Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Bukan Gigolo

5 Mei 2020   13:40 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:48 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah tiba di sekolah, Pak Lunjak mengatakan kepada Trengginas, "Sudah ya Nak Bapak jalan dulu. Kamu sudah besar jadi harus berani," ujarnya. Pak Lunjak tentu tidak akan menunggu anaknya sampai sekolah bubar. Bila demikian, pekerjaannya akan terganggu. Ia kembali ke sekolah bila jam sekolah berakhir.

Ketika masuk halaman sekolah, Trengginas melihat anak seumur dengan dirinya dengan berbagai rupa, anak yang tinggi, anak yang pendek, anak yang gendut, ada pula yang kurus, ada pula yang perempuan dengan rambut pendek, ada pula yang rambut panjang. Karena belum kenal maka dirinya diam saja.

"Teng, teng, teng," bunyi bekas rel kereta api yang dipukul dengan palu oleh Pak Koer memekakan telinga. Bunyi itu bertanda kelas akan dimulai. Anak-anak Kelas 1 berhamburan masuk kelas, di dalam kelas mereka berebut kursi yang ada, ada anak yang dengan ngotot memperebutkan kursi, ada pula yang diam melihat tingkah mereka rebutan kursi. Trengginas menunggu kursi kosong yang ada, setelah semua mendapat kursi, dan terlihat ada kursi yang kosong, Trengginas menuju ke tempat itu dan mendudukinya. Di sampingnya sudah ada seorang murid yang tubuhnya lebih kecil darinya.

Tak lama kemudian Soetarmi masuk ke ruang Kelas 1. Pada hari itu ia berpakaian kebaya warna coklat dan baju warna merah. "Selamat pagi semuanya," ujar Soetarmi menyapa. Mendengar sapaan itu, hanya beberapa anak menjawab, "Pagi Ibu." Mereka belum terbiasa menjawab sapaan sehingga Soetarmi memaklumni. Ia pun berujar, "Kalau disapa selamat pagi kalian harus menjawab selamat pagi juga ya." "Sekarang Ibu ulang, selamat pagi semuanya," ujarnya. Serentak mereka menjawab, "Pagi Ibu." "Nah demikian, bagus," ucap Soetarmi sambil duduk di kursi depan.

"Sekarang Kita akan belajar membaca dan menulis, namun sebelum pelajaran dimulai kalian harus saling mengenal. Untuk itu semua harus saling mengenalkan diri. Dimulai dari kursi paling depan," ujar Soetarmi berpanjang lebar. Maka satu persatu murid-murid baru memperkenalkan diri, "Saya Klowor," ujar salah seorang diantara mereka. "Saya Klewer," ucap murid selanjutnya. "Saya Gandhos." "Saya Jorenges." "Saya Klepon." "Saya Solebo." "Saya Ketif." "Saya Aling." "Saya Kicak." "Saya Mawar." "Saya Joreno." "Saya Lego." "Saya Tumpuk." "Saya Kendil." "Saya Legam." "Saya Bambang." "Saya Ani." Begitu masing-masing memperkenalkan diri. Giliran Trengginas, "Saya Trengginas." Mendengar perkenalan dari Trengginas, Legam berujar, "Wah Trengginas kayak gudel." Mendengar gurauan Legam semua murid tertawa terbahak-bahak. Soetarmi hanya tersenyum dan langsung berujar, "Tidak boleh begitu ya." Disebut gudel sebab badan Trengginas seperti anak kerbau, gudel, yang tambun dan gemuk serta pendek.

"Baik sekarang keluarkan bukunya dan Kita belajar membaca dan menulis," kata Soetarmi sambil menuju papan menulis. Di papan tulis hitam, dengan menggunakan kapur, Soetarmi menulis Ini Budi, Ini Wati, dan Itu Iwan. Setelah menulis seluruh murid disuruh mengikuti apa yang diucapkan. "Ini Budi, Ini Wati, Itu Iwan." Dengan penuh semangat murid-murid mengikuti kata-kata itu sehingga suaranya membahana hingga keluar ruangan.

Satu jam sudah pelajaran membaca dan menulis itu diberikan. Dan selanjutnya terdengar bunyi, "Teng, teng, teng." Tanda pelajaran selesai dan waktunya istirahat. Mendengar suara itu Soetarmi mengatakan, "Baik anak-anak, jam pelajarana sudah selesai dan kalian boleh istirahat." Mereka pun berhamburan keluar ruangan.

Di halaman sekolah, mereka yang sudah mulai saling kenal mengakrabkan diri. Mereka mulai ngobrol satu sama lainnya, ternyata teman satu bangku Trengginas adalah Aling, ia adalah anak keturunan WNA yang memiliki toko kelontong yang tidak jauh dari sekolah. Aling anaknya juga pendiam sehingga saat ngobrol dengan Trengginas agak malu-malu.

Di tengah asyiknya Trengginas dan Aling ngobrol, Legam yang didampingi Klowor dan Klewer mendekati. "Gudel rumahmu di mana?" tanyanya. Mendengar sebutan yang bukan namanya, Trengginas tersinggung dan marah. "Kamu panggil apa!?" tanyanya. "Gudel," jawab Legam. Mendapat jawaban seperti itu tiba-tiba tangan kanan Trengginas menghantam muka Legam, "Plak." Mendapat hantaman itu rupanya Legam tidak terima dan membalas sehingga terjadilah perkelahian diantara mereka. Sementara temannya yang melihat bersorak-sorak, 'Ayo, ayo, ayo tendang, ayo pukul." Melihat ada perkelahian di halaman sekolah, Soetarmi dan Pak Koer segera menghampiri dan memisah. 'Eh, apa-apaan ini baru kenal sudah berkelahi," ujar Soetarmi. "Dia yang memulai," ujar Legam sambil menunjuk Trengginas. "Saya pukul karena ia memanggil Saya gudel," kata Trengginas tidak mau kalah. "Sudah, sudah, semua harus dihukum berdiri di depan kelas," Soetarmi mengatakan demikian sambil menarik kuping kedua anak itu.

***

Malam itu dengan ditemani sebuah ublik, lampu kecil yang bahan bakar minyak tanah dan bersumbu dengan kain, Trengginas berada di ruang tengah rumah. Malam itu dirinya mulai belajar. Belajar dari apa-apa yang sudah diberikan di sekolah. Dirinya mengulang kembali membaca dan menulis seperti yang diajarkan oleh Soetarmi. Diulang-ulangnya tulisan dan bacaan, Ini Budi, Ini Wati, dan Itu Iwan. Sampai dirinya sudah hapal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun