"Waduh Ling, Bapakku belum jemput Aku, gimana nih," ujar Trengginas kepada Aling ketika berada di gerbang sekolah. 'Kalau begitu main saja dulu ke rumahku Nas," jawab Aling. "Memang nggak mengganggu Kamu," tanya Trengginas lagi. "Nggak-lah, jam segini mama dan papaku jaga toko jadi Saya sama Apho," kata Aling sambil membenarkan sepatunya. "Apho?" tanya Trengginas. "Apho itu artinya nenek," Aling menjelaskan.
Ketika mereka berjalan melintasi sebuah sungai, Aling bercerita kepada Trengginas bahwa dulu di sungai itu mengalir air yang bersih dan jernih. Dulu sungai itu dibuat mandi anak-anak kecil, bahkan banyak orang mencari ikan lele di sungai baik dengan cara memancing atau dengan racun putaz. Namun sungai itu mempunyai cerita yang sedih. "Kok bisa?" tanya Trengginas kepada Aling. Aling pun berkata, begini ceritanya, pada suatu hari, di pinggir sungai itu timbul semacam kegaduhan dan suara ribut-ribut. Hal demikian memancing orang-orang di sekitar secara spontan berlari ke arah pinggir sungai. Apho Saya yang saat itu masih kecil dan lugu juga ikut lari ke pinggir sungai. kerumunan orang di pinggir sungai saling bertanya-tanya, "Ada apa, ada apa?"
Tak lama kemudian, ada orang yang berujar, "Ada perempuan buang bayi ke sungai" orang itu lalu berkronologi, perempuan itu naik becak dari arah barat, ketika becak yang ditumpangi melintas di pinggir sungai, tiba-tiba perempuan itu melempar sebuah bungkusan tas kresek ke arah sungai, namun mungkin tas itu tidak diikat membuat isi tas kresek keluar, ternyata isi tas kresek itu berupa jabang bayi yang sudah mati. Mayat jabang bayi terlihat melayang di udara selepas dilempar. Dari sinilah ketahuan perempuan itu sedang membuang bayi. Peristiwa itu bukan yang pertama, pada hari-hari selanjutnya masih ada perempuan yang juga buang bayi. "Saya dapat cerita dari Apho," ujar Aling.
Trengginas dan Aling pun terus berjalan menuju ke rumah. Ketika melintas di sebuah rumah yang sangat tua, Trengginas bertanya kepada Aling. "Ling itu rumahnya siapa?" "O, itu rumahnya Ndoro Tondo," jawa Aling. "Siapa itu Ndoro Tondo?" tanya Trengginas lagi. "Dia orang sakti tetapi sudah lama meninggal dunia," Aling menjawab pertanyaan Trengginas yang tak berhenti.
Agar tidak bertanya lagi Trengginas pun bercerita, "Begini ceritanya menurut Apho." Dulu di tahun 1930-an, ada orang yang sakti mandraguna, yakni Ndoro Tondho. Rumah Ndoro Tondho pada masa itu adalah rumah yang bagus dan memiliki halaman yang luas. Di halaman rumah tumbuh berbagai macam pohon buah-buahan, seperti mangga, rambutan, dan pohon bambu. Kalau musim mangga, anak-anak kampung mengambil mangga-mangga yang jatuh dari pohon, bahkan ada yang melempari mangga yang masih berada di pohon. Bila ada yang ketahuan melempar mangga, ia akan dikejar oleh pembantu Ndoro Tondho.
Di depan rumah Ndoro Tondho ada jalur kereta api yang menghubungan kota dan desa. Suatu hari, kereta api berangkat dari stasiun hendak menuju ke desa. Suara kereta api itu begitu gemuruh ditambah dengan bunyi peluit yang menyakitkan telinga. Merasa terganggu dengan gemuruh suara mesin dan lengkingan peluit, Ndoro Tondho marah. Sebab sakti, Ndoro Tondho mengeluarkan kekuatan ilmunya, "Berhentilah kereta api." Apa yang dikatakan itu menjadi kenyataan. Seketika, mesin kereta api macet sehingga tidak bisa berjalan.
Paham Ndoro Tondho murka, masinis meminta maaf kepada Ndoro Tondho. Ndoro Tondho menerima permintaan maaf masinis. "Seketika mesin hidup, dan kereta api pun melanjutkan perjalanan," demikian Apho bercerita seperti yang dituturkan kepada Aling.
"Sekarang Kamu ganti cerita Nas, masak Aku terus yang cerita," Aling protes kepada Trengginas. "Cerita apa?" tanya Trengginas. "Ya terserah mungkin di desamu ada apa gitu," Aling menjelaskan. Trengginas pun sedikit berpikir, kemudian berkata, "O, ini cerita dari Mbok-ku." "Cerita apa tuh," Aling tak sabar. "Begini ceritanya," Trengginas mulai bercerita.
Di tahun 1980-an, Desa Gunung Siji masih sangat sepi. Bila malam tiba, tak banyak orang keluar rumah, penduduk enggan keluar rumah karena suasana desa masih banyak hal diliputi misteri. Di malam hari yang terdengar hanya suara jengkrik dan kepak sayap burung kelelawar bahkan ada yang melihat serigala berkeliaran dan bila hujan turun terdengar suara-suara katak yang menarik perhatian lawan jenisnya. "Kalau dalam bahasa Jawa disebut kodok ngorek," ujar Trengginas.
Melihat hal demikian ada seorang ibu yang ingin menginginkan malam hari di desa menjadi ramai, maka ia pun mencoba untuk membuka warung jajanan dan kopi  di malam hari. Suatu malam warungnya buka, berbagai jajanan dan kopi dihidangkan untuk dijual. Ia duduk sambil menunggu pembeli. Dalam suasana senyap, tak ada suara angin berhembus, tiba-tiba datanglah seorang perempuan cantik dengan rambut terurai panjang. Ibu pedagang itu kaget sebab perempuan cantik itu telanjang bulat. Kaget dan ada perasaan yang tak enak, ia pun langsung berteriak, "Ku.. ku.. ku tilang," Saking takutnya ia salah teriak. Setelah menguasai keadaan, ia pun berteriak kembali, "Ku... ku... ku... kuntilanak." Selepas kejadian itu, ibu pedagang itu sakit dan tidak jualan lagi. Dusun pun kembali sepi.
"Wuuu dasar, Mbok-mu itu paling suka nonton film Indonesia ya," protes Aling. "Nggak tahu. Gimana nonton film, bioskop saja di desaku tidak ada," kata Trengginas. "Kalau Kamu nggak puas dengan cerita itu, cerita dari bapakku saja," Trengginas menghibur Aling agar tak kecewa. "Cerita apa lagi?" Aling penasaran.