"Cep, cep, cep," ujar istri Pak Lunjak ketika Trengginas menangis. Saat di pengungsian Trengginas sering sakit, mencret, dan muntah. Hal demikian bisa terjadi karena ia sering berada di luar sehingga kena angin, dingin, dan makan yang tak teratur. Pak Lunjak dan istrinya bingung kondisi kesehatan anaknya. Untung saja ada bala bantuan kepada mereka. Bantuan tak hanya kebutuhan sehari-hari namun juga kesehatan. Pak Lunjak meminta dokter yang diperbantukan untuk memeriksa kesehatan Trengginas. Â
Petaka yang terjadi di Desa Gunung Siji menjadi isu nasional. Beritanya tersebar ke mana-mana. Para jurnalis pun segera mendatangi tempat itu, untuk mengorek-ngorek berita. Berita yang muncul di media massa pun berupa gambar-gambar rumah hangus. Dari situlah muncul simpati dan empati terhadap korban. Berbagai dukungan moral dan material pun mengalir pada para pengungsi.
Konflik yang terjadi di tempat di Desa Gunung Siji akar masalahnya bukan hanya soal pelecehan seksual namun juga disebabkan masalah lainnya. Sebetulnya konflik di Desa Siji tidak akan melibatkan ribuan orang dan menimbulkan korban bila terjadi diantara sesama warga satu desa sendiri, namun karena pelaku dan korban adalah berbeda asal, maka perbedaaan inilah yang menjadi pemicu bentrokan menjadi meluas.
Bentrokan itu bisa meluas karena ada yang memprovokasi. Desa sebelah yang sosiologinya cepat naik darah mudah disulut emosinya. Beda desa dijadikan isu untuk menggalang massa, menambah kekuatan, dan selanjutnya menyerang bersama-sama. Masyarakat awam menanggapi hal demikian tentu mudah tersulut, apalagi diprovokasi oleh berita di televisi yang memvisualikan kerusuhan di berbagai tempat. Juga diprovokasi oleh ketidakadilan sosial, kemiskinan, perampasan tanah oleh perusahaan, tak adanya keteladanan dari pemimpin serta ketimpangan pembangunan sehingga membuat desa yang satu lebih maju dari desa yang lain, wilayah yang satu lebih maju daripada wilayah yang lain, atau etnis yang satu lebih makmur dari etnis yang lain. Rasa frustasi masyarakat yang menghadapi problem dalam hidupnya itulah ditumpahkan dalam amuk massa.
Di dua desa itu sering terjadi konflik agraria. Konflik agraria ini melibatkan antara petani gurem dan pengusaha. Sebagai desa yang dikenal sebagai bumi agrobisnis, wilayah agroindustri, dan lumbung ternak, Desa Gunung Siji dan desa sebelahnya merupakan daerah yang subur. Kesuburan tanahnya inilah yang membuat desa-desa itu sebagai penghasil komoditas strategis seperti, kopi, lada, kakao, dan sawit. Komoditas itu memiliki nilai ekspor.
Karena tanahnya subur itulah maka banyak pengusaha mengincar tanah-tanah yang ada. Akibatnya konflik agraria pun marak. Di dua desa itu ada ratusan konflik agraria. Kekalahan masyarakat dalam konflik agraria dengan pengusaha itulah yang membuat mereka menjadi frustasi dan menjadi miskin. Hal inilah yang juga membuat mereka menjadi lebih emosional dan sensitif bila rasa ketidakadilan mengancam mereka.
Untuk segera mengatasi bentrok antar desa maka hukum harus segera cepat ditegakkan. Hukum yang ditegakkan bukan hanya saja mengusut pelaku pelecehan dan pembakaran rumah namun juga menciptakan kondisi yang kondusif sampai terjadinya suasana yang normal. Bila pemerintah tidak serius menangani masalah ini, bisa-bisa konflik ini akan meluas ke mana-mana.
Simpati dan empati dari masyarakat yang datang, membuat kerusakan-kerusakan tempat tinggal segera dibenahi. Sehingga beberapa bulan keadaan kembali normal. Pak Lunjak dan istrinya serta masyarakat lainnya, setelah seminggu di tempat pengungsian akhirnya kembali ke rumah masing-masing. Sambil rumah itu diperbaiki, dengan adanya bantauan dari pemerintah dan masyarakat donatur, Pak Lunjak menempati di sisi rumahnya yang utuh tidak terbakar atau dirusak oleh massa. Â Â Â
***
Ketika mengayunkan cangkulnya yang kesepuluh, istrinya dari kejauhan memanggil-manggil dirinya. Panggilan itu membuat Pak Lunjak terpaku karena istrinya lari mendekat ke dirinya. Ia heran mengapa istrinya sampai-sampainya ke ladang. "Pak, Pak, cepet pulang dicari Nyai Renten," teriak istrinya dari kejauhan. Ketika mendengar kata Nyai Renten, sontak wajah Pak Lunjak berkeringat. Pasti kedatangan rentenir dari desa sebelah, Desa Gunung Ngguling, itu akan menagih utang.
Kalau menagih utang, Nyai Renten selalu membawa tukang pukul, sehingga banyak orang ketakutan bila berurusan dengan dia. Tak heran bila istrinya sampai menemui dirinya dan memberitahu kedatangan perempuan berumur 40 tahun itu di rumahnya. "Dia bersama Kepal dan Jotos," ujar istrinya. Kepal dan Jotos adalah tukang pukul yang biasa dibawa Nyai Renten bila menagih utang kepada peminjam. Kepal dan Jotos disewa sebagai tukang pukul sebab selain mempunyai badan yang tinggi dan besar, mereka juga pendekar dari Perguruan Silat Ketek Stress. Perguruan Ketek Stress adalah perguruan silat yang paling banyak pengikutnya di Kecamatan Slawur. Sebagai seorang pendekar maka Kepal dan Jotos bila berkeliling desa selalu disapa oleh anak-anak muda di desa-desa yang berada di Slawur yang ikut di perguruan silat itu.