Siang itu Pak Lunjak tidak pergi ke ladang, entah karena kecapekan atau sebab yang lain, tidak jelas alasannya. Meski tidak pergi ke ladang bukan berarti waktu itu digunakan untuk tidur-tiduran. Dengan duduk di kursi ruang tengah, ia asyik mencoret-coretkan sesuatu pada kertas-kertas putih. Kertas-kertas itu dikumpulkan dari bungkusan-bungkusan bantuan sembako para warga dusun saat dirinya slametan. Coretan angka itu dibagi, dikurang, ditambah, dikali, dengan tanpa mengikuti kaidah ilmu matematika. Dasar apa yang digunakan Pak Lunjak mengubah-ngubah angka itu tidak jelas, apalagi dirinya hanya tamatan sekolah rakyat.
Bagi orang ilmiah apa yang dilakukan itu mungkin membuat bingung, namun bagi orang-orang yang suka membeli nomer judi, hal demikian mengasyikan. Sampai kapan ketemu nomer terakhir yang diinginkan itu biasanya sesuai dengan firasat. Apa yang dilakukan Pak Lunjak itu memancing perhatian istrinya. Istrinya tahu bahwa suaminya sedang meramal. Dengan basa-basi, istrinya itu menasehati, "Mbok ya sudah to Pak, mending kerja saja yang pasti-pasti." "Ingat judi itu dosa," tambahnya sambil menyusui Trengginas.
Mendapat wejangan basa-basi dari istrinya, Pak Lunjak sambil menyedot rokok kreteknya, berujar, "Iya Aku tahu itu dosa, tapi kalau nomernya tembus kan Kamu senang juga." "Kalau nomernya tembus kan Kita bisa beli susu buat Trengginas, beli beras, Â kopi serta untuk bayar utang," katanya dengan mengibas-ngibaskan spidolnya yang sudah mulai menipis. Mendapat alasan yang sedikit masuk akal itu, istrinya menimpali, "Ya sudah, kalau itu alasanmu, yang penting bagaimana agar Trengginas bisa minum susu dan tumbuh sehat itu yang harus Kita pikirkan."
"Nah!" ucap Pak Lunjak dengan girang. Teriakan gembira itu rupanya membuat kaget istrinya. "Ada apa to Pak?" tanyanya. "Ini lho Aku dapat nomer yang jos. Kayaknya nomer ini bisa tembus dan Kita dapat uang banyak," papar Pak Lunjak. "Nomer yang aku temukan adalah 972," lanjutnya. Â "Sudah Bu, Aku minta duitnya mau beli nomer ke bandar nomer," ucap Pak Lunjak sambil membereskan kertas-kertas putih yang sudah dicorat-coretnya itu. Mendengar apa yang dikatakan itu, istrinya berkata, "Apa? duit? Lha wong duit Kita sudah menipis. Buat slametan aja kemarin masih utang kok." Kalimat yang keluar dari mulut istrinya itu rupanya tidak disukai oleh Pak Lunjak. "Masak nggak ada duit? Kemarin saat slametan kan Saya sudah jual sepuluh ayam. Kamu jangan alasan," ujarnya dengan nada meninggi. "Kalau Kamu nggak ngasih duit Aku obol-obol lemari yang biasa buat menyimpan duit," bentak Pak Lunjak.
Nada tinggi dan bentakan itu rupanya tidak membuat istrinya takut. Mendapat bentakan dan nada-nada kasar dari suaminya, merupakan makanan sehari-hari bagi istrinya, sehingga kebiasaan itulah dirinya menjadi biasa. Dengan nada tinggi pula ia meladeni omelan suaminya itu, "Silahkan saja kalau mau obol-obol lemari." Rupanya tantangan dari istrinya itu diladeni oleh Pak Lunjak, dengan bergegas ia menuju kamar yang biasanya buat mereka tidur, dibukanya lemari itu dengan paksa.
Amarah dan nafsu Pak Lunjak untuk menemukan uang semakin membara ketika Trengginas menangis dengan suara melengking dan jeritan yang membuat telingan terasa panas. Meski masih kecil namun perasaan Trengginas sudah peka bahwa orangtuanya sedang bertengkar.
Setelah obol sana obol sini, akhirnya Pak Lunjak melihat uang yang dicarinya. Ketika ia melihat uang itu, tiba-tiba tatapan matanya menjadi kosong. Ia sadar bahwa apa yang dikatakan istrinya benar, bahwa uang yang dimiliki sudah menipis. Namun tatapan kosong itu berubah kembali ketika impian menjadi kaya dengan membeli nomer judi masuk kembali ke dalam otaknya. "Masa bodo, yang penting sikat dulu, masalah nanti urusan belakangan," gumamnya sambil menggenggam uang yang dibutuhkan.
***
Maghrib barusan pergi, namun di pertigaan dusun dan di Kios Gerto, banyak orang sudah bergerombol. Malam itu biasanya orang-orang desa membeli nomer judi
Pak Lunjak pun bergegas keluar dari rumahnya, dengan menggunakan kain sarung yang sudah berlubang, ia pergi ke Kios Gerto, setiap berpapasan dengan laki-laki dewasa, sapaan diantara mereka adalah, "Berapa nomernya?" Masing-masing pun memberikan nomernya, meski sudah saling memberi tahu nomer, mereka ada yang terpengaruh, namun ada pula yang tetap tidak berubah pendiriannya. Mereka mendapatkan nomer dengan cara masing-masing, ada yang meramal seperti Pak Lunjak, ada pula yang pergi ke dukun, bahkan ada pula yang menyepi di tempat-tempat angker.
Kodok dan Kuncar adalah dua pria yang suka menyepi di tempat angker. Karena sudah dilandasi nafsu untuk kaya mendadak, tempat seangker apapun, bagi pria yang sehari-hari mengurusi peternakan ayamnya Pak Sobirin, itu tidak menjadi masalah. Suatu ketika Kodok dan Kuncar menyepi di sebuah tempat yang jauh dari perkampungan desa.Â