Makin lama perahu itu sendiri di tengah lautan, sejauh mata memandang hanya gelap. Di langit hanya nampak beberapa bintang yang memancarkan redup cahayanya. Cahaya bintang itu tak mampu menolong mereka melihat birunya Selat Malaka. Mereka hanya mendengar suara mesin perahu dan debur ombak. Sesekali mereka berpapasan dengan perahu nelayan yang bercahayakan lampu petromax. Sesekali perahu nelayan yang ditemui itu berbendera Indonesia, selanjutnya yang ditemui berbendera Malaysia. Saat berpapasan mereka melempar salam seadanya.
Setelah tiga jam melewati Selat Malaka. Dari kejauhan nampak seperti sebuah lampu bergoyang-goyang. Tukang kemudi perahu itu pun menuju ke arah lampu itu. Hal demikian menunjukan bahwa titik tujuan telah tiba. Perahu itu akhirnya buang jangkar hanya beberapa meter dari daratan Malaysia. Tukang kemudi perahu itu mengatakan, "Telah tiba di Malaysia, silahkan semuanya meloncat ke laut dan menuju arah lampu itu. Laut tidak dalam jadi jangan khawatir tenggelam." "Kok begini," ujar salah seorang calon TKI. "Nggak usah ribut, laksanakan secepatnya sebelum polis Malaysia mengetahui," ujar tukang kemudi perahu itu.
Karena dilanda rasa cemas berada di tempat yang baru dikenal, mereka pun pada menceburkan diri ke laut, byur, byur, byur, memang air laut tidak dalam, hanya sebatas pinggang. Setelah mereka menceburkan diri, perahu itu segera menghidupkan mesinnya dan balik kucing secepatnya. Dengan berjalan terhuyung-huyung karena dijepit ombak dari kanan kiri, para calon TKI itu berjalan menuju daratan ke arah lampu itu.
Sesampai di pantai, salah seorang yang membawa lampu itu dengan suara keras berkata, "Cepat, cepat, cepat." Mereka pun berlari menuju ke sebuah truck yang diparkir tidak jauh dari pantai itu, "Naik, naik, naik," teriak orang pembawa lampu itu. Begitu semua sudah naik truck, sopir truck segera menghidupkan kendaraan angkut massal itu dan meluncur ke sebuah arah yang tidak diketahui oleh mereka.
Truck itu melaju dengan kecepatan tinggi melintasi kelokan jalan di tengah perkebunan sawit. Gelap yang melingkupi perkebunan sawit itu membuat mereka tidak tahu di mana posisinya. Mereka hanya tahu bahwa dirinya berada di tengah perkebunan sawit yang luas. Sejauh mata memandang hanya nampak jajaran pohon sawit yang berbaris teratur. Akhirnya truck itu berhenti di sebuah tempat yang mirip bangunan pabrik, mereka disuruh turun oleh pria pembawa lampu tadi. "Silahkan turun dan masuk ke ruangan itu," ujarnya sambil menunjuk sebuah ruangan besar mirip penampungan yang ada di Batam. "Silahkan tidur dan istirahat, besok pagi semuanya mulai bekerja di perkebunan sawit ini," kata pria pembawa lampu tadi sambil meninggalkan mereka.
Mereka yang sudah merasa tertipu dan tidak tahu apa-apa akhirnya seperti kerbau dicocok hidungnya. Mereka pun menuju ke tempat di mana tempat tidur ala kadarnya dan segera melupakan impiannya.
***
"Deng, deng, deng," bunyi pintu dari seng itu dipukul keras-keras oleh seseorang yang bertubuh besar. Kerasnya benturan antara besi yang dipegang seseorang yang bertubuh besar dengan seng itu menimbulkan suara yang keras dan memekakan telinga ratusan orang yang sedang terlelap dalam tidurnya. Apa yang dilakukan itu untuk menunjukan bahwa pagi telah tiba dan mereka semua harus menunjuk ke perkebunan sawit.
Dengan sedikit kalang kabut ratusan orang itu menyingkirkan selimut sarungnya  dan bergegas menuju ke kamar mandi yang tersedia. Beberapa baris antrian panjang pun terbentuk di depan kamar mandi yang ada. Saking banyaknya orang yang ingin mandi membuat diantara mereka ada yang hanya sempat membasuh mukanya. "Pyuk, pyuk, pyuk," begitu bunyi orang-orang yang membasuh muka dengan seadanya. Mereka berpikir bila antri mandi akan ditinggal oleh truck dan ketidakhadirannya di kebun sawit tidak dihitung. Pastinya gaji akan berkurang.
Setelah selesai membasuh muka, mereka disuruh menuju truck yang sudah dibagi berdasarkan petak-petaknya. Pak Lunjak sebelumnya sudah diberi tahu bahwa dirinya berada di petak 7, sehingga dirinya menuju ke truck nomer 7. Ada sekitar 30 orang yang terangkut dalam truck itu. Begitu semua sudah siap dengan alat semacam linggis, truck itu bergerak menuju petak 7. Petak demi petak dilalui dan tibalah di petak 7. Tiba di tempat itu seluruh TKI turun dari kendaraan angkut itu, kemudian oleh mandor mereka dibagi-bagi. Pak Lunjak mendapat tempat di bagian selatan di petak 7. Karena pekerjaan lebih mengandalkan tenaga, setelah diberi tahu bagaimana caranya mengambil buah pohon sawit, maka secara naluriah ia cepat bisa menyesuaikan diri bekerja di tempat itu.
Mulai hari itu, Pak Lunjak menjadi pekerja di perkebunan sawit, ia menerima gaji yang cukup buat makan sehari-hari dan sedikit untuk mengirim kepada istrinya. Suka tidak suka hal demikian ia lakukan untuk keberlangsungan hidup. Perasaan dirinya antara menyesal dan tidak ketika sehari-hari harus bekerja berat mirip romusha. Entah sampai kapan dirinya bekerja seperti itu, ia tidak tahu, ia berpikir apa yang terjadi terjadilah.