Setelah sekian lama, keluarlah sebuah kalimat dari mulutnya, "Nah ini nama yang cocok buat anakku." Nama anaknya ditemukan setelah matanya tersandung pada kata yang mempunyai makna lincah dan tangguh. "Nama anakku adalah Trengginas," ujarnya dengan bersemangat.
Selepas menemukan kata itu, ia beranjak dari kursi kayu dan menuju ke tempat istrinya yang sedang menyusui anak yang belum punya nama itu. "Bu, Bu, aku sudah mempunyai nama yang cocok buat anak kita," kata Pak Lunjak yang mengagetkan istrinya yang sedang asyik menyusui bayi montok itu.Â
Meski kaget, namun Bu Cengkling tidak berang kepada suaminya yang tercinta itu. "Namanya apa Pak buat anak Kita ini," tanya istrinya dengan harap-harap cemas. "Trengginas," jawab Pak Lunjak.Â
Mendengar nama itu wajah istrinya biasa-biasa saja, tak ada kejutan. Soal nama baginya mungkin tak menjadi soal, yang penting bagi dirinya adalah anaknya sehat dan keturunan yang diinginkan sudah dikabulkan oleh Allah. "Ya sudah Pak, aku nurut saja," ucapnya.
Mendengar istrinya menerima usulan nama itu, Pak Lunjak pun tersenyum gembira. Ia kembali ke ruang tengah rumahnya. Ia menghampiri lemari yang sudah reot di ruang itu. Ia mencari-cari siapa tahu ada kertas putih yang bisa digunakan untuk menulis nama anaknya yang kemudian dipasang di dinding rumahnya.Â
Setelah mengobrak-abrik isi lemari, ia tak menemukan kertas putih, yang ada hanyalah kertas-kertas bekas dirinya meramal nomer buntut atau nomer judi. Meski sekolahnya hanya sampai sekolah rakyat, Pak Lunjak rupanya tidak kehilangan akal. Kalendar yang ada di dinding, yang bentuk lembaran per bulan, pada bulan yang sudah lewat disobeknya. Di balik lembaran kalender yang disobeknya itulah terhampar sebuah kertas yang tak ada coretan.
Di lembaran kertas yang tak ada coretan itu, Pak Lunjak dengan hati-hati dan tangannya yang tertatih-tatih menulis huruf demi huruf nama anaknya. Sekolahnya yang hanya sampai sekolah rakyat membuatnya cukup lama hanya untuk menulis kata Trengginas. Sehingga selepas kata itu tertuang dalam kertas yang ada, Pak Lunjak kegirangan. Selanjutnya ia mencoret di kertas itu hari, bulan, dan tahun lahir anaknya. Karena ia sudah biasa meramal nomer judi, maka tulisan yang berbentuk angka itu diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat.
Setelah nama anak, hari, bulan, dan tahun lahir semua sudah ditorehkan dalam kertas seukuran buku gambar yang biasa digunakan anak-anak sekolah di SD Inpres di Desa Gunung Siji menggambar, selanjutnya dipasanglah kertas itu di dinding rumah. Kertas itu berhasil melekat di dinding gedhek, anyaman bambu, dengan di pojok-pojoknya diselipkan lidi sebagai penahan agar tetap menempel di dinding rumahnya.Â
Kertas yang sudah tercoret nama anaknya itu dipandangi terus. Setelah puas, ia pun mengambil bungkusan rokok yang ada di sakunya. Ditariknya satu batang. Rokok sebatang itu dimasukan ke dalam mulutnya, tak lama kemudian api menyulut rokok kretek itu. Asap pun mengepul dan mulai memenuhi ruangan.
***
Pagi hari di hari ketujuh kelahiran Trengginas, rumah Pak Lunjak penuh dengan saudara dan tetangganya. Para saudara dan tetangganya datang ke rumah yang berada di bawah pohon jambu di ujung desa itu sambil membawa hasil bumi dari ladang atau sawah, ada yang membawa beras, buah kelapa, daun pisang, daun jati, daun pepaya, bahkan diantara mereka ada yang membawa beberapa ekor ayam.