Pada hari senin pagi, SDN Inpres Gunung Siji melakukan upacara bendera. Dalam upacara itu yang berkesempatan menjadi petugas komandan upacara, paskibra, dan petugas lainnya adalah Kelas 5. Setelah semua siap, semua peserta upacara masing-masing barisan disiapsiagakan. Biasanya dalam upacara itu kepala sekolah menjadi inspektur upacara, namun para murid tidak melihat kepala sekolah. Justru yang dilihat oleh para murid seorang yang baru. Orang itu berbadan gemuk, tinggi rata-rata, berambut putih, dan memakai kaca mata hitam. Orang itu rupanya yang menjadi inspektur upacara. Ketika saat amanat inspektur upacara, orang itu dalam amanatnya mengatakan, "Selamat pagi anak-anak semua. Nama saya Pak Hasan Solikin. Saya di sini sebagai kepala sekolah menggantikan kepala sekolah yang lama." Mendengar amanat seperti itu, secara serempak, dari mulut para murid keluar kata, "Ooooo." Para murid baru sadar ternyata kepala sekolah lama diganti dengan kepala sekolah yang baru. Para murid bertanya-tanya mengapa kepala sekolah yang lama begitu saja menghilang. Bukankah dulu ketika terjadi pergantian kepala sekolah terjadi salam pisah dan salam kenal tetapi kali ini kok tidak.
Beberapa hari kemudian, rupanya para murid mendengar bocoran berita bahwa kepala sekolah yang lama ditahan oleh kejaksaan negeri karena ia diduga melakukan korupsi uang bantuan sekolah. Uang bantuan sekolah yang seharusnya digunakan untuk membeli alat peraga dan alat-alat olahraga ternyata digunakan untuk membeli mobil dan memperbaiki rumahnya. Akibat dari tindak korupsi itu, proses belajar murid-murid menjadi terganggu. Seharusnya mereka bisa mendalami mata pelajaran IPA dengan alat peraga, tapi karena alat peraga tidak ada, mereka hanya belajar teori. Demikian pula seharusnya para murid ketika berolahraga, sepakbola, menggunakan bola bermerek, namun karena dana untuk membeli bola dikorupsi oleh kepala sekolah yang lama, maka saat sepakbola para murid menggunakan bola plastik, itupun dengan uang patungan."Rasain tuh kepala sekolah koruptor," ujar salah seorang murid Kelas 6. Â "Biar masuk penjara," ujar murid Kelas 6 lainnya. "Kok kayak elit anggota DPR dan menteri saja melakukan korupsi," ujar seorang murid Kelas 5 yang ikut nimbrung dalam obrolan di bawah pohon sekolah.
***
Hari itu murid-murid Kelas 1 sudah duduk rapi di tempat masing-masing, buku tulis dan pensil sudah ada di bangku. Mereka menunggu Bu Koestini masuk kelas untuk mengajarkan pelajaran selanjutnya. Pelajaran hari itu adalah belajar mengarang. Pelajaran mengarang diberikan setelah para murid dirasa mampu membaca dan menulis. "Baik anak-anak sekarang belajar mengarang. Kalian bisa menceritakan pengalaman sehari-hari dalam karangan itu," ujar Bu Koestini. "Karangan yang Kalian bikin 2 lembar halaman ya," ujarnya lagi.
Mendapat penjelasan yang demikian, rupanya Jorenges belum paham sehingga ia bertanya, "Mengarang saat Saya membantu orangtua boleh Ibu?" "Boleh," ujar Bu Koestini singkat. "Kalau Saya mengarang gudel pergi ke pasar," ujar Legam mengejek Trengginas. Rupanya apa yang dikatakan Legam itu memancing tawa para murid yang lain. "Ha, ha, ha, ha," begitu gemuruh tawa itu terdengar. "Sudah kalau sudah paham semua, silahkan dikerjakan," tegas Bu Koestini.
Suasana di ruang Kelas 1 hening ketika para murid asyik menggoreskan pensil di kertas putih. Gesekan pensil di atas kertas putih itu terkadang terdengar. Nampak ada murid yang cepat menuangkan imajinasinya ke dalam karangan, namun ada pula yang sedikit-sedikit menatap ke langit-langit yang seolah-olah mencari imajinasi pengalaman untuk dituangkan dalam karangan.
Di tengah asyiknya pelajaran menggarang, tiba-tiba di depan pintu kelas berdiri seorang perempuan yang berbadan gembrot dengan menenteng tas. Perempuan yang berpakaian kebaya dipandu dengan baju lengan panjang berwarna pink itu selanjutnya berujar, "O, ini to yang namanya Koestini." Mendengar suara yang tiba-tiba memecahkan keheningan itu semuanya menoleh ke arah suara itu. Bu Koestini pun terperanjat memandang perempuan gembrot itu. "Iya, Saya Koestini," jawabnya. "Alah, Kamu jangan pura-pura tidak tahu ya. Saya ini istrinya Pak Ber!" kata perempuan gembrot itu. "Terus apa hubungannya Saya dengan Pak Ber?" tanya Bu Koestini dengan sedikit sabar. "Ih, jangan pura-pura bego ya. Kamu kan mau merebut suamiku!" Mendengar tuduhan itu Bu Koestini mukanya merah. "Itu tidak benar Ibu. Saya tidak kenal dengan suami Ibu," bantahnya. "Di sini, di hadapan murid Kamu ngaku nggak kenal sama suamiku tetapi kalau cek in Kamu kayak kuda binal," kata perempuan gembrot itu dengan wajah yang semakin kaku.
Melihat gurunya dilabrak oleh seseorang yang tidak diketahui asal usulnya, para murid hanya melongo. Mendengar suara ribut-ribut, kepala sekolah, beberapa guru, dan Pak Koer, segera menuju ke tempat kejadian. Melihat kepala sekolah datang, perempuan gembrot itu berujar kepada kepala sekolah, "Ini lho Pak, anak buahmu itu mau merebut suamiku." "Itu fitnah Pak," sahut Bu Koestini dengan muka pucat. "Mana ada maling mengaku," ujar perempuan gembrot itu dengan nada judes. "Baik, baik, mari kita selesaikan di ruangan Saya. Tidak pantas ribu-ribut di depan anak-anak kecil," ujar kepala sekolah dengan bijak. "Iya, Pak biar Koestini ini kapok main serong dengan istri orang," perempuan gembrot itu nyerocos tidak mau kalah. "Mari Ibu-Ibu, Kita ke ruang Saya," ujar kepala sekolah kepada kedua perempuan yang berselisih itu.
Mereka pun menuju ruang kepala sekolah. Para guru yang melihat kejadian itu pun kembali ke ruang masing-masing, sementara Kelas 1 dijaga oleh Bu Budrek. Bu Budrek sebagai guru Kelas 4 ditugaskan oleh kepala sekolah untuk sementara waktu menjaga murid Kelas 1. Di hadapan kepala sekolah, perempuan gembrot itu menceritakan panjang lebar tentang hubungan suaminya dengan  Bu Koestini, sedang secara panjang lebar pula Bu Koestini membantah.
Setelah kejadian itu, Bu Koestini tidak pernah datang ke sekolah. Ia malu kepada kepala sekolah, para guru, dan murid atas tuduhan itu. Ia mengajukan pindah ke sekolah lain. Para murid Kelas 1 pun meski masih lugu memahami dan mengerti apa ayang terjadi pada Bu Koestini. Kepindahan Bu Koestini ada yang disambut sedih, ada pula yang biasa-biasa saja, namun bagi Legam kepindahan Bu Koestini disambut gembira karena ia sering dihukum, seperti kupingnya dijewer atau disuruh berdiri di depan kelas. Legam sering dihukum karena ia adalah murid yang bandel.
***