Saat di pertigaan jalan, Kuncar yang masih mabuk nampak duduk di sebuah batu. Saat itu ada gadis desa lain yang sedang melintas. Melihat ada gadis cantik yang melintas, Kuncar pun tergoda, dengan langkah sempoyongan gadis itu didekati, tahu didekati orang mabuk, gadis itu panik, sehingga ia lari, namun Kuncar sempat mencolek pantatnya. "Ahhhh," gadis itu berteriak ketakutan sambil lari. "Ha, ha, ha, ha, kena Kamu," ujar Kuncar puas.
Gadis itu berlari sambil menangis. Ketika sampai di rumah, orangtua gadis itu menanyakan apa yang terjadi. "Saya dicolek oleh pemuda mabuk di desa sebelah," ujarnya dengan sesunggukan. "Apa Kamu dilecehkan oleh pemuda desa sebelah," ujar ayah gadis itu. Berita pelecehan itu pun menyebar ke mana-mana.
Entah siapa yang memprovokasi, ratusan pemuda di desa itu itu dengan membawa bambu runcing, golok, clurit, balok kayu, dan senjata tajam lainnya berkumpul di balai desa. Ratusan pemuda itu tidak terima warganya dilecehkan oleh pemuda dari desa sebelah. Tanpa ada yang mengomando, semua bergerak ke arah Desa Gunung Siji.
Begitu ada percik-percik akan terjadinya bentrok antardesa, aparat pun siap siaga. Aparatpun membentuk barikade di jalan untuk menghadang gerakan ratusan pemuda itu. Benar dugaan aparat, dilihatnya ratusan pemuda itu nampak sedang bergerak menuju ke arah Desa Gunung Siji dengan membawa berbagai macam senjata.
Ketika berhadap-hadapan dengan aparat, komandan aparat lapangan dengan pengeras suara mengatakan, "Bapak-Bapak sekalian, Kami harap Anda semua kembali ke rumah masing-masing, sebab pelaku pelecehan sudah Kami amankan," ujarnya. "Sekarang sebaiknya semuanya kembali. Tak ada gunanya Kita meluapkan amarah dengan cara melakukan tindakan anarkis," tegasnya sekali lagi.
Karena amarah, iri, dan cemburu para pemuda sepertinya sudah tidak bisa dikendalikan, maka komandan aparat di lapangan menemui seseorang yang dirasa adalah pemimpin aksi. "Tolong Pak, sebaiknya massanya bisa dikendalikan. Sebaiknya para pemuda itu ditarik mundur. Tidak bagus berbuat anarkis ke warga Desa Gunung Siji. Mereka kan juga saudara Kita semua," ujarnya. Pemimpin aksi, "Betul Bapak, Kami merasakan juga demikian, namun Kami susah mengendalikan emosi mereka. Paling Saya hanya bisa menghimbau saja," ucapnya. "Mereka susah dikendalikan karena sudah emosi," tambahnya.
Di tengah perbincangan itu tiba-tiba ratusan pemuda itu bergerak lewat kanan kiri barikade keamanan sehingga aparat kehilangan kendali. Posisinya sekarang aparat yang sepertinya dikepung. Jumlah yang tak seimbang antara aparat dan pemuda itu membuat situasi menjadi tidak menentu. Para pemuda pun bergerak ke arah pemukiman penduduk.
"Dor, dor, dor," tembakan pun terpaksa dimuntahkan dari senapan aparat. Tembakan itu pertanda agar massa tidak melakukan tindakan melanggar hukum. Tembakan itu tidak dihiraukan, akhirnya watercanon dari barakuda pun disemprotkan kepada kerumunan pemuda itu namun mereka tetap merengsek ke rumah-rumah yang ada. Rumah-rumah itu dilempar dengan batu, kaca-kaca dicongkel dengan linggis dan lempar dengan batu, tak cukup dengan itu, beberapa orang menyulut api ke dalam obor dan dilemparkan atap-atap rumah, ada pula sulutan api itu disentuhkan ke dinding-dinding bambu, sehingga terbakarlah puluhan rumah di Desa Gunung Siji. Sekejap desa itu menjadi lautan api. Kobaran api menjilat-jilat ke udara, kepulan asap hitam membumbung ke langit.
Pemadam kebakaran pun tak mampu mengatasi kebakaran itu, sebab selain mobil pemadam terbatas, cuma 2 mobil, jalan menuju ke Desa Gunung Siji sudah diblokir oleh perusuh dengan melintangan pohon-pohon yang ditumbangkan ke jalan.
Untung warga Desa Gunung Siji sebelumnya telah mengungsi, sehingga mereka selamat. Mereka oleh aparat diungsikan ke markas. Pak Lunjak dan istrinya pun mengungsi, dalam perjalanan menuju tempat pengungsian Trengginas digendong. Sementara Pak Lunjak membawa tas yang berisi baju seadanya. Sebenarnya beberapa pemuda Desa Gunung Siji ada yang melawan, namun karena tak seimbang mereka menyelamatkan diri.
Di markas aparat, ratusan pengungsi ditempatkan di aula dan masjid, nampak ibu-ibu, anak-anak, dan beberapa laki-laki duduk di sebuah hamparan karpet. Berada di pengungsian mereka menyatakan sedih sebab rumahnya dibakar padahal mereka tak mempunyai salah apa-apa. Sementara anak-anak sepertinya tak tahu apa yang terjadi, mereka hanya berlarian dan bercanda diantara mereka .