Trio Jaran Edan tidak hanya sekadar berdendang namun juga bergoyang seperti kuda gila, pantat dan dada merupakan bagian organ yang sering digerak-gerakan dan digoyang-goyangan. Anehnya, bila di lapangan terbuka, jenis dangdut koplo seperti yang demikian membuat penonton berjingkrak-jingkrak, namun di tempat pertunjukan itu penonton seolah-olah seperti patung kayu, diam seribu bahasa, hanya tatapan mata yang tajam ke arah depan.
Hipnotis semakin kuat ketika Trio Jaran Edan memperagakan tarian kuda kawin. Karena seru sampai ada seorang penonton yang berteriak, "Terussss." Selang tak lama setelah tarian itu, Trio Jaran Edan melenggak-lenggokan badannya menuju ke sisi kanan kiri ke arah keluar panggung. Selesai sudah pertunjukan itu. "Apa masih kurang Puas?" tanya pria berpakaian jas hitam. "Baik kalau tidak kuat silahkan nonton pertunjukan selanjutnya. Pertunjukan selanjut Kelas XXX. Demikianlah pertunjukan paling panas di dunia ini," katanya dengan menawarkan pertunjukan yang lebih seru untuk selanjutnya. Musik pun mengalunkan lagu Sampai Jumpa dan pria berpakaian jas hitam itu mendendangkan dengan suara merdu.
Akhir dari pertunjukan tidak membuat penonton segera meninggalkan ruangan. Mereka masih duduk di tempat. Mungkin mereka masih terbayang-bayang dengan para penari latar yang berwajah mirip Miyabi, Lina Kura Kura, dan Trio Jaran Edan. Sedang Kical, Klepon, Solebo, Trengginas, dan Aling berencana langsung meninggalkan tempat ketika pertunjukan dinyatakan selesai namun Solebo berujar, "Tunggu dulu Saya belum bisa berdiri." Entah apa yang menyebabkan Solebo tidak bisa berdiri. "Tinggal saja," hardik Klepon. "Iya, ya, sudah malam," tegas Kicak. Mendengar protes dari Klepon dan Kicak, dengan agak tertatih-tatih Solebo berdiri dan dengan terhuyung-huyung berjalan menuju pintu keluar. Begitu di luar, tatapan mata orang dewasa memandang kelima bocah itu. Ada yang usil menyindir kelima bocah itu,"Kecil-kecil malam-malam masih kluyuran. Apalagi nonton pertunjukan kayak begini." Mendengar usilan itu Solebo yang menjawab, "Nyoben. Biarin."
Meski sudah larut malam namun pasar malam itu masih ramai, Aling dan Trengginas mengajak pulang. "Ayo pulang sudah malam," ujar Aling dan Trengginas serempak. "Ya sudah Kita pulang. Tapi Aku kencing dulu ya," kata Solebo sambil mencari tempat yang agak gelap. Setelah air yang dari tubuhnya ditumpahkan, Solebo kembali ke kerumunan mereka. Mereka berlima kembali menyusuri jalan menuju rumah Aling.
***
Jalan menuju SDN Inpres Gunung Siji pagi itu ditutup oleh polisi, akibatnya para murid dan orangtua yang mengantar anaknya tertahan sejauh 1 km dari sekolah. Masyarakat di sekitarnya dan pelintas jalan pun bergerombol melihat apa yang terjadi di sekolah itu. Terlihat di depan sekolah ada mobil bertuliskan Densus 88, dengan puluhan polisi berseragam hitam-hitam, menggunakan helm baja, serta menyandang senapan laras panjang sedang mengepung sekolah itu. "Mengapa sekolah dikepung polisi bersenjata lengkap Pak," tanya Pak Lunjak yang saat itu mengantar Trengginas ke sekolah kepada salah seorang polisi yang menahan masyarakat agar tidak mendekat ke sekolah. "Ada teroris yang bersembunyi di sekolah," ujarnya dengan tegas. "Hah ada teroris?" ujar masyarakat lain yang mendengar keterangan polisi itu. "Ya, teroris itu bernama Pak Kasim," jawab polisi itu. "Pak Kasim terbukti terlibat dengan salah satu jaringan terorisme yang sekarang sedang gencar dibasmi oleh Densus 88," papar polisi itu sambil menerima sebuah pesan dari handy talky-nya. "Pak Kasim guru agama dan tokoh agama di Dusun Gunung Siji ini terlibat dalam jaringan terorisme?" tanya Pak Lunjak keheranan.
Salah seorang Komandan Densus itu dengan pengeras suara menyampaikan sebuah pesan, "Saudara Kasim, Saya harap anda menyerah karena sekolah ini sudah dikepung Densus 88. Saya harap Anda jangan melakukan perlawanan, sebab bila Anda melakukan perlawanan itu akan merugikan diri Anda dan sekolah ini." Begitu tidak ada jawaban, puluhan anggota Densus dengan mengendap-ngendap serta membidikan arah senjata ke ruang guru bergerak secara serentak maju.
Makin lama pasukan itu mendekati pintu ruang guru. Dalam ruang guru itu hanya ada Pak Kasim sebab ia merupakan guru yang paling awal tiba di sekolah. Di saat sendiri di ruang guru itulah penggrebekan terhadap dirinya terjadi. Begitu sampai di ruang guru, sebuah bom dengan hulu ledak kecil yang diletakkan di ujung sebuah tongkat sepanjang dua meter yang dibawa oleh salah satu anggota Densus 88 didekatkan di daun pintu. Begitu tepat di daun pintu, pemicu ditarik, "Bumm." Sebuah ledakan yang cukup keras terdengar.
Beberapa detik setelah bunyi ledakan bom dengan hulu ledak kecil itu terdengar, selanjutnya terdengar bunyi, "Dor, dor, dor, dor, dor, dor." Rentetan suara tembakan dari senapan laras panjang itu memekakan telinga dan membuat masyarakat yang disekitarnya berlarian menjauh bahkan ada yang tiarap. Setelah daun pintu rusak, pintu itu didobrak dengan sepatu lars polisi, "Brakkkk." Pintu pun terbuka dan secepat kilat 5 anggota Densu masuk ke ruang guru dengan mengarahkan senapan ke depan. Sedang anggota Densus lainnya betjaga di luar. Tak lama kemudian, 5 anggota Densus keluar dari ruang guru dengan membawa secara paksa Pak Kasim keluar, nampak tangan Pak Kasim diborgol dan kepalanya ditutup.
Salah satu panser bertuliskan Densus 88 pun bergerak dengan gesit mendekati pintu gerbang sekolah, dibukanya pintu belakang panser itu dan Pak Kasim dengan sedikit didorong masuk ke dalam panser itu.
Panser dengan diiringi mobil patwal selanjutnya bergerak meninggalkan tempat itu. Suara sirene mobil patwal yang meraung-raung membelah keramaian jalan yang menghubungkan kota dan desa. Selanjutnya sekolah itu dipasang garis polisi berwarna kuning. Dengan pemasangan garis kuning maka di tempat itu tidak boleh orang masuk. Tempat itu tertutup selama digunakan untuk penyelidikan dan investigasi Densus.