Belasan tahun kemudian
***
Koran itu dibentangkan oleh Trengginas, dilihatnya satu persatu nama dan nomer siapa-siapa saja yang ada di situ. Mata Trengginas terhenti pada sebuah nomer dan nama, "Hiyaaaa, Aku diterima," ujarnya dengan kegirangan. Dirinya girang karena namanya ada di koran itu dan nomernya cocok dengan nomer testnya, dengan demikian dirinya lolos dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri. Tentu saja dirinya bahagia sebab untuk bisa lolos dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri, ia harus bersaing dengan ribuan mahasiswa lainnya. "Asyik, asyik, asyik," ujarnya kegirangan sambil menari-nari. Bentuknya tubuhnya yang pendek, badannya tambun, dan rambutnya botak membuat orang yang melihatnya terhibur ketika Trengginas seperti itu, menari sambil bilang asyik-asyik. Ia tidak sadar ulahnya dilihat tetangga-tetangganya.
"Kenapa Kamu seperti itu Nas?" tanya tetangga sambil tersenyum. "Aku senang karena lulus masuk perguruan tinggi negeri," balas Trengginas yang menghentikan goyangannya. "O, sebentar lagi Kamu jadi mahasiswa dong," tetangganya mendekati. "He, he, he," Trengginas hanya tersenyum."Syukur kalau begitu, biar desa ini ada sarjananya," ujar tetangganya itu sambil duduk di teras rumah Trengginas.
Setelah meluapkan kegembiraannya, Trengginas baru sadar kalau orangtuanya belum tahu dirinya lulus masuk perguruan tinggi negeri. Ia dalam hati bertanya apakah orangtuanya mampu membiayai atau tidak.
Ia ke belakang dan mencari orangtuanya. Dilihat orangtuanya tidak ada di belakang, ia mencari ke ladang di mana biasa orangtuanya di tempat itu untuk menggarap lahan. Benar perkiraaan, orangtuanya terlihat sedang mencangkul. Dihampiri, "Pak Saya diterima masuk perguruan tinggi negeri," ujar Trengginas. Mendapat laporan seperti itu, Pak Lunjak justru bertanya, "Perguruan tinggi itu apa to?" Mendapat pertanyaan seperti itu dalam hati Trengginas mengatakan, orangtua ini bodoh amat, masak perguruan tinggi nggak tahu. Namun sebagai bentuk penghormatan anak kepada orangtua, Trengginas dengan santun menjawab, "Perguruan tinggi itu sekolah setelah SMA." "O begitu ya," Pak Lunjak baru paham. "Terus perguruan tinggi di mana?" Pak Lunjak kembali bertanya. "Universitas Silada di Pulau Swaba," Trengginas menerangkan.
Mendengar nama Pulau Swaba, Pak Lunjak kaget, sebab pulau itu terkenal dengan keindahan pantai dan menjadi tujuan wisata turis dari dalam dan luar negeri. "Di situ Kamu mau kuliah atau wisata?" tanya Pak Lunjak keheranan mengapa dirinya memilih perguruan tinggi kok di pulau itu. "Ya kuliah to Pak," jawab Trengginas dengan segera.
Pak Lunjak duduk di atas tanah pembatas ladang, ia diam sambil melihat hamparan tanah yang bekas dicangkul. "Ya sudah Kamu kuliah yang bagus, Bapak biayai sekuatnya. Bapak sadar yang menyebabkan Kita miskin karena ilmu Bapak cuma sampai sekolah rakyat. Mudah-mudahan selepas kuliah ekonomi keluarga Kita terangkat," ujarnya.
Mendengar ungkapan dari hati yang mendalam dari orangtua, Trengginas terharu. Ia pun menjabat tangan orangtua, sesuatu yang biasanya hanya dilakukan di saat Lebaran, tangan itu kemudian dicium dengan lebut.
***
Dengan menggunakan kaos bertuliskan Hawai Beach dan bawahan jeans yang sudah kumal, Trengginas pergi ke rumah Aling. Ketika tiba di rumah Aling, di depan rumah nampak 2 mobil yang sedang diparkir. Rumahnya pun nampak lebih ramai dari hari-hari biasa. Trengginas mengira di rumah Aling ada acara, ia sebetulnya hendak mengurungkan niat bertemu Aling karena nanti dirasa mengganggu acara. Namun ia tidak jadi mengurungkan niat dan tetap masuk ke rumah itu dan mencari Aling. Tepat di depan rumah ketemulah dirinya bertemu Kepul, "Mas, Aling ada?" "O, ada kebetulan dia mau ke bandara udara mau berangkat ke Australia," jawab Kepul. "Hah, ke bandara udara mau ke Australia?" Trengginas keheranan. "Iya, Koh Aling mau sekolah di sana," ujar Kepul dengan lugu. Trengginas baru sadar bahwa sejak dulu temannya itu ingin kuliah di Australia, sehingga saat ujian masuk perguruan tinggi negeri tidak ikut.