***
Hari itu para TKI merasa senang, sebab Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) akan mengajak mereka untuk mendukung Tim Nasional Indonesia saat melawan Tim Nasional Malaysia dalam AFF Cup 2010 di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur. Para TKI akan dijadikan pemain ke-12 alias suporter.
Karena kehadiran suporter penting maka KBRI memobilisasi seluruh para TKI untuk berduyun-duyun ke stadion. Langkah untuk memobilisasi para TKI yang dilakukan KBRI adalah dengan menerjunkan petugas ke kantong-kantong para TKI dan mengajak mereka untuk mendukung Tim Nasional Indonesia dengan memberi potongan tiket bahkan memberi tiket secara gratis kepada para TKI.
Pentingnya dukungan para pemain ke-12 dalam Tim Nasional Indonesia yang posisinya ditempati para TKI itu sudah terbukti dalam semifinal AFF 2004. Ribuan TKI yang datang ke Stadion Bukit Jalil mampu mendongkrak semangat tim nasional Indonesia yang tertinggal 1-0, kemudian berubah menjadi unggul 1-4. Dukungan para TKI itulah yang mampu menyemangati Kurniawan D. Julianto, Charis Julianto, Ilham Jaya Kusuma, dan Boaz Salosa, mencetak gol ke gawang Tim Nasional Malaysia.
Jumlah yang dibutuhkan pemain ke-12 yang jumlahnya mencapai ribuan, bukan suatu hal yang susah untuk dimobilisasi oleh KBRI. Jatah dari FAM atau PSSI-nya Malaysia sebanyak 15.000 kursi, suatu kuota yang kecil. Bila FAM rela memberi jatah kursi kepada suporter Indonesia hingga 50%, dengan kapasitas Stadion Bukit Jalil yang mencapai 100.000 hingga 120.000, itu juga bukan hal yang sulit untuk dipenuhi, sebab jumlah TKI yang berada di negeri jiran itu mencapai kisaran 1.000.000 orang. Mendapat fasilitas nonton gratis itu Pak Lunjak kegirangan, "Asyik bisa jalan-jalan ke Malaysia." Dengan acara itu beban kerja berat yang dilakukan bisa dihindari.
Kegirangan Pak Lunjak dicibir oleh Badri, salah seorang TKI lainnya. Diakui apa yang dilakukan oleh KBRI terhadap para TKI ini seperti belah bambu, suatu
ketika diangkat atau dibutuhkan, satu saat yang lain dicuekin bahkan dibiarkan ketika mereka membutuhkan bantuan dan pertolongan. "Banyak sudah cerita dan fakta perlakuan kasar, siksaan, bahkan sampai pembunuhan terhadap para TKI di Malaysia, namun KBRI bersikap pasif bahkan membiarkan apa yang terjadi," ujarnya.
Badri menjelaskan dari tidak adanya perlindungan dan bantuan hukum tersebut membuat Pemerintah Malaysia selama November 2010 pernah mengusir TKI sebanyak 1.132 orang. Dari data yang ada, pada tahun 2009 pengusiran TKI mencapai 32.000 orang, tahun 2008 sebanyak 35.143 orang dan tahun 2007 sebanyak 34.652 orang. Terhadap pengusiran ini mengapa KBRI tidak melakukan apa yang dilakukan ketika hendak memobilisasi mereka untuk mendukung Tim Nasional Indonesia, dengan memberi berbagai kemudahan dan fasilitas.
"Bila pertandingan sepakbola mampu memberi perhatian kepada para TKI di Malaysia, tentu kita berharap tim nasional Indonesia suatu ketika juga mengadakan pertandingan di Arab Saudi, dan negara tujuan para TKI lainnya, sehingga KBRI di sana juga melakukan mobilisasi para TKI," harapnya. Dengan adanya pertandingan sepakbola, nasib mereka bisa menjadi lebih diperhatikan.
Apa yang dikatakan Badri diperkuat oleh Komir, TKI dari salah satu kampung terpencil. Menurutnya, nasib TKI di Saudi Arabia mungkin sama bahkan lebih parah dengan nasib para TKI yang berada di Malaysia. Berdasar data dari Migrant Care, jumlah TKI yang bermasalah pada tahun 2008 sebanyak 45.626 orang. Tahun 2009 sekitar 44.569 orang dan selama Januari-Oktober 2010 mencapai 25.064 orang. Dari data itu, korban terbanyak bekerja di Arab Saudi, berkisar 48,29% hingga 54,10%. Para TKI itu mengalami berbagai nasib yang mengenaskan dari, seperti gaji tidak dibayar, kekerasan seksual, dianiaya sampai tewas, serta dianiaya hingga mengalami cacat fisik.
Bahkan berita yang terakhir diberitakan di media massa, tahun 2010, ada sekitar 300 TKI yang menggelandang hidupnya di kolong jembatan layang di kawasan Kandara, Jeddah. Berita adanya TKI yang menggelandang di Arab Saudi ternyata tidak hanya di Jeddah, namun juga di Makkah. Mereka memilih menjadi gelandangan sebab mereka diperlakukan secara diskriminatif dan tidak adil oleh majikannya, seperti masalah gaji kurang, beban pekerjaan tak sesuai kontrak, korban kekerasan majikan, baik penyiksaan maupun kekerasan seksual," ujar Komir. Dan yang lebih menyulitkan ketika mereka tak lagi memegang kartu identitas karena paspor ada di tangan majikan.
Semua hal di atas menunjukan adanya ketidakseriusan dan ketidakpedulian dari KBRI di Arab Saudi. Berbagai kasus penyiksaan yang berujung pada kematian dan tidak dibayar
gajinya, seolah-olah sebuah cerita yang tak kunjung selesai. Selesai kasus yang satu
muncul kasus yang lainnya.