Menjelang maghrib, bus malam yang ditumpangi  telah meninggalkan Terminal Jebung. Meski mereka duduk berdampingan namun diantara mereka saling membisu. Untuk menghilangkan kebisuan yang ada mereka memilih memejamkan mata agar terlelap dari dunia dan tiba segera di rumah orangtua.
"Nyampai, nyampai," ujar kernet bus malam itu. Dengan teriakan itu menandakan bahwa bus sudah masuk terminal kampung halaman Sisca. Penumpang yang tidur segera bangun dan bersiap-siap turun. Barang yang dibawa dilihat kembali dan diangkat. Begitu berhenti di jalur pemberhentian terakhir, semua orang turun. Jurgen Bohler dan Sisca pun turun namun mereka harus menunggu bagasi bus dibuka sebab barang bawaan diletakkan di tempat itu.
Ups, tas besar itu diangkat Jurgen Bohler, sedang Sisca menawar becak yang menuju ke rumah. "Alah Pak biasa saja, Saya kan orang sini," ujar Sisca dengan judes kepada tukang becak yang hendak menarik tarif mahal mentang-mentang yang naik bule. "Tambah Rp1000 ya," tukang becak itu masih menawar. "Enggak bisa," Sisca mempertahankan tawarannya. Setelah terdiam 1 menit, tukang becak itu mengatakan, "Ya sudah Mbak, itung-itung penglaris sama Mbak Manis,' tukang becak itu akhirnya mengalah.
Jurgen Bohler dan Sisca menaiki becak itu. Tukang becak mengayuh angkutan tradisional itu untuk mencari rejeki dengan menyusuri jalan-jalan kota. Suasana masih pagi menyelimuti kampung halaman Sisca. Beberapa toko masih tutup. Setelah melintasi 2 perempatan dan 1 pertigaan, becak itu masuk ke dalam sebuah rumah di mana halamannya cukup luas. Di halaman itu tumbuh 2 pohon mangga yang sedang berbuah.
Rumah itu masih tertutup. Diketok pintu rumah itu oleh Sisca, 'Tok, tok, tok, begitu bunyinya. Sambil mengetuk, Sisca mengatakan, "Ayah, bunda, Sisca datang." Dibukalah pintu itu, "Eh Mbak Sisca. "Baru datang ya Mbak?" tanya Mbok Inem. Mbok Inem adalah orang yang tinggal bersama orangtua Sisca sejak Sisca masih kecil. Mbok Inem-lah yang biasa membantu urusan dapur dan kebersihan rumah. "Ayah dan bunda mana Mbok?" tanya Sisca. "Ada Mbak, dia berada di ruang tengah," jawab Mbok Inem. Jurgen Bohler diajak masuk ke dalam. Sisca menuju ke ruang tengah, ketika dilihat ayah dan bunda sedang menonton televisi, Sisca memanggil dengan manja dan sedikit teriak, "Ayah, bunda." Mendengar suara anaknya ada di rumah, kedua orangtua itu langsung menoleh ke arah suara itu. "Sisca," jawab mereka serempak. "Kenapa Kamu pulang?" tanya bunda. "Kangen ayah dan bunda," jawab Sisca. "Ayah, Sisca datang ke rumah sama teman," ia menjelaskan. "Teman? Firan seperti yang Kamu ceritakan itu?" tanya bunda. "Bukan," ujar Sisca dengan sewot. "Terus siapa?" tanya ayah. "Kalau begitu Kita ke ruang tamu saja di sana teman Saya sedang duduk-duduk," Sisca mengajak kedua orangtuanya ke ruang tamu.
Begitu melihat bule di ruang tamu, kedua orangtua itu terperanjat. "Nggak salah lihat nih," gumam bunda sambil melirik ke ayah. Ayah langsung mengenakan kaca mata minus. Melihat orangtua Sisca, Jurgen Bohler berdiri dan tersenyum. "Ini Saya Jurgen Bohler teman Sisca," ujarnya memecah kebuntuan. Sisca mengajak kedua orangtuanya duduk di ruang tamu. "Sudah lama kenal?" tanya ayah kepada mereka. "Sudah," jawab Sisca. "Ya Kami berteman dengan Sisca sudah lama," Jurgen Bohler memperkuat apa yang dikatakan Sisca.
"Ke sini hendak wisata di kampung ini?" tanya ayah kepada Jurgen Bohler. Mendapat pertanyaan yang demikian, Sisca dan Jurgen Bohler saling tatap. Sisca memberi kode kepadanya untuk bicara terus terang. "Begini Bapak, Saya datang ke rumah ini untuk melamar Sisca menjadi istri Saya," ujarnya. Mendengar ungkapan itu ayah dan bunda terperanjat. Orangtua itu pun saling tatap.
Setelah menguasai keadaan, ayah berujar, "Syukurlah kalau kalian segera ingin menikah sebab bisa menutup pintu zina," ujarnya. "Tapi Saya mau menanyakan kepada Sisca, apa benar kamu mencintai Jurgen Bohler." Mendapat pertanyaan dari ayah, Sisca mengangguk. "Baik, diantara kalian berarti saling cinta dan tak ada yang dipaksa dan memaksa," ayah merasa senang diantara mereka saling cinta. "Tapi ada satu syarat yang Ayah ajukan kepada Jurgen Bohler untuk bisa meminang anak Saya. Kamu harus ikut agama Kami," ungkapnya. Mendengar hal demikian, Sisca dan Jurgen Bohler kaget. Setelah menguasai keadaan, Jurgen Bohler mengatakan, "Saya siap mengikuti agama yang dianut Sisca. Diantara keluarga Kami di Jerman, agama sudah tidak menjadi penting sehingga syukur kalau Sisca bisa memberi tahu Saya ada agama yang membuat Saya tenang dan nyaman," kata Jurgen Bohler. "Syukurlah kalau begitu. Kamu harus berjanji mencintai dan melindungi Sisca," Ayah menegaskan. "Ya Bapak, Saya mencintai Sisca maka Saya akan menyayangi dan melindungi," Jurgen Bohler berjanji. "Bapak perlu ketahui bahwa nanti kalau Sisca sudah syah menjadi istri Saya, Kami bersepakat tinggal di Jerman," Jurgen Bohler menerangkan.
Mendengar hendak tinggal di Jerman, bunda terlihat berlinang air matanya, namun ayah sedikit tenang. 'Tidak apa-apa, tinggal di manapun boleh-boleh saja, asal saling mencintai," ujar ayah. Â
***
Kabar pernikahan Jurgen Bohler dan Sisca menyebar, tidak hanya di kampung halaman namun juga di kampus. "Patah hati lagi nih," ujar Onoy. Onoy mengatakan demikian sebab dirinya mencintai Sisca, namun Onoy kurang maksimal dalam mengejar sehingga Sisca tidak tahu kalau Onoy jatuh cinta padanya. "Jangan khawatir Noy, masih banyak yang lain," ujar Sidar. "Ya Noy, nanti Saya carikan sepuluh," Ulang meledek. "Sepuluh, emang apaan, kayak nasi bungkus yang biasa dipesan anak kos saja," kata Onoy dengan sewot. "Kalau mau terus ingin bertemu Sisca, Kamu tinggal saja di Jerman," kata Ingko yang tumben ikut nimbrung pada saat itu. "Ke jejer-nya Kauman Saya bisa beli tiket kalau benar-benar ke Jerman nggak punyai duit," ujar Onoy dengan tersenyum. "Ya kalau Firan bisa dapat cewek Inggris, Kamu bisa dapat cewek Jerman biar bisa tinggal di sana dan selingkuh dengan Sisca," Ingko meledek lagi. "Caranya?" Onoy penasaran. "Ya sering-sering ke pantai kayak Trengginas," ujar Sidar. "Gila lu Ndro," ujar Onoy menirukan ledekan komedian Dono, Kasino, Indro.