Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Bukan Gigolo

5 Mei 2020   13:40 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:48 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kedatangan mereka dengan membawa hasil bumi dan binatang peliharaan untuk slametan, syukuran, atas kelahiran Trengginas. Sebuah tradisi di Desa Gunung Siji bila ada di antara mereka yang bersuka cita seperti melahirkan,  mengawinkan anak gadis atau jejaka, khitanan, ataupun berduka cita seperti kematian atau tertimpa malapeteka, maka mereka saling membantu bila tidak dengan harta cukup dengan tenaga. Mereka dengan suka rela datang ke tempat acara, bahu membahu untuk membuat nasi berkat yang akan didoakan oleh sesepuh desa dan pak modin.

Riuh rendah suara ibu-ibu di belakang rumah Pak Lunjak. Suara riuh rendah dari mereka karena masing-masing membincangkan berbagai hal dari masalah kelahiran Trengginas sampai masalah keluarga masing-masing. Suara riuh rendah itu terus terdengar hingga ruang tengah rumah Pak Lunjak, namun kerja mereka membuat nasi berkat, apem, berbagai macam sayuran tak terganggu. Justru dengan sambil mengumbar kata itulah yang membuat kerja mereka menjadi lebih cepat.

Istri Pak Lunjak yang berada di antara mereka hanya sesekali tersenyum ketika mendengar celotehan ibu-ibu. Badannya yang belum pulih benar selepas melahirkan membuat dirinya membatasi untuk bergerak. Ia membantu ibu-ibu semampunya. Melihat istri Pak Lunjak lebih banyak duduk di kursi, seorang ibu mengatakan, "Ya sudah Kamu diam saja, badanmu kan belum sehat benar."

Bila para ibu-ibu sibuk membuat makanan untuk slametan, lain dengan para lelaki yang juga datang ke rumah Pak Lunjak. Mereka ada yang sibuk mengambil tikar di mushola, mencari bambu di kebun, ada pula yang menyembelih ayam. Lain dengan ibu-ibu, para lelaki itu dalam bekerja hanya sesekali berseloroh, namun dari mulut mereka lebih banyak mengeluarkan asap rokok. 

Berbagai macam rokok tersedia di meja di serambi rumah Pak Lunjak. Rokok kretek yang dibeli dari Pasar Dusun itu memang disediakan untuk mereka. Kesempatan rokok gratis yang tersedia itu benar-benar dimanfaatkan, maklum mereka jarang menghisap rokok dengan sebebas itu, kalaupun bisa seperti hari itu paling saat Hari Raya.

Seperti ibu-ibu, para lelaki pun kerjanya tak kalah gesit, tikar dari mushola yang sudah tiba di rumah Pak Lunjak segera digelarnya. Enam gelaran tikar langsung menutupi lantai rumah Pak Lunjak yang diplester dengan semen seadanya. Tikar yang sudah berumur 3 Hari Raya itu nampak bolong di sana-sini. Meski demikian, semua maklum sebab tikar yang ada itu sering digunakan, baik untuk sholat lima waktu maupun digilir ke rumah-rumah ketika diantara mereka ada yang berduka cita atau bersuka cita.

Di tengah keasyikan mereka mempersiapkan slametan tujuh hari kelahiran Trengginas, tiba-tiba terdengar suara bedug mushola, "Dug, dug, dug." Mendengar suara kulit sapi yang disangkutkan ke dalam kayu yang berbentuk bulat itu dipukul-pukul, riuh rendah suara di rumah Pak Lunjak sebentar senyap.

Diantara mereka ada yang bergegas ke mushola. Melihat diantara mereka bergegas ke tempat yang berada di pertigaan dusun itu, Pak Lunjak mengatakan, "Selesai sembahyang balik ke sini ya, Kita mangan siang bareng-bareng." Mendengar harapan itu, diantara mereka ada yang berseloroh, 'Ojo khawatir, pasti aku mbalik, kembali."

Benar, selepas imam mushola mengakhiri sholat dhuhur, mereka langsung bergegas kembali ke rumah Pak Lunjak. Rasa lapar yang ada di perut, menggerakan kaki-kaki mereka bergerak lebih cepat. Pak Lunjak pun dengan tersenyum menyambut kedatangan mereka, "Sudah lapar to?" ujarnya dengan sedikit bergurau. "Iyo Mas, perutku sudah tidak kuat ki," jawab Bodron, pemuda pengangguran di desa itu. Dulu ia pernah kerja di Malaysia, namun karena dokumennya tidak lengkap ia diusir oleh polisi Malaysia.

Nasi dengan sayuran, daging ayam, tahu, tempe, dan sambel, sudah tersedia di ruang tengah rumah. Melihat hal yang demikian, mulut para lelaki itu langsung terlihat nafsu laparnya. "Ayo kita nikmati," ujar Pak Lunjak menghalau rasa malu mereka. Dengan sedikit malu-malu dan basa-basi, mereka pun menuju ke tempat itu dan mengelilingi sajian yang sudah tersedia. Piring yang ada dibagi satu persatu, dan secara bergiliran mereka mengambil nasi, sayuran, tempe, daging ayam, tahu, dan sambel. Mereka nampak menikmati sajian itu. Wajah-wajah mereka nampak ceria ketika menyantap sajian olahan ibu-ibu.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun