"Baik Mang, Saya sudah mencatat semua kisah hidup Mang Penting, sekarang tinggal Kita mencari orang-orang yang bisa memerankan Lewa, Sipah, dan saudara-saudara Mang Penting," ujar Jurgen Bohler. Mang Penting mengumpulkan saudara-saudara dan masyarakat di sekitar untuk memerankan perang yang diinginkan oleh Jurgen Bohler.
Saat pengambilan gambar, adegan-adegan yang dilakukan terpaksa beberapa kali harus diulang karena pemain terkadang masih malu-malu atau kaku dalam ber-acting. Ketika disuruh mengulang adegan, diantara mereka ada yang ngambek dengan alasan capek atau sudah merasa bisa. Jurgen Bohler meminta tolong kepada Mang Penting agar memberi pengertian kepada mereka. Sebab Mang Penting adalah orang yang dihormati dan dituakan di desa itu maka mereka sadar dan mau mengikuti arahan Jurgen Bohler.
Sisca yang berada di situ membantu pembuatan film dengan memberi arahan pakaian apa yang cocok digunakan oleh pemeran, bahkan ia ikut memberi arahan bagaimana ber-acting. Sisca percaya diri mengeluarkan pengalaman dalam masalah pembuatan film karena ia pernah ikut workshop tentang film di kampus. Dengan bantuan Sisca maka pekerjaan Jurgen Bohler menjadi lebih ringan.
Selama 5 hari pembuatan film itu. Hal demikian membuat Sisca dan Jurgen Bohler bolak-balik ke rumah Mang Penting. Sisca mau menemani Jurgen Bohler karena dia sendiri juga mempunyai kepentingan terhadap Mang Penting karena ada hubungan dengan studi tentang sosiologi dan budaya. Ketika film itu membutuhkan pengakuan dan pemaparan dari akademisi dan sejarawan maka dengan bantuan Sisca, Jurgen Bohler ke kampus Universitas Silada untuk mencari dosen terkait, karena dosen-dosen itu sudah kenal dengan Sisca, maka upaya Jurgen Bohler untuk memperkuat film tentang Mang Penting dengan pengakuan dan pelurusan sejarah oleh akademisi dan sejarawan menjadi lebih lancar.
Ketika pembuatan film itu ada sekelompok masyarakat mencoba mengganggu dan berusaha untuk menggagalkan. Mereka beralasan pembuatan film itu akan mengungkap luka lama dan membangkitkan kembali ancaman komunisme. Hal demikian tentu mengganggu konsentrasi Jurgen Bohler, Sisca, dan Mang Penting. Apalagi upaya sekelompok masyarakat itu secara diam-diam didukung oleh aparat. Sehingga untuk mengamankan program pembuatan film maka beberapa adegan dan nama disamarkan tanpa mengurangi skenario asli.
***
Selepas pembuatan film, hubungan Jurgen Bohler dan Sisca semakin akrab, bahkan Sisca tak malu-malu lagi bila ingin menghubungi Jurgen Bohler. Suatu hari, Sisca ingin mengajak ia nongkrong di Art Rock Cafe. Sisca ingin nongkrong di tempat itu sebab di situlah ia biasa ngrumpi dengan Vira, Hani, Ika, dan teman kampus lainnya. "Ok, Saya mau, jam berapa bertemu di Art Rock Cafe?" tanya Jurgen Bohler. "Jam 20.00," jawab Sisca.
Tepat jam 20.00, dua orang itu pun bertemu di Art Rock Cafe. Gembira dan senang keduanya saat berjumpa. Di antara mereka sudah ada benih cinta sehingga mereka selalu merindukan. "Wooo, senangnya," ujar Jurgen Bohler. "Sama," balas Sisca dengan riang gembira ketika mereka berjumpa di tempat itu. "Kamu pesan minum apa?" Jurgen Bohler menawarkan. "Marble Mocha Macchiato," ujar Sisca. "Kalau Saya pilih Apple Juice Orange Blossom," kata Jurgen Bohler. Dua menu minuman itu pun dicatat dan diserahkan kepada pelayan Art Rock Cafe.
"Gimana filmnya sudah Kamu edit," tanya Sisca. "Belum nanti saja saat sudah di Jerman," jawab Jurgen Bohler. Â "O, ya Aku keasyikan kerja hingga lupa berwisata di pulau ini. Bisa Kamu mengantar Aku ke tempat-tempat wisata?" tanya Jurgen Bohler. "Bisa dong," jawab Sisca dengan riang. "Ok, besok pagi ya," harap Jurgen Bohler. "Siap," Sisca menimpali dengan singkat. "Kemana kita pergi," tanya Jurgen Bohler. "Gunung Gejah, Danau Bulan, dan Balai Raja," ujar Sisca. "Baik kalau begitu," jawab Jurgen Bohler.
Sambil ngobrol panjang lebar, mereka menikmati minuman yang dipesan. Malam sudah larut sehingga Sisca mengatakan kepada Jurgen Bohler mau pulang. "Baiklah kalau begitu Saya antar sampai ke kosmu," Jurgen Bohler menawarkan diri. Sisca tak menolak. Sepeda motor trail yang disewa menghantar Sisca ke kos. Jalan yang dilintasi sudah sepi sehingga laju kencang motor itu tak terhambat. Tak sampai 30 menit, sepeda motor trail yang menghantar dirinya sudah di depan kos.
"Sampai besok pagi ya," kata Jurgen Bohler sambil meninggalkan Sisca. "Ya," ujar Sisca dengan menguap. Pintu gerbang kos putri sudah ditutup dan dikunci. Untungnya ia membawa kunci cadangan. Dibukalah pintu gerbang itu dan masuklah Sisca ke kos yang sudah ditempati sejak awal menjadi mahasiswa.