Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Bukan Gigolo

5 Mei 2020   13:40 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:48 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Koh Aling, Koh Aling, ini ada Trengginas," teriak Kepul. Tak lama kemudian Aling keluar, "Hai Trengginas apa kabar?" sapa Aling dengan ramah. "Baik, baik Ling," jawab Trengginas. "Mau ke Australia ya Ling?" Trengginas pura-pura tidak tahu. "Iya Nas, Aku mau kuliah di sana, kebetulan Kamu ke sini, ikut ke bandara udara yuk, masih ada kursi kosong di mobil yang mau mengantar Aku," Aling menawarkan kepada Trengginas. Ajakan itu tentu diiyakan Trengginas. Dirinya belum pernah pergi ke bandara udara.

Setelah semua siap, papa, mama, Aling, Apho, Trengginas, dan keluarga lainnya, segera masuk mobil. Dua mobil itu segera bergerak meninggalkan rumah bertingkat dua. Karena mengejar waktu boarding, laju mobil bergerak di atas kecepatan rata-rata. Kendaraan roda empat lain yang bergerak ke arah selajur semua didahului. Dan tibalah mobil-mobil itu di tempat parkir bandara udara.

Trengginas membantu mengangkat tas yang dibawa Aling. Ketika hendak cek in. Di tengah sisa waktu yang ada, Aling dan Trengginas duduk di sebuah kursi di depan sebuah toko souvenir. "Kamu mau mengambil jurusan apa di Australia Ling?" tanya Trengginas. "Manajemen," jawab Aling. "O, bagus itu," Trengginas memujinya. "Ke Australia naik pesawat milik BUMN?" Trengginas mencari topik pembicaraan lain. "Tidak Nas, Aku naik maskapai asing. Aku sedikit kecewa naik pesawat milik BUMN. Dulu saat di pesawat Aku minta nambah teh, pramugari bilang iya,  tapi eh ternyata nggak dilayani, malah pergi tanpa tanggung jawab," Aling memaparkan. "Kalau yang milik swasta dalam negeri malah lebih parah Nas, selain sering delay, kadang-kadang mereka seperti angkutan kota-desa, nunggu penumpang sampai penuh baru berangkat." Mendengar apa yang dikatakan Aling, Trengginas hanya bisa manggut-manggut. "Saya naik maskapai asing bukan berarti tidak nasionalis," Aling menegaskan.

Di tengah asyiknya perbincangan, tiba-tiba terdengar pengumuman diharap semua penumpang yang hendak naik milik maskapai asing itu diharap masuk ke ruang boarding karena pesawat hendak take off. Mendengar itu, Aling menjabat tangan semua saudaranya termasuk kepada Trengginas, dan khusus kepada mama, papa, dan Apho, Aling memeluk erat-erat. Lambaian tangan perpisahan dilakukan kepada semua pengantar. Aling pun masuk ke ruang bagian dalam menuju ruang boarding. Badan Aling pun hilang ditelan oleh kerumunan orang yang juga hendak menuju ke tempat yang sama.

***

Sore itu Trengginas sudah berada di terminal bus. Dengan membawa pakaian seadanya, ijazah, SKKB, dan bekal secukupnya, ia mencari bus malam arah Pulau Swaba. Celingak-celinguk membuat Trengginas didatangi seseorang, "Mau ke mana Mas." Dengan sedikit curiga, Trengginas menjawab dengan tak bersemangat, "Mencari bus ke Pulau Swaba." "O, kalau bus ke arah Pulau Swaba tempatnya di pojok sana. Kalau tidak keberatan Saya antar ke tempatnya," orang itu menawarkan diri. "Berapa ongkos bus ke Pulau Swaba?" Trengginas mulai berani bertanya. "Nanti di sana ada teman Saya. Paling nggak mahal karena bus ini ekonomi tapi dapat makan dan minum saat berhenti di Pantai Pasir Merah," orang itu menjelaskan.

Mendapat gambaran seperti itu, Trengginas gembira, ia pun melangkah mengikuti orang itu berjalan. Sampailah ia di pojok terminal. Dilihatnya beberapa bus berjejer dengan aneka rupa warna dan kelas yang menawarkan perjalanan ke Pulau Swaba. Ada bus yang mewah, ada pula bus yang sederhana. Ia pun memilih bus yang sesuai dengan kantongnya. Bus yang cocok dengan kantongnya itu adalah Bus Cepat Jaya. Setelah tiket di tangan, Trengginas naik ke bus. Sambil menunggu keberangkatan, ia mencoba untuk tidur, namun usaha itu gagal karena banyak calo yang berteriak-teriak menawarkan kursi yang kosong kepada calon penumpang.

Setelah tiga perempat kursi Bus Cepat Jaya terisi, bus pun berangkat ke arah Pulau Swaba. Sepanjang perjalanan, Trengginas melihat pesisir pantai. Kapal nelayan dan perkampungan kumuh merupakan paduan yang ada ketika ia melihat kondisi pesisir. Tepat tengah malam, Bus Cepat Jaya tiba di batas pulau dan harus menyeberang ke Pulau Swaba. Untuk menyeberangi Selat Pulau Swaba, seluruh kendaraan harus naik kapal ferry. Karena jumlah kapal dengan seluruh kendaraan yang hendak menyeberang tidak seimbang maka kendaraan itu harus antri. Dilihatnya antrian itu begitu panjang.

Sambil menunggu bus masuk kapal, Trengginas menggunakan waktu yang ada untuk melihat pelabuhan. Tolah toleh dan celingak-celinguk saat dirinya melihat sesuatu yang selama ini belum pernah dilihatnya secara langsung, yakni pelabuhan. Dilihatnya di tempat itu banyak penjual makanan dan buah-buahan, pedagang asongan pun hilir mudik menawarkan dagangannya.

Di tengah asyiknya melihat geliat orang di pelabuhan, bus yang dinaiki masuk ke dalam lambung kapal. Trengginas pun dengan berlari mengejar bus, namun oleh seorang petugas diteriaki, "Woi, Mas di situ bukan jalan orang. Jalan orang lewat tangga." Mendengar teriakan itu, Trengginas dengan kebingungan melihat mana tangga yang dimaksud. "Tangganya sebelah kiri jalan Mas," orang itu menunjukkan arah. Matanya langsung menoleh arah kiri. Begitu melihat tangga yang dimaksud, secepat kilat ia berlari ke arah itu. Dinaiki tangga dengan cepat, nafasnya pun mulai tersenggal-senggal. Ketika hendak masuk ke dalam kapal, seorang petugas mencegatnya, "Mana karcis kapal?" "Saya naik Bus Cepat Jaya Pak," ujar Trengginas dengan nafas tersenggal-senggal. "Mana bukti tiket bus?" petugas itu meminta bukti. Trengginas mengambil tiket bus yang ada di dompet dan ditunjukan. Setelah benar-benar ia penumpang bus yang dimaksud,  petugas itu mempersilahkan masuk.

Plong yang dirasakan setelah dirinya sudah berada di kapal. Tahu bus yang dicari ada di bawah dan tidak akan bergerak selama berada di kapal, maka ia tidak naik ke dalam bus. Ia memilih duduk di tempat penumpang kapal. Ketika kapal bergerak menuju ke Pulau Swaba, Trengginas bangkit dari tempat duduk dan berdiri di bagian kanan kapal. Dilihatnya  keindahan laut di selat itu, nampak gunung menjulang di pulau yang baru ditinggalkan. Gelombang selat yang tidak tinggi membuat kapal tidak terayun-ayun sehingga menambah keasyikan Trengginas melihat alam ciptaan Tuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun