Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Bukan Gigolo

5 Mei 2020   13:40 Diperbarui: 5 Mei 2020   13:48 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikatakan kepada Jurgen Bohler, Danau Bulan adalah sebuah danau yang terletak di kawasan Pasopisa, Desa Bentar Abang, Kecamatan Ringin Limo. Danau Bulan adalah salah satu gugusan danau di kawasan itu, selain Danau Bulan, ada Danau Wulan, dan Danau Srengenge. Di antara danau yang ada, Danau Bulan yang merupakan danau tercantik sehingga leluhur mereka memilih di tempat itu untuk melakukan pemujaan kepada Dewi Langit Biru sebagai danau kebaikan dan kecantikan. "Tak heran di sini para penduduk khususnya perempuan suka membasuh mukannya dengan air danau agar awet muda," ujarnya.

"Kalau aku perempuan pasti membasuh muka di danau ini," paparnya dengan tersenyum. Seperti biasanya ia pun mengambil gambar dengan latar belakang indahnya danau. "Sungguh mempesona," ujarnya.

"Hari sudah lepas siang, biar tidak kemalaman, saatnya kita ke Balai Raja," ajak Sisca. Mereka pun menuju ke arah Balai Raja. Antara Danau Bulan dengan Balai Raja jaraknya cukup jauh bila melewati jalan umum. Jarak tempuh bisa dekat apabila memotong jalan. Atas arahan penduduk yang ditanyai di pinggir jalan, Jurgen Bohler dan Sisca memotong jalan. Lewat jalan itu tidak mudah, jalannya berliku, kanan jurang kiri tebing, dan belum diaspal, hanya jalan yang diuruk batu kali. Sehingga sesekali Jurgen Bohler harus menekan rem kaki kuat-kuat. Di sepanjang perjalanan mereka sesekali melewati tempat-tempat pemujaan. Tempat pemujaan itu terlihat penuh dengan suasana mistis dan magis.

Dengan jalan memotong, akhirnya tibalah mereka di Balai Raja. "Kamu pasti mau dengar cerita soal Balai Raja kan," Sisca mendahului keinginan Jurgen Bohler yang biasa ingin tahu mengenai objek wisata yang dikunjungi. "Begini kisahnya," Sisca mulai bercerita. Balai Raja berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Sang Raja di Balai Raja memiliki kegemaran menunggang kuda. Kudanya tidak hanya satu namun puluhan. Menarik dari kuda-kuda yang ada semuanya warnanya putih dan berekor panjang. Saking sayangnya kuda, kuda itu dilepas begitu saja di halamannya yang sangat luas. Halaman Balai Raja rumputnya tak pernah kering, selalu hijau, hal demikian karena letak Balai Raja berada di daerah pegunungan sehingga curah hujannya sangat tinggi. Karena rumputnya selalu hijau maka penjaga Balai Raja tak perlu memberi makan. "Woo, mirip Istana Bogor. Kalau di sana rusa, di sini kuda," ujar Jurgen Bohler. "Kok tahu Istana Bogor?" tanya Sisca. "Kan Aku baca buku traveling Indonesia," ungkap Jurgen Bohler.

Agar wisata satu paket, mereka menuju Kebun Raja. Kebun Raja letaknya di samping kanan kiri Balai Raja. Sisca kembali bercerita tentang Kebun Raja. Bila Sang Raja gemar akan kuda, maka permaisuri suka dengan bunga. Karena Sang Raja mencintai permaisuri, ia menghadiahi permaisuri dengan bunga-bunga yang dibawa saat melawat dari Sriwijaya. Bunga-bunga yang indah dan semerbak wangi itu ditanam di Kebun Raja. Perawatan bunga yang dilakukan oleh puluhan dayang-dayang membuat bunga tumbuh berkembang. "Ratusan tahun keberadaan Kebun Raja membuat tanaman yang ada menjadi tanaman yang langka sehingga di Kebun Raja orang tak hanya sekadar berwisata namun juga melakukan penelitian," ujarnya.

Jurgen Bohler saat di Kebun Raja lebih menikmati alamnya daripada mengabadikan. Di bawah pohon besar yang letaknya tersembunyi, tiba-tiba Jurgen Bohler mendorong tubuh Sisca dan memeluknya. "E, e, apa-apan nih?" Sisca terperanjat. Belum selesai terperanjat, Jurgen Bohler hendak mencium bibir Sisca, "Enggak, enggak," Sisca berontak dengan mendorong tubuh Jurgen Bohler. "Aku mau Kamu cium kalau Kita sudah resmi!" Sisca membentaknya. "Maksudnya resmi apa?" Jurgen Bohler nampak kecewa. "Kalau Kamu jadi suamiku secara syah," Sisca menjelaskan.

Mendengar hal yang demikian, kening Jurgen Bohler berkerut. "Kalau di kalangan Kami serumah dulu baru nikah resmi," Jurgen Bohler menjelaskan. "Maaf itu bukan budaya negara Kami," Sisca menerangkan dengan suara lantang. "Tapi Kita kan saling cinta," Jurgen Bohler terus nyerocos. Secara tak sadar Sisca mengatakan, "Iya." Namun ia buru-buru melengkapi kalimatnya, "Cinta harus diikat secara syah."

"Terus bagaimana?" Jurgen Bohler bertanya sambil mengangkat bahunya. "Kalau serius Kamu datang ke orangtua Saya dan mengatakan melamar Aku," Sisca menjelaskan. "Ok," Jurgen Bohler menjawab. "Kapan?" tanyanya lagi. "Lusa, sekalian Aku juga mau pulang kampung," Sisca menjelaskan rencana kepulangannya ke kampung halaman.

***

Dua hari kemudian, di hari yang sudah sore, Jurgen Bohler dan Sisca sudah berada di Terminal Jebung. Mereka sore itu hendak pergi ke kampung halaman Sisca

 Mereka memilih perjalanan darat karena di kampung halaman Sisca tidak ada bandara udara. Meski perjalanan ditempuh  di atas 10 jam namun Sisca sudah biasa meski rasa bosan selalu melanda. Mereka telah membeli tiket bus malam. Suasana antara keduanya tidak seperti biasa, kekakuan terlihat diantara mereka. Kekakuan muncul sebab mereka akan memasuki babak baru, di mana mereka harus melepaskan rasa ego dan kebebasan yang selama ini dikedepankan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun