Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Bukan Gigolo

5 Mei 2020   13:40 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:48 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Malam itu, rumah Pak Lunjak nampak terang benderang, 4 lampu petromak, 1 di belakang rumah, 1 di ruang tengah, dan 2 di depan rumah memancarkan cahaya yang terang benderang. Pada malam itu di rumah Pak Lunjak diadakan kenduri slametan atas lahirnya Trengginas. Seluruh warga, baik yang diundang atau tidak, berduyun-duyun ke rumah Pak Lunjak. Mereka entah ikut senang atas lahirnya Trengginas, sekadar mencari makan, atau hanya mencari hiburan malam, memenuhi rumah yang halaman depannya seluas lapangan bola voli itu.

Anak-anak dengan lugunya duduk bergerombol sambil ngobrol melihat-lihat siapa saja yang datang, siapa tahu orangtuanya tiba. Di tengah obrolan itu terkadang mereka ada yang melucu sehingga suara derai tawa muncul dari mereka. Sesekali anak-anak itu hilir mudik mencari ibunya yang saat itu ikut membantu menyiapkan kenduri. Untung waktu itu tidak hujan sehingga mereka bisa menikmati acara slametan itu.

Satu per satu warga dusun tiba di rumah Pak Lunjak. Sebagai penerima tamu, Pak Lunjak mempersilahkan warga dusun untuk masuk ke ruang tengah. "Mari masuk Pak Koder," ujarnya sambil menjabat tangan Pak Koder. 

Pak Koder adalah tetangga Pak Lunjak yang rumahnya paling jauh. Pak Koder di desa itu terkenal sebagai orang yang hidup sendiri, istrinya sudah meninggal, sementara anak-anaknya pergi merantau ke Jakarta. Anaknya pulang biasanya saat lebaran. Umurnya yang sudah hampir satu abad namun masih terlihat kuat. Jalan dari rumahnya menuju ke rumah Pak Lunjak harus ditempuhnya dengan menyeberangi sungai. Dengan membawa obor, Pak Koder sudah biasa menyusuri malam. Tak ada rasa takut dari Pak Koder ketika harus melintasi ladang dan sawah yang sepi.

Pernah dahulu ada cerita ketika malam-malam sepulang dari sebuah acara slametan di salah satu rumah penduduk, Pak Koder dihadang oleh segerombolan makhluk yang berselimut kain hitam, manusia atau makhluk jadi-jadian, entahlan, namun dengan perasaan tenang Pak Koder menghadapi mereka. Ia bertanya, "Mau apa Kamu?" Mendapat pertanyaan seperti itu, segerombolan makhluk itu tidak menjawab. 

Pak Koder pun kembali berujar, "Minggirlah, Aku mau lewat, aku tidak mengganggumu dan Kamu jangan menggangguku." Mendapat tutur kata seperti itu seketika segerombilan makhluk itu minggir, Pak Koder pun melanjutkan perjalanan pulang. Setelah sepuluh langkah, ia mencoba menengok ke belakang, dilihat di bekas tempat dirinya dihadang makhluk yang tak jelas wujudnya, tak ada apa-apa lagi, yang ada hanya gelap dan senyap.

Malam itu kedatangan di rumah Pak Koder selain untuk mengucapkan selamat atas lahirnya Trengginas, juga sebuah harapan agar dari acara slametan itu dirinya bisa makan gratis dan membawa nasi berkat. Dengan cara seperti itulah Pak Koder bisa menyambung hidup. Sebagai seorang peladang, hidupnya pas-pasan. Ia setiap hari makan dari hasil ladang yang ditanami berbagai tanaman ubi-ubian, seperti ketela.

Pak Modin dan Pak Jigglong akhirnya tiba pada malam itu, dan acarapun dimulai. Dalam slametan di Desa Gunung Siji, biasanya doa-doa secara Islam dan secara kejawen dilakukan secara bergantian. Di desa itu meski penduduknya beragama Islam namun diantara mereka masih menjalankan tradisi-tradisi leluhurnya. Meski demikian mereka tidak mempermasalahkan doa yang diucapkan secara bergantian.

Pertama-tama Pak Modin mengajak para tamu Pak Lunjak membaca surat Al Fatihah, selanjutnya diajaknya membaca-baca doa keselamatan lainnya. Doa pun ditujukan kepada Trengginas. Secara khusyuk, para para tamu pun mengikuti bibir Pak Modin. Suara serempak doa itu memecah kesunyian. Setelah selesai membaca doa-doa itu, Pak Modin menutup doa dan diamini oleh para tamu.

Selanjutnya giliran Pak Jigglong membaca sesuatu yang kalimatnya sudah tidak diketahui oleh warga. Berkomat-kamitlah mulut dia dengan khusyuknya. Tidak lama kemudian, ia minum air putih, air itu tidak ditelannya namun disemburkan, 'buurrrrrrr'. Melihat hal yang demikian, warga tidak kaget sebab ritual itu selalu dilakukan Pak Jigglong ketika dirinya melakukan doa menurut kepercayaannya, baik dalam suasana suka dan duka.

Selesai sudah pembacaan doa, baik yang dilakukan Pak Modin maupun Pak Jigglong, selanjutnya Pak Lunjak sebagai tuan rumah memberikan kata sambutan, "Saudara-Saudara sekalian yang dimulyakan oleh Allah. Malam ini Kami sekeluarga merasa senang Saudara-Saudara sudi datang ke gubuk Kami. Malam ini merupakan malam yang berbahagai sebab merupakan hari ketujuh kelahiran Trengginas, anak Saya. Berkat doa dan kedatangan Saudara-Saudara sekalian Saya harap Trengginas kelak bisa menjadi anak yang sholeh dan selalu menurut apa kata orang tua."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun