Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Bukan Gigolo

5 Mei 2020   13:40 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:48 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Namun sebelum pelajaran dilanjutkan, tiba-tiba kepala sekolah berada di pintu kelas dan memberi kode Soetarmi agar keluar kelas sebab ada berita penting. Setelah menghampiri kepala sekolah, kepala sekolah itu nampak mengucapkan kata-kata yang serius kepada dirinya. Para murid tak ada yang mendengar apa yang diucapkan oleh kepala sekolah kepada Soetarmi. Mendengar apa yang diucapkan oleh kepala sekolah, wajah Soetarmi berubah pucat dan air matanya berlinang. Karena para murid masih lugu, ia tidak tahu mengapa gurunya itu menjadi demikian.

Soetarmi pun kembali ke meja guru yang berada di kelas dan memberesi buku-buku yang dibawanya. Setelah itu ia meninggalkan kelas begitu saja. Menghadapi yang demikian, meski masih lugu, para murid keheranan dan bertanya-tanya. Setelah kepala sekolah dan Soetarmi berjalan menuju ke ruang guru, dengan serempak anak-anak bergegas berdiri dan berjalan hingga pintu Kelas 1 melihat apa yang terjadi. Nampak di depan ruang guru ada 2 tentara dan 1 lagi orang yang berambut cepak berpakaian preman. Kedua tentara dan 1 lagi orang yang berambut cepak masuk ke ruang guru setelah kepala sekolah dan Soetarmi berada di dalam.

Para murid tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa tentara itu berada di sekolah. Setelah setengah jam berada di ruang guru, Soetarmi didampingi oleh 2 tentara dan 1 orang berpakaian cepak itu keluar dari ruang guru dan langsung masuk ke dalam sebuah mobil yang berada di depan sekolah. Ketika melihat gurunya masuk ke mobil tentara, pikiran murid-murid bermacam-macam, ada yang berpikiran gurunya pergi ke Kodim, ada pula yang berpikiran gurunya akan berlatih baris berbaris di lapangan kecamatan.

Begitulah cerita Soetarmi, di saat mengajar ia dijemput oleh tentara. Ia dijemput oleh tentara karena secara tidak langsung pernah menjadi bagian dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Dulu dirinya pernah dilitsus namun karena ada beberapa lembar hasil litsus ketlesut, kececer, membuat data tentang dirinya tidak lengkap sehingga dirinya selamat dari cap anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) dan simpatisannya, namun entah kenapa hasil litsus itu ditemukan lagi sehingga dirinya terbukti menjadi bagian dari organisasi yang dinyatakan terlarang oleh Orde Baru.

Soetarmi adalah seorang janda, suaminya sejak tahun 1966 tidak jelas ke mana perginya, sebab pada tahun itu saat dirinya pergi ke rumah saudaranya dan kembali pulang ke rumah, di rumah tidak ada siapa-siapa. Suaminya yang biasanya setiap sore di rumah itu pergi entah ke mana. Ia pun bertanya-tanya kepada tetangganya, namun tetangganya tidak ada yang tahu ke mana suaminya pergi. Dibalik kegelisahannya ia tiba-tiba ia melihat sebuah pesan yang ditulis di sebuah kertas yang ditempelkan di dalam lemarinya. Bunyi pesan itu berbunyi, Ibu saya pergi setelah dijemput oleh para pemuda dari Barisan Anshor. Saya tidak tahu hendak dibawa ke mana. Kalau tidak pulang, tidak usah dicari. Ini sebuah resiko ketika Kita menuntut keadilan atas reforma agraria. Dengan membaca pesan itu dirinya tahu bahwa suaminya ditangkap dengan tuduhan sebagai bagian dari PKI. Membaca pesan itu, mata Soetarmi berlinang sebab sudah ratusan orang ditangkap, diangkut naik sebuah truk, dan dibunuh. Dirinya tidak tahu dimana suaminya dipenggal hidup-hidup apakah di kuburan desa atau dibuang ke Pulau Nusa Kambangan atau Pulau Buru.

Soetarmi ingat juga cerita dari mantan Wakil Sekjen Gerwani, Sulami. Sulami bercerita banyak tentang kejadian di tahun 1965/1966. Sebagai anggota Gerwani tentu ia diuber-uber selepas Peristiwa G 30 S. Namun ia bersyukur dalam peristiwa itu dirinya selamat, meski akhirnya ia harus masuk dalam penjara. Saat ditanya siapa yang melakukan pembantaian terhadap orang-orang PKI dan simpatisannya, ia menjawab, "Salah satunya Banser."

Cerita yang sama juga diungkapkan oleh seorang Guru Besar di Universitas Udayana, Bali. Semasa kecil, guru besar itu adalah anak seorang pengurus PNI. Ia menceritakan bahwa tanah yang dibeli oleh orangtuanya itu pernah mau direbut oleh orang-orang PKI. Dalam sebuah kesempatan, meski masih kecil, ia hampir saja bentrok dengan orang-orang PKI itu bila mereka benar-benar merebut tanah orang tuanya.

Selepas Peristiwa G 30 S meletus, ia menceritakan Banser-Banser dari Banyuwangi datang ke Bali. Mereka mencari orang-orang PKI dan simpatisannya yang berada di Bali. Guru besar yang saat itu masih kecil, oleh Banser disuruh menunjukan di mana rumah-rumah orang PKI. Entah karena atas petunjuk itu atau Banser tahu sendiri rumah-rumah orang PKI, maka rumah-rumah orang PKI itu dibakar.

***

Murid-murid yang berdiri di pintu Kelas 1 itu bubar saat Bu Koestini menghampiri mereka. "Ayo kembali ke bangku masing-masing," hardiknya. "Bu Soetarmi ada urusan jadi Kalian dipulangkan," ujarnya.

Mendengar kata pulang secara serempak murid-murid itu mengatakan, "Horeee." Mereka pun mengemasi buku-buku yang ada dibangku, memasukan ke dalam tas masing-masing, dan langsung menghambur keluar ruangan. Melihat tingkah yang demikian, Bu Koestini hanya geleng-geleng kepala. Selanjutnya dirinya kembali ke Kelas 3 untuk mengajar murid-muridnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun