"Iki Mas nomerku," kata Kuncar ketika berhadapan dengan Pekon. "Berapa nomermu?" tanya Pekon. "121," ujar Kuncar. "Dari mana kamu mendapat nomer ini?" tanya Pekon. "Rahasia negara,' jawab Kuncar sambil tertawa. Mendengar jawaban seperti itu, Pekon berujar, "Paling menyepi." Tebakan yang benar itu rupanya membuat Kuncar dan Kodok agak kikuk. Kodok pun mencari bahan kibulan, "Enggaklah Mas, kemarin kan aku berdua jagong bayi di tempat Pak Lunjak." "Yo wis sak karepmulah piye nomer iku olehe. Ya terserah kamulah gimana nomer itu dapatnya," sahut Pekon sambil merobek lembaran tanda jual nomer judi. Melihat Pekon merobek lembaran nomer judi, badan Kuncar disenggolkan ke badan Kodok. Senggolan itu dimaksudkan agar Kodok memberi uang tanda beli nomer judi.
Satu per satu Pekon pun melayani antrian pembeli nomer judi lainnya. Antrian yang cukup panjang itu berakhir ketika jam menunjukkan hampir pukul 22.00. Selepas antrian selesai, Pekon pun langsung merekap nomer-nomer yang dibeli dan mencatat uang yang masuk dan selanjutnya disetor ke bandar judi.
***
Selepas subuh, di depan Kios Gerto nampak beberapa orang yang sepertinya menunggu sesuatu, ya mereka menunggu berapa nomer judi yang muncul. Dalam menunggu, mereka ada asyik yang mengobrol, ada pula yang asyik menikmati rokoknya. Di tengah mereka melakukan keasyikan masing-masing, Pekon menempelkan kertas putih di depan kiosnya.
Kertas putih itu bertanda nomer undian judi 472. Melihat nomer judi yang muncul itu, nampak wajah mereka ada yang gembira, ada pula yang kecut. Serta merta nomer undian judi yang muncul itu menyebar ke rumah-rumah warga desa, tak terkecuali rumah Pak Lunjak, Kodok, dan Kuncar.
Mendengar nomer judi yang muncul adalah 472, tentu membuat nomer milik Pak Lunjak, Kodok, dan Kuncar, meleset. Orang yang nomer judinya sesuai dengan nomer undian pastinya bersuka ria, begitu sebaliknya.
Dibantinglah kursi yang ada di ruang tengah itu ke luar rumah, "brakkk," begitu bunyinya. Apa yang dilakukan Pak Lunjak itu merupakan sebuah puncak dari kekesalan atas melesetnya nomer judi yang ditebak. Dengan tak tembusnya nomer itu maka mimpi untuk membelikan susu Trengginas dan menyahur utang sehabis slametan sirna sudah. Dengan tak tembusnya nomer itu maka beban ekonomi Pak Lunjak pun semakin tinggi.
Menyikapi amarah Pak Lunjak, istrinya menyingkir ke belakang rumah. Di bawah pohon pisang yang sedang berbuah, istrinya duduk sambil menyusui Trengginas. Ia duduk di tempat itu sampai amarah suaminya reda. "Ngger kalau besar mudah-mudahan Kamu tidak seperti bapakmu," ujarnya sambil menepuk-nepuk pantat Trengginas agar tenang.
Melihat nomernya tak tembus, Kodok dan Kuncar pun sempoyongan. Mereka pun langsung pergi ke Warung Nggimin. Di warung yang biasa menjual minuman keras itu, Kodok dan Kuncar membeli dua botol. Begitu dua botol sudah di tangan, mereka berjalan menuju ke kuburan desa. Mereka berpikir bila mabuk di tempat itu rasanya aman sebab tidak ada orang yang menghardiknya. Di bawah salah satu kuburan yang ada cungkup-nya, bangunan kuburan yang ada atapnya, mereka menegak air haram itu. Mereka bertujuan agar mabuk untuk melupakan kesedihan dan kejengkelan atas melesetnya nomer judi yang dibelinya.
Ketika dua botol itu habis, mabuklah Kodok dan Kuncar, omongan kedua orang itu pun menjadi meracau. "Dok sekarang Aku sudah kaya, Kamu mau apa pasti Aku belikan," ujar Kuncar. Lain Kodok lain Kuncar, bila mabuk, Kodok tidur mendengkur. "Aku mau jalan-jalan ke Amerika Dok biar bertemu dengan Obama. Obama kan sekolahnya di sini. Kamu tunggu di sini ya, " Kuncar pun semakin meracau.
Dengan jalan tergopoh-gopoh dan sempoyongan, Kuncar meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan hampir saja dia jatuh, untung banyak pohon sehingga dirinya berpegangan pada pohon-pohon itu. Orang-orang yang melihat Kuncar mabuk, mengacuhkan bahkan menghindar sebab bila diganggu atau diperhatikan jusru akan menimbulkan masalah. Masyarakat sudah tahu kebiasaan Kuncar dan Kodok suka mabuk.