Tiga hari sudah ia tidak mencuci sehingga pakaian kotornya nampak numpuk. Diletakkan pakaian kotor itu ke dalam ember dan selanjutnya diangkut ke ruang sebelah kamar mandi. Di tempat itu biasa penghuni kos mencuci pakaian kotor.
Dibilas pakaian itu dengan air yang mancur dari kran. Selanjutnya ketika hendak menuangkan bubuk cuci ke dalam air untuk mengucek pakaian, tiba-tiba Ika, teman satu kos, memanggil dirinya, "Sisca, Sisca, ada telepon buat Kamu." "Telepon? Dari siapa?" Sisca bertanya. "Nggak tahu, dari laki-laki," balas Ika.
Ia segera menuju ruang tengah di mana di tempat itu biasa mahasiswa menerima tamu dan di tempat itu telepon rumah berada. Diangkat gagang telephon, "Hai Sisca, Saya Jurgen Bohler, masih ingatkan?" ujar suara pria dari telephon itu. Mendengar Jurgen Bohler menelephon, ia terperanjat senang, sebab sudah dua hari telephon dari Jurgen Bohler yang ditunggu tak kunjung tiba, sekarang kok tiba-tiba muncul. "Baik," jawab Sisca dengan hati riang gembira. "Kamu lagi ngapain?" tanya Jurgen Bohler. "Mencuci," jawab Sisca dengan sedikit jual macam. "Mencuci? Ha, ha, ha," Jurgen Bohler keheranan dan tertawa. "Memang tidak mempunyai pembantu?" Jurgen Bohler kembali bertanya. "Anak kos," Sisca menjelaskan. "Apa anak pantai?" Jurgen Bohler menggoda. "Sudah Kita tidak usah bercanda. Aku mau minta tolong kepadamu untuk mengantar Aku ke rumah Mang Penting, bisa nggak," ujar Jurgen Bohler. "Mang Penting yang pelukis terkenal itu?" Sisca bertanya. "Iya, Mang Penting yang sudah terkenal ke mancanegara itu" Jurgen Bohler menjelaskan. "Mau beli lukisan?" Sisca menanyakan alasan kenapa Jurgen Bohler pergi ke tempat Mang Penting. "Tidak, Aku mau membuat film pendek tentang dirinya," kata Jurgen Bohler. "O, jam berapa maumu?" Sisca menanyakan jam berapa hendak ke tempat Mang Penting. "Terserah Kamu, kalau bisa secepatnya," ucap Jurgen Bohler. "Ok, kalau begitu habis Aku mencuci, nanti Kita ketemuan di Monumen Kota," Sisca mengiyakan keinginan Jurgen Bohler untuk mengantar ke tempat Mang Penting. "Terima kasih," jawab Jurgen Bohler.
Satu jam sudah Sisca mencuci. Ia segera mandi dan berdandan. Ia menggunakan jeans warna biru dan dipadu dengan kaos warna putih sementara rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Sisca dengan dandanan itu nampak cantik. Ia sebenarnya termasuk gadis cantik di kampus, banyak mahasiswa yang menaruh hati kepadanya, namun ia tak menanggapi mahasiswa yang mencoba mendekati dirinya. Ia hanya tergoda sama Firan, sayangnya Firan mengkhianati dirinya.
Dengan diantar Ika menggunakan sepeda motor, Sisca menuju ke Monumen Kota. Di pojok bagian lapangan Monumen Kota, Sisca berdiri di tempat itu menunggu Jurgen Bohler. Ia memilih berada di bagian pojok lapangan Monumen Kota sebab di situlah ia biasa menghabiskan sore dan makan jagung bakar bersama Firan.
"Mana itu orang," gumam Sisca setelah menunggu selama 15 menit kok Jurgen Bohler belum datang. Karena haus ia memesan es kelapa muda kepada penjual yang tempatnya tidak jauh darinya. Es kelapa muda itu tidak dituangkan ke dalam gelas namun dimasukan ke dalam plastik agar dirinya tidak perlu duduk di kursi yang disediakan penjual. Sesekali disedot es kelapa muda itu dari plastik, tiba-tiba ada pengendara sepeda motor trail mendekati dirinya, ia cuek, dipikir pasti itu orang iseng. Begitu helm dibuka, Sisca terperanjat senang, "Jurgeeen Bohlerrrrr." "Lama amat," lanjutnya dengan manja. "Sory, susah cari sewaan yang trail," Jurgen Bohler beralasan. "Ayo kalau begitu Kita langsung menuju ke tempat Mang Penting," Jurgen Bohler cepat-cepat mengajaknya. Sisca tanpa banyak komentar langsung naik ke atas sepeda motor trail untuk dibonceng.
Sepeda motor trail meluncur ke tempat Mang Penting. Untuk menuju ke tempat Mang Penting, mereka harus melewati gunung, sawah, dan jurang. Orang yang menuju ke tempat Mang Penting pasti menikmati pemandangan yang ada. Sawah yang berada di kaki gunung dengan bentuk terasiring serta jurang yang hijau membuat wisatawan yang melintasi tempat itu menjadi takjub. Biasa wisatawan akan berhenti dan mengambil gambar di titik-titik tertentu di sepanjang jalan bahkan ada restoran khusus untuk tempat pemberhentian. Di restoran itu pengunjung bisa melihat puncak Gunung Gejah dari kejauhan. Jurgen Bohler bersama Sisca hanya berhenti beberapa saat dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Mang Penting. Jurgen Bohler berpikir ia harus segera menyelesaikan pekerjaan membuat film kisah hidup Mang Penting.
Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, selepas menuruni tikungan, dari kejauhan rumah Mang Penting kelihatan. Rumah Mang Penting berada di atas bukit, rumahnya masih mempertahankan bentuk asli sehingga menyatu  dengan alam. Memasuki halaman rumah, ada sebuah papan yang bertuliskan, Pelukis Mang Penting.
Di halaman terlihat beberapa ayam jago yang sedang dikurung. Mang Penting memang suka memelihara ayam jago. Meski demikian ayam jago itu tidak diadu dengan ayam jago penduduk kampung dalam hari-hari tertentu namun ayam jago itu untuk mengingatkan dirinya bila pagi sudah tiba. Kokok ayam jago itulah yang membangunkan Mang Penting setiap pagi dari tidurnya yang lelap dan mendengkur kaya kerbau.
"Hai Jurgen Bohler," ujar Pecing ketika melihat ia datang. Pecing sudah tahu Jurgen Bohler karena Mang Penting menunjukan foto Jurgen Bohler kepadanya. Sebelum datang ke rumah Mang Penting, Jurgen Bohler sudah mengirimkan surat yang mengungkapkan kepentingannya. Syukur Mang Penting mau riwayat hidupnya diangkat dalam film. "Sudah ditunggu Mang Penting," ujar Pecing.
Mereka masuk ke dalam rumah dan dilihat Mang Penting sedang melukis di sebuah papan putih yang besar. Mang Penting sedang melukis hamparan sawah di mana padi yang tumbuh tampak menguning. Meski lukisan itu belum jadi namun aura keindahan dan mahalnya harga sudah terbayang. Lukisan Mang Penting memang sangat mempesona sehingga banyak dipesan oleh orang-orang penting. Bagi mereka yang mengagumi lukisan Mang Penting, soal harga tidak menjadi masalah, berapapun harganya akan dibeli. Ketenaran Mang Penting karena ia sudah sering mengadakan pameran di kota-kota besar dan luar negeri.