi itu ditanam di Kebun Raja. Perawatan bunga yang dilakukan oleh puluhan dayang-dayang membuat bunga tumbuh berkembang. Tak heran bila kita di Kebun Raja, seolah-olah kita berada di tengah surga.
Ratusan tahun keberadaan Kebun Raja membuat tanaman yang ada menjadi tanaman yang langka sehingga di Kebun Raja orang tak hanya sekadar berwisata namun juga melakukan penelitian. Lizzy dan Celia yang suka dengan bunga sangat betah berada di tempat itu, ia dengan seksama mengamati bunga-bunga itu dengan teliti. Ketika ada bunga yang tidak ditemui di negaranya, ia memotret dan mencatat bunga itu. "Negara Kamu negara yang memiliki aneka jenis bunga," ujarnya kepada Firan.
Mereka berdelapan gonta-ganti mengambil gambar. "Ok, Kita lanjutkan perjalanan Kita," Firan mengatakan demikian agar waktu tidak terlalu lama di Balai Raja dan Kebun Raja. "Selanjutnya Kita ke Gunung Gejah," ajak Trengginas.
Gunung Gejah adalah tempat wisata yang pernah dikunjungi Trengginas bersama Kate. Karena sudah pernah ke tempat itu, ia bak pemandu wisata menerangkan tentang gunung itu kepada Celia, Imogen, Lizzy, dan Siobhan. Dikatakan, Gunung Gejah merupakan gunung tertinggi di Pulau Swaba dengan ketinggian 3.500 meter di atas permukaan lain. Gunung ini berada di Kecamatan Slikur, Kabupaten Sroto. Gunung Gejah dulu pernah meletus sehingga penduduk di sekitarnya ditransmigrasikan ke pulau lain. Gunung Gejah merupakan gunung api yang memiliki kawah yang besar dan dalam, dari tempat itu sering mengeluarkan asap dan uap air.
Masyarakat di sekitar percaya di gunung itu  tempat bersemayam para leluhur dan di puncaknya dipercayai sebagai pusat kekuasaan dan kerajaan para leluhur. "Oleh sebab itu masyarakat sekitar tiap tanggal dan bulan tertentu mengadakan slametan," ujarnya.
Mendengar pemaparan itu, keempat bule cewek itu berkata, Â "Wooo." Mereka pun mengambil gambar dengan latar belakang gunung yang menjulang ke langit itu. "Hari sepertinya mau hujan, mending Kita segera pergi dari tempat ini. Kalau kehujanan Kita bisa tertahan di sini sampai kapan tak pasti," ujar Kojed. Apa yang dikatakan itu dibenarkan oleh semua sehingga mereka langsung menuju ke tempat wisata Danau Bulan.
Menempuh jarak sejauh 20 km dari Gunung Gejah ke Danau Bulan. Di tengah suasana mendung mereka tertawa dan ceria. Saat di tempat itu, Trengginas memaparkan bahwa Danau Bulan adalah sebuah danau yang terletak di kawasan Pasopisa, Desa Bentar Abang, Kecamatan Ringin Limo. Danau Bulan adalah salah satu gugusan danau di kawasan itu, selain Danau Bulan, ada Danau Wulan dan Danau Srengenge. Di antara danau yang ada, Danau Bulan yang merupakan danau tercantik sehingga leluhur mereka memilih tempat itu untuk melakukan pemujaan kepada Dewi Langit Biru sebagai dewi kebaikan dan kecantikan. "Tak heran di sini para penduduk khususnya  perempuan suka membasuh muka dengan air danau agar awet muda," ujar Trengginas.
Seperti Kate, keempat bule cewek itu membasuh mukanya dengan air yang bening dan dianggap sakral. "Segar," ujar mereka selepas membasuh muka dengan air danau. Di tepi danau, mereka sangat menikmati pemandangan. Mereka selalu mengambil foto dengan latar belakang indahnya danau. Celia mengatakan, Â "Indah dan menakjubkan," ketika melihat pemandangan alam yang tidak dijumpai di negaranya.
Setelah menikmati indahnya pemandangan Gunung Gejah dan Danau Bulan, Siobhan mengajak kembali ke hotel dengan alasan sakit. Memang benar wajah Siobhan nampak pucat, dan kelihatan lemas dibanding dengan teman-teman yang lain. "Ok, Kita pulang karena Siobhan kurang enak badan," kata Imogen.
Semua menyadari sehingga mereka sepakat pulang. Dalam perjalanan pulang, keceriaan mulai berkurang, Siobhan nampak murung, ia memeluk erat Onoy. Ia memeluk erat agar tidak jatuh, namun hal demikian ditafsirkan secara salah oleh Onoy. "Asyik," ujar hati Onoy. Tetapi Onoy agak kesal karena ia dalam keadaan menyetir sepeda motor dan berada dalam suasana yang ramai sehingga tidak bisa melakukan hal-hal yang selama ini dibayangkan saat bersama bule cewek.
Saat melintas di perempatan Gending, ketika Kojed, Trengginas, dan Onoy telah melintas perempatan itu, Firan membelokkan arah sepeda motornya ke kiri. Temannya yang lain tidak sadar Firan berbeda arah. Temannya tetap melaju kencang dan di pikir  ia berada di belakang. "Wooo," ujar Celia ketika Firan membanting stir ke tempat yang berbeda. Celia tidak marah kepada Firan karena diantara mereka sepertinya ada benih-benih cinta.
Firan sengaja berbeda arah agar ia bisa mengunjungi Tebing Dewi. Tempat itu adalah sebuah wisata pantai yang letaknya berada di bawah tebing. Tebing begitu tinggi sehingga untuk mencapai pantai, pengunjung harus menuruni tebing melalui ratusan tangga.
Sebagai pantai yang langsung berhubungan dengan Samudera Hindia, tempat itu sering digunakan untuk surfing, berselancar, karena ombak cukup besar. Meski demikian, di tepi pantai masih ada tempat-tempat yang gelombangnya tidak besar sehingga wisatawan bisa berenang dengan aman. Â "Sangat memukau," ujar Celia saat melihat Pantai Tebing Dewi.
"Ayo Kita turun," ajak Firan. Dengan digandeng tangannya, Celia bersama Firan menuruni tangga menuju pantai. Gelak tawa dan saling bercanda terjadi antara kedua anak manusia selama menuruni tangga. Sesampai di tangga terakhir, Celia langsung berlari girang menuju arah datangnya gelombang, Firan mengejarnya. Bak seperti dalam film-film romantis dan drama percintaan, terjadi pada Firan dan Celia saat itu.
Sunset pun tiba, Celia dan Firan duduk berdampingan menghadap ke arah sang surya yang hendak meninggalkan mereka. Disandarkan kepala Celia di pundak Firan. "Aku tidak mau kenangan ini berlalu begitu saja," ujar Firan. Celia tersenyum mendengar apa yang dikatakan itu. "Setelah Kita bersama, ada rasa pada diriku padamu Celia," Firan mulai mengungkapkan rasa hati. Celia kembali tersenyum. Dipeganglah tangan Celia. Celia tidak menampik, tangan Celia ditarik dan diletakkan di dada Firan. "Kamu merasakan detak jantungku?" tanya Firan. Celia dengan manja mengatakan, "Iya." "Beginilah rasa cintaku kepadamu, berdetak begitu cepat." Mendengar apa yang dikatakan Firan, Â mata Celia menjadi redup dan manja. Celia mengakui bahwa dirinya juga mempunyai perasaan yang sama kepada Firan. Namun meski ia berkebudayaan Barat yang serba bebas, namun naluri kewanitaan Celia lebih menonjol sehingga dirinya malu untuk mengungkapkan.
Matahari pun hilang di ufuk barat. Celia dan Firan sama-sama berdiri dan saling berhadapan. Diciumnya kening Celia. Celia hanya diam seribu bahasa. "Ayo Kita pulang, malam telah tiba," ujar Firan sambil menggandeng Celia meninggalkan Tebing Dewi.
*** Â Â Â
Diketuknya kamar Siobhan. 'Tok, tok, tok,' begitu bunyinya. Dibuka kamar itu, di depan Celia nampak Lizzy yang matanya berlinang. Celia masuk ke dalam kamar itu, nampak Imogen duduk di samping Siobhan yang sedang tertidur. Melihat Celia datang, Imogen mengajak Celia kembali keluar kamar, sedang Lizzy menggantikan posisi Imogen yang berada di samping Siobhan.
"Hei Kamu tadi ke mana?!" ujar Imogen. Celia tidak menjawab. "Kamu jangan maunya sendiri dong, Kamu tahu kan Siobhan sakitnya kambuh. Seharusnya Kamu yang Kami anggap sebagai kakak seharusnya lebih memperhatikan Kita daripada cowok itu," ujar Imogen dengan nada kesal.
"Kamu tahu tidak, ketika Kita mau pergi ke sini, orangtua Siobhan menitipkan kepada Kita agar mengawasi dia," Imogen menerangkan dengan nada kesal. Merasa bersalah, Celia hanya diam dan air matanya mulai menetes. Ia tahu Siobhan adalah yang paling muda diantara mereka. Celia menyayangi Siobhan. Siobhan sebenarnya dilarang oleh orangtuanya pergi bersama mereka, namun Siobhan menangis ketika dilarang ikut sehingga dengan terpaksa orangtuanya mengijinkan, namun seperti yang dikatakan oleh Imogen, mengharapkan agar Celia dan Lizzy menjaga dan mengawasi Siobhan.
"Kami besok bertiga kembali ke Inggris. Tadi Kami memajukan jadwal kepulangan kepada travel. Namamu tidak Kami majukan karena Saya belum dapat ijin ya atau tidak dari Kamu," Imogen menjelaskan. "Imogen, jangan begitu, Aku sayang sama Kalian," ujar Celia dengan menangis sesunggukan. "Saya merasa salah, namun Kamu jangan perlakukan Aku seperti itu," ujarnya lagi. "Tidak, Kami merasa kecewa, saat Kamu tidak ada, Siobhan menyebut-nyebut namamu. Ketika Kamu tidak ada, sakit Siobhan bertambah parah," Imogen dengan geram menjelaskan.
Celia menangis, ia berlari menuju ke taman yang berada di samping hotel. Duduklah ia sendiri di sebuah kursi yang berada di pinggir kolam. Temaram lampu di hotel membuat orang yang melintas di depan dirinya tidak tahu kalau ia dirundung sedih. Mulai besok ia akan ditinggalkan teman-teman pulang ke negaranaya. Liburan panjang yang diharap menjadi manis berubah menjadi menyedihkan. Celia tidak mau menyalahkan Firan karena dirinya telah menyintai orang Indonesia. Orang Indonesia di mata Celia adalah orang yang ramah dan murah senyum.
***
"Fir, Kamu dari mana saja sih?" tanya Kojed selepas ia memarkir sepeda motor. "O, maaf tadi ada acara bersama Celia di tempat lain," jawabnya. "Caranya jangan begitu dong," ucap Kojed dengan kesal. "Kalau Kita pergi sama-sama, pulangnya juga sama-sama," Kojed menyerocos. "Emang masalah sama Loh?" Firan membalas dengan bahasa anak alay. "Ya tidak, tapi Kita yang kompak dong," Kojed membalas. "Terus maumu apa?!" Firan berkata dengan nada jengkel. Merasa ditantang Kojed naik darahnya, "Kamu nantang ya?!" "Kalau ya, mau apa!" Firan pun tak takut.
Entah setan datang dari mana keduanya maju sehingga baku pukul terjadi. Mendengar suara gedebag-gedebug, seisi kos pada keluar, seperti biasanya Ibu Kos pun histeris, "Aduh ada lagi ini, berantem saja kerjaan anak kos ini." Teman-teman yang lain melerai, sementara Trengginas yang juga mempunyai masalah dengan Firan membela Kojed. "Terus sikat aja Koj, biar dia tahu rasa," Trengginas memprovokasi.
Eling yang biasa mendamaikan teman-temannya bila berselisih, saat itu tidak ada. Dia malam itu sedang bimbingan skripsi sehingga keributan itu bubar dengan sendirinya setelah sama-sama bonyok. Â
***
Pagi itu Celia berlinang air matanya. Dari balik kaca jendela kamar hotel ia melihat Imogen dan Lizzy sedang menuntun Siobhan masuk ke dalam mobil yang hendak membawa ke bandara. Dirinya melihat wajah Siobhan pucat, mata sayu, dan tubuh lemas. Kambuhnya penyakit yang diderita Siobhan membuat kepulangan dipercepat. Celia sedih karena ditinggal oleh mereka. Dirinya tidak mau menyalahkan Imogen dan Lizzy, yang memilih pulang tanpa mengajak dirinya. Celia memahami kekesalan teman-temannya kepada dirinya gara-gara lebih mementingkan Firan. Begitu mobil meninggalkan hotel, linang air mata Celia bertambah deras. Diseka air matanya itu, namun sepertinya air mata tak bisa berhenti tumpah.
***
No, woman, no cry; No, woman, no cry. Eh, yeah! A little darlin', don't shed no tears:
No, woman, no cry. Eh! Said - said - said I remember when we used to sit, In the government yard in Trenchtown, yeah!, And then Georgie would make the fire lights, syair lagu yang dipopulerkan oleh Bob Marley itu mengalun dari panggung berukuran 3 kali 2 meter dengan tinggi 1,5 meter.
Lagu itu didendangkan oleh Hari penyanyi terkenal di fakultas. Hari bersama grup reggae-nya menyanyikan lagu itu di malam minggu untuk menggalang dana untuk kegiatan bakti sosial kampus. Biasa untuk menutupi kekurangan dana, pengurus mahasiswa mengadakan malam seni dan budaya. Dalam malam seni dan budaya, biasa grup-grup musik dari setiap fakultas unjuk diri. Unjuk diri itu untuk dilakukan untuk menunjukan bakat, namun ada pula untuk menarik mahasiswi-mahasiswi yang ditaksir.
Dalam malam seni dan budaya itu Firan juga datang, namun ia tidak sendirian, ia datang bersama Celia. Firan datang bersama Celia untuk memamerkan bahwa pacarnya adalah seorang bule. Firan memang seorang playboy kampus, sudah banyak mahasiswa yang dipacari namun setelah beberapa minggu atau bulan ia tinggalkan. "Woo, Firan apa kabarmu?" teriak Jaying ketika melihat Firan sedang berdiri menikmati lagu Bob Marley yang didendangkan Hari. "Ha, ha, ha, baik Ying" Firan membalas sapaan. "Hebat pacar Kamu bule," Jaying memuji. Firan tertawa lagi, Celia yang mendengar hanya tersenyum.
Melihat Firan bersama cewek bule yang cantik dan seksi, Vira, Hani, dan Sisca merasa cemburu. Ketiga cewek yang pernah dipacari Firan itu merasa diejek dan dipanaspanasin. Hubungan Vira dengan Firan selama 3 bulan, dengan Hani 2 bulan, dan dengan Sisca 1 bulan. Padahal mereka sangat mencintai Firan, namun rupanya Firan hanya mempermainkan. Malam yang dirasa indah dan menyenangkan bagi mahasiswa di Universitas Silada itu tak dirasakan oleh Vira, Hani, dan Sisca. Setelah tahu Firan dengan pacar bulenya, malam itu menjadi malam yang menyakitkan.
"Ya, rekan-rekan semua, setelah Kita menikmati lagu reggae dari Hari, selanjutnya kita saksikan penampilan grup rock yang paling terkenal di kampus Kita, The Wave," ujar Pinkan yang menjadi pembawa acara. Setelah Pinkan turun panggung, naiklah lima cowok yang semuanya berambut gondrong. Ripan memegang melodi, Robi memegang bass, Yudhe keyboard, Soring menjadi drumer, dan vokalisnya Suros. The Wave adalah grup rock yang meniru persis grup rock dari Jogjakarta yang tenar di tahun 1980-an dan 1990-an, Rolland Band. Rolland Band sendiri grup rock yang meniru persis grup rock asal Inggris, Judas Priest, sehingga Rolland Band disebut Judas Priest-nya Indonesia.
Lagu terkenal dari Rolland Band yang sering dibawakan oleh The Wave adalah Teror, Roda Kehidupan, dan Gigolo. Suros pun berteriak, "Apa kabar semuanya?!" Teriakan itu dijawab dengan histeris oleh ratusan mahasiswa yang menonton. The Wave adalah grup rock yang terkenal di Pulau Swaba sehingga penontonnya tidak hanya dari mahasiswa di Universitas Silada namun juga dari mahasiswa universitas lainnya, bahkan ada-anak SMA pun juga suka dengan The Wave. "Ok, lagu pertama Saya akan menyanyikan Gigolo," teriak Suros. "Are you ready," gaya Suros menirukan gaya penyanyi rock kesohor.
Mendengar lagu yang akan dibawakan adalah Gigolo, penonton sambil berteriak histeria berjingkrak-jingkrak pula. "Gi.. go.... loooo... backing vokal mulai melantunkan lagu. Suros pun mulai bernyanyi, "Kau berikan uang padaku, kuberikan cinta padamu, semua berjalan tanpa sadar bagaikan sebuah mimpi sejenak.... semuaku sambut manis karena ini profesiku...."
Mendengar syair seperti itu, Vira berujar dengan jengkel, "Dengerin tuh Firan goblok." Hani juga demikian, "Mudah-mudahan Firan bego denger itu lagu." Sedang Sisca pasrah dan bersyukur, "Untung Saya tidak bersama dengan gigolo Firan."
Mendengar lagu itu Firan cuek, dirinya tidak seperti yang digambarkan dalam syair lagu itu. Sehingga kuping tidak panas ketika Suros dengan semangat bernyanyi. Sedang Celia nampak menikmati, ia ikut lompat-lompat dengan penonton lain.
***
Tiga bulan sudah hubungan Firan dan Celia. Celia bisa lama tinggal di Pulau Swaba karena ijin tinggalnya selalu diperpanjang. Mereka berdua tinggal serumah tanpa ikatan yang syah baik secara negara maupun agama. Suatu malam saat di peraduan, Celia dengan lirik mengatakan kepada Firan, "Firan Aku hamil." Mendengar ucapan yang demikian Firan kaget, "O, ya?" Namun dirinya cepat menguasai keadaan. "Terus apa rencana Kita?" Firan bertanya kepada Celia. "Kamu harus bertanggungjawab dengan anak ini," Celia meminta pertanggungjawaban. "Iya Aku akan bertanggungjawab karena Kamu cintaku yang terakhir," Firan menenangkan Celia. Mendengar pernyataan yang demikian Celia senang, "Kamu harus ikut Aku pulang ke Inggris dan Kita hidup di sana," "Orangtuaku mempunyai usaha dan Kamu bisa membantu orangtuaku." "Ya, Saya turuti maumu," kata Firan sambil membelai rambut pirang Celia. "Baik minggu depan Kita terbang ke Inggris, besok Kamu urus surat-surat perjalanan," ucap Celia sambil merebahkan kepalanya di dada Firan.
Rencana kepergian Firan ke Inggris untuk menetap di sana bersama Celia tersebar di kampus, beragam komentar muncul. "Enak ya tinggal di Inggris, di sana bisa lihat Liga Primier Inggris secara langsung," ujar Nyodit temannya satu jurusan. "Iya di sana bisa melihat Istana Buckingham," kata Koreng. "Hujan batu di negeri sendiri lebih enak daripada hujan emas di negeri orang," seloroh Benu dengan tertawa. Mendengar selorohan itu, Nyodit dan Koreng secara serempak mengatakan, "Dasar syirik."
Mendengar mantannya hendak menetap di Inggris, Vira, Hani, dan Sisca, nampak gundah. Meski mereka sudah dikecewakan namun mereka masih berharap bisa kembali bersatu. Ketiga cewek itu bertanya-tanya kepada teman-teman dekat Firan, kapan pastinya ia pergi ke Inggris. Vira meneteskan mata ketika mengingat masa-masa indah dengannya. Vira ingat bagaimana ia dibonceng Firan pergi ke Gunung Gejah, Danau Bulan, dan Tebing Cinta. Selama perjalanan Vira selalu mendekam Firan. Foto-foto saat berdua masih disimpan oleh Vira di albumnya. Pertemuan saat malam seni dan budaya di kampus beberapa waktu yang lalu dirasa sebagai pertemuan terakhir. "Oh Firan mengapa Kamu meninggalkan Aku," gumamnya dengan sedih, air matanya pun menetes di pipinya yang putih.
Hani pun demikian, dirinya ingat saat liburan semesteran, bersama Firan ia pulang bersama ke kampung halaman. Kampung Firan dan kampung Hani berjarak 30 km, dan untuk menuju ke Pulau Swaba, ditempuh dalam satu jalur. Dalam perjalanan pulang bareng itu, mereka naik turun angkutan, mulai dari bus kecil, kapal laut, hingga kereta api, meski jarak jauh, bagi Hani jarak itu menjadi dekat karena Firan ada di sampingnya. Apalagi Firan nampak mengayomi dan melindungi Hani. Hani ingat saat berada di dalam kereta, Firan mencium keningnya. Ketika dicium Firan, hati Hani terasa sejuk, bumi menjadi indah, langit menjadi cerah, dan angin berhembus sepoi-sepoi. Hani membalas memeluk Firan dengan manja. "Firan Kamu tega meninggalkan Aku," suara lirih muncul dari mulut yang mungil. Hani meneteskan air mata.
Sama seperti Vira dan Hani, Sisca pun demikian, Sisca ingat ketika dirinya tidak mampu mengerjakan tugas kuliah yang diberikan Pak Manuaka, Firan membantu sehingga tugas yang tebalnya sebanyak 50 lebar itu terselesaikan. Bantuan Firan terbukti benar dan tidak main-main, buktinya Sisca mendapat nilai A dari mata kuliah itu. Tak hanya itu, Sisca ingat ketika harus membeli alat-alat praktek laboratorium, Firan yang memilihkan barangnya sehingga alat-alat praktek laboratorium itu awet. "Firan Aku akan menunggumu sampai kapanpun," janji Sisca.
***
Pagi itu kecuali Trengginas, seluruh anak kos dan Ibu Kos berkumpul. Mereka hendak melepas kepergian Firan ke Inggris. Dengan menggelar tikar yang sudah bolong-bolong, semuanya duduk lesehan
Di tengah mereka ada makanan dan minuman seperti kue-kue yang dibeli di toko kelontong termasuk minuman sirup. "Teman-teman semua Kita berkumpul pagi ini untuk mendoakan Firan yang hendak pergi ke Inggris," ujar Eling. "Sebagai manusia biasa, Kita mempunyai kesalahan dan dosa kepada Firan, begitu sebaliknya. Untuk itu sebelum Firan pergi mari Kita saling memaafkan, sebab selanjutnya akan susah bertemu dengan Firan karena jaraknya yang sangat jauh," Eling menasehati. "Saya persilahkan bila Firan mau menyampaikan uneg-uneg-nya." Mendapat kesempatan, Firan menggunakan kesempatan itu. "Teman-teman semua, Saya Firan, Saya minta maaf bila selama ini ada kesalahan, Saya minta maaf kepada Trengginas dan Kojed yang beberapa waktu lalu bertingkah seperti anak kecil," tuturnya. Mendengar tuturan itu Kojed tersenyum, dan berseloroh, "Saya maafkan." "Geerrr," tertawa meledak diantara mereka.
Setelah suara tertawa tak terdengar, Firan melanjutkan rangkaian kata, "Saya hari ini akan pergi ke Inggris bersama Celia. Di Inggris, Saya akan menikah dengan Celia. Saya menikah dengan Celia atas nama cinta bukan karena materi atau faktor lainnya. Celia adalah gadis terakhir di hidup Saya," "Teman-teman yang dekat atau bersahabat dengan Vira, Hani, Sisca, dan yang lainnya, tolong sampaikan maaf Saya kepada mereka." Mendengar banyak nama cewek yang disebut, Ingko berseloroh, "Busyet banyak banget mainanmu." 'Gerrr,' terdengar suara tawa meledak di ruang itu. Setelah suasana tenang kembali, Firan melanjutkan uneg-uneg-nya, akhir kata, "Demikian sedikit kata yang Saya ucapkan."
"Saya pikir demikian, untuk selanjutnya Saya persilahkan Ichsan untuk memimpin doa," kata Eling. Ichsan yang terkenal sangat alim dan suka pergi ke Masjid An Nur itu langsung memimpin doa. "Amiin," ucap mereka serempak ketika Ichsan mengakhiri doa. "Selanjutnya mari Kita nikmati makanan dan minuman ala kadarnya ini," ujar Eling.
Setelah menikmati makanan dan minuman yang dibeli secara patungan, semuanya siap mengantar Firan pergi ke bandara. Lima sepeda motor dengan berboncengan, 10 anak kos siap mengantar. Firan dibonceng oleh Onoy.
Ketika melintas di jalan, mereka seperti konvoi, untung jalan ke bandara tidak ramai sehingga tidak mengganggu lalu lintas. Lancarnya jalan membuat mereka cepat tiba di bandara. Bila macet mungkin waktu yang ditempuh ke bandara bisa lama. Setelah mereka memarkir sepeda motor, semua berjalan menuju bagian keberangkatan luar negeri. Ketika tiba di tempat itu, Celia sudah menunggu. Celia tersenyum bahagia ketika Firan dan teman-temannya datang. Firan memperkenalkan teman-temannya, dengan bersahabat Celia menerima perkenalan itu. "Teman-teman Firan baik-baik semua," ujarnya dengan tersenyum ramah. Mereka ngobrol dengan gaduh sehingga menjadi perhatian orang yang berada di bandara.
Jam dan hari keberangkatan Firan ke Inggris rupanya diketahui oleh Vira, Hani, dan Sisca, mereka secara diam-diam dan terpisah juga pergi ke bandara. Mereka serba salah, mau mendekat sudah tak memiliki ikatan apa-apa dengan Firan, kalau mendekat mereka akan kehilangan harga diri. Dengan rasa sedih, haru, dan merasa kehilangan, ketiga cewek itu memandang Firan dari kejauhan.
Jam menunjukkan pukul 14.00, berarti Firan dan Celia pun harus boarding, sebagai tanda perpisahan, mereka saling jabat tangan, Firan dan Celia pun melambaikan tangan kepada semua sebagai akhir pertemuan. Ketika Firan lamban laun meninggalkan kerumunan teman-temannya, secara tak sadar Vira, Hani, dan Sisca kakinya melangkah menuju ke tempat kerumunan, semakin Firan jauh, kaki ketiga cewek itu dari berjalan menjadi berlari. Sehingga secara bersamaan, Vira, Hani, dan Sisca tiba bareng di kerumunan itu. "Naaah, kebetulan nih," ujar Ulang yang juga ikut mengantar Firan. "Firan meminta maaf kepada kalian bertiga," Ulang menyampaikan pesan Firan. "Ah nggak sudi," ujar Vira. "Emang dia salah apa?" kata Hani pura-pura tidak tahu. "Saya ke sini mau menjemput saudaraku kok," Sisca beralasan.
"Sudahlah masih banyak Firan yang lain," Sidar menggoda ketiga cewek itu yang mengharap Firan. "Buktinya Onoy dan Kojed dari dulu ngganggur dari cewek." Gurauan Sidar itu memancing semua tertawa. "Ayo pulang, hari sudah sore," Eling mengingatkan mereka.
***
Untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Dosen Ibu Kasih, Trengginas mencari bahan-bahan yang diperlukan. Ia mencari bahan tidak ke perpustakaan jurusan, fakultas, atau kampus, namun melalui internet. Sore itu ia pergi ke Warnet Blue Cup. Warnet itu berada di samping Pasar Sangglak. Blue Cup memang warnet yang paling disukai oleh para mahasiswa dan pelajar, sebab selain perjam-nya murah juga tempatnya full AC.
Saat tiba di Blue Cup, Trengginas bersyukur sebab masih menyisakan satu tempat, biasanya pengunjung harus antri saking ramainya. Trengginas adalah pengunjung setia di tempat itu sehingga penjaga sudah akrab dengan dirinya. "Hai, ke mana saja kok lama tidak ke sini," sapa penjaga warnet. "Biasa urusan negara," jawab Trengginas bercanda. Penjaga warnet tertawa. "Masih ada satu tempat yang bisa dipakai kan?" tanya Trengginas. "Iya di nomor 10," kata penjaga warnet yang juga tengah asyik lagi chatting.
Trengginas langsung menuju ke komputer nomer 10. Dipilihlah paket 2 jam. Dua jam dirasa sudah cukup karena data yang diinginkan tidak banyak. Paling-paling dirinya lebih asyik chatting daripada mencari bahan untuk tugas kuliah. Dibukalah www.google.com dan kemudian diketiklah sebuah kalimat. Begitu di-enter, ratusan kalimat itu muncul dari berbagai alamat situs. Diakses dan di-copy-nya data-data yang diinginkan. Setelah dirasa cukup, selanjutnya ia membuka www.yahoo.co.id. Diklik mail, terbukalah fasilitas itu, selanjutnya ia menulis alamat dan kode alamat email-nya, trengginas007@yahoo.co.id, begitu alamat email itu diketik, selanjutnya ia menulis sebuah kode. Dan terbukalah data-data email keluar dan masuk.
Beberapa hari tidak dibuka, puluhan email baru belum dibaca. Diantara email itu datang dari Mihiro, mihiro@yahoo.co.jp. Ia gembira mendapat email dari perempuan yang pernah bersamanya selama beberapa hari. Di-klik alamat email itu, dan dalam box terdapat sebuah tulisan yang panjang yang berbunyi, "Ha Trengginas, apa kabar. Saya dalam keadaan baik dan sehat. Saya di Jepang sudah beraktivitas kembali seperti sedia kala. Saat-saat ini pekerjaanku bertambah banyak karena jabatanku di kantor naik. Aku senang bisa naik jabatan, namun membuat Aku jarang untuk bepergian.
O, iya, setelah Aku sepulang dari Pulau Swaba, Aku menceritakan pengalaman kepada sahabatku namanya Miyuki. Saat Aku ceritakan pengalaman itu dia sangat tertarik sekali ingin ke negaramu. Miyuki tahu negaramu dari membaca buku, koran, dan majalah. O, iya temanku itu pemilik toko mebel besar. Setelah Miyuki tahu di negaramu ada produk-produk mebel yang bagus, ia akan menjalin kerja sama kepada produsen untuk menjualnya di Jepang.
Tolong kalau Miyuki di negaramu Kamu antar dia kalau hendak ke tempat-tempat produsen mebel yang terkenal. Katanya di Jepara banyak sekali produsen mebel. Tolong jaga dia baik-baik seperti Kamu menjaga Aku. Dia Akan terbang ke Pulau Swaba dua hari lagi. Jadi nanti Kamu jemput Miyuki di bandara. Ok, terima kasih atas kesedian Kamu.Â
Â
Mihiro
Anata Ni Aishite, Aku Cinta Kamu.
Mendapat kabar yang demikian, Trengginas girang bukan main. Seolah-olah dirinya mendapat durian runtuh. "Yipi, yipi, yipi," ia bersenandung. Mendengar Trengginas bersenandung, penjaga warnet kaget, "Ada apa Nas?" "Mahu tahu banget," katanya dengan bahasa alay. "Nggak ngaruh buat loh," katanya lagi dalam bahasa yang sama. "Aku pikir lagi stress karena banyak ujian yang nggak lulus," ujar penjaga warnet itu sambil tertawa. "Ngapain mikir orang lain," sahut Trengginas dengan jengkel.
***
Menjelang jam 21.00, Trengginas sudah di bandara. Malam itu ia menjemput Miyuki. Di saat duduk di area kedatangan, ia melihat Vira. Disapa temannya satu kampus itu, 'He Vir Kamu mau ke mana?" Mendengar suara Trengginas, Vira menoleh, "Hai Nas," dengan suara lirih. "Kamu lagi nggak enak badan ya?" Trengginas melihat wajah Vira pucat. Vira tidak menjawab. "Masih teringat sama Firan ya?" Trengginas menggoda. Vira tetap tidak berkomentar. "Aku mau pindah kampus saja Nas, biar lebih dekat dengan orangtuaku. Di sini Aku tidak kuat lagi dengan masa laluku," Vira mengungkapkan rasa hatinya. "Di kota asalku ada perguruan tinggi yang memiliki jurusan yang sama dengan Universitas Silada. Jadi gampang pindahnya," ucapnya.
"Ya deh Vir, Aku tahu perasaanmu. Memang gagal menjalin hubungan dengan orang yang Kita cintai itu sakit rasanya," Trengginas menghibur. "Ok ya Nas, selamat tinggal. Lima belas menit lagi aku harus boarding, ini penerbangan terakhir di bandara ini," Vira pun menjabat tangan Trengginas dan selanjutnya pergi meninggalkan.
Ketika Trengginas melihat Vira sambil menarik kopernya berjalan menuju pintu masuk keberangkatan. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara pemberitahuan bahwa telah mendarat pesawat dengan nomer penerbangan 14573 yang datang dari negeri sakura. Ia segera menuju pintu keluar area kedatangan. Ia sudah mempersiapkan tulisan Miyuki di atas kertas sehingga tidak susah-susah tengak-tengok. Para penjemput dari hotel juga seperti itu bila hendak menjemput tamu-tamunya.
Satu persatu penumpang pesawat dari Jepang keluar dari area kedatangan. Tulisan Miyuki itu diacung-acungkan. Ia melihat ada seorang cewek Jepang yang mungil sedang berjalan keluar dari area kedatangan dengan menjinjing tas dan menarik koper. Ia dengan semangat mengacung-acungkan tulisan itu, ternyata cewek Jepang itu cuek. "O, bukan dia ternyata," gumamnya.
Selanjutnya ia melihat ada seorang cewek Jepang yang tubuhnya di atas rata-rata orang Jepang sedang berjalan dengan seorang pria yang juga berasal dari Jepang. Ia berpikir itu bukan Miyuki sebab Mihiro mengatakan dalam email-nya bahwa ia datang sendiri. Tulisan Miyuki itu tidak diacung-acungkan namun dipegang dengan santai menggantung di tangan. Namun cewek Jepang itu memperhatikan tulisan itu, kemudian ia mendekat, "Hai Kamu Trengginas temannya Mihiro?" Mendapat ungkapan seperti itu, dirinya kaget, secara spontan ia menjawab, "Iya." "Aku Miyuki," ujar cewek Jepang itu. Sementara pria Jepang itu tersenyum. Setelah bercakap-cakap dalam bahasa Jepang, akhirnya pria itu meninggalkan Miyuki.
"Senang sekali bisa Kamu jemput," ujar Miyuki dengan girang. "Ayo Kita duduk dulu di cafe sebelum ke hotel," ajak Miyuki. Miyuki dengan dibantu Trengginas membawa tas dan kopernya menuju ke salah satu cafe yang masih buka di bandara. Setelah duduk dan memesan kopi hangat, Trengginas bertanya, "Siapa temanmu tadi yang juga dari Jepang?" "Pria tadi? O, dia pemain sepakbola di J-League. Ia ke sini katanya mau menjalani tes kesehatan dan ketrampilan bermain bola. Katanya mau dikontrak salah satu klub sepakbola terkenal di negaramu," ujarnya. "Di pesawat Kami duduk satu deret dan untuk mengisi kejenuhan dalam penerbangan, ya Kami ngobrol macam-macam," ujarnya dengan tertawa.
Trengginas bersyukur Miyuki benar-benar datang sendiri, dan ternyata pria Jepang yang bernama Kosuke itu hanyalah teman selama di pesawat saja. Dan yang lebih menggembirakan, Miyuki lebih cantik dan seksi dibanding Mihiro. Belum-belum Trengginas sudah memikirkan yang tidak-tidak.
Kopi yang dipesan pun diteguk mereka. "Ok, Saya sudah pesan kamar dan taxi menuju ke hotel itu. Kita berpisah malam ini dan selanjutnya besok pagi Kita bertemu," kata Miyuki. Mendengar hal yang demikian, perasaan Trengginas menjadi kecut. "Sialan,"gumamnya. Ia pikir Miyuki mau diantar ke hotel.
Tak lama kemudian sebuah taxi warna hitam mengkilat mendekat cafe itu. Miyuki mengangkat tas jinjingnya. Karena jaga diri, Trengginas membantu mengangkat kopernya dan dengan dibantu oleh sopir, tas itu dimasukkan ke dalam bagasi mobil. "Ok, jangan lupa ya Aku di Hotel Sartika," ujar Miyuki sambil masuk ke dalam mobil. Mobil itu meninggalkan Trengginas yang berdiri sendiri. "Gila lu Ndro," katanya menirukan komedian Dono, Kasino, dan Indro, untuk menunjukkan kekesalannya.
***
Trengginas bangun ogah-ogahan. Ia tidak bersemangat menemui Miyuki karena Miyuki terkesan mencueki dirinya seperti tadi malam. Biasanya kalau ia menemui bule cewek atau cewek dari Asia, selalu bersemangat dan bergegas. "Santai saja brow," katanya lirih. Sarung yang menyelimuti dirinya dikurungkan kepada badannya.
"Nas Kamu nggak kuliah," teriak Ibu Kos dari luar. Teriakan itu dibalas Trengginas dengan slengekan, "Tidaak." "Pasti mau ketemu tamu," canda Ibu Kos. Tamu adalah istilah yang digunakan wisatawan asing. "Maksud loh?" Trengginas menggunakan bahasa alay. "Ya Kamu kan lebih suka cari tamu daripada kuliah. Ingat orangtuamu," Ibu Kos menasehati. "Emang ngaruh buat loh," bahasa alay diulangi Trengginas. "Lue-gue end," ujar Ibu Kos nggak mau kalah dalam menggunakan bahasa alay sambil tertawa.
Dengan berjalan malas-malasan, Trengginas menuju kamar mandi. Bak kamar mandi airnya yang masih setengah diisi kembali dengan membuka kran. Sambil menunggu air penuh, Trengginas duduk di dekat pintu kamar mandi. Ia melihat teman-teman kos lain hendak pergi ke kampus. Dalam hatinya ia berpikir, orangtuanya susah-susah membiayai kuliah namun justru dirinya enak-enakan. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia sampai terjerumus dalam dunia yang sekarang tengah ia nikmati, yakni mencari tamu. "Ah masa bodoh," gumamnya. Tak terasa bak kamar mandi terisi penuh. Ia segera masuk kamar mandi. Suara guyuran air jatuh terdengar. Hal demikian menandakan Trengginas membasuh badan dan selanjutnya tubuh digosok dengan sabun mandi kemudian diguyur dengan air kembali badannya.
Dengan menggunakan kaos warna hitam dan celana jeans hitam begitulah dandanan Trengginas untuk bertemu dengan Miyuki. Sepeda motor dibersihkan sekadarnya dan selanjut ngebut sebab dirasa hari sudah meninggalkan pagi. Sampai di hotel ia langsung menuju ke loby Hotel Sartika. Ia kaget karena Miyuki sudah menunggunya. "Kok terlambat," ujarnya. "Maaf jalan macet," Trengginas beralasan. "Macet, memangnya sini Jakarta," Miyuki membantah. Dirinya kaget ternyata Miyuki tahu kemacetan di Jakarta.
"Aku di Pulau Swaba selama 2 hari setelah itu Kamu antar Aku ke tempat produsen mebel di Jepara," ujarnya. Mendengar ungkapan seperti yang ditulis dalam email Mihiro bahwa sahabatnya itu disuruh mengantar ke Jepara, Trengginas menjadi bersemangat. "Ok, hari ini Kita jalan-jalan ke mana?" tanya Miyuki. Permintaan mengajak jalan-jalan itu menambah semangat kedua kalinya bagi Trengginas. Dengan bernafsu itu mengatakan, "Ke Gunung Gejah, Danau Bulan, dan Tebing Dewi." "Tempat apa itu?" Miyuki bertanya. "Kita lihat saja nanti," Trengginas tak mau menjelaskan.
Miyuki dibonceng Trengginas dengan sepeda motor menuju ke tempat itu, sesampai di Gunung Gejah, bak seperti pemandu wisata, ia menjelaskan, Gunung Gejah merupakan gunung tertinggi di Pulau Swaba dengan ketinggian 3.500 meter di atas permukaan lain. Gunung ini berada di Kecamatan Slikur, Kabupaten Sroto. Gunung Gejah dulu pernah meletus sehingga penduduk di sekitarnya ditransmigrasikan ke pulau lain. Gunung Gejah merupakan gunung api yang memiliki kawah yang besar dan dalam, dari tempat itu sering mengeluarkan asap dan uap air.
Masyarakat di sekitar percaya di gunung itu  tempat bersemayam para leluhur dan di puncaknya dipercayai sebagai pusat kekuasaan dan kerajaan para leluhur. "Oleh sebab itu masyarakat sekitar tiap tanggal dan bulan tertentu mengadakan slametan," ujarnya.
Mendengar pemaparan itu, Miyuki berkata, Â "Wooo." Miyuki mengambil gambar dengan latar belakang gunung yang menjulang ke langit. Selepas Miyuki puas menikmati pemandangan Gunung Gejah, mereka melanjutkan wisata ke Danau Bulan.
Seperti saat mengantar tamu-tamu yang lain, di tempat itu Trengginas menerangkan tentang Danau Bulan. Dikatakan, Danau Bulan adalah sebuah danau yang terletak di kawasan Pasopisa, Desa Bentar Abang, Kecamatan Ringin Limo. Danau Bulan adalah salah satu gugusan danau di kawasan itu, selain Danau Bulan, ada Danau Wulan, dan Danau Srengenge. Di antara danau yang ada, Danau Bulan yang merupakan danau tercantik sehingga leluhur mereka memilih di tempat itu untuk melakukan pemujaan kepada Dewi Langit Biru sebagai danau kebaikan dan kecantikan. "Tak heran di sini para penduduk khususnya perempuan suka membasuh mukannya dengan air danau agar awet muda," ujar Trengginas.
Miyuki pun membasuh mukanya dengan air yang bening dan dianggap sakral. "Segar," ujarnya. Miyuki sangat menikmati pemandangan. Ia selalu mengambil foto dengan latar belakang indahnya danau. Miyuki berujar, "Indahnya," ketika melihat pemandangan alam yang tidak dijumpai di negaranya.
"Ok selanjutnya Kita menuju ke Tebing Dewi," Trengginas mengingatkan Miyuki yang masih menikmati panorama Danau Bulan. Sesampai di Tebing Dewi, Trengginas terlihat jengkel. Ia tidak mau menjelaskan tentang Tebing Dewi. Di tempat itu ia jengkel sebab diceritakan oleh Kojed dan Onoy bahwa di Tebing Dewi, Celia dan Firan memadu cinta. Saat perkenalan, Trengginas benar-benar menaruh hati pada Celia, namun Firan yang beruntung mendapatkan. "Hei kenapa Kamu diam?" tanya Miyuki. Trengginas tersenyum masam. Ia menceritakan soal Celia kepada Miyuki. "Wooo, Kamu juga berhubungan dengan bule cewek," Miyuki tertawa. "Jangan bersedih, masih banyak bule cewek," Miyuki menggoda.
Digoda, Trengginas mencubit pinggang Miyuki. Dicubit di pinggang, Miyuki sedikit kesakitan, "Auuu." Selanjutnya ia tertawa, kemudian berkejaran bak seperti film drama percintaan. Ketika Miyuki berhasil dikejar, dipeluklah oleh Trengginas. Miyuki tak tampak marah ketika diperlakukan seperti itu. Mereka berdua pun tertawa.
Saat matahari tenggelam di ufuk barat Miyuki dan Trengginas meninggalkan Tebing Dewi. Hubungan kedua orang itu menjadi mesra. Dalam perjalanan menuju hotel, Miyuki saat dibonceng selalu memeluk Trengginas. Pelukan itu membuat Trengginas ingat sama Mihori, namun bayangan Mihori segera hilang sebab Miyuki dirasa lebih cantik dan seksi.
Saat menuju hotel, ketika melihat restoran Jepang, Miyuki meminta Trengginas agar ke tempat itu. 'Lidah Saya lidah Jepang, makanya Saya mau makanan Jepang," ungkapnya. Begitu berada di dalam restoran, pelayan segera menyodorkan menu. "Gyudon, katsuobushi, miso, ramen, edamame, sake," ujar Miyuki menyebut nama makanan dan minuman yang dipesan kepada pelayan. Mendengar nama-nama itu Trengginas bingung, sehingga ia hanya memesan nasi goreng dan teh manis.
Setelah menikmati masakan, "Rasanya lain dengan aslinya," keluh Miyuki. "Di Tokyo rasanya lebih pas," ujarnya. Karena tidak tahu, Trengginas hanya meringis. "Yang masak mungkin bukan orang asli Jepang," Miyuki masih kesal sebab ia sudah memesan makanan yang banyak namun semua rasa tidak sesuai dengan harapan. "Kalau tahu begini mending makan di Rumah Makan Padang," ungkapnya. "Memang tahu Rumah Makan Padang," tanya Trengginas. "Tahu," jawab Miyuki tegas. "Kakekku dulu adalah tentara Jepang. Saat Perang Dunia II, ia pernah ditugaskan di Padang dan ia bercerita soal rendang kepadaku menjelang tidur," kata Miyuki. "Wooo," Trengginas menggumam.
"Ok, Kita pulang ke hotel," Miyuki berujar. Mereka meninggalkan restoran itu dan langsung menuju ke hotel. Sesampai di hotel, Trengginas diajak masuk ke dalam kamar Miyuki. Begitu di dalam kamar ia langsung merebahkan diri di tempat tidur. "Kamu bisa memijat Aku. Badanku terasa pegal," keluh Miyuki. Seperti pepatah pucuk dicinta ulam tiba atau kalau dalam pepatah jawa tumbu oleh tutup, Trengginas kegirangan mengiyakan. "Bisa," ujarnya dengan bernafsu.
Miyuki tidur tertelungkup, punggungnya yang lebar dan berwarna kuning terlihat dengan jelas oleh Trengginas. Trengginas dengan pelan-pelan memijat punggung itu. Miyuki nampak mendesah ketika tangan Trengginas menekan keras pijatan. Selesai punggung, arah pijatan yang dilakukan ke pinggang dan selanjutnya makin ke bawah. Ketika tak ada reaksi dari Miyuki ketika tangan Trengginas mulai nakal, Trengginas mulai berubah menjadi seekor anak gudel. Keluarlah nafsu birahi sehingga ia segera menggunakan kesempatan itu untuk menggeluarkan segala energinya kepada Miyuki. Miyuki hanya bisa mendesah dan melenguh ketika gudel di atas tubuhnya.
***
Pagi itu Miyuki dan Trengginas sudah berada di bandara, mereka hendak melakukan penerbangan domestik. Mereka akan menuju ke Jepara untuk melihat produsen mebel. Pesawat yang hendak dinaiki sudah merapat ke garba rata. Penumpang pun sudah siap-siap antri untuk masuk pesawat.
Setelah petugas membuka pintu masuk, antrian penumpang satu persatu masuk ke dalam pesawat. Trengginas dan Miyuki berada di kursi nomer 10 E dan 10 F sehingga duduknya berdampingan. Miyuki memilih duduk di kursi 10 F agar bisa dekat dengan jendela. Dengan dekat jendela, ia bisa menikmati pemandangan alam yang ada. Setelah semua kursi terisi dan pintu ditutup, selanjutnya lewat monitor diperagakan cara-cara penyelamatan diri bila dalam keadaan darurat. Miyuki melihat yang demikian sudah bosan, sebab ia sering melakukan perjalanan udara. Sedang Trengginas yang masih jarang melakukan perjalanan lewat udara, nampak seksama mengikuti petunjuk-petunjuk itu.
Begitu usai petunjuk tata cara penerbangan sipil, pesawat siap-siap take off. Pesawat pelan-pelan mulai bergerak selanjutnya bertambah cepat, lebih cepat, dan paling cepat, dan selanjutnya meninggalkan landasan. Pesawat mulai melayang. Miyuki nampak senang ketika pesawat sudah berada di atas, ia bisa melihat panjangnya Pantai Pelangi dan birunya laut. Tak lama pesawat sudah di atas awan. Sekarang yang nampak hanya gumpalan awan seperti kapas. Rasa bosan mulai menghinggapi Miyuki. Pintu jendela pesawat ditarik dan ia memejamkan matanya untuk tidur. Dengan tidur maka rasa bosan itu hilang.
Tangan Miyuki digoyang-goyang oleh Trengginas. Trengginas melakukan hal yang demikian untuk membangunkan Miyuki dari tidur sebab sebentar lagi pesawat akan mendarat. Benar apa yang dilakukan oleh Trengginas, buktinya pesawat menurunkan ketinggian dan nampak jelas daratan dan bangunan rumah. Ketinggian pesawat semakin rendah dan roda pesawat teras keras membentur sebuah landasan. Dengan demikian menandakan bahwa pesawat sudah mendarat. Meski pesawat sudah mendarat namun laju pesawat masih terasa kencang, sedikit demi sedikit kecepatan mulai berkurang dan pesawat bisa dikendalikan oleh pilot. Arah pesawat diarahkan menuju Gate 3, setelah pesawat berhenti sempurna, pintu pesawat dibuka. Bak seperti air, penumpang keluar dari perut pesawat. Mereka buru-buru keluar sebab jenuh dan bosan di udara.
Trengginas dan Miyuki pun buru-buru meninggalkan perut pesawat. Begitu tiba di ruang kedatangan, mereka menunggu koper. Koper itu ditaruh dalam bagasi sehingga harus menunggu untuk dikeluarkan dari badan pesawat dan selanjutnya dikembalikan kepada penumpang dengan memperlihatkan tanda bukti kepemilikan barang.
"Kita menginap di hotel dulu dan besok baru ke Jepara," kata Miyuki, Â "Saya ingin menikmati kota ini." "Nggak masalah," sahut Trengginas. Dengan menaiki sebuah taxi warna biru mereka menuju ke sebuah hotel di persimpangan. Di depan hotel adalah pusat keramaian kota. Receptionist tidak curiga atau meminta surat keterangan menikah ketika Miyuki yang didampingi Trengginas cek in. Receptionist hanya meminta pasport milik Miyuki untuk selanjutnya dicatat. Petugas hotel selanjutnya memberi kunci kamar Miyuki. Dirinya senang bisa mendapat kamar di lantai 7 dan menghadap ke pusat keramaian itu. Dari situ ia bisa melihat keindahan kota. Kerlap-kerlip lampu terlihat di mana-mana ketika malam tiba.
Malam itu, Miyuki bersama Trengginas dengan naik becak keliling kota. Bertepatan dengan malam minggu, suasana sangat ramai. Di alun-alun para pedagang memenuhi setiap sudut. Orang tumpah ruah, meski alun-alun padat, namun banyak orang menikmati tempat itu. Di tengah kerumunan orang, Miyuki diperhatikan banyak orang. Hal demikian karena ia orang Jepang sehingga nampak lain bentuk fisiknya, apalagi ia cantik sehingga orang tak jenuh-jenuh menikmati wajah Miyuki. Trengginas yang berada di sampingnya malah dicibirkan. "Wong ayu karo wong elek," seorang di pinggir jalan itu nyletuk. Kalimat yang artinya orang cantik dengan orang jelek itu tak menyinggung Miyuki namun menyinggung Trengginas. Kuping Trengginas menjadi merah sehingga ia cepat-cepat mengajak Miyuki menjauh dari kerumunan orang di alun-alun. Miyuki paham dan mereka naik becak menyusuri jalan yang lain.
Di sebuah jalan ia melihat sebuah restoran yang bertuliskan Rumah Makan Bandeng Presto. "Apa itu?" tanya Miyuki. Trengginas menggeleng, ia juga tidak tahu. "Pak, pak, stop," kata Miyuki kepada tukang becak. Persis di depan rumah makan itu becak berhenti. Beberapa lembar uang diberikan kepada tukang becak dan selanjutnya Miyuki dan Trengginas langsung menuju ke rumah makan yang belum diketahui apa menunya.
Dua pelayan menyambut dengan ramah ketika Trengginas dan Miyuki masuk ke dalam restoran, dipandu mereka ke sebuah meja yang dipilihkan oleh pelayan. Meja itu berada di samping kolam ikan, suara gemericik air terdengar. Setelah mereka duduk, pelayan yang lain memberikan daftar menu. Di daftar menu tercatat nama-nama makanan yang semuanya menggunakan nama bandeng, seperti bandeng presto, otak-otak bandeng, bandeng tanpa duri, paha bandeng, tahu bakso bandeng. "Sepertinya enak," gumam Miyuki dengan bernafsu. Ia segera memesan menu-menu itu. "Baik Ibu, sebentar lagi pesanan akan datang," ujar pelayan itu dengan ramah.
"Besok pagi Kita harus berangkat ke Jepara," ujar Miyuki kepada Trengginas. "Ok," Â jawab Trengginas enteng. "Kota ini indah dan banyak peninggalan Belanda," Miyuki memaparkan. "Sayang bangunan Belanda yang besar itu jadi sarang hantu," katanya dengan tersenyum.
Makanan yang dipesan tiba, makanan lebih menarik ketika sayuran dan sambal ditambah dalam pesanan itu. Nasi putih yang pulen menambah nafsu Trengginas untuk segera menyantap. Miyuki pun demikian. Selama 1 jam mereka menikmati makanan itu, bahkan Trengginas minta tambah nasi kepada pelayan. "Makanan yang sangat enak," ungkap Miyuki. "Orang Jepang suka makan ikan, orang di sini rupanya juga suka makan ikan," kata Miyuki sambi menggigit bandeng. Â "Negara Kamu lautnya luas seharusnya produksi ikannya juga banyak," Miyuki menerangkan. "Di sini nelayannya kapalnya dari kayu dan kecil sehingga tangkapan tidak banyak," kata Trengginas dengan kepedasan setelah banyak memakan sambal.
Tak terasa waktu hampir tengah malam, Miyuki kaget. Ia segera menuju ke cashier dan membayar. "Ayo Kita kembali ke hotel," ajaknya. Ketika melintas menuju hotel, jalan-jalan sudah lengang. Hal demikian menunjukan bahwa waktu sudah mendekati tengah malam.
Sampai di kamar, Miyuki langsung ganti pakaian tidur dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Trengginas berganti celana pendek dan selanjutnya berbaring di samping Miyuki. Ketika saat memeluk Miyuki. Miyuki mengatakan, 'Jangan ah, Saya capek." Trengginas tak bisa berbuat apa-apa, tanpa disadari matanya terlelap.
***
Dengan menyewa mobil dari sebuah agen, Miyuki, Trengginas, dan sopir melaju ke Jepara. Jarak dari tempat hotel menuju ke Jepara sepanjang 82 km ditempuh selama 2 jam
Â
Waktu 2 jam karena sopir yang sudah berpengalaman melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata.
Ketika memasuki kabupaten itu, dilihat banyak perusahaan-perusahaan mebel, namun Miyuki sudah memegang alamat Dayat Mebel. Ia tahu Dayat Mebel karena saat pameran mebel di Tokyo Dayat Mebel berpartisipasi. Dinamakan Dayat Mebel karena pemiliknya adalah Hidayat Mulyono. Harga yang ditawarkan Hidayat Mulyono bagi Miyuki sudah cocok. Ia datang ke tempat itu untuk memastikan produknya benar-benar memenuhi standar ecolabel. Bila tidak tentu dirinya akan dikenai denda bila menjual barang yang tidak memenuhi standar ecolabel.
Mobil yang dikendarai oleh Apan memasuki halaman rumah Hidayat Mulyono. Setelah berhenti, Miyuki segera keluar dari mobil. Sudah janjian dengan Hidayat Mulyono maka pria yang akrab dipanggil Pak Dayat itu sudah berdiri di depan pintu rumah. "Selamat siang, apa kabar?" sapa Pak Dayat sambil menjabat tangan Miyuki. "Baik, bisa senang bertemu kembali dengan Pak Dayat," Miyuki pun membalas jabatan tangan Pak Dayat. "Lha ini siapa?" Pak Dayat berkata demikian sambil melihat Trengginas. Miyuki hanya tersenyum dan tak menjelaskan siapa Trengginas.
"Mari Saya perlihatkan tempat pembuatan mebel Kami," Pak Dayat mengajak Miyuki untuk keliling pabrik. Ketika keliling, dilihat puluhan pekerja nampak sedang mengerjakan mebel kursi tamu, tolet (meja rias), tempat tidur, sofa, bed anak, almari, meja, sketsel, meja makan, boven jendela, mebel minimalis, dan mimbar. "Syukur pesanan Kami banyak sehingga tetap bisa berproduksi. Apabila Miyuki jadi memesan secara rutin mebel yang dibutuhkan untuk dijual tentu pabrik ini akan tambah sibuk," ujar Pak Dayat dengan tersenyum. Mendengar hal demikian Miyuki juga tersenyum.
Rencananya memang Miyuki akan memperbesar toko mebel yang dimiliki sehingga ia membutuhkan pasokan mebel yang lebih banya. Dari sekian produsen mebel, mebel produk Pak Dayat yang dipilih. Setelah dilihat  secara langsung, memang benar produk mebel Pak Dayat sudah memenuhi ecolabel.
"Ok Pak Dayat selanjutnya Kita bicarakan soal kerja sama," kata Miyuki. "Baik, mari masuk ke dalam rumah," sambut Pak Dayat. Mereka menuju ke rumah Pak Dayat. Miyuki memberi kode kepada Trengginas agar ia menunggu di luar. Miyuki dan Pak Dayat melakukan pertemuan 4 mata. Sambil menunggu pertemuan itu, Trengginas ngobrol dengan para pekerja.
Pertemuan 4 mata itu tak lama, Miyuki dan Pak Dayat keluar rumah dengan muka cerah. Hal yang demikian menunjukan bahwa kerja sama yang dilakukan telah deal. "Sebagai tanda kesepakatan Kita, mari santap makan siang bersama," ujar Pak Dayat. Mendapat kesempatan itu, Miyuki merasa tersanjung. "Terima kasih," ujarnya. "Temannya yang tadi kalau bisa diajak makan siang bersama Kita," harap Pak Dayat. Miyuki celingukan mencari Trengginas. Setelah mata Miyuki melihat Trengginas, ia segera memanggilnya.
Mereka bertiga menuju ke ruang makan. Miyuki riang gembira ketika menu yang disuguhkan adalah bandeng presto. "Ini makanan kegemaran Saya," ujarnya. Pak Dayat tersenyum. "Bapak sebagai pengusaha mebel yang sukses mengapa tidak menjadi Presiden seperti Jokowi?" ujar Miyuki sok tahu. Mendengar Miyuki mengatakan Jokowi, Pak Dayat kaget. "Lha tahu dari mana soal Jokowi?" Pak Dayat menanyakan hal ini kepada Miyuki. "Ha, ha, ha, ya tahu dari televisi dan koran selama Saya di negara Anda," Miyuki menjawab kebingungan Pak Dayat. "O, begitu to" Pak Dayat mahfum.
Setelah menyatap makanan dan hari sudah menjelang sore, Miyuki berpamitan. Setelah melambaikan tangan dari mobil, mobil bergerak meninggalkan halaman rumah Hiayat Mulyono dan meluncur ke arah hotel. Sepanjang perjalanan Miyuki nampak gembira sebab cita-cita mendatangkan mebel dari Pak Dayat tercapai.
Tak terasa mobil memasuki area depan pintu loby, saat mobil berhenti, pintu mobil dibukakan oleh penerima tamu, Miyuki keluar dari mobil, melintasi loby begitu saja, dan segera menuju ke kamar. Trengginas membuntuti dari belakang. Sesampai di kamar, ia berganti dengan pakaian santai. Demikian pula Trengginas. "Saya terasa capek," keluh Miyuki. "Saya pijat," sambut Trengginas. Miyuki tidak menolak. Setelah rebah, punggung, pinggang, dan leher Miyuki dipijat Trengginas. "Kamu juga capek," tanya Miyuki. "Iya," jawab Trengginas. "Baik, Aku sekarang ganti yang pijat," Miyuki ganti menawarkan diri. Saat Miyuki memijat Trengginas, rupanya Trengginas  mulai nakal, anehnya Miyuki tidak bersikap marah, sehingga naluri gudel pun muncul dalam diri Trengginas. Entahlah apa yang terjadi, antara sadar dan tidak Miyuki melihat Trengginas berpolah tingkah laku seperti gudel yang menyusui induknya, yang pasti ketika Miyuki bangun dari tidurnya ia tidak mengenakan apa-apa.
Ia membasuh muka dan duduk di kursi dekat tempat tempat tidur. Dilihat Trengginas masih terlelap. Ia membangunkan Trengginas. Setelah sadar, Miyuki berujar, "Besok Aku langsung terbang ke Jepang. Dari sini tidak ada penerbangan langsung tetapi Aku ke Singapura dahulu dan dari sana baru ke Jepang," ujarnya, "Sebagai ucapan terima kasihku kepadamu Aku beri Kamu uang untuk kembali ke Pulau Swaba dan untuk biaya hidupmu." Mendengar kalimat itu, Trengginas antara sedih dan senang. Sedikit karena ia harus berpisah dengan Miyuki, senang karena ia akan mendapat uang. "Ok, malam ini Kita nikmati kota ini sebelum kita berpisah," Miyuki beranjak dari kursi dan menuju ke kamar mandi untuk berendam.
***
Hari itu Trengginas mengantar Miyuki ke bandara. Dari bandara itu Miyuki akan terbang ke Singapura. Sebelum berpisah, Miyuki mencium pipi Trengginas dan selanjutnya ia masuk ke ruang boarding. Trengginas yang ditinggal Miyuki menjadi sendiri dan sepi. Segepok uang yang diberi Miyuki kepadanya menjadi penghibur dirinya. Miyuki sebenarnya hendak membelikan tiket pesawat ke Pulau Swaba, namun Trengginas menolak. Ia minta kepada Miyuki mentahnya saja. Dan uang mentahnya itu oleh Trengginas tidak dibelikan tiket pesawat namun tiket bus. Pastinya ia untung bila naik bus meski perjalanan yang ditempuhnya lebih lama dan lebih membosankan.
Setelah Miyuki tak bersamanya, ia meninggalkan bandara dan menuju ke terminal bus. Saat meninggalkan bandara, dari bawah pusar Trengginas ada sesuatu yang bergerak-gerak dan selanjutnya mengatakan, "Jangan bersedih Trengginas, masih banyak Mihiro dan Miyuki lainnya yang akan bersamamu."
***
Mata Jurgen Bohler berusaha dipejamkan agar bisa tidur. Belasan jam di pesawat membuat bosan. Ia sedang menempuh  perjalanan dari Jerman menuju Pulau Swaba. Ia adalah wartawan majalah wisata, Reisenden Nachrichten, yang terbit di Munchen. Kepergian ke Pulau Swaba untuk meliput pernak-pernik dunia wisata.
Saat mata hendak terpejam, tiba-tiba crew pesawat mengumumkan pesawat sebentar lagi mendarat di bandara internasional Pulau Swaba untuk itu semua jendela yang tutup hendak dibuka, sandaran kursi ditegakkan, dan sabuk pengaman dikenakan.
Pesawat mulai menurunkan ketinggian. Pesawat menurunkan ketinggian terasa oleh semua penumpang. Menurunkan ketinggian menunjukkan bahwa bandara semakin dekat. Kanan kiri pesawat yang sebelumnya gelap, mulai nampak terang oleh kerlap kerlip lampu di bawah. Kerlap kerlip lampu menandakan pesawat sudah memasuki kota besar di Pulau Swaba.
Pesawat semakin lama semakin menurunkan ketinggian dan benturan antara roda pesawat dengan landasan pacu terasa, suara deru pesawat menembus ke dalam pesawat, pesawat berlari seperti tanpa kendali, hingga akhirnya pesawat itu bisa dikuasai oleh pilot dan pesawat berhenti di ujung landasan. Pesawat kemudian diarahkan menuju ke tempat kedatangan. Di muka para penumpang terlihat rasa puas, tiba di tempat merupakan obat mujarab mengusir kebosanan.
Setelah pesawat berhenti sempurna, tak selang lama pintu dibuka, dan crew mengharap agar penumpang keluar dengan tertib. Satu persatu penumpang, dengan tas bawaan masing-masing keluar, dari perut pesawat. Termasuk Jurgen Bohler. Akhirnya sampailah para penumpang di tempat pengambilan bagasi. Jurgen Bohler yang perangkat kameranya ditaruh di bagasi membuat dirinya harus menunggu sampai barang-barang di pesawat diturunkan. Sebab maskapai yang ditumpangi terkenal dengan pelayanan yang prima, tak sampai 15 menit kamera Jurgen Bohler sudah di depan mata, diambilnya barang itu dan ditunjukkan tanda kepemilikan bagasi kepada petugas, dan selanjutnya ia bisa keluar dari ruang ke datangan.
Ketika berjalan keluar, dirinya mendengar banyak orang mengatakan, "Taxi, taxi, taxi." Jurgen Bohler berpikir pasti mereka menawarkan jasa transportasi. Sayang ia sudah memesan sebuah hotel sehingga ia mendapat jemputan. Dirinya melihat salah seorang mengangkat kertas putih dengan bertuliskan nama dirinya. "Saya Jurgen Bohler," ujarnya kepada orang yang memegang kertas putih dengan nama tulisan dirnya. Tahu yang dijemput sudah datang, maka ia membantu mengangkat kamera yang ada.
Dipandu Jurgen Bohler menuju mobil yang sudah tersedia di tempat parkir. Begitu ia masuk mobil dan semua barang sudah ditaruh di bagian belakang, mobil segera bergerak meninggalkan tempat parkir menuju ke hotel.
***
Entah mengapa tiba-tiba Trengginas mampir di sebuah masjid di dekat bandara. Padahal pergi ke masjid adalah suatu hal yang jarang dilakukan. Sampai di masjid itu dirinya segera menuju ke tempat wudhu dan membasuh muka, tangan, dan kaki untuk syarat syahnya sholat. Setelah basuhan air ke bagian-bagian tubuh itu memenuhi syarat, selanjutnya ia menuju ke tempat sholat. Dhuhur sudah mau habis dan ashar menjelang, namun dengan cuek Trengginas sholat dhuhur. Di dalam masjid nampak lengang, terlihat beberapa orang tertidur di tempat itu. Ia tanpa tolah-toleh menunaikan sholat 4 rekaat. Rekaat demi rekaat dilakukan hingga akhirnya salam. Selepas salam ia menyempatkan diri melakukan doa. Mulutnya nampak komat-kamit seperti melafalkan sebuah ayat. "Amin," begitu akhir doa selesai dilakukan.
Ketika hendak meninggalkan masjid, ia melihat seorang yang sepertinya berasal dari Timur Tengah terlihat duduk sendiri di pojok masjid. Sambil duduk, orang itu menghitung-hitung sesuatu di buku tulis yang dipegang. Di samping corat-coret angka-angka, di buku tulis itu terlihat sebuah sket gambar Benua Australia.
"Assalamu'alaikum," salam Trengginas. Mendapat salam, orang itu menjawab, 'Waalaikum salam." Trengginas pun memperkenalkan diri. "Terus nama Anda siapa?" tanya Trengginas. "Rashid, Mohammad Rashid," jawab orang itu. "Anda ke Pulau Swaba mau wisata," tanya Trengginas lagi. "Anda polisi?" tanya Rashid dengan nada curiga. "Bukan Saya mahasiswa," Trengginas menjawab. "Alhamdulillah," Rashid bersyukur. "Saya di Pulau Swaba tidak berwisata," jawab Rashid dengan singkat. "Terus mengapa kalau tidak berwisata?" Trengginas penasaran. "Negara Saya Afghanistan selalu dirundung perang sehingga Kami merasa tidak aman. Untuk itu Kami beserta puluhan orang Afghanistan melarikan diri atau menyelamatkan diri keluar dari negara Kami," Rashid menjelaskan. "Gara-gara Amerika Serikat ya?" Trengginas ingin tahu sikap Rashid soal negara yang dijuluki Paman Sam itu. "Iya, Amerika Serikat biang keladi namun faksi dan suku-suku di negara Kami juga suka berkonflik," jawab Rashid.
"Terus mengapa Kamu menghitung-hitung angka di buku tulis dan ada gambar Benua Australia," Trengginas penasaran dengan apa dilakukan Rashid dengan buku tulisnya itu. "Anda bisa menjaga apa yang nanti Saya katakan?" Rashid sepertinya hendak mengatakan sesuatu yang penting. "Insya Allah," jawab Trengginas. "Begini, Saya dengan 40 orang Afghanistan lainnya sekarang Kami sembunyikan di sebuah rumah, beberapa malam lagi hendak melakukan perjalanan ke Australia," Rashid mulai membuka rahasianya. "Naik pesawat apa?" Trengginas semakin penasaran. "Bukan naik pesawat tapi naik perahu yang Kami sewa dari nelayan. Kami akan menjadi manusia perahu untuk mencari suaka di Australia," Rashid semakin membuka diri. "Biar aman, Kami dan kelompok-kelompok pencari suaka lain selalu berada di wilayah-wilayah pantai yang menghadap Samudera Hindia," paparnya. "Pulau Swaba dekat dengan Australia makanya Kami memilih tempat ini untuk menuju ke Australia," Rashid menerangkan mengapa dirinya di pulau ini.
Mendengar pemaparan yang demikian, Trengginas menjadi kasihan, sebab mereka terusir dari negaranya karena konflik bersenjata, sedang untuk mencari suaka politik mereka harus mempertaruhkan nyawa, sebab sudah banyak manusia perahu dari Timur Tengah maupun daerah konflik lain tenggelam di Samudera Hindia. "Mengapa Kamu tidak tinggal di negara ini saja?" Trengginas memberi alternatif kepada Rashid. "Tidak, karena Australia lebih sejahtera dalam memberi kesejahteraan rakyat sehingga dijadikan pilihan pencari suaka," Rashid menolak usulan Trengginas. Mendengar penolakan itu, Trengginas jadi berpikir terbalik, "Berarti negara ini belum sejahtera dong?"
Setelah jelas identitas dan rencana Rashid, Trengginas mengatakan kepada Rashid dirinya mau kembali ke rumah. Rashid tersenyum dan mengatakan, "Tolong dijaga rahasia ini ya." "Ok, Ok," Trengginas menjawab dengan santai. Setelah ditinggal Trenggnas, Rashid kembali mencorat-coret buku tulis yang dipegang, mungkin ia sedang menyusun strategi pelarian agar tidak diketahui aparat berwajib. Bila diketahui aparat berwajib, pasti upaya pelarian akan digagalkan, apalagi pemerintah Australia sudah menekan agar negara ini mengawasi dan menggagalkan manusia perahu. Australia menilai negara ini kurang serius mengawasi manusia perahu sehingga semakin banyak pencari suaka ke Australia melalui negara ini dengan menaiki perahu.
***
Pagi yang cerah, Jurgen Bohler sudah menyiapkan kamera. Ia hendak pergi ke Pantai Pelangi untuk merekam dan melihat keindahan di pantai. Begitu sudah siap, ia bergegas keluar dari kamar. Jarak hotel yang ditempati tidak jauh dengan pantai sehingga cukup 15 menit ia sudah tiba.
Ketika sampai tujuan, suasana pantai masih sepi. Sehingga ombak dan pasir terlihat masih putih dan bersih. Terlihat beberapa petugas kebersihan sedang memungut sampah plastik, ranting, dan daun yang berserakan. Melihat peristiwa seperti itu Jurgen Bohler langsung merekam. Petugas kebersihan tidak sadar ketika dirinya di-shoot sehingga tak ada beban untuk ber-acting layaknya pembuatan film dokumenter.
Setelah pengambilan gambar dirasa cukup, kamera itu lalu dimatikan. Selanjutnya ia mengeluarkan laptop yang dibawa dan menulis, entah apa yang ditulis. Sebagai seorang wartawan, rasa sabar dimiliki oleh Jurgen Bohler sehingga dirinya masih menunggu terus peristiwa penting dan unik di tempat itu.
***
Pagi ini Trengginas sepakat bertemu kembali dengan Angela di Pantai Pelangi. Angela adalah cewek bule yang dikenal ketika sedang belanja di artshop tadi malam. Pagi-pagi dirinya menuju ke tempat Angela menginap. Saat di loby, dirinya meminta tolong kepada receptionist untuk menghubungkan kamar Angela. Ketika dihubungi, tidak ada jawaban, diulang-ulang sambungan ditujukan ke kamar itu, namun juga belum saja terhubung. "Mungkin masih tidur," ujar salah seorang receptionist. "Baik kalau begitu Saya tunggu," sahut Trengginas.
Hari sudah hampir siang, Trengginas masih sabar menunggu di loby. Ketika matahari sudah berada di atas ubun-ubun, ada telepon dari kamar  Angela yang menitip pesan kepada receptionist bila ada yang mencari diminta menunggu sebab dirinya sedang mandi. Tahu yang menunggu Angela masih berada di loby, maka pesan itu disampaikan kepada Trengginas.
Satu jam kemudian Angela menuju loby, dirinya meihat Trengginas sedang menunggu. "Sory, Saya terlelap saat tidur," ujarnya mengagetkan Trengginas. Mendengar suara Angela, Trengginas girang, meski menunggu sudah lama namun dirinya tak marah. Â "O, tidak apa-apa," ungkapnya. Hari itu Angela nampak kelihatan cantik dan seksi, celana pendek dan kaos hitam yang dikenakan nampak cocok dengan bentuk tubuhnya. "Ok, Kita langsung ke pantai," ajak Angela.
Mereka berdua menuju ke Pantai Pelangi. Di siang hari, pantai terlihat ramai, terlihat bule-bule sedang berjemur. Melihat terik matahari yang demikian panas, Angela begitu girang. Hal demikian jarang ditemui di negaranya, sehingga saat tiba di pantai ia segera melepas celana pendek dan kaos, sehingga ia hanya menggunakan bikini renang. Melihat hal yang demikian, detak jantung Trengginas bertambah kencang, namun ia bisa menguasai diri. Apalagi di pantai itu orang memakai bikini renang tidak hanya Angela, namun bule cewek yang lain pun demikian.
"Ayo kita renang," ujar Angela sambil berlari menuju arah demburan ombak yang tidak terlalu besar. Trengginas melepas kaosnya dan memakai celana pendek yang terlihat sudah kumal. Ia berlari di belakang Angela. Angela nampak menikmati gelombang Pantai Pelangi sehingga ia asyik berenang ke sana kemari. Trengginas berenang di sampingnya.
Ketika gelombang sudah mulai besar, Angela mulai menuju ke daratan, pastinya Trengginas mengikuti. "Woo Asyik," ujar Angela sambil merebahkan diri di atas pasir. Trengginas tertawa. "Kamu Suka pantai ini?" tanya Trengginas. "Pasti," jawab Angela.
Suka cita antara Trengginas dan Angela di pantai itu tak disadari direkam oleh Jurgen Bohler. Ketika Trengginas memijat punggung Angela, kamera oleh Jurgen Bohler di-zoom sehingga nampak jelas sekali adegannya. "Ini cerita yang menarik," gumam Jurgen Bohler. Kamera Jurgen Bohler mengikuti gerak kedua orang itu ketika mereka sedang asyik berkejar-kejaran.
Puas mengambil gambar Trengginas bersama Anggela, selanjutnya Jurgen Bohler pindah tempat untuk mencari cerita yang sama. Matanya menatap ke sudut-sudut di tempat itu, tak ditemui hal yang menarik, ia kembali berjalan ke tempat yang lain. Setelah beberapa langkah, ia menemukan satu adegan yang menarik, yakni seorang yang berambut gimbal, berkulit gelap karena sering terkena sinar matahari, dan menggunakan kaca mata hitam, tengah bermain kartu dengan dua bule cewek. Gelak tawa terdengar di tengah mereka memainkan kartu-kartunya. Kamera yang dipegang langsung diarahkan kepada mereka dengan hati-hati agar tidak ketahuan.
Dirasa cukup merekam adegan itu, Jurgen Bohler bergerak ke tempat yang lain. Ia sekarang melihat penjual-penjual souvenir yang tak jauh dari pantai. Aneka ragam bentuk souvenir ada di situ, mulai dari kaos, topi dari anyaman bambu, patung suku primitif, kain pantai, baju pantai, patung burung, dan lain sebagainya. Dari sekian souvenir yang menarik Jurgen Bohler adalah asbak kayu. Ia tertarik pada tempat pembuangan puntung rokok larena bentuknya berupa alat vital laki-laki. Ukuran asbak itu beragam, dari ukuran kecil hingga besar. Souvenir itu diabadikan dalam kamera. "Ini lucu dan menarik," ujarnya.
***
Puas mendapatkan gambar-gambar yang menarik, Jurgen Bohler kembali ke hotel. Ia kembali ke hotel untuk mempersiapkan acara nanti malam. Nanti malam  ia akan meliput pementasan drama tradisional di Art Center Pulau Swaba. Ia sangat tertarik dengan pementasan itu. Pementasan drama tradisional nanti malam berjudul Roro Mendut.
Roro Mendut adalah cerita rakyat klasik yang merupakan salah satu cerita dalam Babad Tanah Jawi. Kisah ini menceriterakan perjalanan hidup dan tragedi cinta seorang perempuan cantik dari pesisir pantai Kadipaten Pati yang hidup pada zaman Sultan Agung, penguasa Kesultanan Mataram abad ke-17 di Jawa.
Dalam cerita, Roro Mendut adalah seorang yang cantik rupawan, karena kecantikannya itulah yang membuat semua orang terpukau, termasuk petinggi di kadipaten hingga kasultanan. Adipati Pragola penguasa Kadipaten Pati dan Tumenggung Wiroguno Panglima Perang Kasultanan Mataram merupakan petinggi yang terpikat kepada Roro Mendut. Meski demikian, Roro Mendut bukan cewek matre, kalau dalam istilah sekarang. Ia berani menolak keinginan Tumenggung Wiroguno yang ingin memiliki. Bahkan dia berani terang-terangan untuk menunjukkan kecintaannya kepada kekasihnya, Pronocitro.
Cintanya ditolak Wiroguno murka dan iri sehingga membuat kebijakan yang tak adil, yakni mengharuskan Roro Mendut wajib membayar pajak kepada Kasultanan Mataram. Roro Mendut harus berpikir panjang untuk mendapatkan uang guna membayar pajak tersebut. Sadar akan kecantikan dan keterpukauan semua orang terutama kaum lelaki kepadanya, akhirnya ia tiba pada sebuah cara untuk menjual rokok yang sudah pernah dihisap dengan harga mahal kepada siapa saja yang mau membeli.
Meski Roro Mendut mampu membayar pajak namun itu tidak membuat Tumenggung Wiroguno menyerah. Ia terus berkeinginan memiliki Roro Mendut. Tak kuasa diteror dan intimidasi oleh Tumenggung Wiroguno, akhirnya Roro Mendut dan Pronocitro memilih mengakhiri hidupnya secara bersama.
Sebelum pertunjukan dimulai, malam itu Art Center terlihat ramai, calon penonton sudah berdatangan meski pintu gedung Art Center masih ditutup. Sisca sebagai mahasiswa yang ada hubungannya dengan masalah seni dan budaya berada di antara ratusan penonton. Ia datang ke Art Center sendiri karena teman-temannya pada sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Ia bersyukur sudah memperoleh tiket pementasan sehingga tidak perlu berdesak-desakan untuk membeli tiket seperti mereka yang belum memperolehnya. Ia berada di Kelas I sehingga pementasan nampak jelas, bila di balkon kurang begitu jelas, kalau di Kelas VVIP harga tiketnya mahal.
Malam itu Jurgen Bohler juga sudah berada di antara ratusan penonton. Karcis yang dimiliki di Kelas I. Dengan menenteng kamera ia siap-siap merekam adegan-adegan pementasan.
Begitu pintu gedung Art Center dibuka, penonton mengalir masuk ke dalam gedung itu. Sisca sudah berada salah satu kursi Kelas I. Ia melihat kursi kanan kirinya masih kosong. Tak lama kemudian ia melihat seorang bule yang sedang menenteng kamera. Sisca berpikir bule itu pasti menempati Kelas VVIP namun dugaan itu salah. Ia penonton Kelas I. Ups, rupanya ia duduk tepat di sampingnya. Ia agak kikuk karena wajah bule itu dirasa ganteng.
Bule itu kemudian meletakkan kamera di bawah kursi. Ia mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk mendokumentasikan pementasan. "Hai," sapanya. "Hai juga," Sisca membalas salam itu. "Saya Jurgen Bohler," ia memperkenalkan diri. Dalam hati Sisca, "Woo, ia memperkenalkan diri. "Saya Sisca," balasnya. "Kamu kok sendiri?" tanya Jurgen Bohler. "Lha Kamu kan juga sendiri," balas Sisca. "Ha, ha, ha," mereka tertawa bersama. "Kamu wartawan ya?" tanya Sisca. "Betul," jawab Jurgen Bohler. "Kamu apa kegiatannya?" Jurgen Bohler balik bertanya. "Mahasiswa," Sisca menjawab. "Woo, mahasiswa," Jurgen sedikit berteriak.
Tak terasa di tengah asyik perkenalan dan obrolan, kursi-kursi yang tersedia penuh. "Greng... greng... greng..," gong yang berada di belakang panggung dipukul keras-keras. Pemukulan gong itu menandakan bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Perlahan-lahan layar yang menutupi panggung bergerak naik ke atas dan latar belakang panggung yang menggambar di masa Kasultanan Mataram terlihat di mana di panggung itu menggambarkan sebuah alun-alun besar dan dari kejauhan tergambar sebuah bangunan pusat kasultanan.
Cerita mengalir hingga akhir kisah tidak happy ending.
Sisca nampak terharu selepas mengikuti pementasan. Ia merasakan nasib Roro Mendut lebih tragis daripada dirinya. Bila Roro Mendut rela mati demi cinta, ia belum tentu seperti itu. Meski ia masih mencintai Firan, namun ia berprinsip tidak mau mengorbankan diri demi Firan. "Terharu ya," goda Jurgen Bohler. "Ya wajar namanya juga cewek pasti larut dalam perasaan," godanya lagi. "Eh siapa yang terharu," Sisca membela diri. "Lha itu jadi sedih," Jurgen Bohler menunjukkan muka Sisca sayu. Saat penonton sudah banyak meninggalkan ruang pementasan, Jurgen Bohler dan Sisca beranjak dari tempat duduk. "Aku pulang dulu ya?" Sisca berujar. "Eh, Kita tukar-tukaran alamat dan kontak telephon dong," kata Jurgen Bohler. Sisca pun bersedia dan mereka tukar alamat dan nomer telephon.
Dalam perjalanan pulang hati Sisca riang gembira sebab ia dapat berkenalan dengan cowok bule yang ganteng. Hatinya mengatakan, tidak hanya Firan yang bisa berkenalan dengan cewek bule yang cantik, dirinya ternyata bisa. Meski mendapat nomer telephon Jurgen Bohler, namun Sisca mempunyai prinsip dan budaya ketimuran bahwa cewek tidak boleh mendahului menghubungi cowok. Untuk itu ia menunggu dan mengharap agar Jurgen Bohler menghubungi dirinya. Â Â
***
Hari itu Sisca tidak ada kuliah, sehingga ia tidak perlu pergi ke kampus. Waktu kosong digunakan untuk mencuci pakaian kotor
Tiga hari sudah ia tidak mencuci sehingga pakaian kotornya nampak numpuk. Diletakkan pakaian kotor itu ke dalam ember dan selanjutnya diangkut ke ruang sebelah kamar mandi. Di tempat itu biasa penghuni kos mencuci pakaian kotor.
Dibilas pakaian itu dengan air yang mancur dari kran. Selanjutnya ketika hendak menuangkan bubuk cuci ke dalam air untuk mengucek pakaian, tiba-tiba Ika, teman satu kos, memanggil dirinya, "Sisca, Sisca, ada telepon buat Kamu." "Telepon? Dari siapa?" Sisca bertanya. "Nggak tahu, dari laki-laki," balas Ika.
Ia segera menuju ruang tengah di mana di tempat itu biasa mahasiswa menerima tamu dan di tempat itu telepon rumah berada. Diangkat gagang telephon, "Hai Sisca, Saya Jurgen Bohler, masih ingatkan?" ujar suara pria dari telephon itu. Mendengar Jurgen Bohler menelephon, ia terperanjat senang, sebab sudah dua hari telephon dari Jurgen Bohler yang ditunggu tak kunjung tiba, sekarang kok tiba-tiba muncul. "Baik," jawab Sisca dengan hati riang gembira. "Kamu lagi ngapain?" tanya Jurgen Bohler. "Mencuci," jawab Sisca dengan sedikit jual macam. "Mencuci? Ha, ha, ha," Jurgen Bohler keheranan dan tertawa. "Memang tidak mempunyai pembantu?" Jurgen Bohler kembali bertanya. "Anak kos," Sisca menjelaskan. "Apa anak pantai?" Jurgen Bohler menggoda. "Sudah Kita tidak usah bercanda. Aku mau minta tolong kepadamu untuk mengantar Aku ke rumah Mang Penting, bisa nggak," ujar Jurgen Bohler. "Mang Penting yang pelukis terkenal itu?" Sisca bertanya. "Iya, Mang Penting yang sudah terkenal ke mancanegara itu" Jurgen Bohler menjelaskan. "Mau beli lukisan?" Sisca menanyakan alasan kenapa Jurgen Bohler pergi ke tempat Mang Penting. "Tidak, Aku mau membuat film pendek tentang dirinya," kata Jurgen Bohler. "O, jam berapa maumu?" Sisca menanyakan jam berapa hendak ke tempat Mang Penting. "Terserah Kamu, kalau bisa secepatnya," ucap Jurgen Bohler. "Ok, kalau begitu habis Aku mencuci, nanti Kita ketemuan di Monumen Kota," Sisca mengiyakan keinginan Jurgen Bohler untuk mengantar ke tempat Mang Penting. "Terima kasih," jawab Jurgen Bohler.
Satu jam sudah Sisca mencuci. Ia segera mandi dan berdandan. Ia menggunakan jeans warna biru dan dipadu dengan kaos warna putih sementara rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Sisca dengan dandanan itu nampak cantik. Ia sebenarnya termasuk gadis cantik di kampus, banyak mahasiswa yang menaruh hati kepadanya, namun ia tak menanggapi mahasiswa yang mencoba mendekati dirinya. Ia hanya tergoda sama Firan, sayangnya Firan mengkhianati dirinya.
Dengan diantar Ika menggunakan sepeda motor, Sisca menuju ke Monumen Kota. Di pojok bagian lapangan Monumen Kota, Sisca berdiri di tempat itu menunggu Jurgen Bohler. Ia memilih berada di bagian pojok lapangan Monumen Kota sebab di situlah ia biasa menghabiskan sore dan makan jagung bakar bersama Firan.
"Mana itu orang," gumam Sisca setelah menunggu selama 15 menit kok Jurgen Bohler belum datang. Karena haus ia memesan es kelapa muda kepada penjual yang tempatnya tidak jauh darinya. Es kelapa muda itu tidak dituangkan ke dalam gelas namun dimasukan ke dalam plastik agar dirinya tidak perlu duduk di kursi yang disediakan penjual. Sesekali disedot es kelapa muda itu dari plastik, tiba-tiba ada pengendara sepeda motor trail mendekati dirinya, ia cuek, dipikir pasti itu orang iseng. Begitu helm dibuka, Sisca terperanjat senang, "Jurgeeen Bohlerrrrr." "Lama amat," lanjutnya dengan manja. "Sory, susah cari sewaan yang trail," Jurgen Bohler beralasan. "Ayo kalau begitu Kita langsung menuju ke tempat Mang Penting," Jurgen Bohler cepat-cepat mengajaknya. Sisca tanpa banyak komentar langsung naik ke atas sepeda motor trail untuk dibonceng.
Sepeda motor trail meluncur ke tempat Mang Penting. Untuk menuju ke tempat Mang Penting, mereka harus melewati gunung, sawah, dan jurang. Orang yang menuju ke tempat Mang Penting pasti menikmati pemandangan yang ada. Sawah yang berada di kaki gunung dengan bentuk terasiring serta jurang yang hijau membuat wisatawan yang melintasi tempat itu menjadi takjub. Biasa wisatawan akan berhenti dan mengambil gambar di titik-titik tertentu di sepanjang jalan bahkan ada restoran khusus untuk tempat pemberhentian. Di restoran itu pengunjung bisa melihat puncak Gunung Gejah dari kejauhan. Jurgen Bohler bersama Sisca hanya berhenti beberapa saat dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Mang Penting. Jurgen Bohler berpikir ia harus segera menyelesaikan pekerjaan membuat film kisah hidup Mang Penting.
Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, selepas menuruni tikungan, dari kejauhan rumah Mang Penting kelihatan. Rumah Mang Penting berada di atas bukit, rumahnya masih mempertahankan bentuk asli sehingga menyatu  dengan alam. Memasuki halaman rumah, ada sebuah papan yang bertuliskan, Pelukis Mang Penting.
Di halaman terlihat beberapa ayam jago yang sedang dikurung. Mang Penting memang suka memelihara ayam jago. Meski demikian ayam jago itu tidak diadu dengan ayam jago penduduk kampung dalam hari-hari tertentu namun ayam jago itu untuk mengingatkan dirinya bila pagi sudah tiba. Kokok ayam jago itulah yang membangunkan Mang Penting setiap pagi dari tidurnya yang lelap dan mendengkur kaya kerbau.
"Hai Jurgen Bohler," ujar Pecing ketika melihat ia datang. Pecing sudah tahu Jurgen Bohler karena Mang Penting menunjukan foto Jurgen Bohler kepadanya. Sebelum datang ke rumah Mang Penting, Jurgen Bohler sudah mengirimkan surat yang mengungkapkan kepentingannya. Syukur Mang Penting mau riwayat hidupnya diangkat dalam film. "Sudah ditunggu Mang Penting," ujar Pecing.
Mereka masuk ke dalam rumah dan dilihat Mang Penting sedang melukis di sebuah papan putih yang besar. Mang Penting sedang melukis hamparan sawah di mana padi yang tumbuh tampak menguning. Meski lukisan itu belum jadi namun aura keindahan dan mahalnya harga sudah terbayang. Lukisan Mang Penting memang sangat mempesona sehingga banyak dipesan oleh orang-orang penting. Bagi mereka yang mengagumi lukisan Mang Penting, soal harga tidak menjadi masalah, berapapun harganya akan dibeli. Ketenaran Mang Penting karena ia sudah sering mengadakan pameran di kota-kota besar dan luar negeri.
"Mang, Jurgen Bohler sudah datang," Pecing membisiki telingan Mang Penting. Mendapat bisikan itu, Mang Penting menoleh, "O, Jurgen Bohler." "Inilah pekerjaan Saya melukis," ujarnya dengan tersenyum sambil memandang Jurgen Bohler dan Sisca. "Mari kita duduk di gazebo," ajaknya. "Di sinilah biasanya Saya ngobrol dan menerima tamu," ujarnya. "Di gazebo ini membuat Saya bisa menyatu dengan alam dan mendapat inspirasi," Mang Penting menjelaskan kenapa dirinya selalu memilih duduk di tempat itu bila tidak melukis. "Gimana Kamu jadi membuat film tentang Saya?" ia bertanya kepada Jurgen Bohler. "Jadi Mang," jawab Jurgen Bohler. "Namun sebelum direkam dalam kamera Mang Penting bisa menceritakan kisah hidupnya. Setelah Kita catat selanjutnya akan Kita ambil adegan-adegan sesuai dengan cerita yang Mang Penting kisahkan," Jurgen Bohler menjelaskan. Mendapat penjelasan seperti itu Mang Penting tertawa panjang. "Kenapa tertawa Mang?" tanya Sisca yang ikut bicara. "Tidak, tidak apa-apa," ujarnya.
"Baiklah Aku mau menceritakan, Aku mau menceritakan sebebas-bebasnya karena Kita telah berada dalam era reformasi," ungkap Mang Penting. "Begini ceritanya," ia mulai menuturkan kisahnya. Ayah saya bernama Lewa, Ibuku bernama Sipah. Ia adalah seorang buruh tani sejak tahun 1960-an. Setiap pagi selepas subuh Lewa bergegas menuju ke sawah milik juragan yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah.
Begitu sampai di sawah, biasa Lewa duduk di gubuk. Diambil sebuah bambu kecil yang di ujungnya ada bendera dari plastik (kober). Sawah yang dijaga Lewa berada di area persawahan yang luasnya mencapai 30 ha. Area itu merupakan persawahan masyarakat desa.
Ketika matahari sudah mulai menampakan diri, serta merta terdengar teriakan dari para petani, hiaa... atau bunyi-bunyian kaleng, yang saling bersahutan. Teriakan dan bunyi-bunyian kaleng itu dilakukan untuk mengusir  atau menghalau burung pipit yang memakan butir-butir padi. Para petani melakukan yang demikian dengan tak jemu-jemunya, dari pagi sampai sore, sampai panen tiba.
Meski sudah tua namun  Lewa tidak kenal lelah mengitari sawah, sambil mengibas-ngibaskan kober. Bahkan terkadang ia berlari menghampiri tanaman padi  ketika burung pipit yang diusirnya nekad memakan butir-butir padi. Sehingga energinya selama bertani lebih banyak habis digunakan hanya untuk menghalau burung pipit. Meski sudah berumur ia tetap menggunakan kober untuk mengusir burung pipit karena menggunakan suara dari kaleng yang ditarik-tarik dari gubuk, menurut Lewa dirasa tidak efektif.
Gangguan dari burung pipit itu tidak hanya saat iklim cerah, di saat gerimis, burung-burung itu tetap ada, sehingga panas dan hujan, seolah-olah harus dilawan Lewa untuk menjaga butir-butir padi. Semua itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Saat yang bisa membuat hidupnya lebih santai adalah selepas panen atau saat tanam. Selepas panen dan saat tanam, ia mengunjungi sawahnya tidak dari pagi sampai sore, ketika panas atau hujan deras, ia lebih memilih pulang.
Selama menjaga sawah dari serangan burung pipit, istri yang dinikahi sejak tahun 1960-an, Sipah mengantar nasi kepada dirinya sekitar jam 09.00 Wita. Nasi yang dikirim oleh Sipah itu dikatakan untuk makan siang dan sore hari.
Hasil pernikahan dengan Sipah, Lewa memiliki 4 anak, yang dinamakan Penting, Geger, Anteng, dan Sirep. Nama keempat anaknya itu terdengar lucu dan aneh. Menurut Lewa Nama-nama itu diambil dari pengalaman hidupnya. Diungkapkan, ia menamai anaknya dengan nama Geger karena pasca G 30 S/PKI, terjadi pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI di sekitar rumah. Pembasmian tidak hanya membuat takut anggota dan simpatisan PKI, namun juga masyarakat lainnya terutama yang menjadi buruh dan tani. Kondisi yang demikian membuat Lewa untuk beberapa waktu lebih memilih tinggal di rumah.
Setelah suasana mereda, lahirlah anak yang kedua yang dinamakan Anteng yang artinya diam. Begitu selanjutnya sehingga nama-nama yang diberikan berdasarkan pengalaman hidup Lewa dan Sipah.
Mang Penting pun melanjutkan ceritanya, Lewa tahu umur saya sudah cukup untuk masuk sekolah dasar. Saat pendaftaran sekolah, Lewa mengantar Penting ke sekolah dekat lapangan, namun Lewa kaget sebab ia dituduh terlibat dalam gerakan terlarang sehingga anaknya tidak bisa masuk ke sekolah dasar. Lewa seharian menangis sebab ia tidak ingin nasib anaknya seperti dirinya, yang selalu serba kekurangan. Selanjutnya Lewa menitipkan Penting kepada Mang Gung. Mang Gung adalah pelukis sejak tahun 1940-an. Sebagai pelukis, Mang Gung adalah seorang maestro. Sebagai maestro, lukisannya dikenal di mana-mana. "Dari Mang Gung-lah Saya belajar melukis. "Untung menghormati dan wujud terima kasih kepada Mang Gung maka saya menggunakan Mang di depan nama Saya. Jadilah nama saya sekarang Mang Penting," ungkapnya.
"Tragis ya Mang," ucap Sisca dengan terharu. "Ya itulah, masing-masing orang memiliki kisah hidup sendiri-sendiri," Mang Penting mengucapkan kata itu dengan meneteskan air mata.
"Baik Mang, Saya sudah mencatat semua kisah hidup Mang Penting, sekarang tinggal Kita mencari orang-orang yang bisa memerankan Lewa, Sipah, dan saudara-saudara Mang Penting," ujar Jurgen Bohler. Mang Penting mengumpulkan saudara-saudara dan masyarakat di sekitar untuk memerankan perang yang diinginkan oleh Jurgen Bohler.
Saat pengambilan gambar, adegan-adegan yang dilakukan terpaksa beberapa kali harus diulang karena pemain terkadang masih malu-malu atau kaku dalam ber-acting. Ketika disuruh mengulang adegan, diantara mereka ada yang ngambek dengan alasan capek atau sudah merasa bisa. Jurgen Bohler meminta tolong kepada Mang Penting agar memberi pengertian kepada mereka. Sebab Mang Penting adalah orang yang dihormati dan dituakan di desa itu maka mereka sadar dan mau mengikuti arahan Jurgen Bohler.
Sisca yang berada di situ membantu pembuatan film dengan memberi arahan pakaian apa yang cocok digunakan oleh pemeran, bahkan ia ikut memberi arahan bagaimana ber-acting. Sisca percaya diri mengeluarkan pengalaman dalam masalah pembuatan film karena ia pernah ikut workshop tentang film di kampus. Dengan bantuan Sisca maka pekerjaan Jurgen Bohler menjadi lebih ringan.
Selama 5 hari pembuatan film itu. Hal demikian membuat Sisca dan Jurgen Bohler bolak-balik ke rumah Mang Penting. Sisca mau menemani Jurgen Bohler karena dia sendiri juga mempunyai kepentingan terhadap Mang Penting karena ada hubungan dengan studi tentang sosiologi dan budaya. Ketika film itu membutuhkan pengakuan dan pemaparan dari akademisi dan sejarawan maka dengan bantuan Sisca, Jurgen Bohler ke kampus Universitas Silada untuk mencari dosen terkait, karena dosen-dosen itu sudah kenal dengan Sisca, maka upaya Jurgen Bohler untuk memperkuat film tentang Mang Penting dengan pengakuan dan pelurusan sejarah oleh akademisi dan sejarawan menjadi lebih lancar.
Ketika pembuatan film itu ada sekelompok masyarakat mencoba mengganggu dan berusaha untuk menggagalkan. Mereka beralasan pembuatan film itu akan mengungkap luka lama dan membangkitkan kembali ancaman komunisme. Hal demikian tentu mengganggu konsentrasi Jurgen Bohler, Sisca, dan Mang Penting. Apalagi upaya sekelompok masyarakat itu secara diam-diam didukung oleh aparat. Sehingga untuk mengamankan program pembuatan film maka beberapa adegan dan nama disamarkan tanpa mengurangi skenario asli.
***
Selepas pembuatan film, hubungan Jurgen Bohler dan Sisca semakin akrab, bahkan Sisca tak malu-malu lagi bila ingin menghubungi Jurgen Bohler. Suatu hari, Sisca ingin mengajak ia nongkrong di Art Rock Cafe. Sisca ingin nongkrong di tempat itu sebab di situlah ia biasa ngrumpi dengan Vira, Hani, Ika, dan teman kampus lainnya. "Ok, Saya mau, jam berapa bertemu di Art Rock Cafe?" tanya Jurgen Bohler. "Jam 20.00," jawab Sisca.
Tepat jam 20.00, dua orang itu pun bertemu di Art Rock Cafe. Gembira dan senang keduanya saat berjumpa. Di antara mereka sudah ada benih cinta sehingga mereka selalu merindukan. "Wooo, senangnya," ujar Jurgen Bohler. "Sama," balas Sisca dengan riang gembira ketika mereka berjumpa di tempat itu. "Kamu pesan minum apa?" Jurgen Bohler menawarkan. "Marble Mocha Macchiato," ujar Sisca. "Kalau Saya pilih Apple Juice Orange Blossom," kata Jurgen Bohler. Dua menu minuman itu pun dicatat dan diserahkan kepada pelayan Art Rock Cafe.
"Gimana filmnya sudah Kamu edit," tanya Sisca. "Belum nanti saja saat sudah di Jerman," jawab Jurgen Bohler. Â "O, ya Aku keasyikan kerja hingga lupa berwisata di pulau ini. Bisa Kamu mengantar Aku ke tempat-tempat wisata?" tanya Jurgen Bohler. "Bisa dong," jawab Sisca dengan riang. "Ok, besok pagi ya," harap Jurgen Bohler. "Siap," Sisca menimpali dengan singkat. "Kemana kita pergi," tanya Jurgen Bohler. "Gunung Gejah, Danau Bulan, dan Balai Raja," ujar Sisca. "Baik kalau begitu," jawab Jurgen Bohler.
Sambil ngobrol panjang lebar, mereka menikmati minuman yang dipesan. Malam sudah larut sehingga Sisca mengatakan kepada Jurgen Bohler mau pulang. "Baiklah kalau begitu Saya antar sampai ke kosmu," Jurgen Bohler menawarkan diri. Sisca tak menolak. Sepeda motor trail yang disewa menghantar Sisca ke kos. Jalan yang dilintasi sudah sepi sehingga laju kencang motor itu tak terhambat. Tak sampai 30 menit, sepeda motor trail yang menghantar dirinya sudah di depan kos.
"Sampai besok pagi ya," kata Jurgen Bohler sambil meninggalkan Sisca. "Ya," ujar Sisca dengan menguap. Pintu gerbang kos putri sudah ditutup dan dikunci. Untungnya ia membawa kunci cadangan. Dibukalah pintu gerbang itu dan masuklah Sisca ke kos yang sudah ditempati sejak awal menjadi mahasiswa.
***
Pagi itu Jurgen Bohler dan Sisca janjian bertemu di tempat yang seperti kemarin yakni di Monumen Kota. Tempat itu sangat strategis sehingga enak kalau dijadikan tempat pertemuan. Seperti biasa, Ika dengan sepeda motor mengantar Sisca menuju ke Monumen Kota. Sampai di pojok bagian lapangan Monumen Kota, Ika meninggalkan Sisca sendiri.
"Mana itu orang," gumam Sisca setelah menunggu Jurgen Bohler selama 20 menit belum juga datang. Rasa lapar mengganggu perut Sisca. Sambil menunggu, ia memesan siomay kepada penjual yang tempatnya tidak jauh darinya. Untung pembeli tidak banyak sehingga penjual siomay itu cepat melayani. Sepiring siomay sudah berada di depannya, sekali dua kali telan makanan vegetarian itu masuk ke dalam mulut Sisca. Tiba-tiba ada pengendara sepeda motor trail mendekati. Dirinya hafal pasti ini Jurgen Bohler. Ketika dibuka helm-nya, ternyata dugaannya meleset jauh, eh ternyata orang lain yang juga hendak membeli siomay.
Saat siomay di depannya hampir habis, ada pengendara sepeda motor trail yang mendekati. Agar tidak salah sangka ia cuek. Pengendara sepeda motor trail itu mendekati dirinya dan menepuk bahu, "Hai." Sisca terperanjat, setelah dilihat dari matanya adalah mata Jurgen Bohler maka ia dengan sedikit manja berteriak, "Jurgeeen Bohlerrrrr, lama amat." "Sory, tadi kehabisan bensin di tengah jalan jadi ya agak molor," ujar Jurgen Bohler beralasan.
"Ayo kalau begitu Kita langsung saja menuju ke Gunung Gejah," Jurgen Bohler cepat-cepat mengajak. Setelah siomay dibayar, Sisca tanpa banyak komentar langsung naik ke atas sepeda motor trail untuk dibonceng.
Sepeda motor trail itu melaju dengan kencang ke Gunung Gejah, indahnya alam sepanjang perjalanan membuat kedua orang itu semakin bertambah mesra. Sisca semakin berani melingkarkan tangan ke badan Jurgen Bohler. Ketika tangan Sisca melingkar ke badan Jurgen Bohler. Secara spontan sepeda motor itu melaju bertambah kencang.
Sampailah mereka ke Gunung Gejah. Suasana masih pagi membuat Gunung Gejah nampak masi sepi. Meski demikian para pedagang sudah membuka barang dagangan. Mereka menuju ke sebuah tempat yang biasa pengunjung bisa memandang Gunung Gejah dari dekat. "Kamu bisa menggambarkan soal gunung ini?" tanya Jurgen Bohler. "Bisa," jawab Sisca. Sisca menuturkan, Gunung Gejah merupakan gunung tertinggi di Pulau Swaba dengan ketinggian 3.500 meter di atas permukaan lain. Gunung ini berada di Kecamatan Slikur, Kabupaten Sroto. Gunung Gejah dulu pernah meletus sehingga penduduk di sekitarnya ditransmigrasikan ke pulau lain. Gunung Gejah merupakan gunung api yang memiliki kawah yang besar dan dalam, dari tempat itu sering mengeluarkan asap dan uap air.
Masyarakat di sekitar percaya di gunung itu  tempat bersemayam para leluhur dan di puncaknya dipercayai sebagai pusat kekuasaan dan kerajaan para leluhur. "Oleh sebab itu masyarakat sekitar tiap tanggal dan bulan tertentu mengadakan slametan," ujarnya.
Mendengar pemaparan itu, Jurgen Bohler terkesima. Ia mengabadikan diri dengan latar belakang gunung yang menjulang ke langit itu. "Gunung yang memancarkan sejuta pesona," ungkapnya. "Ok, kalau Kamu senang puas-puaskan dirimu mengambil gambar selanjutnya Kita menuju ke Danau Bulan," Sisca mengingatkan Jurgen Bohler. Sekitar setengah jam Jurgen Bohler mengambil pemandangan Gunung Gejah dan sekitarnya dari berbagai sudut. Selanjutnya, ia mengemasi kamera dan memasukkan ke dalam tas, hal demikian menunjukkan bahwa kesibukan di Gunung Gejah sudah selesai.
"Ayo kekasih Kita ke Danau Bulan," ujar Jurgen Bohler. "Kekasih dari hongkong," balas Sisca dengan tertawa. Jurgen Bohler juga tertawa. Mereka pun melaju ke Danau Bulan. Jalan menuju ke Danau Bulan dari Gunung Gejah naik turun gunung dan berliku-liku, hal demikian membuat pelukkan Sisca semakin kuat. Dengan ketrampilan mengendarai, Jurgen Bohler nampak gesit mengendalikan sepeda motor trail hingga di tempat parkir Danau Bulan.
Mereka menuju ke tepi danau, dengan menarik nafas dalam-dalam, Jurgen Bohler memandang danau itu dengan seksama. Di timur danau nampak sebuah bukit yang hijau dan lebat dengan pepohonan. Bila wisatawan beruntung, ia bisa melihat rusa sedang minum air danau. "Bisa menceritakan soal danau ini?" tanya Jurgen Bohler. "Bisa dong," kata Sisca dengan manja.
Dikatakan kepada Jurgen Bohler, Danau Bulan adalah sebuah danau yang terletak di kawasan Pasopisa, Desa Bentar Abang, Kecamatan Ringin Limo. Danau Bulan adalah salah satu gugusan danau di kawasan itu, selain Danau Bulan, ada Danau Wulan, dan Danau Srengenge. Di antara danau yang ada, Danau Bulan yang merupakan danau tercantik sehingga leluhur mereka memilih di tempat itu untuk melakukan pemujaan kepada Dewi Langit Biru sebagai danau kebaikan dan kecantikan. "Tak heran di sini para penduduk khususnya perempuan suka membasuh mukannya dengan air danau agar awet muda," ujarnya.
"Kalau aku perempuan pasti membasuh muka di danau ini," paparnya dengan tersenyum. Seperti biasanya ia pun mengambil gambar dengan latar belakang indahnya danau. "Sungguh mempesona," ujarnya.
"Hari sudah lepas siang, biar tidak kemalaman, saatnya kita ke Balai Raja," ajak Sisca. Mereka pun menuju ke arah Balai Raja. Antara Danau Bulan dengan Balai Raja jaraknya cukup jauh bila melewati jalan umum. Jarak tempuh bisa dekat apabila memotong jalan. Atas arahan penduduk yang ditanyai di pinggir jalan, Jurgen Bohler dan Sisca memotong jalan. Lewat jalan itu tidak mudah, jalannya berliku, kanan jurang kiri tebing, dan belum diaspal, hanya jalan yang diuruk batu kali. Sehingga sesekali Jurgen Bohler harus menekan rem kaki kuat-kuat. Di sepanjang perjalanan mereka sesekali melewati tempat-tempat pemujaan. Tempat pemujaan itu terlihat penuh dengan suasana mistis dan magis.
Dengan jalan memotong, akhirnya tibalah mereka di Balai Raja. "Kamu pasti mau dengar cerita soal Balai Raja kan," Sisca mendahului keinginan Jurgen Bohler yang biasa ingin tahu mengenai objek wisata yang dikunjungi. "Begini kisahnya," Sisca mulai bercerita. Balai Raja berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Sang Raja di Balai Raja memiliki kegemaran menunggang kuda. Kudanya tidak hanya satu namun puluhan. Menarik dari kuda-kuda yang ada semuanya warnanya putih dan berekor panjang. Saking sayangnya kuda, kuda itu dilepas begitu saja di halamannya yang sangat luas. Halaman Balai Raja rumputnya tak pernah kering, selalu hijau, hal demikian karena letak Balai Raja berada di daerah pegunungan sehingga curah hujannya sangat tinggi. Karena rumputnya selalu hijau maka penjaga Balai Raja tak perlu memberi makan. "Woo, mirip Istana Bogor. Kalau di sana rusa, di sini kuda," ujar Jurgen Bohler. "Kok tahu Istana Bogor?" tanya Sisca. "Kan Aku baca buku traveling Indonesia," ungkap Jurgen Bohler.
Agar wisata satu paket, mereka menuju Kebun Raja. Kebun Raja letaknya di samping kanan kiri Balai Raja. Sisca kembali bercerita tentang Kebun Raja. Bila Sang Raja gemar akan kuda, maka permaisuri suka dengan bunga. Karena Sang Raja mencintai permaisuri, ia menghadiahi permaisuri dengan bunga-bunga yang dibawa saat melawat dari Sriwijaya. Bunga-bunga yang indah dan semerbak wangi itu ditanam di Kebun Raja. Perawatan bunga yang dilakukan oleh puluhan dayang-dayang membuat bunga tumbuh berkembang. "Ratusan tahun keberadaan Kebun Raja membuat tanaman yang ada menjadi tanaman yang langka sehingga di Kebun Raja orang tak hanya sekadar berwisata namun juga melakukan penelitian," ujarnya.
Jurgen Bohler saat di Kebun Raja lebih menikmati alamnya daripada mengabadikan. Di bawah pohon besar yang letaknya tersembunyi, tiba-tiba Jurgen Bohler mendorong tubuh Sisca dan memeluknya. "E, e, apa-apan nih?" Sisca terperanjat. Belum selesai terperanjat, Jurgen Bohler hendak mencium bibir Sisca, "Enggak, enggak," Sisca berontak dengan mendorong tubuh Jurgen Bohler. "Aku mau Kamu cium kalau Kita sudah resmi!" Sisca membentaknya. "Maksudnya resmi apa?" Jurgen Bohler nampak kecewa. "Kalau Kamu jadi suamiku secara syah," Sisca menjelaskan.
Mendengar hal yang demikian, kening Jurgen Bohler berkerut. "Kalau di kalangan Kami serumah dulu baru nikah resmi," Jurgen Bohler menjelaskan. "Maaf itu bukan budaya negara Kami," Sisca menerangkan dengan suara lantang. "Tapi Kita kan saling cinta," Jurgen Bohler terus nyerocos. Secara tak sadar Sisca mengatakan, "Iya." Namun ia buru-buru melengkapi kalimatnya, "Cinta harus diikat secara syah."
"Terus bagaimana?" Jurgen Bohler bertanya sambil mengangkat bahunya. "Kalau serius Kamu datang ke orangtua Saya dan mengatakan melamar Aku," Sisca menjelaskan. "Ok," Jurgen Bohler menjawab. "Kapan?" tanyanya lagi. "Lusa, sekalian Aku juga mau pulang kampung," Sisca menjelaskan rencana kepulangannya ke kampung halaman.
***
Dua hari kemudian, di hari yang sudah sore, Jurgen Bohler dan Sisca sudah berada di Terminal Jebung. Mereka sore itu hendak pergi ke kampung halaman Sisca
 Mereka memilih perjalanan darat karena di kampung halaman Sisca tidak ada bandara udara. Meski perjalanan ditempuh  di atas 10 jam namun Sisca sudah biasa meski rasa bosan selalu melanda. Mereka telah membeli tiket bus malam. Suasana antara keduanya tidak seperti biasa, kekakuan terlihat diantara mereka. Kekakuan muncul sebab mereka akan memasuki babak baru, di mana mereka harus melepaskan rasa ego dan kebebasan yang selama ini dikedepankan.
Menjelang maghrib, bus malam yang ditumpangi  telah meninggalkan Terminal Jebung. Meski mereka duduk berdampingan namun diantara mereka saling membisu. Untuk menghilangkan kebisuan yang ada mereka memilih memejamkan mata agar terlelap dari dunia dan tiba segera di rumah orangtua.
"Nyampai, nyampai," ujar kernet bus malam itu. Dengan teriakan itu menandakan bahwa bus sudah masuk terminal kampung halaman Sisca. Penumpang yang tidur segera bangun dan bersiap-siap turun. Barang yang dibawa dilihat kembali dan diangkat. Begitu berhenti di jalur pemberhentian terakhir, semua orang turun. Jurgen Bohler dan Sisca pun turun namun mereka harus menunggu bagasi bus dibuka sebab barang bawaan diletakkan di tempat itu.
Ups, tas besar itu diangkat Jurgen Bohler, sedang Sisca menawar becak yang menuju ke rumah. "Alah Pak biasa saja, Saya kan orang sini," ujar Sisca dengan judes kepada tukang becak yang hendak menarik tarif mahal mentang-mentang yang naik bule. "Tambah Rp1000 ya," tukang becak itu masih menawar. "Enggak bisa," Sisca mempertahankan tawarannya. Setelah terdiam 1 menit, tukang becak itu mengatakan, "Ya sudah Mbak, itung-itung penglaris sama Mbak Manis,' tukang becak itu akhirnya mengalah.
Jurgen Bohler dan Sisca menaiki becak itu. Tukang becak mengayuh angkutan tradisional itu untuk mencari rejeki dengan menyusuri jalan-jalan kota. Suasana masih pagi menyelimuti kampung halaman Sisca. Beberapa toko masih tutup. Setelah melintasi 2 perempatan dan 1 pertigaan, becak itu masuk ke dalam sebuah rumah di mana halamannya cukup luas. Di halaman itu tumbuh 2 pohon mangga yang sedang berbuah.
Rumah itu masih tertutup. Diketok pintu rumah itu oleh Sisca, 'Tok, tok, tok, begitu bunyinya. Sambil mengetuk, Sisca mengatakan, "Ayah, bunda, Sisca datang." Dibukalah pintu itu, "Eh Mbak Sisca. "Baru datang ya Mbak?" tanya Mbok Inem. Mbok Inem adalah orang yang tinggal bersama orangtua Sisca sejak Sisca masih kecil. Mbok Inem-lah yang biasa membantu urusan dapur dan kebersihan rumah. "Ayah dan bunda mana Mbok?" tanya Sisca. "Ada Mbak, dia berada di ruang tengah," jawab Mbok Inem. Jurgen Bohler diajak masuk ke dalam. Sisca menuju ke ruang tengah, ketika dilihat ayah dan bunda sedang menonton televisi, Sisca memanggil dengan manja dan sedikit teriak, "Ayah, bunda." Mendengar suara anaknya ada di rumah, kedua orangtua itu langsung menoleh ke arah suara itu. "Sisca," jawab mereka serempak. "Kenapa Kamu pulang?" tanya bunda. "Kangen ayah dan bunda," jawab Sisca. "Ayah, Sisca datang ke rumah sama teman," ia menjelaskan. "Teman? Firan seperti yang Kamu ceritakan itu?" tanya bunda. "Bukan," ujar Sisca dengan sewot. "Terus siapa?" tanya ayah. "Kalau begitu Kita ke ruang tamu saja di sana teman Saya sedang duduk-duduk," Sisca mengajak kedua orangtuanya ke ruang tamu.
Begitu melihat bule di ruang tamu, kedua orangtua itu terperanjat. "Nggak salah lihat nih," gumam bunda sambil melirik ke ayah. Ayah langsung mengenakan kaca mata minus. Melihat orangtua Sisca, Jurgen Bohler berdiri dan tersenyum. "Ini Saya Jurgen Bohler teman Sisca," ujarnya memecah kebuntuan. Sisca mengajak kedua orangtuanya duduk di ruang tamu. "Sudah lama kenal?" tanya ayah kepada mereka. "Sudah," jawab Sisca. "Ya Kami berteman dengan Sisca sudah lama," Jurgen Bohler memperkuat apa yang dikatakan Sisca.
"Ke sini hendak wisata di kampung ini?" tanya ayah kepada Jurgen Bohler. Mendapat pertanyaan yang demikian, Sisca dan Jurgen Bohler saling tatap. Sisca memberi kode kepadanya untuk bicara terus terang. "Begini Bapak, Saya datang ke rumah ini untuk melamar Sisca menjadi istri Saya," ujarnya. Mendengar ungkapan itu ayah dan bunda terperanjat. Orangtua itu pun saling tatap.
Setelah menguasai keadaan, ayah berujar, "Syukurlah kalau kalian segera ingin menikah sebab bisa menutup pintu zina," ujarnya. "Tapi Saya mau menanyakan kepada Sisca, apa benar kamu mencintai Jurgen Bohler." Mendapat pertanyaan dari ayah, Sisca mengangguk. "Baik, diantara kalian berarti saling cinta dan tak ada yang dipaksa dan memaksa," ayah merasa senang diantara mereka saling cinta. "Tapi ada satu syarat yang Ayah ajukan kepada Jurgen Bohler untuk bisa meminang anak Saya. Kamu harus ikut agama Kami," ungkapnya. Mendengar hal demikian, Sisca dan Jurgen Bohler kaget. Setelah menguasai keadaan, Jurgen Bohler mengatakan, "Saya siap mengikuti agama yang dianut Sisca. Diantara keluarga Kami di Jerman, agama sudah tidak menjadi penting sehingga syukur kalau Sisca bisa memberi tahu Saya ada agama yang membuat Saya tenang dan nyaman," kata Jurgen Bohler. "Syukurlah kalau begitu. Kamu harus berjanji mencintai dan melindungi Sisca," Ayah menegaskan. "Ya Bapak, Saya mencintai Sisca maka Saya akan menyayangi dan melindungi," Jurgen Bohler berjanji. "Bapak perlu ketahui bahwa nanti kalau Sisca sudah syah menjadi istri Saya, Kami bersepakat tinggal di Jerman," Jurgen Bohler menerangkan.
Mendengar hendak tinggal di Jerman, bunda terlihat berlinang air matanya, namun ayah sedikit tenang. 'Tidak apa-apa, tinggal di manapun boleh-boleh saja, asal saling mencintai," ujar ayah. Â
***
Kabar pernikahan Jurgen Bohler dan Sisca menyebar, tidak hanya di kampung halaman namun juga di kampus. "Patah hati lagi nih," ujar Onoy. Onoy mengatakan demikian sebab dirinya mencintai Sisca, namun Onoy kurang maksimal dalam mengejar sehingga Sisca tidak tahu kalau Onoy jatuh cinta padanya. "Jangan khawatir Noy, masih banyak yang lain," ujar Sidar. "Ya Noy, nanti Saya carikan sepuluh," Ulang meledek. "Sepuluh, emang apaan, kayak nasi bungkus yang biasa dipesan anak kos saja," kata Onoy dengan sewot. "Kalau mau terus ingin bertemu Sisca, Kamu tinggal saja di Jerman," kata Ingko yang tumben ikut nimbrung pada saat itu. "Ke jejer-nya Kauman Saya bisa beli tiket kalau benar-benar ke Jerman nggak punyai duit," ujar Onoy dengan tersenyum. "Ya kalau Firan bisa dapat cewek Inggris, Kamu bisa dapat cewek Jerman biar bisa tinggal di sana dan selingkuh dengan Sisca," Ingko meledek lagi. "Caranya?" Onoy penasaran. "Ya sering-sering ke pantai kayak Trengginas," ujar Sidar. "Gila lu Ndro," ujar Onoy menirukan ledekan komedian Dono, Kasino, Indro.
Bila di kampus banyak cowok yang membicangkan pernikahan Sisca dengan Jurgen Bohler, di kampung pun demikian. "Gila tuh bule," ujar Gobis. "Emang kenapa?" tanya Panto. "Lha Saya kan menunggu Sisca lulus kuliah, eh itu bule yang ngambil," Gobis kesal. "Kamu seharusnya tahu diri Bis," Panto menasehati. "Maksud loh?" Gobis penasaran apa yang dikatakan Panto dengan menggunakan bahasa alay. "Sisca kan orangnya cantik dan anak kuliahan. Lha Kamu kayak buto cangkil dan kerjaanmu cuma nongkrong di pinggir jalan. Ya jelas saja Sisca nggak mau sama Kamu," kata Panto dengan tertawa. Mendengar hal yang demikian, Gobis marah dan mengumpat, "Asu." Â Â
***
Minggu-minggu ini masyarakat luas dikejutkan oleh berita maraknya gigolo di Pantai Pelangi. Bahkan berita itu mampu menggeser rating isu korupsi anggota DPR dan orang penting lainnya. Terkuak maraknya gigolo di Pantai Pelangi setelah tersebar  film dokumenter di www.youtube.com. Rupanya film itu oleh Jurgen Bohler telah diunggah ke www.youtube.com. Dalam film itu nampak seorang bule cewek yang bertubuh tinggi langsing yang tengah asyik berjalan, berenang, dan berkejar-kejaran di pantai dengan seorang yang bertubuh gemuk, pendek, dan agak botak.
Dalam film itu tak hanya menampilkan adegan itu, namun juga ada adegan seorang yang berambut gimbal, berkulit gelap, dan menggunakan kaca mata hitam, tengah bermain kartu dengan dua bule cewek. Gelak tawa terdengar di tengah mereka memainkan kartu-kartu. Film yang muncul semakin nggak karuan ketika menayangkan penjual souvenir yang menjual asbak dengan bentuk alat vital laki-laki dengan berbagai ukuran.
Akibat dari beredarnya film itu, tokoh masyarakat, pemerintah daerah Pulau Swaba, menjadi kebakaran jenggot. Mereka merasa dipermalukan seolah-olah demikian rendahnya masyarakat Pulau Swaba. Untuk itu aparat berwajib mengadakan razia di Pantai Pelangi dan tempat-tempat wisata lain. Semua yang gelagatnya seperti gigolo di-garuk  dan dibawa ke kantor aparat dan diidentifikasi asal usul dan pekerjaannya. Film itu membuat gerah masyarakat Pulau Swaba, sebab mencemarkan wisata Pulau Swaba yang selama ini menjual atau mengedepankan budaya dan alam bukan wisata seks.
Di sebuah televisi pun sampai diadakan acara talkshow mengenai perilaku gigolo di Pantai Pelangi. Dalam talkshow itu menghadirkan Dr. Soendiro, seorang sosiolog dari Universitas Silada; tokoh masyarakat Pulau Swaba, Suklewer; dan penjaga Pantai Pelangi, Deres. Menurut Soendiro film dokumenter buatan Jurgen Bohler  bukan hal baru. Sebelumnya di berbagai media massa sudah pernah mengupas seluk-beluk dunia gigolo. Bahkan di majalah kampus Universitas Silada pernah menceritakan mengenai hal itu. Di majalah kampus,  dunia gigolo pernah diulas panjang lebar bahkan, tidak hanya di Pantai Pelangi, namun juga di Pantai Benur.
Soendiro lebih  jauh memaparkan, diakui adanya gigolo tidak hanya di Pulau Swaba namun di seluruh daerah wisata di mana kunjungan wisatawan asing melimpah dan mengalir deras, di situlah potensi munculnya gigolo. "Jadi, gigolo juga ada di derah wisata di luar Pulau Swaba," ujarnya.
Diakui bahwa melacak gigolo tidak semudah melacak lokalisasi prostitusi pekerja seks komersial (PSK). Sebab, kaum perempuan bila hendak melakukan atau mencari wisata seks tentu tidak sevulgar kaum laki-laki. Untuk mengetahui komunitas gigolo, seseorang harus masuk dunia itu, meski ada ciri-ciri komunitas gigolo di Pantai Pelangi yang menjadi rahasia umum seperti berbadan atletis, berkulit hitam, berambut gimbal, serta berpakaian yang aneh dan kontras. "Susah  melacak komunitas gigolo itulah yang membuat banyak pihak menyangkal adanya komunitas itu," ujarnya.
Menurut Suklewer menjadi gigolo sebenarnya bukan tujuan utama. Awalnya, mereka menawarkan diri menjadi guide wisata. Dari situ, kemudian saling mengenal. Dari perkenalan itulah selanjutnya tumbuh rasa cinta di antara mereka. Lalu, timbul hubungan yang lebih mendalam. "Sebab, hal demikian membuat laki-laki memperoleh banyak kenikmatan seperti uang dan sensasi lain bila berhubungan dengan ras bule atau Jepang," paparnya.
Diungkapkan seseorang menjadi gigolo bisa jadi karena seorang mahasiswa mengalami suatu masalah di kampus. Ada seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi yang menjadi gigolo, meski dia tidak mau disebut dengan julukan itu, karena di kampus tidak menikmati studinya. Untuk melakukan pelarian itu, dia menjadi gigolo dengan istilah mencari tamu di pantai maupun di bar-bar yang ada di wilayah wisata. "Karena sudah mempunyai trik untuk menggaet bule cewek, dia dalam sebulan bisa menggaet tiga orang," ujarnya.
Dikatakan Suklewer bayangan orang beranggapan menjadi gigolo itu enak. "Bayangan dan anggapan itu salah," tegasnya, sebab, mereka harus bersaing dengan gigolo lainnya. Pernah seorang gigolo dikeroyok oleh kelompok gigolo lainnya sehingga ia tidak berani berkunjung ke Pantai Pelangi selama tiga bulan sehingga mengalihkan sasaran perburuan ke Nusa Delima.
Deres menuturkan bahwa Pantai Pelangi adalah daerah terbuka sehingga ada ribuan pedagang dari berbagai etnis yang bisa melakukan aneka usaha secara positif. Dibuka peluang mencari rezeki secara halal itulah yang akan meminimalkan seseorang menjadi gigolo. "Untuk itu, aparat harus mengurangi razia terhadap para pedagang yang berjualan di tempat-tempat wisata," ujarnya.
Soendrio menyimpulkan adanya gigolo bisa jadi adanya kebutuhan. Untuk mencegah hal yang demikian, para wisatawan asing jauh-jauh sebelumnya juga harus di-warning agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang. Bila di bandara-bandara kita diperingatkan dengan adanya bahaya terorisme, di situ juga harus dikampanyekan no free sex. Hotel atau tempat penginapan juga harus berani memasang tulisan not for unmarried couple. "Hal tersebut sangat penting. Sebab, pariwisata Kita adalah pariwisata budaya dan keindahan alam. Selain itu, penyebaran AIDS dapat dicegah," tegasnya.
Tayangan di www.youtube.com diselidiki, ketika diamati dengan jelas siapa orangnya, dengan segera aparat berwajib mencokok pelaku. Trengginas tahu terungkapnya maraknya gigolo di Pantai Pelangi. Ia cuek saja mengenai hal itu, namun dirinya kaget bukan main ketika yang tergambar dalam film itu dirinya. Rasanya kepala seperti dijatuhi batu sebesar gunung sehingga kepalanya mau pecah. Wajah pucat dan badannya lemas.
Ketika jiwanya dalam kondisi yang tidak stabil. Tiba-tiba pintu kos diketuk dengan suara yang keras, 'Tok, tok, tok.' Dengan lunglai ia membuka pintu itu, kaget bukan kepalang tahu di depan mata adalah aparat berwajib yang berbaju preman. "Anda Trengginas," tanya salah satu aparat yang berada di depannya. "Iya Pak," jawabnya dengan lemas. "Anda Kami bawa ke kantor untuk dimintai keterangan tentang aktivitas Anda di Pantai Pelangi," ujar salah satu aparat lainnya.
Dengan digelandang Trengginas dibawah ke mobil aparat. Sementara Ibu Kos dan anak kos lainnya hanya melongo dan bergerombol tak jauh dari kamar kos Trengginas. Salah satu aparat mendekati mereka, "Nggak ada apa-apa, silahkan semua kembali ke kamar masing-masing."
***
Tersiarnya berita maraknya gigolo di Pantai Pelangi rupanya juga sampai di Desa Gunung Siji. Di warung kopi, pos ronda, tempat pengajian, hingga tempat mancing, orang membicarakan masalah itu. "Lha siapa pelakunya?" tanya Jolegi ketika berada di warung kopi. "Katanya orang Desa Gunung Siji, karena kemarin ada aparat yang berpakaian preman sedang mencari-cari seseorang," ujar Ketron. "Saya lihat di film itu sepertinya anaknya Pak Lunjak yang sedang kuliah di Pulau Swaba," ungkap penjaja warung kopi itu. "Hah?" ujar semua pria yang nongkrong di warung kopi itu secara serentak. "Pantas saja aparat berpakaian preman kemarin berjalan menuju ke rumah Pak Lunjak," ujar Ketron.
***
Apa yang terjadi pada anaknya sudah didengar Pak Lunjak dan istrinya. Akibat ulah anaknya, Pak Lunjak dan istrinya sering mengurung diri. Stigma buruk dari masyarakat menimpa kepada keluarganya. Sehingga ketika pergi keluar rumah, suara-suara melecehkan sering didengar. Suatu hari ketika hendak ke pasar, istri Pak Lunjak mendengar suara dari kerumunan kalimat yang menyakitkan telingan. "Punya anak kok jadi lonte lanang (pelacur laki-laki)," ujar salah seorang di kerumunan itu. Hal yang sama dialami Pak Lunjak, ketika hendak pergi ke pasar hewan, seorang pedagang sapi mencelanya, "Anakmu jadi gigolo kan duitnya banyak."
Sering dilecehkan dan dimaki orang itulah yang membuat Pak Lunjak dan istrinya tidak kuat keluar rumah sehingga mereka lebih suka mengurung diri. "Aduh Gusti apa salahku sehingga cobaan ini demikian beratnya," rintih Pak Lunjak ketika berdoa. Air mata berlinang ketika ia meratapi nasib setelah anaknya tertangkap basah menjadi gigolo.
Akibat ulah Trengginas, istri Pak Lunjak sering sakit-sakitan, sehingga di tengah makian masyarakat dan tidak mempunyai uang untuk berobat, Pak Lunjak mengobati istri hanya dengan jamu godong kates. Yakni ramuan jamu yang dibuat dari daun pepaya yang diperas dan sedikit diberi gula.
***
Unggahan film dokumenter gigolo di Pantai Pelangi itu rupanya menyebar ke mana-mana, termasuk di Australia. Aling teman Trengginas yang sedang kuliah di benua itu juga melihat dalam www.youtube.com. Dirinya kaget melihat apa yang ada di film itu, sehingga dia langsung menulis ke alamat email Trengginas. Dalam email-nya, berbunyi, "Hai, Trengginas apa benar Kamu seperti di film itu. Saya ikut prihatin bila itu benar-benar Kamu."
***
Selepas peristiwa itu, keberadaaan Trengginas tidak jelas di mana berada, ia tidak berani pulang ke kampung halaman karena malu dan email dari Aling pun tak pernah dibalas
Setelah dilepas oleh aparat dengan alasan tidak jelas, stress dialami oleh Trengginas, dengan pikiran kosong ia menuju ke Pantai Jerongkeng. Disusuri tepian pantai itu, setelah lelah ia duduk di sebuah tempat yang sepi. Hanya sesekali nelayan melintas di tempat itu untuk menuju perahu yang hendak mencari ikan.
Trengginas duduk di atas pasir yang tertata oleh angin dan menatap ke arah laut. Meski pandangan ke arah laut luas namun pikirannya tidak di tempat itu. Ketika ada dua orang nelayan melintas tak jauh darinya, diantara mereka berbisik, "Ada mahasiswa stress." "Masak sih?" tanya nelayan yang satunya. "Itu lihat, duduk dari tadi dan bengong saja," ujarnya. "Syukurnya Kita tidak jadi mahasiswa jadi tidak stress," ungkapnya nelayan yang penasaran tadi sambil cekikikan. "Sudah nggak usah dipikir, yang penting hari ini Kita melaut dan dapat ikan yang banyak buat keluarga Kita," papar nelayan yang menunjuk ada mahasiswa stress tadi.
Dengan menenteng jala besar, Koprol menuju ke perahunya. Hari itu, seperti biasa, ia akan melaut ke Samudera Hindia. Koprol dan beberapa temannya adalah nelayan yang tak takut dengan ombak besar, ombak setinggi 3 meter dilawan. Koprol hidupnya dari kecil di pinggir laut sehingga ia sudah menyatu dengan laut. Pengalaman sebagai nelayan diperoleh secara turun temurun dari keluarga dan lingkungan. Karena keberanian itu membuahkan tangkapan Koprol dan teman-temannya selalu ikan besar seperti tongkol, bandeng, bahkan hiu pernah masuk ke dalam jaringnya.
Saat berjalan menuju ke perahu, Koprol melihat Trengginas sedang duduk sendiri dan seperti orang stress. Koprol mendekati, "Hei Nas, lagi ngapain Kamu di sini," tegur Koprol. Trengginas tidak menjawab, pandangannya masih kosong. "Wee, Nas Kamu ngapain di sini?!" Koprol mengulangi tegurannya dengan suara agak keras. Ketika ada suara yang agak keras, Trengginas tergugah dari kosongnya pikiran. "Kamu to Prol," ujarnya dengan suara lemah. "Aku nggak tahu juga kenapa Aku di sini," ujarnya lagi. "Kamu stress ya," Koprol mengucapkan kata yang demikian. "Stress, apaan tuh?" Trengginas bertanya. "Jangan pura-pura tidak tahu," Koprol berujar. "Makanya kalau kuliah jangan serius-serius," Koprol mencoba menasehati. "Biar tidak stress Ayo ikut Aku melaut ke Samudera Hindia biar Kamu segar pikiran," ajak Koprol. Trengginas tidak menjawab, namun Koprol menarik badannya dan dituntun menuju ke perahu.
Koprol dan Trengginas sudah saling kenal. Kenalan itu terjadi ketika Trengginas mengantar Nisreen membeli ikan dalam jumlah yang besar. Nisreen adalah cewek dari Perancis. Ayahnya dari Aljazair sedang ibunya dari Lyon. Jadinya ia berdarah Arab-Perancis. Dengan mengantar ke tempat penjualan ikan milik Koprol itulah dirinya kenal dengan Koprol dan akrab. Sebagai ucapan terima kasih kepada Trengginas, Koprol memberikan beberapa lembar rupiah kepadanya. Tak hanya itu ketika saudara Koprol mau daftar ulang di Universitas Silada, Trengginas yang membantu prosesnya. Dari sinilah keakraban itu bertambah.
"Pak Koprol apa Kita sudah siap berlayar," ujar Minto, salah satu anak buah kapal. "Ya sebentar lagi, tapi Kamu cek alat dan bekal Kita apakah semuanya sudah lengkap," Koprol memerintahkan anak buah kapal untuk mengecek kembali. Setelah semuanya dicek, semua sudah lengkap dan layak untuk melakukan perjalanan jauh. "Sudah siap Pak," kata Minto. "Baik kalau sudah siap Kita berlayar," tegas Koprol.
Dengan dibantu Koprol, Trengginas dituntun ke kapal. Mesin perahu dihidupkan, sedikit demi sedikit  perahu meninggalkan Pantai Jerongkeng. Daratan makin lama semakin kecil hingga akhirnya menghilang. Hilangnya daratan menunjukan bahwa mereka tengah memasukin lautan lepas. Dalam pelayaran itu Trengginas duduk di buritan, ketika semua sibuk mempersiapkan penangkapan ikan, Trengginas duduk bengong.
Ketika perahu sudah berada di Samudera Hindia, gelombang besar mulai dirasakan oleh seluruh orang yang berada di atas perahu. Perahu diayun-ayunkan tidak hanya ke batas dan bawah namun juga ke kanan dan kiri. Menghadapi goyangan ombak yang demikian, para awak kapal sudah biasa sehingga tak terpengaruh. Tak ada takut menghadapi gelombang yang datang. Â Mereka pun melemparkan jala besar. Ketika jalan dilempar ke laut, perahu tetap berjalan sehingga jala membentuk bentangan yang besar. Semakin besar bentangan maka peluang untuk memperoleh ikan yang melimpah semakin tinggi.
Di tengah kesibukan untuk menangkap ikan, Minto berteriak-teriak, "Ada mayat, ada mayat!" Semua  anak buah kapal melihat ke arah yang ditunjuk oleh Minto, Trengginas pun juga melihat ke arah itu. Gelombang laut mendekatkan mayat ke perahu, semakin lama semakin mendekat, hingga semua awak kapal dengan jelas bisa melihat mayat itu. "Orang Timur Tengah," ujar Ngigung. Trengginas semakin mengamati mayat itu, "Oh, dia Rashid," gumamnya lirih. Rashid adalah orang Afghanistan yang dikenal saat di masjid beberapa waktu yang lalu. Kepada Trengginas Rashid mengatakan akan melakukan perjalanan ke Australia dengan menggunakan kapal nelayan yang disewa.
Trengginas berpikir kapal nelayan yang ditumpangi bersama dengan puluhan orang Afghanistan lainnya tak kuat menahan tingginya ombak sehingga pecah, akibatnya banyak tenggelam. Kejadian seperti itu, Rashid bukan korban yang pertama, sudah banyak berita yang mengabarkan tenggelamnya perahu kaum imigrant.
Ia pernah membaca di sebuah koran kapal motor yang mengangkut sekitar 150 imigran gelap dikabarkan tenggelam di perairan Pulau Panaitan, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Kejadian itu membuat Tim SAR dari Polair Polda Banten, Mabes Polri, serta Badan SAR Nasional (Basarnas) melakukan pencarian. Kapal motor itu tenggelam di Samudera Hindia yang memiliki kedalaman di atas 1.000 meter. Disebutkan sebanyak 37 di antaranya telah berhasil diselamatkan, meski satu diantaranya mengalami luka-luka akibat digigit hiu.
"Rashid begitu cepat Kamu pergi," Trengginas mengenang ketika ia menanyakan apakah dirinya polisi dan mengatakan jangan bilang kepada siapa-siapa. Mayat Rashid itu selanjutnya hilang diseret oleh gelombang. Gelombang telah menyembunyikan mayat Rashid sehingga Trengginas tidak melihat lagi mayat itu. Melihat Rashid yang sudah mati, Trengginas mulai membayangkan akan kematian. Pikirannya kembali kosong. Penayangan dirinya sebagai gigolo membuat dirinya seperti orang yang hina dan tak mempunyai arti.
Ia kembali duduk bengong di buritan. Saat duduk, matanya tiba-tiba melihat ada seekor hiu besar yang sedang mendekati perahu. Makin lama makin mendekati, ikan yang sering menyerang manusia itu, kemudian menghilang, namun tiba-tiba muncul kembali di samping kanan perahu. Ngigung sadar ada hiu yang mendekati perahu dan ia segera melaporkan ke Koprol. "Semua waspada!" ujar Koprol.
Koprol saat itu bak seperti Kapten Archibald Haddock. Kapten Archibald Haddock atau lebih dikenal dengan nama Kapten Haddock adalah sahabat karib detektif Tintin. Ia adalah seorang kapten kapal di dunia pelayaran yang sangat lihai menguasai kapal.
Setelah hiu diamati dengan seksama, Koprol bergumam, "Great White Shark." Â Koprol mengatakan waspada, sebab Great White Shark adalah salah satu dari hiu yang terganas di dunia. Hiu jenis ini dapat di temukan di semua lautan. Ketika semua dalam keadaan tegang dan memegang semacam tombak bila sewaktu-waktu hiu itu mendekati kapal, tiba-tiba Trengginas melompat ke laut, "byurrr," begitu melihat Trengginas menjeburkan diri ke laut, Koprol berteriak, "Trengginas!" Semua anak buah kapal pun juga kaget mengapa ia justru menyerahkan diri kepada hiu itu.
Hiu yang sebelumnya berada  di kiri perahu itu tiba-tiba menghilang, dan kemudian muncul di tempat Trengginas menjeburkan diri. Di tempat itu tiba-tiba muncul gelembung-gelembung air dan tak lama kemudian muncul darah yang segar bersama gelembung air itu. "Sialan musuh Kita telan menghabisi Trengginas," Koprol berujar dengan kesal.
"Semua Berdiri di sini!" Koprol membentak anak buahnya. Anak buahnya itu berdiri di depan Koprol. 'Plak, plak, plak,' Koprol menempelengi anak buah kapal. "Kamu goblok tidak bisa menjaga teman Kita," Koprol  marah berat,  "Kamu tahu nggak, dia lagi stress jangan dibiarkan sendiri sebab dalam pikirannya kosong ia bisa memilih mati."
"Gimana lagi Pak, Kita semua juga waspada sehingga tidak sempat mengawasi teman Bapak tadi," ujar Panto. Setelah ditatap mata semua anak buah kapal dengan tajam, selanjutnya Koprol berujar, "Ya sudah, Kita kembali bekerja."
Sambil memandang laut luas, Koprol bergumam, "Trengginas nasibmu sangat tragis."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H