Matahari pun hilang di ufuk barat. Celia dan Firan sama-sama berdiri dan saling berhadapan. Diciumnya kening Celia. Celia hanya diam seribu bahasa. "Ayo Kita pulang, malam telah tiba," ujar Firan sambil menggandeng Celia meninggalkan Tebing Dewi.
*** Â Â Â
Diketuknya kamar Siobhan. 'Tok, tok, tok,' begitu bunyinya. Dibuka kamar itu, di depan Celia nampak Lizzy yang matanya berlinang. Celia masuk ke dalam kamar itu, nampak Imogen duduk di samping Siobhan yang sedang tertidur. Melihat Celia datang, Imogen mengajak Celia kembali keluar kamar, sedang Lizzy menggantikan posisi Imogen yang berada di samping Siobhan.
"Hei Kamu tadi ke mana?!" ujar Imogen. Celia tidak menjawab. "Kamu jangan maunya sendiri dong, Kamu tahu kan Siobhan sakitnya kambuh. Seharusnya Kamu yang Kami anggap sebagai kakak seharusnya lebih memperhatikan Kita daripada cowok itu," ujar Imogen dengan nada kesal.
"Kamu tahu tidak, ketika Kita mau pergi ke sini, orangtua Siobhan menitipkan kepada Kita agar mengawasi dia," Imogen menerangkan dengan nada kesal. Merasa bersalah, Celia hanya diam dan air matanya mulai menetes. Ia tahu Siobhan adalah yang paling muda diantara mereka. Celia menyayangi Siobhan. Siobhan sebenarnya dilarang oleh orangtuanya pergi bersama mereka, namun Siobhan menangis ketika dilarang ikut sehingga dengan terpaksa orangtuanya mengijinkan, namun seperti yang dikatakan oleh Imogen, mengharapkan agar Celia dan Lizzy menjaga dan mengawasi Siobhan.
"Kami besok bertiga kembali ke Inggris. Tadi Kami memajukan jadwal kepulangan kepada travel. Namamu tidak Kami majukan karena Saya belum dapat ijin ya atau tidak dari Kamu," Imogen menjelaskan. "Imogen, jangan begitu, Aku sayang sama Kalian," ujar Celia dengan menangis sesunggukan. "Saya merasa salah, namun Kamu jangan perlakukan Aku seperti itu," ujarnya lagi. "Tidak, Kami merasa kecewa, saat Kamu tidak ada, Siobhan menyebut-nyebut namamu. Ketika Kamu tidak ada, sakit Siobhan bertambah parah," Imogen dengan geram menjelaskan.
Celia menangis, ia berlari menuju ke taman yang berada di samping hotel. Duduklah ia sendiri di sebuah kursi yang berada di pinggir kolam. Temaram lampu di hotel membuat orang yang melintas di depan dirinya tidak tahu kalau ia dirundung sedih. Mulai besok ia akan ditinggalkan teman-teman pulang ke negaranaya. Liburan panjang yang diharap menjadi manis berubah menjadi menyedihkan. Celia tidak mau menyalahkan Firan karena dirinya telah menyintai orang Indonesia. Orang Indonesia di mata Celia adalah orang yang ramah dan murah senyum.
***
"Fir, Kamu dari mana saja sih?" tanya Kojed selepas ia memarkir sepeda motor. "O, maaf tadi ada acara bersama Celia di tempat lain," jawabnya. "Caranya jangan begitu dong," ucap Kojed dengan kesal. "Kalau Kita pergi sama-sama, pulangnya juga sama-sama," Kojed menyerocos. "Emang masalah sama Loh?" Firan membalas dengan bahasa anak alay. "Ya tidak, tapi Kita yang kompak dong," Kojed membalas. "Terus maumu apa?!" Firan berkata dengan nada jengkel. Merasa ditantang Kojed naik darahnya, "Kamu nantang ya?!" "Kalau ya, mau apa!" Firan pun tak takut.
Entah setan datang dari mana keduanya maju sehingga baku pukul terjadi. Mendengar suara gedebag-gedebug, seisi kos pada keluar, seperti biasanya Ibu Kos pun histeris, "Aduh ada lagi ini, berantem saja kerjaan anak kos ini." Teman-teman yang lain melerai, sementara Trengginas yang juga mempunyai masalah dengan Firan membela Kojed. "Terus sikat aja Koj, biar dia tahu rasa," Trengginas memprovokasi.
Eling yang biasa mendamaikan teman-temannya bila berselisih, saat itu tidak ada. Dia malam itu sedang bimbingan skripsi sehingga keributan itu bubar dengan sendirinya setelah sama-sama bonyok. Â