Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Bukan Gigolo

5 Mei 2020   13:40 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:48 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski Roro Mendut mampu membayar pajak namun itu tidak membuat Tumenggung Wiroguno menyerah. Ia terus berkeinginan memiliki Roro Mendut. Tak kuasa diteror dan intimidasi oleh Tumenggung Wiroguno, akhirnya Roro Mendut dan Pronocitro memilih mengakhiri hidupnya secara bersama.

Sebelum pertunjukan dimulai, malam itu Art Center terlihat ramai, calon penonton sudah berdatangan meski pintu gedung Art Center masih ditutup. Sisca sebagai mahasiswa yang ada hubungannya dengan masalah seni dan budaya berada di antara ratusan penonton. Ia datang ke Art Center sendiri karena teman-temannya pada sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Ia bersyukur sudah memperoleh tiket pementasan sehingga tidak perlu berdesak-desakan untuk membeli tiket seperti mereka yang belum memperolehnya. Ia berada di Kelas I sehingga pementasan nampak jelas, bila di balkon kurang begitu jelas, kalau di Kelas VVIP harga tiketnya mahal.

Malam itu Jurgen Bohler juga sudah berada di antara ratusan penonton. Karcis yang dimiliki di Kelas I. Dengan menenteng kamera ia siap-siap merekam adegan-adegan pementasan.

Begitu pintu gedung Art Center dibuka, penonton mengalir masuk ke dalam gedung itu. Sisca sudah berada salah satu kursi Kelas I. Ia melihat kursi kanan kirinya masih kosong. Tak lama kemudian ia melihat seorang bule yang sedang menenteng kamera. Sisca berpikir bule itu pasti menempati Kelas VVIP namun dugaan itu salah. Ia penonton Kelas I. Ups, rupanya ia duduk tepat di sampingnya. Ia agak kikuk karena wajah bule itu dirasa ganteng.

Bule itu kemudian meletakkan kamera di bawah kursi. Ia mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk mendokumentasikan pementasan. "Hai," sapanya. "Hai juga," Sisca membalas salam itu. "Saya Jurgen Bohler," ia memperkenalkan diri. Dalam hati Sisca, "Woo, ia memperkenalkan diri. "Saya Sisca," balasnya. "Kamu kok sendiri?" tanya Jurgen Bohler. "Lha Kamu kan juga sendiri," balas Sisca. "Ha, ha, ha," mereka tertawa bersama. "Kamu wartawan ya?" tanya Sisca. "Betul," jawab Jurgen Bohler. "Kamu apa kegiatannya?" Jurgen Bohler balik bertanya. "Mahasiswa," Sisca menjawab. "Woo, mahasiswa," Jurgen sedikit berteriak.

Tak terasa di tengah asyik perkenalan dan obrolan, kursi-kursi yang tersedia penuh. "Greng... greng... greng..," gong yang berada di belakang panggung dipukul keras-keras. Pemukulan gong itu menandakan bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Perlahan-lahan layar yang menutupi panggung bergerak naik ke atas dan latar belakang panggung yang menggambar di masa Kasultanan Mataram terlihat di mana di panggung itu menggambarkan sebuah alun-alun besar dan dari kejauhan tergambar sebuah bangunan pusat kasultanan.

Cerita mengalir hingga akhir kisah tidak happy ending.

Sisca nampak terharu selepas mengikuti pementasan. Ia merasakan nasib Roro Mendut lebih tragis daripada dirinya. Bila Roro Mendut rela mati demi cinta, ia belum tentu seperti itu. Meski ia masih mencintai Firan, namun ia berprinsip tidak mau mengorbankan diri demi Firan. "Terharu ya," goda Jurgen Bohler. "Ya wajar namanya juga cewek pasti larut dalam perasaan," godanya lagi. "Eh siapa yang terharu," Sisca membela diri. "Lha itu jadi sedih," Jurgen Bohler menunjukkan muka Sisca sayu. Saat penonton sudah banyak meninggalkan ruang pementasan, Jurgen Bohler dan Sisca beranjak dari tempat duduk. "Aku pulang dulu ya?" Sisca berujar. "Eh, Kita tukar-tukaran alamat dan kontak telephon dong," kata Jurgen Bohler. Sisca pun bersedia dan mereka tukar alamat dan nomer telephon.

Dalam perjalanan pulang hati Sisca riang gembira sebab ia dapat berkenalan dengan cowok bule yang ganteng. Hatinya mengatakan, tidak hanya Firan yang bisa berkenalan dengan cewek bule yang cantik, dirinya ternyata bisa. Meski mendapat nomer telephon Jurgen Bohler, namun Sisca mempunyai prinsip dan budaya ketimuran bahwa cewek tidak boleh mendahului menghubungi cowok. Untuk itu ia menunggu dan mengharap agar Jurgen Bohler menghubungi dirinya.   

***

Hari itu Sisca tidak ada kuliah, sehingga ia tidak perlu pergi ke kampus. Waktu kosong digunakan untuk mencuci pakaian kotor

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun