Setelah memberikan sambutan yang demikian, Pak Lunjak memberi kode kepada Bodron. Kode itu dimaksudkan agar Bodron dan sinoman (para pemuda) untuk menyajikan nasi yang telah disiapkan. Begitu mendapat kode itu, secepat kilat Bodron dan sinoman lainnya bergegas ke belakang rumah untuk mengambil nasi untuk para tamu. Baki-baki yang sudah disediakan segera mengangkut enam piring nasi yang siap disajikan.Â
Tak cukup setengah jam, seluruh piring nasi siap saji sudah di hadapan puluhan orang yang memadati rumah Pak Lunjak. "Monggo Saudara-Saudara nasi yang seadanya dinikmati," ujar Pak Lunjak. Mendengar perintah yang demikian, secara serentak para tamu langsung mengangkat piring dan menikmati sajian itu.
Suara benturan sendok dan piring serta suara mengunyah silih berganti. Sebagai makanan dengan menu  yang jarak dinikmati karena ada daging sapi dan ayam maka terlihat dalam bekas-bekas piring itu tak ada sisa. Makan daging sapi dan ayam adalah suatu hal yang jarang dinikmati oleh warga. Mereka makan daging sapi dan ayam, paling-paling ya dalam kesempatan seperti itu atau saat Hari Raya Qurban.
Saat Pak Lunjak melihat para tamunya sudah selesai menikmati makanan yang disajikan, ia memberi kode kembali kepada Bodron. Bodron pun tahu yang dimaksud, sehingga dengan sinoman lainnya, ia bergegas kembali ke belakang rumah, namun kali ini yang diambil bukan nasi siap saji tetapi nasi berkat. Nasi berkat adalah nasi yang dibawah pulang oleh warga selepas melaksanakan slametan. Dalam nasi berkat itu biasanya ada nasi, sayuran yang direbus, pisang, apem, dan daging ayam.
Selepas nasi berkat itu dibagi rata, satu persatu para tamu sambil menjabat tangan Pak Lunjak pamit untuk kembali ke rumah. Ketika berjabat tangan dengan Pak Koder, Pak Lunjak mengatakan, "Berani pulang to?" Mendapat gurauan yang demikian, Pak Koder dengan tersenyum percaya diri berujar, "Ya berani, lha wong Saya sudah biasa."
Meski ada banyak tamu yang sudah kembali ke rumah masing-masing, ada beberapa orang yang masih belum meninggalkan rumah Pak Lunjak. Beberapa orang yang tetap bertahan di tempat itu akan melakukan kebiasaan, yakni jagong bayi. Jagong bayi adalah kebiasaan di mana orang laki-laki begadang dan ngobrol ngalor ngidul di rumah keluarga yang baru memiliki anak. Namun dalam jagong bayi, biasanya mereka juga melakukan judi dengan kartu.
Malam itu beberapa orang memang hendak mau berjudi. Mereka itu memang penjudi desa. Di saat tidak ada jagong bayi pun mereka melakukan, entah di tengah hutan atau di rumah-rumah penduduk sambil bersembunyi. Sebenarnya para penjudi itu sudah sering berurusan dengan polisi, namun mereka tak kapok-kapok melakukan hal yang sama.
Bedres, Klewer, Klowor, Jegor, Bendruk, Gepes, dan Jonges, pun langsung membentuk lingkaran. Giliran pertama Jegor yang membagi kartu, mereka semua asyik menikmati perjudian itu. Pak Lunjak hanya melihat, sesekali ia melayani mereka bila butuh kopi. Habis satu putaran, dilanjutkan putaran selanjutnya. Saat berjudi sepertinya mereka tak kenal dengan rasa kantuk dan lapar.
Di tengah asyiknya mereka melakukan kegiatan yang dilarang agama itu, tiba-tiba terdengar suara bedug dari mushola. Rupanya keasyikan mereka dalam berjudi hingga tak sadar bahwa waktu subuh tiba. Subuh-lah yang membubarkan perjudian itu. Dan pemenang perjudian itu adalah Bendruk. Dengan wajah ceria Bendruk melangkah meninggalkan rumah Pak Lunjak, sementara yang lain dengan wajah kusut mengikuti Bendruk dari pulang. Di pertigaan dusun, para penjudi itu berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing.
Pak Lunjak sekarang tinggal sendirian, istrinya dan beberapa orang yang membantu acara slametan masih terlelap dalam tidurnya. Untuk tidak menunda pekerjaan, maka Pak Lunjak membersihkan rumahnya dari sisa-sisa makanan dan bungkus rokok. Digulungnya tikar yang ada di ruang tengah rumahnya. Ketika menggulung tikar, ia menemukan beberapa lembar rupiah. Dijumlahnya uang itu mencapai Rp100.000. Uang itu bukan uang penjudi yang jatuh, namun dalam tradisi judi, setiap selesai putaran, pemenang menyelipkan uang sekadarnya di bawah tikar untuk orang yang rumahnya ditempati untuk berjudi. "Syukur allhamdulillah," ujar Pak Lunjak meski uang itu didapat dari perbuatan yang dilaknat oleh Allah.
***