Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Bukan Gigolo

5 Mei 2020   13:40 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:48 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mereka pun berjalan meninggalkan pelabuhan dan melintasi gang-gang sempit dan akhirnya tiba di sebuah bangunan kayak gudang. Begitu masuk ke dalam bangunan itu terlihatlah bangunan kayu yang tersusun bertingkat dan sepertinya digunakan untuk tidur. Dan terkejutlah mereka melihat ratusan orang ada yang sedang tidur, duduk, dan ngobrol di shaf-shaf kayu itu. Para calon TKI itu hanya celingak-celinguk begitu tahu banyak orang di tempat itu.

"Ini tempat penampungannya," ujar salah seorang calon TKI kepada Hang. "Ya, dan beginilah tempatnya, karena perusahaan pengiriman TKI anda membayar Kami sangat murah," ujar Hang menjelaskan. Mendengar jawaban seperti itu, semua calon TKI diam. "Nah Bapak-Bapak silahkan cari tempat yang kosong dan nanti Jam 23.00 kita berangkat ke Malaysia. Sekarang silahkan istrirahat," papar Hang. Hang pun pergi meninggalkan mereka.

Mereka pun mencari tempat-tempat yang tersisa di shaf-shaf kayu itu. Di tempat itu berlaku hukum rimba, siapa yang kuat ia yang akan mendapat tempat sehingga sering terjadi keributan ketika seorang calon TKI baru masuk ke tempat penampungan. Bila calon TKI baru melayani arogansi penghuni lama pasti akan terjadi perkelahian massal dan hal yang demikian sering terjadi. Demikian pula Gonjel, sebagai calon TKI baru ia dilarang menempati sisa ruang yang ada. Gonjel yang biasanya di kampung tukang belah kayu pun marah, dan berkata, "Asu Kamu, kalau berani ayo kita selesaikan di depan." Mendengar tantangan seperti itu, penghuni lama pun meladeni, "Bangsat anak baru saja sudah mentang-mentang." Untung saja ketika hendak terjadi perkelahian, satpam penampungan segera melerai. "Goblok semua, masalah seperti ini saja ribut. Sama-sama orang miskin saja sombong," ujar satpam penampungan itu membentak dan melecehkan mereka. Akhirnya mereka kembali ke tempat masing-masing dan Gojel pun mencari tempat yang lain.

Syukur Pak Lunjak mendapatkan penghuni lama yang baik sehingga tak ada keributan. "Silahkan Mas," ujar penghuni lama kepada Pak Lunjak. "Ternyata kita tetangga kabupaten ya," ujar orang itu begitu Pak Lunjak memperkenalkan diri. "Ya sudah Kamu Saya anggap saudara sendiri di sini," ujar pria yang namanya Slamet itu. "Makasih Mas Slamet," ujar Pak Lunjak. "Mas Slamet kok bisa di sini," tanya Pak Lunjak. "Ceritanya panjang Mas," ujar Slamet. "Istirahat saja dulu nanti Saya ceritakan," ujar Slamet lagi. Pak Lunjak menurut. Direbahkan badannya ke papan kayu itu. Tak selang lama dirinya sudah berada di dunia lain.

***

"O, begitu to," ujar Pak Lunjak setelah Slamet menceritakan riwayat hidupnya. Slamet menjadi penghuni penampungan TKI itu sudah lama. Ia lebih memilih tinggal di tempat itu karena mau pulang ke kampung halamannya malu. Harapan dari keluarganya agar Slamet pulang membawa uang banyak belum tercapai. Untuk itu dirinya masih mau kembali ke Malaysia untuk menebus janji kepada keluarga agar setelah bekerja di Malaysia hidup keluarganya menjadi lebih baik.

"Ya sudahlah ini merupakan jalan hidup yang harus Kita lalui," ujar Pak Lunjak menghibur diri. "Mudah-mudahan apa yang Kita lakukan ini bisa membawa perubahan bagi keluarga,"ucap Pak Lunjak sambil membaringkan tubuhnya.

"Terus kapan Kamu mau ke Malaysia," tanya Slamet. "Nanti malam katanya," jawab Pak Lunjak. Mendengar jawaban seperti itu Slamet tersenyum malas-malas. Ia berpikir, ah paling-paling juga begitu. Berdasarkan pengalamannya menjelang daratan Malaysia para calon TKI dipaksa turun dari perahu kayu menuju ke perkebunan kelapa sawit. Cara itu dilakukan untuk menghindari polis Malaysia. "Ya selamat jalan dan berkerja," ujar Slamet.

Tak terasa sore sudah tiba di Pulau Batam. Rombongan para calon TKI Perusahaan Pengiriman TKI Wani Cepet pun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke Malaysia. Selepas maghrib, Hang menjemput mereka dari penampungan. Digiringnya mereka keluar dari tempat itu dan menuju ke sebuah pantai yang sepi dan masih banyak tumbuh pohon kelapa. Di tempat itu tertambat sebuah perahu kayu bermesin kecil. Perahu yang bertuliskan Nusa Bahari itu sepertinya cukup untuk membawa sekitar 10 penumpang.

Rombongan yang dikomandoi Hang itu akhirnya sampai di pantai yang sepi itu. Disuruhnya para calon TKI itu naik perahu kayu itu. "Jangan berisik ya Pak," ujar Hang. "Dan jangan menyalakan api," ujarnya lagi. Menyalakan api tentu akan memancarkan cahaya dan dengan demikian menandakan ada sebuah perahu yang sedang bergerak. Untuk mengelabui aparat keamanan biasanya pengirim TKI ilegal akan menyamarkan perjalanan, salah satunya dengan melakukan perjalanan di malam hari sehingga gerak perahu tak terpantau.

"Tek, tek, tek, tek," bunyi mesin perahu itu mulai terdengar. Perahu mulai bergerak meninggalkan pantai yang sepi itu. Dengan lambaian tangan Hang melepas kepergian mereka. Makin lama perahu itu semakin ke tengah. Di tengah perjalanan tukang kemudi perahu itu berteriak, "Woooooiiiiiiiiiii" sambil membanting kemudi dan mempercepat daya laju perahu. Para penumpang tidak sadar ada bahaya mengancam. Mereka baru sadar ketika kapal tangker besar ada di samping mereka. Perahu itu hampir ditabrak kapal tangker. Bila ditabrak kapal tangker tentu perahu itu akan hancur lebur. Kapal tangker itu melintas begitu saja sebab perahu itu memang salah sebab selain tidak menyalakan lampu juga memotong lintasan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun