Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Bukan Gigolo

5 Mei 2020   13:40 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:48 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mang, Jurgen Bohler sudah datang," Pecing membisiki telingan Mang Penting. Mendapat bisikan itu, Mang Penting menoleh, "O, Jurgen Bohler." "Inilah pekerjaan Saya melukis," ujarnya dengan tersenyum sambil memandang Jurgen Bohler dan Sisca. "Mari kita duduk di gazebo," ajaknya. "Di sinilah biasanya Saya ngobrol dan menerima tamu," ujarnya. "Di gazebo ini membuat Saya bisa menyatu dengan alam dan mendapat inspirasi," Mang Penting menjelaskan kenapa dirinya selalu memilih duduk di tempat itu bila tidak melukis. "Gimana Kamu jadi membuat film tentang Saya?" ia bertanya kepada Jurgen Bohler. "Jadi Mang," jawab Jurgen Bohler. "Namun sebelum direkam dalam kamera Mang Penting bisa menceritakan kisah hidupnya. Setelah Kita catat selanjutnya akan Kita ambil adegan-adegan sesuai dengan cerita yang Mang Penting kisahkan," Jurgen Bohler menjelaskan. Mendapat penjelasan seperti itu Mang Penting tertawa panjang. "Kenapa tertawa Mang?" tanya Sisca yang ikut bicara. "Tidak, tidak apa-apa," ujarnya.

"Baiklah Aku mau menceritakan, Aku mau menceritakan sebebas-bebasnya karena Kita telah berada dalam era reformasi," ungkap Mang Penting. "Begini ceritanya," ia mulai menuturkan kisahnya. Ayah saya bernama Lewa, Ibuku bernama Sipah. Ia adalah seorang buruh tani sejak tahun 1960-an. Setiap pagi selepas subuh Lewa bergegas menuju ke sawah milik juragan yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah.

Begitu sampai di sawah, biasa Lewa duduk di gubuk. Diambil sebuah bambu kecil yang di ujungnya ada bendera dari plastik (kober). Sawah yang dijaga Lewa berada di area persawahan yang luasnya mencapai 30 ha. Area itu merupakan persawahan masyarakat desa.

Ketika matahari sudah mulai menampakan diri, serta merta terdengar teriakan dari para petani, hiaa... atau bunyi-bunyian kaleng, yang saling bersahutan. Teriakan dan bunyi-bunyian kaleng itu dilakukan untuk mengusir  atau menghalau burung pipit yang memakan butir-butir padi. Para petani melakukan yang demikian dengan tak jemu-jemunya, dari pagi sampai sore, sampai panen tiba.

Meski sudah tua namun  Lewa tidak kenal lelah mengitari sawah, sambil mengibas-ngibaskan kober. Bahkan terkadang ia berlari menghampiri tanaman padi  ketika burung pipit yang diusirnya nekad memakan butir-butir padi. Sehingga energinya selama bertani lebih banyak habis digunakan hanya untuk menghalau burung pipit. Meski sudah berumur ia tetap menggunakan kober untuk mengusir burung pipit karena menggunakan suara dari kaleng yang ditarik-tarik dari gubuk, menurut Lewa dirasa tidak efektif.

Gangguan dari burung pipit itu tidak hanya saat iklim cerah, di saat gerimis, burung-burung itu tetap ada, sehingga panas dan hujan, seolah-olah harus dilawan Lewa untuk menjaga butir-butir padi. Semua itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Saat yang bisa membuat hidupnya lebih santai adalah selepas panen atau saat tanam. Selepas panen dan saat tanam, ia mengunjungi sawahnya tidak dari pagi sampai sore, ketika panas atau hujan deras, ia lebih memilih pulang.

Selama menjaga sawah dari serangan burung pipit, istri yang dinikahi sejak tahun 1960-an, Sipah mengantar nasi kepada dirinya sekitar jam 09.00 Wita. Nasi yang dikirim oleh Sipah itu dikatakan untuk makan siang dan sore hari.

Hasil pernikahan dengan Sipah, Lewa memiliki 4 anak, yang dinamakan Penting, Geger, Anteng, dan Sirep. Nama keempat anaknya itu terdengar lucu dan aneh. Menurut Lewa Nama-nama itu diambil dari pengalaman hidupnya. Diungkapkan, ia menamai anaknya dengan nama Geger karena pasca G 30 S/PKI, terjadi pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI di sekitar rumah. Pembasmian tidak hanya membuat takut anggota dan simpatisan PKI, namun juga masyarakat lainnya terutama yang menjadi buruh dan tani. Kondisi yang demikian membuat Lewa untuk beberapa waktu lebih memilih tinggal di rumah.

Setelah suasana mereda, lahirlah anak yang kedua yang dinamakan Anteng yang artinya diam. Begitu selanjutnya sehingga nama-nama yang diberikan berdasarkan pengalaman hidup Lewa dan Sipah.

Mang Penting pun melanjutkan ceritanya, Lewa tahu umur saya sudah cukup untuk masuk sekolah dasar. Saat pendaftaran sekolah, Lewa mengantar Penting ke sekolah dekat lapangan, namun Lewa kaget sebab ia dituduh terlibat dalam gerakan terlarang sehingga anaknya tidak bisa masuk ke sekolah dasar. Lewa seharian menangis sebab ia tidak ingin nasib anaknya seperti dirinya, yang selalu serba kekurangan. Selanjutnya Lewa menitipkan Penting kepada Mang Gung. Mang Gung adalah pelukis sejak tahun 1940-an. Sebagai pelukis, Mang Gung adalah seorang maestro. Sebagai maestro, lukisannya dikenal di mana-mana. "Dari Mang Gung-lah Saya belajar melukis. "Untung menghormati dan wujud terima kasih kepada Mang Gung maka saya menggunakan Mang di depan nama Saya. Jadilah nama saya sekarang Mang Penting," ungkapnya.

"Tragis ya Mang," ucap Sisca dengan terharu. "Ya itulah, masing-masing orang memiliki kisah hidup sendiri-sendiri," Mang Penting mengucapkan kata itu dengan meneteskan air mata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun