[BAB 1 - Siapa Mereka?]
Langit baru saja selesai dengan tangisnya. Menyisakan bumi yang membasah karena ulahnya. Juga sapaan angin yang sedikit banyak membuat kulit yang tersapa langsung merasakan kedinginan. Awan hitam saja sebenarnya masih menggumpal di atas sana. Ia belum benar-benar pergi.
Namun rasanya, dingin di luar tak ada bandingannya daripada dingin yang ada di dalam ruangan bernuansa putih ini. Dimana hanya ada suara dari mesin EKG.
Perlahan tangan pucat itu bergerak, sangat pelan. Diikuti oleh mata yang mulai terbuka. Gadis berambut sebahu itu terbangun seraya terus mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelum ini begitu menyadari jika saat ini, ia tengah berada di sebuah rumah sakit. Dengan selang oksigen terpasang sempurna di hidungnya.
Beberapa detik bahkan menit berlalu, ia tersadar dan ingat. Sebuah truk besar menghantam tubuhnya dan juga tubuh gadis lain beberapa hari yang lalu.
Tak lama pintu terbuka, menampakkan seorang suster berpakaian serba putih yang tengah membawa catatan. Mungkin hendak memeriksa keadaannya.
"Oh, Nyonya Selvia sudah sadar ternyata. Ini kabar baik, saya akan panggilkan dokter dan juga keluarga Nyonya," ucap suster itu lalu terburu melangkah keluar untuk melakukan tujuannya.
Namun gadis yang masih terbaring lemah itu mengerutkan keningnya. Aneh, rasanya ia mendengar sesuatu yang mengganjal. Namun berusaha saja ia abaikan.
Tak berapa lama seorang dokter datang, diikuti seorang pria berjas hitam dan wanita di sampingnya. Dan, Via sama sekali tidak mengenal siapa mereka.
"Siapa mereka? Apa mereka orang-orang yang nolongin aku, ya?" Via membatin. Terlalu penasaran, tapi Via tidak tahu harus menanyakan nya pada siapa.
"Pak Dion, bisa bapak ikut saya ke ruangan," ucap dokter itu setelah menempelkan stetoskop dan selesai dengan pemeriksaannya.
Lalu yang dimaksud oleh sang dokter mulai mengangguk setelah sebelumnya menghela napas.
Kini ruangan mulai kembali hening. Hanya menyisakan Via dan seorang wanita yang baru saja datang tadi.
"Kamu ternyata punya nyawa banyak sekali. Kapan kamu mati, Via?" Tanya wanita itu membuat Via mengernyitkan keningnya. Ia bahkan tak mengenal siapa wanita di sampingnya ini. Via sama sekali tidak tahu.
"Anda siapa? Kenapa berbicara seperti itu?"
Terdengar tawa mulai menggema. Membuat Via semakin menatap heran.
"Via, Via. Seharusnya setelah kejadian itu kamu tidak ada di dunia lagi," ucapnya membuat bulu kuduk Via merinding entah kenapa.
Lalu dirasakan rambutnya ditarik begitu kuat. Membuat pusing di kepala nya yang semula hilang datang kembali begitu cepat. Via memegang tangan yang menarik rambutnya itu dengan erat. Berusaha melepaskan nya, tapi Via tidak begitu kuat. Ia masih lemah.
"A- Anda ini siapa? Berani se- kali menarik rambut saya," ucap Via terbata. Ini benar-benar begitu menyakitkan, sungguh.
"Kamu amnesia atau sedang melakukan drama?" Tanya wanita itu dengan sedikit memajukan wajahnya pada wajah Via.
Napas Via tak beraturan. Ia mencoba untuk tidak merasakan sakitnya, namun tetap tidak bisa. Kepala nya semakin pusing. Dan untung saja, beberapa saat kemudian wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu menurunkan tangannya.
"Via, asal kamu tau. Ini baru permulaan. Saya tidak akan biarkan kamu yang menjadi pewaris kekayaan Ayah kamu." Wanita itu tiba-tiba tersenyum, nampak terlihat begitu menyeramkan. Apalagi setelahnya ia berbisik pada Via, "Dan tentunya kamu harus mati terlebih dahulu."
Via semakin bergidik ngeri, tentu nya setelah wanita bermulut iblis itu pergi keluar dari ruangannya. Napas Via terasa sesak menahan napas kala berkali-kali mendengar kalimat dirinya harus mati.
Beberapa saat kemudian, Via mengerutkan keningnya. "Wanita tadi siapa, ya? Lagian aku kira aku udah mati karena ditabrak sama truk waktu itu," ucapnya bermonolog. Via lalu menghela napasnya dalam. "Lagian Ibu dimana, sih? Harusnya kan Ibu jagain aku di sini."
Dengan sejuta rasa penasaran dan ribuan kalimat tanya dalam benaknya, Via akhirnya memilih untuk tertidur. Hingga beberapa detik kemudian, ia pergi ke alam mimpi nya.
[BAB 2 - Sebuah Mimpi Aneh]
Via merasakan kaki nya baru saja menapaki trotoar yang basah karena baru saja diguyur hujan. Ia lalu menatap sekelilingnya, terasa deja vu, ia seperti pernah mengalami kejadian seperti ini.
Dan di tengah kebingungannya itu, Via merasakan pundaknya ditepuk dari belakang. Ia berbalik, mendapati seorang perempuan berseragam putih abu berdiri dibelakangnya seraya tersenyum pada nya.
"Kamu- siapa?" Tanya Via ragu.
"Aku Selvia."
"Selvia? Aku kayak pernah deng-"
"Iya." Perempuan itu menyela. "Aku ini Selvia. Dan saat ini kamu sedang berada ditubuh ku."
Kening Via mengerut sempurna. Apa maksudnya? "Aku gak paham."
Perempuan yang mengaku bernama Selvia itu menghela napas sambil tersenyum lebar. Lalu tak berapa lama mata nya menyorot ke arah jalanan yang ternyata begitu ramai saat ini.
"Via, kamu ingat kejadian tiga hari yang lalu?"
"Saat aku menyebrang dan tertabrak sebuah truk?" Via balik bertanya.
Perempuan itu mengangguk. "Saat itu aku juga tertabrak Via, bersama kamu. Dan kamu tau? Jiwa kamu berpindah ke tubuhku. Sedangkan aku, jiwa ku sudah terenggut. Aku tidak terselamatkan."
Via menggeleng cepat. "Aku gak paham. Jadi, kenapa bisa aku ada di tubuh kamu?"
"Sebenarnya kamu juga seharusnya mati, Via. Sama seperti aku. Tapi, jiwa kamu masih akan tetap ada ditubuhku, sebelum kamu menyelesaikan sebuah misi."
"Misi? Misi apa?"
"Kamu harus membantuku membuktikan kepada kedua orang tua ku. Bahwa bukan aku yang membunuh Serly, adik tiri ku yang meninggal saat berumur sembilan tahun."
"Tapi kenapa harus aku?"
"Karena aku tidak bisa membuktikannya. Dan cuma kamu, Via. Cuma kamu yang bisa melakukannya. Tolong, agar jiwa kita bisa sama-sama tenang dan kembali ke yang seharusnya." Wajah Selvia nampak memelas. Begitu memohon ia pada Via.
"Tapi bagaimana caranya? Aku gak tau harus lakuin apa," ucap Via dengan nada menyerah. Padahal ini baru awal. Tapi rasanya, ia sudah ingin menyerah saja.
Selvia sedikit menghela napasnya. "Kamu harus temukan seorang anak laki-laki yang saat itu ada dan merekam semua kejadiannya. Kejadian delapan tahun yang lalu saat Serly jatuh dari lantai dua dan akhirnya meninggal."
Pundak Via melorot. Ia yakin itu tidak akan mudah. Apalagi bahkan Selvia saja tidak tahu seperti apa anak laki-laki itu sekarang. Sulit sekali pasti untuk menemukannya.
"Dia punya semua bukti rekaman saat Serly terjatuh karena terpeleset. Dan bukan karena aku dorong."
"Tapi..." Wajah Via berubah menjadi tertekuk.
Tapi tangan Selvia tiba-tiba menggenggam tangannya yang sedang bergerak-gerak tidak menentu. "Tolong, Via. Kamu dan aku harus kembali. Dengan tenang."
Via menutup matanya kuat. Berpikir keras untuk menentukan apakah ia akan menolong Selvia atau tidak. Sebelum akhirnya, tak berapa lama ia mengangguk yakin.
"Baiklah."
Selvia tersenyum senang. Ia lalu mendekat dan membisikkan sesuatu pada Via. "Kalau ingin temui aku, tidurlah dan bermimpi, Via."
Napas Via tersengal hebat. Posisinya berubah begitu cepat. Dari yang semula tertidur menjadi duduk. Ia lalu menatap sekelilingnya. Mimpi aneh apa tadi?
"Enggak, enggak. Gak mungkin. Itu cuma mimpi. Itu bukan kenyataan." Via panik sendiri. Terlalu ngeri membayangkan bahwa mimpi nya tadi adalah sebuah kenyataan.
Namun entah kenapa ada dari sebagian hati nya yang percaya bahwa itu semua adalah sebuah kenyataan. Dan karena ingin menuntaskan rasa penasarannya, ia berdiri dari ranjang seraya mendorong infus yang masih terpasang di tangannya. Ia lalu menunduk, berniat membaca nama yang ada di samping ranjang nya ini.
Dan di sana tertulis:
'Nyonya Selvia Indriana'
Seketika itulah jantungnya seakan berhenti berdetak. Nama nya bukan itu. Nama lengkap Via adalah Elvia Ratu Purnama, bukannya nama yang terpampang di samping ranjangnya ini.
Oke, Via tetap berusaha tenang. Mungkin ini hanya salah penulisan saja. Tapi seharusnya Via paham bukan? Mana mungkin salah penulisan hingga jauh sekali seperti itu dari nama asli nya?
Dan hanya ada satu cara lagi untuk membuktikan apakah mimpi nya nyata atau bukan.
Via berjalan perlahan ke dalam kamar mandi yang ada di kamar rawat nya ini. Ia menutup mata nya kuat setelah menemui cermin. Membuka, lalu menutup nya lagi. Sebelum akhirnya Via berteriak keras.
"AAAAA, KENAPA MUKA AKU JADI BEDA?"
[BAB 3 - Ternyata Benar]
Semangkuk bubur yang sedari tadi masih sama isi nya itu hampir mendingin. Sunyi melanda. Yang terdengar hanyalah denting jam dinding. Namun tak ada yang tahu bahwa ada kepala yang tengah riuh. Berlalu lalang berbagai macam pertanyaan di sana.
Argh! Kepala Via rasanya hampir pecah.
"Kayaknya aku lagi mimpi, deh." Via membuang napasnya perlahan. Sudah terhitung sejak setengah jam yang lalu ia mengatakan kalimat itu.
Mimpi, mimpi, mimpi. Via masih ingin berpikir bahwa semua ini hanyalah mimpi. Lagipula bagaimana bisa ini semua terjadi? Benar-benar aneh.
"Via, ayo bangun dong! Ini gak mungkin kenyataan kan? Kamu pasti masih tidur dan sedang bermimpi," ucap Via lagi, kali ini ia mengatakannya seraya menepuk-nepuk pipi nya dengan gerakan cepat.
Lalu lamunannya tiba-tiba saja melebur. Dan suara pintu terbuka-lah yang menjadi penyebabnya. Menampakkan seorang pria berjas hitam yang kala itu datang bersama sang nenek sihir. Ya, Via mempunyai panggilan seperti itu untuk wanita yang saat itu menjambak rambutnya.
Tatapan keduanya bertemu. Entah kenapa Via merasa ini lebih hening daripada sebelumnya.
"Kamu cepat siap-siap. Dua jam lagi kamu pulang ke rumah," ucap Pria itu dengan tatapan datar menatap Via.
Kening Via mengernyit mendengarnya. Via rasa, ini adalah Ayah nya Selvia. "Pulang sekarang? Kata dokter begitu?" Tanya Via memastikan.
Pria itu membenarkan posisi kacamatanya. "Itu tidak penting. Yang jelas kamu harus segera pulang. Semakin lama kamu di sini malah semakin menyusahkan," ucapnya dengan nada tinggi. Membuat Via sedikit tersentak. Lah Via kira, Ayahnya Selvia ini berbeda dengan wanita itu.
"Om ini ayah aku?" Tanya Via polos. Tapi memang ada benarnya, sih. Via harus memastikan jika asumsi nya ini adalah benar.
"Maksud kamu bertanya seperti itu apa?"
Via menelan ludahnya. Padahal ia bertanya baik-baik. Walau memang sedikit tidak masuk akal juga Via bertanya seperti itu.
"Santai saja kali, Om. Aku juga cuma nanya."
"Dasar kamu, anak tidak tau sopan santun!" Ujar pria itu dengan muka memerah dan matanya yang melotot.
"Selamat pagi," ucap seseorang yang baru saja datang.
Dan Via sangat berterimakasih pada nya. Karena jika saja seseorang tidak datang, mungkin pipi Via akan memerah karena sebuah tamparan.
"Pagi, Dok," balas Via tersenyum ramah. Dalam hatinya ia mengucap banyak syukur.
"Saya periksa dulu, ya," kata dokter yang sudah siap dengan stetoskop nya itu.
"Emm, Dok. Apa anak saya ini mengalami lupa ingatan?"
"Seperti nya tidak, Pak Wira. Tidak ada hasil lab yang menunjukkan kalau anak bapak ini mengalami lupa ingatan," jelas dokter tersebut berhasil menjawab rasa penasaran Wira. Tapi tetap saja, masih ada yang mengganjal di pikiran Wira. Kenapa anaknya bertanya seperti itu tadi?
Mata Via terbuka lebar, menatap takjub ke arah rumah yang begitu megah di hadapan nya ini. Ada taman dengan berbagai tanaman dan bunga, terlihat sejuk. Ah, rasa nya Via ingin menganggap ini suatu keberuntungan. Ya, menjadi Selvia sepertinya cukup menyenangkan.
Namun baru beberapa saat melangkah masuk, pandangan Via berubah. Menjadi Selvia, ternyata penuh luka.
"Bagus kamu sudah pulang. Sana bantu Bi Inah di dapur. Kerja dia lama, perlu bantuan kamu," ucap seorang wanita saat baru saja Via melangkah masuk.
"Tapi kan Via baru saja pulang. Via mau istirahat dulu di kamar, kepala Via juga pusing." Via tidak berbohong. Lagipula pikir saja sendiri, baru saja Via ini mengalami koma karena kecelakaan. Memang sepertinya ada yang tidak beres di keluarga ini.
Wanita itu mendekat ke arah Via dengan wajah sinisnya. "Biar saya kasih tau, jadi orang itu jangan lemah!"
"Ya, kalau begitu kenapa tidak Tan- eh Ibu saja. Lagipula itu kan memang tugasnya Ibu." Hampir saja Via memanggil wanita ini dengan sebutan Tante. Walau sebenarnya Via tidak yakin jika wanita di hadapan nya ini adalah Ibu dari Selvia. Karena memang tidak nampak seperti itu. Maka nya Via agak ragu.
Sedetik kemudian bibir Via jadi pucat kala melihat tangan wanita itu terangkat dan hendak menarik rambutnya. Mata nya memelot tajam menatap Via, sepertinya dia begitu kesal setelah mendengar ucapan sekaligus penolakan dari Via barusan.
"Eh, iya iya. Biar Via nanti langsung ke dapur. Ibu di sini saja, duduk-duduk manis," ucap Via sedikit diselingi kata-kata mengejek. Bahkan nada bicara nya juga. Dan Via memang sengaja melakukan itu.
Lalu tak menunggu lama Via langsung berjalan, sedikit berlari sebenarnya karena takut dengan tatapan wanita itu yang semakin menajam. Bahkan beberapa kali Via bergidik ngeri. Eh tapi, ia tidak tahu dimana letak dapur berada. Rumah ini terlalu luas.
"Bahkan dapurnya saja sebesar ruang tamu rumah ku. Tapi tetap saja, orang-orang nya aneh. Tapi omong-omong, aku jadi kangen sama Ibu. Dia pasti mengira aku sudah mati," ucap Via diakhiri helaan napas.
"Eh, Non Via. Sudah sembuh?" Tanya seorang wanita paruh baya yang tengah membawa pisau ditangannya. Sepertinya baru saja memotong beberapa sayuran.
Via mundur saat Bi Inah menghampirinya dan hendak memeluknya.
"Eh, kenapa Non?"
Via tersenyum kaku. Menatap tangan kanan Bi Inah. "Itu, Bi. Pisau nya simpan dulu kalau mau peluk, Via."
Sontak Bi Inah menepuk jidatnya. Aduh, ia lupa tidak menyimpan nya lebih dulu. Pantas saja majikan muda nya ini menjauh saat hendak ia peluk.
"Bibi selalu takut kalau Non Via gak akan kembali pulang ke rumah," ucap Bi Inah seraya membawa Via ke dalam pelukannya.
Via membalas pelukan Bi Inah. Nampaknya, Selvia dulu sangat dekat dengan Bi Inah. Bahkan sepertinya, hubungan keduanya sudah seperti seorang ibu dan anak. Berbanding terbalik sekali dengan wanita yang Via temui sebelumnya.
Bi Inah lalu melepas pelukannya. Ia menatap Via penuh kasih. "Non ke dapur mau ambil minum? Atau mau makan?"
Via menggeleng cepat. "Bukan, Bi. Via disuruh emm- wanita yang ada di ruang tamu itu, Ibu nya Via ya?"
Bi Inah mengernyit kebingungan. Sebelum akhirnya ia paham siapa yang Via maksud. "Loh iya. Itu Ibu nya Non Via."
Via ber-oh ria. "Nah, Via disuruh sama Ibu buat bantuin Bibi masak."
"Eh, tidak usah Non. Ini kan kerjaan Bibi. Lagipula Non Via kan baru saja keluar dari rumah sakit. Sebaiknya Non istirahat saja."
Via menghela napas seraya menyenderkan tubuhnya ke dinding. "Pengennya sih begitu. Tapi Bi Inah tau sendiri kan Ibu itu gimana."
Bi Inah nampak tersenyum menanggapi. Lalu kembali melanjutkan kegiatan memotong wortel yang sempat tertunda. Dan Via tak tinggal diam setelah tahu apa yang akan Bi Inah buat.
[BAB 4 - Â Pertemuan]
Via menatap pantulan dirinya di cermin. Seragam SMA Antariksa sudah melekat pada tubuhnya. Via tersenyum dengan hati yang sangat gembira. Dulu, ia ingin masuk ke SMA Antariksa, tapi karena keadaan ekonomi, ia tak bisa masuk ke sekolah elit itu. Tapi sekarang, suatu kesempatan datang dan membuat Via bisa merasakan bagaimana bersekolah di sana. Walau, saat ini ia tengah berada di tubuh Selvia.
Kening Via lalu tiba-tiba berkerut. "Kayaknya aku harus segera selesaikan misi itu. Aku harus temuin anak laki-laki yang saat itu jadi saksi kematian adik tirinya Selvia." Gadis itu menghela napas sejenak. "Tapi kan susah! Gimana caranya aku nemuin dia?"
Ditengah kegundahannya itu, suara dari bawah memanggilnya untuk segera turun.
Via yang mendengarnya langsung saja meraih tas punggungnya dan melangkah keluar kamar. Jujur, Via senang berada di rumah ini. Tapi tidak dengan keluarganya.
"Hari ini Ayah dengar dari wali kelas kamu, kata nya akan ada ulangan," ucap Wira memecahkan keheningan ruang makan pagi ini. "Sampai nilai kamu mengecewakan lagi, kamu akan tau akibatnya Via."
Namun Via hanya diam mendengarkan. Matanya lalu melirik Wira yang saat ini sudah melenggang pergi.
"Siap-siap, ya Via. Saya tau kemampuan kamu sama sekali tidak ada," ucap Retta seraya menggenggam tangan Via yang berada di atas meja.
Namun lama-kelamaan Via merasakan itu bukan genggaman tangan biasa. Retta menguatkannya sampai tulang Via rasanya hampir retak.
Banyak bertanya pada Bi Inah, Via sekarang tahu kalau Retta ini adalah seorang Ibu Tiri. Karena Ibu kandung Selvia sudah meninggal karena kecelakaan saat Selvia berumur lima tahun. Bukan hanya itu,
Jadi, pantas jika perlakuan Retta pada nya saat ini bisa dibilang cukup kejam.
Tak lama Retta melepasnya dan berdiri. Ia melangkah meninggalkan Via sendirian di meja makan.
Via menarik napas dalam. "Pantas aja Selvia memilih bunuh diri," asumsi nya. Pasti Selvia sudah terlalu lelah untuk bertahan hidup.
Sesaat Via menyadarkan dirinya dari lamunan. Diraihnya tas punggung berwarna biru itu. Via segera diantar seorang supir untuk menuju sekolah.
***
"Via, kamu sudah sembuh?" Tanya seorang perempuan berkacamata itu seraya menghampiri Via.
Via tersenyum kikuk. Via rasa, ini sahabat Selvia. Terlihat dari pertanyaan dan ekspresi nya saat melihat Via.
"Iya. Baru kemarin malam aku pulang dari rumah sakit."
Naya, nama nya bisa Via lihat dari name-tag yang dikenakan gadis itu.
Naya merangkul Via. "Temenin aku ke kantin yuk! Aku lupa sarapan."
Mengangguk-angguk, Via lalu tersenyum. "Ayo!"
Keduanya berjalan menuju kantin. Sorot mata beberapa siswa pun tak lepas mengiringi setiap langkah mereka. Maklum, Via dan Naya ini memiliki wajah yang cantik. Bahkan bisa dibilang sangat cantik. Apalagi, keduanya juga sama-sama berasal dari keluarga berada.
"Aku pesan bubur ayam dulu, ya. Kamu mau gak Via?" Tanya Naya setelah keduanya berada di kantin.
"Oh, boleh deh."
Naya mengangkat kedua jempolnya.
"Aku nunggu di sana, ya," ucap Via seraya menunjuk meja kosong di paling ujung. Kantin saat ini lumayan penuh. Mungkin banyak dari mereka yang belum sarapan. Maka nya datang ke kantin pagi-pagi. Seperti Naya contoh nya.
"Gila, anak baru nya ganteng banget."
"Iya, mana dengar-dengar, dia itu kapten basket di sekolah nya yang lama."
Via mengernyitkan keningnya mendengar bisikan para siswi perempuan yang seperti tengah mengagumi seseorang. Dan Via rasa, sepertinya seorang siswa baru.
"Ini dia buburnya." Suara Naya membuat Via tersadar dari lamunannya.
"Wah. Makasih, Naya."
"Kamu tau gak sih, Via?" ucap Naya setelah membalas ucapan Via dengan anggukan. "Waktu kamu kecelakaan dan koma beberapa hari, aku kesepian. Kayak ada sesuatu yang hilang dari hari-hari aku."
Via terkekeh geli mendengar ucapan Naya. Astaga, puitis sekali Naya ini. "Iya, deh iya."
"Kok ketawa? Ini serius tau."
"Iya, Naya. Aku percaya," ucap Via terkekeh lagi.
Beberapa saat hening. Keduanya sibuk menghabiskan bubur ayam mereka. Setelah selesai, Via dan Naya memilih untuk kembali ke kelas. Berhubung bel masuk juga akan berbunyi sebentar lagi.
Namun saat melewati lapangan, Via menghentikan langkahnya karena menyadari jika ikatan tali sepatu nya terlepas.
Via berjongkok, berniat untuk membenarkannya kembali. Namun sial, sebuah bola basket melayang begitu saja mengenai kepala nya. Membuat Via merasakan kepala nya berdenyut sakit dan beberapa saat kemudian, ia kehilangan kesadaran.
***
"Via, bangun."
Suara lembut seseorang membuat Via mencoba membuka mata nya perlahan. "Selvia?"
Selvia tersenyum. "Via, aku rasa kamu sudah bertemu dengan dia."
Via merubah posisi nya menjadi duduk terlebih dulu. "Dia? Dia siapa?"
"Anak kecil yang menjadi saksi saat itu. Dia pasti ada di dekat kamu sekarang," jelas Selvia dengan senyum yang tak pudar sedari tadi.
"Kamu yakin?"
Selvia mengangguk. "Sangat. Karena kamu tau? Tangan ku berdenyut tiba-tiba dan itu tanda nya, kamu sedang berada di dekat dia."
Selvia lalu mendekat pada Via dan menggenggam tangannya. "Via, ayo segera temukan dia dan selesaikan misi kamu. Ingat, kita harus segera pulang."
Via menarik napasnya dalam-dalam. Dadanya sesak.
"Kamu- sudah sadar?" Tanya seorang laki-laki, membuat Via mengalihkan atensi nya.
UKS, sepertinya dirinya tengah berada di UKS. Oh, dan Via ingat jika tadi ia terkena bola basket dan kehilangan kesadarannya.
"Aku Sagara." Laki-laki itu memperkenalkan dirinya. "Dan maaf karena lemparan bola basket tadi, kamu jadi seperti ini."
Via tersenyum kemudian. "Oh, iya. Aku Elvia. Panggil saja Via. Dan soal tadi, gak apa kok. Aku sudah merasa baikan."
Sagara mengangguk-angguk kecil. Ia lalu tersenyum tipis. "Kalau begitu, aku duluan. Dan sekali lagi, maaf, ya Via."
Via hanya membalasnya dengan senyuman. Ditatapnya punggung Sagara yang mulai menjauh itu. Via mencoba menetralkan napasnya. Jantungnya, entah kenapa seperti memompa terlalu cepat. "Apa yang dimaksud Selvia itu adalah Sagara?"
[BAB 5 - Sebuah Asumsi]
Retta melipat kedua tangannya di bawah dada. Ia menatap Via dengan tatapan tajam. Namun bisa Via lihat, senyuman yang Retta lemparkan kepadanya itu sebuah senyuman licik.
"Keluarkan hasil ujian kamu, Via."
Via menghela napas. Jadi dirinya harus terpaksa bangun hanya karena Wira dan Retta ingin melihat hasil ujian nya tadi siang. Astaga, benar-benar aneh.
"Sembilan puluh," ucap Wira tak percaya saat matanya melihat nilai yang ada di lembar ujian Via.
Retta langsung terlihat gundah. Ia buru-buru mengambil kertas ujian milik Via di tangan Wira. Matanya memelotot, seperti tak percaya bahwa nilai Via cukup besar.
"Ayah akan tanya ke wali kelas kamu apakah ini benar atau cuma pembohongan kamu," ucap Wira lalu keluar dari kamar Via.
Kini tinggal Retta yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Tak lama kemudian, Retta lalu meremas kertas ujian itu dan melemparkannya ke wajah Via penuh emosi.
"Mana mungkin kamu dapat nilai besar, sedangkan otak kamu saja kosong, Via!"
Via terdiam lalu terkekeh pelan. "Kayaknya Ibu seneng banget kalau aku dihukum Ayah. Tapi maaf, ya Bu. Kali ini Ibu gak bisa lihat aku dihukum, karena nilai aku besar," ucap Via lalu mengambil kertas ujian miliknya yang tergeletak di bawah sana. Kertas ujiannya jadi kusut.
Via menarik napas dalam. "Via ngantuk, mau tidur. Ibu paham kan?"
Retta sontak membelalakkan matanya. Kenapa anak tirinya ini jadi seberani itu kepadanya? Biasanya Via hanya akan menundukkan kepala dan meminta maaf. Tapi kali ini, Via benar-benar berbeda dengan Via yang dulu.
Retta mengibaskan rambutnya dan melangkah keluar kamar. Tapi sebelum benar-benar menutup pintu, Retta menatap tajam pada Via. Seolah kebencian berada dalam kedua matanya, juga tatapannya saat ini.
***
Via memutar lagu berjudul Line Without a Hook dari Ricky Montgomery, setelah memasangkan earphone ke telinganya. Ia lalu menenggelamkan kepalanya di antara lipatan tangan nya di atas meja. Mencoba untuk tidur berhubung ini masih sangat pagi dan belum ada siswa yang datang.
Sengaja Via datang pagi sekali ke sekolah. Ia terlalu malas bertemu Wira, apalagi Retta.
"Hai."
Via sontak menegakkan badannya. Kebetulan ia tidak terlalu meninggikan volume nya. Sehingga suara masih bisa terdengar cukup jelas.
"Sagara?"
Sagara tersenyum, ikut duduk di samping Via dan tiba-tiba menarik salah satu earphone yang tengah Via kenakan. Ia mencoba ikut mendengarkan lagu yang tengah Via dengar. Ternyata Sagara ini satu kelas dengannya. Sungguh sebuah kebetulan.
"Enak lagu nya," ucap Sagara membuat Via tersenyum.
"Kamu suka?" Tanya Via dengan mata berbinar.
"Iya."
Lama keduanya saling tatap dalam jarak yang dekat. Sampai akhirnya Via merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bahkan napas Via sedikit sesak.
"Kenapa?" Tanya Sagara. Raut cemas mendominasi di wajah tampannya saat ini.
Via mengangkat tangannya, memberitahu agar Sagara tidak khawatir.
"Aku gak apa. Cuma sedikit sesak aja," jawab Via seraya terus mencoba menetralkan deru napasnya.
"Kamu ada asma?"
Via menggeleng. "Enggak ada. Emm, Gara, aku izin mau tidur sebentar, ya?"
Sagara mengangguk-angguk kecil. "Iya. Aku akan tunggu kamu sampai bangun."
Via mengembangkan senyum. Entah kenapa pipi nya jadi merasa panas. Lalu tak berapa lama, Via sudah masuk ke alam mimpi nya.
"Selvia."
Gadis yang dipanggil itu menoleh. Via melangkah menghampiri nya.
"Via, bagaimana? Kamu sudah temukan dia?" Tanya Selvia menggenggam tangan Via.
"Apa dia itu Sagara?" Bukan tanpa alasan Via menyebut Sagara. Karena sejak pertama kali bertemu, Via sudah merasa ada sesuatu yang aneh. Terutama saat jantung Via selalu tidak baik-baik saja saat berada didekat Sagara. Juga napasnya yang tiba-tiba menjadi sesak.
Selvia mengerutkan kening. "Sagara?" Ulang Selvia.
"Iya. Dia siswa baru di SMA Antariksa. Aku cuma selalu ngerasa aneh saat ada di dekat dia," ucap Via membuat senyum lebar muncul di wajah Selvia.
"Kamu yakin?" Tanya Selvia dengan tatapan mata yang berbinar.
"Nanti aku cari tau lagi."
Via membuka matanya. Dan langsung ia temui mata berwarna coklat yang nampak indah tengah menatapnya. Itu milik Sagara. Ternyata laki-laki itu masih berada di sampingnya.
"Tidurnya kok sebentar?" Tanya Sagara. Ia lalu melihat jam di tangannya. "Cuma lima menit loh."
Via tersenyum kikuk. Ia menggaruk tengkuknya kepalanya yang tak gatal. "Serius?"
Sagara mengangguk yakin. "Iya. Padahal aku masih ingin lihat wajah tenang kamu loh."
Via berdehem. Kenapa rasanya jadi canggung begini?
"Kalian jadian, ya?"
Keduanya sama-sama menoleh ke sumber suara. Naya berdiri di sana dengan berkacak pinggang. Tatapannya menginterogasi Via dan Sagara.
Via mendengus. "Enggak. Gak boleh fitnah tau, Nay."
Lain dengan Sagara yang tiba-tiba berdiri. "Aku ke kantin dulu, ya."
"Ck. Gara-gara kamu tuh. Aku jadi gak enak sama Sagara," ucap Via menghela napas. Namun Naya malah tertawa seolah tak punya salah.
"Kamu suka, ya sama Sagara? Lagipula kalian emang cocok, sih," ucap Naya dengan tawa diakhir kalimatnya.
[BAB 6 - Pentunjuk untuk Via]
Pak Juna memberi instruksi untuk segera memulai pemanasan. Walau sebenarnya pelajaran olahraga kali ini akan Pak Juna bebaskan. Entah itu mau bermain basket, bulu tangkis atau softball, Pak Juna tidak akan melarang.
Sepuluh menit berlalu, pemanasan selesai dan semuanya mulai mengambil alat-alat olahraga sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
"Basket?"
Via menoleh lalu menggeleng. "Aku gak bisa main basket."
"Biar aku ajarin."
Sagara mulai mendribble bola. "Coba rebut bola nya."
Via sedikit membungkukkan badannya. Menatap Sagara dengan serius. Lalu beralih menatap bola yang di dribble oleh laki-laki itu.
Berkali-kali Via hampir berhasil merebut bola tersebut. Namun selalu saja berujung gagal. "Susah, Gara."
Sagara terkekeh kecil. Tak lama ia melakukan shoot dan bola berhasil masuk ke dalam ring.
"Kata nya mau ngajarin aku. Barusan kayak main sendiri tau," ucap Via sebal.
"Hehe. Iya, iya." Sagara tersenyum. "Ayo sini. Coba kamu pegang bola nya."
Via melakukan apa yang Sagara perintahkan. Tangannya memegang bola basket yang sudah siap ia lemparkan ke dalam ring. Sedangkan tangan Sagara berada di atas tangannya, bermaksud untuk membantu Via mengarahkan bola nya.
"Coba fokus. Lihat ring nya. Kamu juga harus mengira-ngira lemparan kamu, supaya bola nya bisa masuk," jelas Sagara panjang lebar.
Via hanya mengangguk. Matanya kali fokus pada ring. Dan-
"Yeay, masuk!" Via berjingkrak senang. Selama ini ia melakukan shoot tapi tak pernah ada satu pun yang masuk. Walau kali ini sebenarnya ada bantuan Sagara yang ikut mengarahkan tangannya untuk melempar bola dengan benar.
Sagara ikut tersenyum senang. Sebelum akhirnya ia terdiam, menatap wajah Via yang masih saja terlihat begitu senang.
Tapi tak lama, Via kembali merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dadanya sesak. Dan Via jadi ingat sesuatu.
"Gara," panggil Via seraya mencoba mengatur napasnya.
Sagara menyadarkan dirinya dari lamunannya. "Ya?"
"Emm... kamu waktu kecil tinggal dimana?"
Sagara nampak berpikir. Keningnya juga mengernyit dengan sempurna. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"
Via tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Pertanyaan nya salah, ya?"
"Oh, enggak. Cuma agak sedikit aneh aja."
"Hayo loh! Lagi pacaran, ya?" Dari kejauhan sana Naya berteriak. Membuat Via dan Sagara yang tengah diam jadi menoleh ke sumber suara.
"Apa, sih Nay?" Via membalas dengan nada sebal. Lalu tatapannya beralih pada Sagara yang juga tengah menatapnya.
"Eh, jadi gimana? Bisa kamu jawab pertanyaan aku yang tadi?" Tanya Via berusaha membubarkan kecanggungan nya.
Sagara terlihat seperti tengah mengingat sesuatu. "Sebentar, aku ingat-ingat dulu."
Via mengangguk seraya menunggu ucapan Sagara. "Dulu, waktu kecil rumah aku di Jalan Cendrawasih."
***
Via menghela napasnya berkali-kali. Jawaban Sagara tadi pagi membuatnya terus berpikir. Rumah ini berada Jalan Cendrawasih. Jangan-jangan memang Sagara orang nya. Anak laki-laki yang menjadi saksi kejadian saat itu.
"VIA! BUKA PINTU NYA!"
Lamunan Via buyar begitu saja. Ia menatap ke arah pintu, di mana suara teriakan terdengar begitu keras. Itu suara Wira. Sebelum membukakan pintu, Via bertanya dalam pikirannya. Apa yang membuat Wira sampai berteriak malam-malam begini?
"Iya, Yah. Sebentar," ucap Via lalu membuka kunci.
Dan Wira langsung menerobos masuk, dengan tangan kanannya yang memegang sebuah dress berwarna hitam.
PLAK
Wajah Via tertoleh ke samping akibat dari tamparan Wira yang begitu kuat. Bahkan Via merasakan panas di pipi nya.
Mata Via berkaca menatap Wira. Lalu beralih pada seseorang yang ada di belakang, tengah tersenyum licik pada Via.
"Kamu lihat ini!"
Via kembali menatap Wira. Lalu tatapannya turun pada dress yang Wira tunjukkan. Dress itu rusak, terdapat beberapa lubang di sana.
"Kamu apakan baju Ibu kamu?" Tanya Wira dengan nada tinggi, membuat Via sedikit tersentak karena nya.
Via mengernyit. Ia sama sekali tak tau tentang dress ini. Bahkan melihatnya pun baru kali ini.
"Enggak. Via gak pernah pakai atau bahkan megang dress itu," bela Via karena memang itu kenyataannya.
Wajah Wira semakin terlihat marah. "Bisa-bisanya kamu bohong?!"
"Via gak bohong!" Ujar Via yang tidak terima dirinya dituduh seperti ini.
"Dia bohong, Mas. Kemarin dia minjem dress ini. Lalu tadi sore saat dikembalikan, dress nya rusak. Ini kan dress kesayangan aku, Mas," ucap Retta dengan air mata dusta nya.
Via mengernyit heran. "Ibu jangan adu domba aku dengan Ayah, dong Bu. Via gak pernah minjem dress itu," ucap Via dengan segala kekesalan dalam dirinya.
"Kamu seharusnya meminta maaf, Via. Ibu tidak percaya kamu tidak mau mengakui kesalahan yang kamu buat, Via." Tangis Retta semakin menjadi.
Astaga, drama sekali ternyata Retta ini.
Via menggeleng tidak percaya. Ini benar-benar menyebalkan. Wanita itu sengaja membuatnya dimarahi bahkan ditampar oleh Wira.
"Minta maaf, Via!" Suara Wira meninggi lagi.
"Tapi, Yah Vi-"
"Sekarang, Via!" Potong Wira dengan tatapan emosi nya menatap Via.
Via mendengus kesal. Haruskah ia meminta maaf untuk sesuatu yang bahkan tidak ia pernah lakukan?
"Maaf," ucap Via lirih.
Lalu Via lihat Retta tersenyum penuh kemenangan.
"Iya, Via. Lain kali jangan diulang, ya," balas Retta lalu menghampiri Via. Wanita itu memeluk Via. Tapi kalian tentu tahu jika itu hanyalah pura-pura. Agar Wira semakin percaya pada drama yang ia lakukan.
"Via, saya yang menang kali ini," bisik Retta membuat tangan Via mengepal kuat.
[BAB 7 - Bertemu Ibu]
"Gara," panggil Via pada Sagara yang tengah membaca sebuah komik. "Ganggu gak kalau aku tanya-tanya kamu?"
Sagara mengerutkan kening. "Enggak lah. Mau tanya apa?" Sagara mendudukkan dirinya di samping Via. Kelas kali ini masih kosong. Seperti biasa, mereka berdua yang datang paling awal.
"Eh, pipi kamu kenapa?" Tanya Sagara terlihat khawatir. Ia berniat mengusap pipi Via yang merah. Tapi tangan Via terangkat, seolah melarang Sagara untuk melakukannya.
"Enggak kenapa-kenapa."
Sagara sebenarnya tidak percaya dengan apa yang Via katakan. Tidak apa-apa bagaimana? Pipi Via terlihat merah, dan Sagara mengira-ngira jika itu adalah bekas tamparan seseorang. Tapi, siapa yang sudah menampar Via?
"Kamu waktu kecil, emm-" Via menggantung ucapannya.
"Iya, kenapa?" Tanya Sagara terlihat tidak sabaran.
"Kamu waktu kecil ingat sesuatu gak? Tentang anak kecil yang terjatuh dari lantai dua rumah nya. Di jalan Cendrawasih," ucap Via akhirnya.
Sagara seketika mengernyit. "Anak kecil yang jatuh?"
Via mengangguk. "Iya. Ingat gak?"
Tak berapa lama, mata Sagara membulat. Tanda jika ia sudah mengingat sesuatu. "Oh, iya. Waktu aku umur delapan tahun, aku pernah tidak sengaja merekam sebuah kecelakaan. Iya, anak kecil yang jatuh dari lantai dua rumahnya."
Via tersenyum senang mendengar ucapan Sagara. Berarti benar, dia itu adalah Sagara. Anak kecil yang mempunyai bukti atas kematian Serly, adik tiri nya Selvia.
"Serius? Apa rekaman nya masih ada? Aku butuh itu, Sagara."
Sagara nampak kembali berpikir. "Aku lupa simpan handycam itu dimana. Lagipula, memang nya untuk apa?"
"Nanti aku jelasin ke kamu."
***
"Pak Cecep, bisa kita ke jalan Mawar dulu gak?" Tanya Via pada supir nya.
Pak Cecep lalu mengangguk. "Baik, Non," ucap Pak Cecep mulai membelokkan mobil untuk menuju jalan Mawar, sesuai dengan apa yang diperintahkan bos kecil nya ini.
Via menghela napas. Ia rindu sekali pada Ibu nya. Maka dari itu, sekarang Via berniat untuk menuju rumahnya. Rumah yang sederhana tapi penuh kebahagiaan. Tidak seperti di rumah Selvia yang megah, tapi terlalu banyak hal pahit di dalam nya.
Beberapa menit berlalu, Pak Cecep menginjak rem mobil saat Via berkata untuk berhenti.
Bukannya langsung turun, Via malah diam cukup lama. Memerhatikan rumah yang nampak sepi itu.
"Pak Cecep, tunggu Via sebentar ya?"
"Baik, Non."
Via turun dan melangkah dengan perlahan. Mata nya berkaca mengingat banyak kenangan yang ada di rumah ini. Terutama kenangannya saat bersama Ibu nya.
Pasti beliau sangat sedih atas kematian Via.
"Siapa, ya?" Tanya seorang perempuan paruh baya yang baru saja membuka pintu.
Air mata Via jatuh membasahi pipinya. "Ibu," ucap Via lalu memeluk Dian- Ibu nya.
Tentu saja Dian mengernyit kebingungan. Ia tidak mengenal siapa gadis ini. Tapi kenapa ia memanggil dirinya dengan sebutan Ibu?
"Via kangen."
"Via?" Tanya Dian melepas pelukannya. "Kamu bukan Via. Lagipula anak saya sudah meninggal karena kecelakaan beberapa hari yang lalu."
Via tertegun. Ia lupa kalau saat ini dirinya berada di dalam tubuh seorang Selvia. Tentu saja Ibu nya tidak akan mengenal siapa dirinya. Tapi ingin sekali Via berkata bahwa ini dirinya, Elvia.
"Maap, Bu. Saya permisi," ucap Via lalu berlari dengan satu tangannya menutup mulutnya. Tak kuat ia menahan tangis. Karena setelah penyebab kematian Serly terungkap, jiwanya akan benar-benar pergi.
"Jalan, Pak," ucap Via lalu menatap rumah itu dengan Dian yang masih berdiri di sana dengan tatapan heran. "Ibu... Ini Via. Anak Ibu."
[BAB 8 - Via Terluka]
Via merasakan perutnya keroncongan. Sedari pulang sekolah sore tadi ia belum makan. Bahkan ia sama sekali tidak keluar dari kamar. Terlalu malas untuk bertemu dengan Retta. Wanita licik itu.
Tapi karena sudah terlalu lapar, dengan sangat terpaksa Via harus pergi ke dapur. Namun saat sudah sampai di dapur, ternyata sial nya ada Retta di sana. Tengah memegang sebuah apel. Wanita itu menatap Via dengan tatapan merendahkan. Pantas kah saat Selvia masih hidup memanggil wanita ini dengan sebutan Ibu? Karena Via rasa tidak. Bahkan sifatnya saja seperti seorang iblis. Kejam.
Berusaha menahan diri agar tidak melihat keberadaan Retta. Namun wanita itu malah menarik tangan nya. Membuat Via yang enggan, akhirnya harus menatap juga wajah Retta.
"Kamu sepertinya harus diingatkan lagi, Via. Seberapa hebat saya. Terutama untuk membuat kamu menderita," ucap Retta menaikkan sebelah alisnya.
Via melepas tangan Retta yang masih menggenggam pergelangan tangannya. "Kenapa? Kenapa harus seperti itu?"
Retta mendesis kesal mendengar pertanyaan Via. "Karena kamu sudah membuat anak saya meninggal."
Via terdiam.
"Kamu pikir saya hanya akan diam saja?" Retta lalu menarik tangan Via dan menekan nya kuat. Bahkan Via merasakan kuku tangan Retta menancap di kulit nya. "Rasa sakit hati saya harus terbalaskan dengan penderitaan kamu, Via! Saya tidak akan tinggal diam!"
Berusaha Via melepas genggaman Retta yang begitu menyakitkan. Tapi sulit. "Bukan aku! Serly itu terpeleset dan terjatuh sendiri."
"Bohong. Kamu yang udah dorong dia!" Retta berkaca. "Kamu udah buat anak saya meninggal, Via!"
"Ada apa itu?" Teriak Wira dari ruang tamu yang mendengar keributan dari arah dapur.
Lalu Retta tiba-tiba melepaskan tangan Via. Ia meraih pisau dan menggoreskan nya ke lengannya. Membuat darah segar mengalir dari sana.
Lain dengan Via yang membelalakkan matanya seraya menutup mulutnya yang terbuka karena tidak percaya dengan apa yang Retta lakukan.
"Ibu ngapain?" Tanya Via khawatir lalu menarik tangan Retta yang terluka.
Bertepatan dengan itu Wira datang. Tatapannya langsung terkunci pada darah yang mengalir dari tangan Retta.
"Astaga. Kamu kenapa?" Wira terlihat begitu cemas.
Retta menatap Via lebih dulu. Lalu entah sejak kapan mata nya sudah basah karena air mata. "Mas, Via..."
Bahkan belum sempat Retta menyelesaikan ucapannya, Wira sudah menampar pipi Via. Begitu keras hingga membuat wajah Via menoleh ke samping.
"Ayah..." Lirih Via.
"APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN, VIA?!" Teriak Wira teramat emosi.
"Aku enggak lakui-"
"Mas, udahlah. Mungkin Via kesal karena aku udah aduin kelakuan dia tentang dress itu. Makanya dia sampai tega lukai aku seperti ini," dusta Retta membuat Via menggelengkan kepalanya.
"Anak kurang ajar kamu! Harusnya kamu meminta maap, bukan malah bertindak seperti ini! Kamu harus Ayah kasih pelajaran lagi!" Ujar Wira lalu menarik tangan Via dan membawa nya hingga ke dalam kamar mandi. Ia lalu mendorong tubuh Via keras membuat punggung Via membentur dinding begitu keras.
"Aw." Via meringis sakit.
Dengan amarahnya, Wira mengambil satu gayung air dan menjatuhkannya ke tubuh Via.
Dingin bercampur rasa sakit. Itu yang Via rasakan saat ini.
Dan bukan hanya satu kali, Wira melakukannya berkali-kali. Bahkan permohonan Via saja tak Wira hiraukan. Ia malah mengunci pintu kamar mandi dengan Via yang masih berada di dalam nya.
"Buka, Ayah!" Via berusaha menarik knop pintu walau sebenarnya percuma. "Via gak lakuin itu! Itu semua bohong!" Ujar Via dengan menangis. Tapi tak satupun orang mendengarkan ucapannya. Semua nya menulikan pendengaran mereka.
Bi Inah sebenarnya sangat ingin membantu Via untuk keluar dari sana. Tapi ia terlalu takut berhadapan dengan Wira.
Via berhenti berteriak. Sekarang ia menenggelamkan wajahnya di antara lipatan kakinya. Via terisak hingga tertidur.
"Via," panggil seseorang yang tak lain adalah Selvia. Ia lalu menghampiri Via dan memeluknya. "Maaf karena sudah membuat kamu harus mengalami ini."
Via sedikit menyunggingkan senyumnya. "Gak apa. Lagipula, aku sudah menemukan anak itu. Dan benar, dia itu Sagara."
Selvia melepas pelukannya. Ia menatap Via dengan mata berbinar senang. "Itu artinya jiwa kita akan segera pergi dengan tenang, Via."
Via tersenyum, ikut senang walau sebagian hati nya masih menginginkan untuk berada di dunia. Ia sadar jika perasaannya sudah dimiliki Sagara, laki-laki yang belum lama ini datang ke kehidupannya. Juga karena Dian- Ibu nya. Jujur, Via masih ingin bertemu dengan Ibu nya. Tapi, ia tidak boleh egois dan harus menepati janji nya untuk membantu Selvia dan pergi dengan tenang.
[BAB 9 - Â Pulang]
"Kamu sakit?" Tanya Sagara sedikit panik seraya menyentuh kening Via. Panas. Dan bukan hanya itu, wajah Via juga terlihat sangat pucat.
"Emm... Sedikit," jawab Via tersenyum meyakinkan.
"Kalau begitu kamu harus ke UKS. Ayo aku antar." Sagara menawarkan bantuan. Dan setelah Via mengangguk, Sagara merangkul Via dan membawa nya ke UKS.
"Harusnya kamu tidak usah pergi sekolah kalau sedang sakit begini," ucap Sagara lalu membantu Via untuk duduk di brankar.
Via tersenyum. "Kamu khawatir?" Goda nya berhasil membuat Sagara salah tingkah.
"Iya," jawab Sagara jujur. "Salah memangnya?"
Via terkekeh geli melihat ekspresi Sagara. Ah, ia jadi tidak rela jika harus pergi dan meninggalkan Sagara. "Kamu lucu kalau lagi salah tingkah begitu."
"Eh? Kelihatan memang nya?" Sagara nampak panik.
Hal itu membuat Via semakin tertawa. Sakitnya jadi sedikit berkurang sekarang. Via jadi ingat kejadian kemarin malam dimana ia dikunci hingga tadi pagi. Hal itu yang membuat dirinya jadi sakit seperti ini.
"Gara, bagaimana soal handycam itu? Sudah ketemu?" Tanya Via.
"Oh, iya. Soal itu, ternyata handycam nya tidak bisa dihidupkan. Tapi kamu tenang saja, dari kemarin aku sudah bawa untuk di servis. File video nya juga tidak akan hilang."
Semula Via tegang sebelum akhirnya kalimat terakhir yang Sagara ucapkan membuatnya kembali lega.
"Baiklah. Terimakasih, Gara. Dan, aku mau bilang sesuatu sama kamu."
"Apa?"
"Aku sangat senang dan bersyukur karena sudah bertemu dengan orang seperti kamu, Gara."
***
Via menatap ke arah luar dari jendela kamarnya. Rintik hujan di luar sana entah kenapa membuat nya begitu tenang sore ini.
Sebelum akhirnya Via merasakan suatu keanehan. Jantungnya, Via merasakan jantungnya tidak baik-baik saja. Udara juga seakan menjauh dari sekitarnya. Via sesak. Ada apa ini? Padahal tidak ada Sagara di sini. Tapi kenapa Via merasakan seperti saat dirinya tengah berada di dekat Sagara?
"Via, cepat selesaikan misi kamu. Atau kita tidak akan pernah pergi dengan tenang."
Via mendengar bisikan yang ia yakini itu adalah Selvia. Dengan segera Via meraih ponselnya. Mencari nomor bernama Sagara di kontak nya.
Lalu tak lama setelah Via menekan tombol panggilan. Dering berubah menjadi kata halo yang diucapkan Sagara di seberang sana.
"Gara, bisa kamu segera bawa handycam itu ke rumah aku sekarang?"
"Bisa, kebetulan handycam nya sudah bisa menyala. Dan aku sudah cek, rekaman itu masih ada."
Via tersenyum di tengah kesibukannya mengatur napas. "Kalau gitu, aku minta tolong antarkan ke rumah aku, ya Gara? Aku sangat minta bantuan kamu."
Sagara mengiyakan walau dengan perasaan herannya karena Via yang terdengar seperti tengah terburu-buru.
***
"Ini handycam nya." Sagara mengulurkan handycam yang ia pegang.
"Terimakasih, Gara." Via tersenyum lalu kembali menutup pintu rumahnya.
Meninggalkan Sagara yang masih keheranan dan diam di luar sana.
"Gara," panggil Via yang kembali keluar. Ia lalu memeluk Sagara. Membuat laki-laki itu semakin terdiam dengan benaknya yang ramai berlalu lalang pertanyaan. Tapi tak urung, Sagara membalas pelukan yang Via berikan.
"Aku akan sangat merindukan kamu," ucap Via lalu melepas pelukannya.
"Sampai jumpa."
Dua kata terakhir yang Via ucapkan entah kenapa membuat Sagara merasa bahwa ini adalah terakhir kali nya ia bertemu dengan Via. Gadis yang baru-baru ini menempati hati nya, juga pikirannya.
Via kembali masuk ke dalam rumah dengan berlari. Mengabaikan teriakan Sagara yang terus memanggil nama nya.
Via mengusap ujung mata nya yang basah. Ia merasa tidak kuat dengan perpisahan yang terasa menyakitkan ini.
Di dalam kamarnya, sambil menunggu Wira dan Retta pulang dari acara kantor, Via terus mengatur napasnya yang masih saja terasa sesak.
Hingga beberapa jam kemudian, Wira dan Retta sudah berada di rumah.
Via segera turun ke bawah. Dengan handycam yang ia bawa.
"Ayah, Ibu," panggil Via.
"Kami sibuk. Lebih baik sekarang kamu kembali ke kamar kamu," ucap Wira mengacuhkan Via.
Via menahan tangan Wira. "Tunggu, Ayah. Aku harus segera pulang. Dan aku harus meluruskan semuanya."
Wira nampak tertarik dengan perkataan Via. Ia mengurungkan niatnya untuk meninggalkan Via. Tapi tidak dengan Retta, ia itu mendengus kesal.
"Sudahlah. Kami lelah, Via. Kami mau istirahat."
"Sebentar, Bu." Via berucap dengan mata memohon. Wajahnya saat ini bahkan sudah memucat.
Via lalu mengulurkan handycam milik Sagara yang ia bawa.
"Coba kalian lihat. Di sana ada video yang bisa membuktikan bahwa kematian Serly bukan karena aku dorong."
Wira menaikkan sebelah alisnya seraya mengambil handycam yang Via ulurkan.
Diputar nya video yang dimaksud oleh Via.
Sontak Wira dan Retta membelalak tak percaya. Ternyata selama ini mereka salah. Ternyata ucapan Via benar. Bukan hanya sebuah pembelaan.
"Via..." lirih Retta dengan mata berkaca. "Maaf karena sudah menyakiti kamu selama ini. Ternyata bukan kamu penyebab Serly meninggal," ucap Retta membawa Via ke dalam pelukan nya.
Wira ikut masuk ke dalam pelukan kedua nya. "Maafkan Ayah, Via."
Via tersenyum lega. Bibirnya semakin memucat. Dan sampai pada waktunya, jantungnya berhenti berdetak.
***
"Via."
"Selvia?"
Selvia menghampiri Via dan menggenggam tangannya. "Ayo kita pulang."
Sakit yang Selvia rasakan sedari dulu. Juga misi yang sudah Via selesaikan, membuat kedua wanita cantik itu bisa pergi dengan tenang. Ke tempat seharusnya di mana mereka berada. Yaitu akhirat.[BAB 1 - Siapa Mereka?]
Langit baru saja selesai dengan tangisnya. Menyisakan bumi yang membasah karena ulahnya. Juga sapaan angin yang sedikit banyak membuat kulit yang tersapa langsung merasakan kedinginan. Awan hitam saja sebenarnya masih menggumpal di atas sana. Ia belum benar-benar pergi.
Namun rasanya, dingin di luar tak ada bandingannya daripada dingin yang ada di dalam ruangan bernuansa putih ini. Dimana hanya ada suara dari mesin EKG.
Perlahan tangan pucat itu bergerak, sangat pelan. Diikuti oleh mata yang mulai terbuka. Gadis berambut sebahu itu terbangun seraya terus mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelum ini begitu menyadari jika saat ini, ia tengah berada di sebuah rumah sakit. Dengan selang oksigen terpasang sempurna di hidungnya.
Beberapa detik bahkan menit berlalu, ia tersadar dan ingat. Sebuah truk besar menghantam tubuhnya dan juga tubuh gadis lain beberapa hari yang lalu.
Tak lama pintu terbuka, menampakkan seorang suster berpakaian serba putih yang tengah membawa catatan. Mungkin hendak memeriksa keadaannya.
"Oh, Nyonya Selvia sudah sadar ternyata. Ini kabar baik, saya akan panggilkan dokter dan juga keluarga Nyonya," ucap suster itu lalu terburu melangkah keluar untuk melakukan tujuannya.
Namun gadis yang masih terbaring lemah itu mengerutkan keningnya. Aneh, rasanya ia mendengar sesuatu yang mengganjal. Namun berusaha saja ia abaikan.
Tak berapa lama seorang dokter datang, diikuti seorang pria berjas hitam dan wanita di sampingnya. Dan, Via sama sekali tidak mengenal siapa mereka.
"Siapa mereka? Apa mereka orang-orang yang nolongin aku, ya?" Via membatin. Terlalu penasaran, tapi Via tidak tahu harus menanyakan nya pada siapa.
"Pak Dion, bisa bapak ikut saya ke ruangan," ucap dokter itu setelah menempelkan stetoskop dan selesai dengan pemeriksaannya.
Lalu yang dimaksud oleh sang dokter mulai mengangguk setelah sebelumnya menghela napas.
Kini ruangan mulai kembali hening. Hanya menyisakan Via dan seorang wanita yang baru saja datang tadi.
"Kamu ternyata punya nyawa banyak sekali. Kapan kamu mati, Via?" Tanya wanita itu membuat Via mengernyitkan keningnya. Ia bahkan tak mengenal siapa wanita di sampingnya ini. Via sama sekali tidak tahu.
"Anda siapa? Kenapa berbicara seperti itu?"
Terdengar tawa mulai menggema. Membuat Via semakin menatap heran.
"Via, Via. Seharusnya setelah kejadian itu kamu tidak ada di dunia lagi," ucapnya membuat bulu kuduk Via merinding entah kenapa.
Lalu dirasakan rambutnya ditarik begitu kuat. Membuat pusing di kepala nya yang semula hilang datang kembali begitu cepat. Via memegang tangan yang menarik rambutnya itu dengan erat. Berusaha melepaskan nya, tapi Via tidak begitu kuat. Ia masih lemah.
"A- Anda ini siapa? Berani se- kali menarik rambut saya," ucap Via terbata. Ini benar-benar begitu menyakitkan, sungguh.
"Kamu amnesia atau sedang melakukan drama?" Tanya wanita itu dengan sedikit memajukan wajahnya pada wajah Via.
Napas Via tak beraturan. Ia mencoba untuk tidak merasakan sakitnya, namun tetap tidak bisa. Kepala nya semakin pusing. Dan untung saja, beberapa saat kemudian wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu menurunkan tangannya.
"Via, asal kamu tau. Ini baru permulaan. Saya tidak akan biarkan kamu yang menjadi pewaris kekayaan Ayah kamu." Wanita itu tiba-tiba tersenyum, nampak terlihat begitu menyeramkan. Apalagi setelahnya ia berbisik pada Via, "Dan tentunya kamu harus mati terlebih dahulu."
Via semakin bergidik ngeri, tentu nya setelah wanita bermulut iblis itu pergi keluar dari ruangannya. Napas Via terasa sesak menahan napas kala berkali-kali mendengar kalimat dirinya harus mati.Â
Beberapa saat kemudian, Via mengerutkan keningnya. "Wanita tadi siapa, ya? Lagian aku kira aku udah mati karena ditabrak sama truk waktu itu," ucapnya bermonolog. Via lalu menghela napasnya dalam. "Lagian Ibu dimana, sih? Harusnya kan Ibu jagain aku di sini."
Dengan sejuta rasa penasaran dan ribuan kalimat tanya dalam benaknya, Via akhirnya memilih untuk tertidur. Hingga beberapa detik kemudian, ia pergi ke alam mimpi nya.
[BAB 2 - Sebuah Mimpi Aneh]
Via merasakan kaki nya baru saja menapaki trotoar yang basah karena baru saja diguyur hujan. Ia lalu menatap sekelilingnya, terasa deja vu, ia seperti pernah mengalami kejadian seperti ini.Â
Dan di tengah kebingungannya itu, Via merasakan pundaknya ditepuk dari belakang. Ia berbalik, mendapati seorang perempuan berseragam putih abu berdiri dibelakangnya seraya tersenyum pada nya.
"Kamu- siapa?" Tanya Via ragu.
"Aku Selvia."
"Selvia? Aku kayak pernah deng-"
"Iya." Perempuan itu menyela. "Aku ini Selvia. Dan saat ini kamu sedang berada ditubuh ku."
Kening Via mengerut sempurna. Apa maksudnya? "Aku gak paham."
Perempuan yang mengaku bernama Selvia itu menghela napas sambil tersenyum lebar. Lalu tak berapa lama mata nya menyorot ke arah jalanan yang ternyata begitu ramai saat ini.
"Via, kamu ingat kejadian tiga hari yang lalu?"
"Saat aku menyebrang dan tertabrak sebuah truk?" Via balik bertanya.
Perempuan itu mengangguk. "Saat itu aku juga tertabrak Via, bersama kamu. Dan kamu tau? Jiwa kamu berpindah ke tubuhku. Sedangkan aku, jiwa ku sudah terenggut. Aku tidak terselamatkan."
Via menggeleng cepat. "Aku gak paham. Jadi, kenapa bisa aku ada di tubuh kamu?"
"Sebenarnya kamu juga seharusnya mati, Via. Sama seperti aku. Tapi, jiwa kamu masih akan tetap ada ditubuhku, sebelum kamu menyelesaikan sebuah misi."
"Misi? Misi apa?"
"Kamu harus membantuku membuktikan kepada kedua orang tua ku. Bahwa bukan aku yang membunuh Serly, adik tiri ku yang meninggal saat berumur sembilan tahun."
"Tapi kenapa harus aku?"
"Karena aku tidak bisa membuktikannya. Dan cuma kamu, Via. Cuma kamu yang bisa melakukannya. Tolong, agar jiwa kita bisa sama-sama tenang dan kembali ke yang seharusnya." Wajah Selvia nampak memelas. Begitu memohon ia pada Via.
"Tapi bagaimana caranya? Aku gak tau harus lakuin apa," ucap Via dengan nada menyerah. Padahal ini baru awal. Tapi rasanya, ia sudah ingin menyerah saja.
Selvia sedikit menghela napasnya. "Kamu harus temukan seorang anak laki-laki yang saat itu ada dan merekam semua kejadiannya. Kejadian delapan tahun yang lalu saat Serly jatuh dari lantai dua dan akhirnya meninggal."
Pundak Via melorot. Ia yakin itu tidak akan mudah. Apalagi bahkan Selvia saja tidak tahu seperti apa anak laki-laki itu sekarang. Sulit sekali pasti untuk menemukannya.
"Dia punya semua bukti rekaman saat Serly terjatuh karena terpeleset. Dan bukan karena aku dorong."Â
"Tapi..." Wajah Via berubah menjadi tertekuk.
Tapi tangan Selvia tiba-tiba menggenggam tangannya yang sedang bergerak-gerak tidak menentu. "Tolong, Via. Kamu dan aku harus kembali. Dengan tenang."
Via menutup matanya kuat. Berpikir keras untuk menentukan apakah ia akan menolong Selvia atau tidak. Sebelum akhirnya, tak berapa lama ia mengangguk yakin.
"Baiklah."
Selvia tersenyum senang. Ia lalu mendekat dan membisikkan sesuatu pada Via. "Kalau ingin temui aku, tidurlah dan bermimpi, Via."
Napas Via tersengal hebat. Posisinya berubah begitu cepat. Dari yang semula tertidur menjadi duduk. Ia lalu menatap sekelilingnya. Mimpi aneh apa tadi?Â
"Enggak, enggak. Gak mungkin. Itu cuma mimpi. Itu bukan kenyataan." Via panik sendiri. Terlalu ngeri membayangkan bahwa mimpi nya tadi adalah sebuah kenyataan.
Namun entah kenapa ada dari sebagian hati nya yang percaya bahwa itu semua adalah sebuah kenyataan. Dan karena ingin menuntaskan rasa penasarannya, ia berdiri dari ranjang seraya mendorong infus yang masih terpasang di tangannya. Ia lalu menunduk, berniat membaca nama yang ada di samping ranjang nya ini.
Dan di sana tertulis:
'Nyonya Selvia Indriana'
Seketika itulah jantungnya seakan berhenti berdetak. Nama nya bukan itu. Nama lengkap Via adalah Elvia Ratu Purnama, bukannya nama yang terpampang di samping ranjangnya ini.
Oke, Via tetap berusaha tenang. Mungkin ini hanya salah penulisan saja. Tapi seharusnya Via paham bukan? Mana mungkin salah penulisan hingga jauh sekali seperti itu dari nama asli nya?
Dan hanya ada satu cara lagi untuk membuktikan apakah mimpi nya nyata atau bukan.
Via berjalan perlahan ke dalam kamar mandi yang ada di kamar rawat nya ini. Ia menutup mata nya kuat setelah menemui cermin. Membuka, lalu menutup nya lagi. Sebelum akhirnya Via berteriak keras.
"AAAAA, KENAPA MUKA AKU JADI BEDA?"
[BAB 3 - Ternyata Benar]
Semangkuk bubur yang sedari tadi masih sama isi nya itu hampir mendingin. Sunyi melanda. Yang terdengar hanyalah denting jam dinding. Namun tak ada yang tahu bahwa ada kepala yang tengah riuh. Berlalu lalang berbagai macam pertanyaan di sana.
Argh! Kepala Via rasanya hampir pecah.
"Kayaknya aku lagi mimpi, deh." Via membuang napasnya perlahan. Sudah terhitung sejak setengah jam yang lalu ia mengatakan kalimat itu.
Mimpi, mimpi, mimpi. Via masih ingin berpikir bahwa semua ini hanyalah mimpi. Lagipula bagaimana bisa ini semua terjadi? Benar-benar aneh.
"Via, ayo bangun dong! Ini gak mungkin kenyataan kan? Kamu pasti masih tidur dan sedang bermimpi," ucap Via lagi, kali ini ia mengatakannya seraya menepuk-nepuk pipi nya dengan gerakan cepat.
Lalu lamunannya tiba-tiba saja melebur. Dan suara pintu terbuka-lah yang menjadi penyebabnya. Menampakkan seorang pria berjas hitam yang kala itu datang bersama sang nenek sihir. Ya, Via mempunyai panggilan seperti itu untuk wanita yang saat itu menjambak rambutnya.
Tatapan keduanya bertemu. Entah kenapa Via merasa ini lebih hening daripada sebelumnya.
"Kamu cepat siap-siap. Dua jam lagi kamu pulang ke rumah," ucap Pria itu dengan tatapan datar menatap Via.
Kening Via mengernyit mendengarnya. Via rasa, ini adalah Ayah nya Selvia. "Pulang sekarang? Kata dokter begitu?" Tanya Via memastikan.
Pria itu membenarkan posisi kacamatanya. "Itu tidak penting. Yang jelas kamu harus segera pulang. Semakin lama kamu di sini malah semakin menyusahkan," ucapnya dengan nada tinggi. Membuat Via sedikit tersentak. Lah Via kira, Ayahnya Selvia ini berbeda dengan wanita itu.
"Om ini ayah aku?" Tanya Via polos. Tapi memang ada benarnya, sih. Via harus memastikan jika asumsi nya ini adalah benar.
"Maksud kamu bertanya seperti itu apa?"Â
Via menelan ludahnya. Padahal ia bertanya baik-baik. Walau memang sedikit tidak masuk akal juga Via bertanya seperti itu.
"Santai saja kali, Om. Aku juga cuma nanya."
"Dasar kamu, anak tidak tau sopan santun!" Ujar pria itu dengan muka memerah dan matanya yang melotot.
"Selamat pagi," ucap seseorang yang baru saja datang.
Dan Via sangat berterimakasih pada nya. Karena jika saja seseorang tidak datang, mungkin pipi Via akan memerah karena sebuah tamparan.
"Pagi, Dok," balas Via tersenyum ramah. Dalam hatinya ia mengucap banyak syukur.
"Saya periksa dulu, ya," kata dokter yang sudah siap dengan stetoskop nya itu.Â
"Emm, Dok. Apa anak saya ini mengalami lupa ingatan?"Â
"Seperti nya tidak, Pak Wira. Tidak ada hasil lab yang menunjukkan kalau anak bapak ini mengalami lupa ingatan," jelas dokter tersebut berhasil menjawab rasa penasaran Wira. Tapi tetap saja, masih ada yang mengganjal di pikiran Wira. Kenapa anaknya bertanya seperti itu tadi?
Mata Via terbuka lebar, menatap takjub ke arah rumah yang begitu megah di hadapan nya ini. Ada taman dengan berbagai tanaman dan bunga, terlihat sejuk. Ah, rasa nya Via ingin menganggap ini suatu keberuntungan. Ya, menjadi Selvia sepertinya cukup menyenangkan.Â
Namun baru beberapa saat melangkah masuk, pandangan Via berubah. Menjadi Selvia, ternyata penuh luka.
"Bagus kamu sudah pulang. Sana bantu Bi Inah di dapur. Kerja dia lama, perlu bantuan kamu," ucap seorang wanita saat baru saja Via melangkah masuk.
"Tapi kan Via baru saja pulang. Via mau istirahat dulu di kamar, kepala Via juga pusing." Via tidak berbohong. Lagipula pikir saja sendiri, baru saja Via ini mengalami koma karena kecelakaan. Memang sepertinya ada yang tidak beres di keluarga ini.
Wanita itu mendekat ke arah Via dengan wajah sinisnya. "Biar saya kasih tau, jadi orang itu jangan lemah!"
"Ya, kalau begitu kenapa tidak Tan- eh Ibu saja. Lagipula itu kan memang tugasnya Ibu." Hampir saja Via memanggil wanita ini dengan sebutan Tante. Walau sebenarnya Via tidak yakin jika wanita di hadapan nya ini adalah Ibu dari Selvia. Karena memang tidak nampak seperti itu. Maka nya Via agak ragu.
Sedetik kemudian bibir Via jadi pucat kala melihat tangan wanita itu terangkat dan hendak menarik rambutnya. Mata nya memelot tajam menatap Via, sepertinya dia begitu kesal setelah mendengar ucapan sekaligus penolakan dari Via barusan.
"Eh, iya iya. Biar Via nanti langsung ke dapur. Ibu di sini saja, duduk-duduk manis," ucap Via sedikit diselingi kata-kata mengejek. Bahkan nada bicara nya juga. Dan Via memang sengaja melakukan itu.
Lalu tak menunggu lama Via langsung berjalan, sedikit berlari sebenarnya karena takut dengan tatapan wanita itu yang semakin menajam. Bahkan beberapa kali Via bergidik ngeri. Eh tapi, ia tidak tahu dimana letak dapur berada. Rumah ini terlalu luas.
"Bahkan dapurnya saja sebesar ruang tamu rumah ku. Tapi tetap saja, orang-orang nya aneh. Tapi omong-omong, aku jadi kangen sama Ibu. Dia pasti mengira aku sudah mati," ucap Via diakhiri helaan napas.
"Eh, Non Via. Sudah sembuh?" Tanya seorang wanita paruh baya yang tengah membawa pisau ditangannya. Sepertinya baru saja memotong beberapa sayuran.
Via mundur saat Bi Inah menghampirinya dan hendak memeluknya.Â
"Eh, kenapa Non?"
Via tersenyum kaku. Menatap tangan kanan Bi Inah. "Itu, Bi. Pisau nya simpan dulu kalau mau peluk, Via."
Sontak Bi Inah menepuk jidatnya. Aduh, ia lupa tidak menyimpan nya lebih dulu. Pantas saja majikan muda nya ini menjauh saat hendak ia peluk.
"Bibi selalu takut kalau Non Via gak akan kembali pulang ke rumah," ucap Bi Inah seraya membawa Via ke dalam pelukannya.
Via membalas pelukan Bi Inah. Nampaknya, Selvia dulu sangat dekat dengan Bi Inah. Bahkan sepertinya, hubungan keduanya sudah seperti seorang ibu dan anak. Berbanding terbalik sekali dengan wanita yang Via temui sebelumnya.
Bi Inah lalu melepas pelukannya. Ia menatap Via penuh kasih. "Non ke dapur mau ambil minum? Atau mau makan?"
Via menggeleng cepat. "Bukan, Bi. Via disuruh emm- wanita yang ada di ruang tamu itu, Ibu nya Via ya?"
Bi Inah mengernyit kebingungan. Sebelum akhirnya ia paham siapa yang Via maksud. "Loh iya. Itu Ibu nya Non Via."
Via ber-oh ria. "Nah, Via disuruh sama Ibu buat bantuin Bibi masak."
"Eh, tidak usah Non. Ini kan kerjaan Bibi. Lagipula Non Via kan baru saja keluar dari rumah sakit. Sebaiknya Non istirahat saja."
Via menghela napas seraya menyenderkan tubuhnya ke dinding. "Pengennya sih begitu. Tapi Bi Inah tau sendiri kan Ibu itu gimana."
Bi Inah nampak tersenyum menanggapi. Lalu kembali melanjutkan kegiatan memotong wortel yang sempat tertunda. Dan Via tak tinggal diam setelah tahu apa yang akan Bi Inah buat.
[BAB 4 -Â Pertemuan]
Via menatap pantulan dirinya di cermin. Seragam SMA Antariksa sudah melekat pada tubuhnya. Via tersenyum dengan hati yang sangat gembira. Dulu, ia ingin masuk ke SMA Antariksa, tapi karena keadaan ekonomi, ia tak bisa masuk ke sekolah elit itu. Tapi sekarang, suatu kesempatan datang dan membuat Via bisa merasakan bagaimana bersekolah di sana. Walau, saat ini ia tengah berada di tubuh Selvia.
Kening Via lalu tiba-tiba berkerut. "Kayaknya aku harus segera selesaikan misi itu. Aku harus temuin anak laki-laki yang saat itu jadi saksi kematian adik tirinya Selvia." Gadis itu menghela napas sejenak. "Tapi kan susah! Gimana caranya aku nemuin dia?"
Ditengah kegundahannya itu, suara dari bawah memanggilnya untuk segera turun.Â
Via yang mendengarnya langsung saja meraih tas punggungnya dan melangkah keluar kamar. Jujur, Via senang berada di rumah ini. Tapi tidak dengan keluarganya.
"Hari ini Ayah dengar dari wali kelas kamu, kata nya akan ada ulangan," ucap Wira memecahkan keheningan ruang makan pagi ini. "Sampai nilai kamu mengecewakan lagi, kamu akan tau akibatnya Via."
Namun Via hanya diam mendengarkan. Matanya lalu melirik Wira yang saat ini sudah melenggang pergi.Â
"Siap-siap, ya Via. Saya tau kemampuan kamu sama sekali tidak ada," ucap Retta seraya menggenggam tangan Via yang berada di atas meja.
Namun lama-kelamaan Via merasakan itu bukan genggaman tangan biasa. Retta menguatkannya sampai tulang Via rasanya hampir retak.
Banyak bertanya pada Bi Inah, Via sekarang tahu kalau Retta ini adalah seorang Ibu Tiri. Karena Ibu kandung Selvia sudah meninggal karena kecelakaan saat Selvia berumur lima tahun. Bukan hanya itu,
Jadi, pantas jika perlakuan Retta pada nya saat ini bisa dibilang cukup kejam.
Tak lama Retta melepasnya dan berdiri. Ia melangkah meninggalkan Via sendirian di meja makan.Â
Via menarik napas dalam. "Pantas aja Selvia memilih bunuh diri," asumsi nya. Pasti Selvia sudah terlalu lelah untuk bertahan hidup.
Sesaat Via menyadarkan dirinya dari lamunan. Diraihnya tas punggung berwarna biru itu. Via segera diantar seorang supir untuk menuju sekolah.
***
"Via, kamu sudah sembuh?" Tanya seorang perempuan berkacamata itu seraya menghampiri Via.
Via tersenyum kikuk. Via rasa, ini sahabat Selvia. Terlihat dari pertanyaan dan ekspresi nya saat melihat Via.
"Iya. Baru kemarin malam aku pulang dari rumah sakit."
Naya, nama nya bisa Via lihat dari name-tag yang dikenakan gadis itu.
Naya merangkul Via. "Temenin aku ke kantin yuk! Aku lupa sarapan."
Mengangguk-angguk, Via lalu tersenyum. "Ayo!"
Keduanya berjalan menuju kantin. Sorot mata beberapa siswa pun tak lepas mengiringi setiap langkah mereka. Maklum, Via dan Naya ini memiliki wajah yang cantik. Bahkan bisa dibilang sangat cantik. Apalagi, keduanya juga sama-sama berasal dari keluarga berada.Â
"Aku pesan bubur ayam dulu, ya. Kamu mau gak Via?" Tanya Naya setelah keduanya berada di kantin.Â
"Oh, boleh deh."
Naya mengangkat kedua jempolnya.
"Aku nunggu di sana, ya," ucap Via seraya menunjuk meja kosong di paling ujung. Kantin saat ini lumayan penuh. Mungkin banyak dari mereka yang belum sarapan. Maka nya datang ke kantin pagi-pagi. Seperti Naya contoh nya.
"Gila, anak baru nya ganteng banget."
"Iya, mana dengar-dengar, dia itu kapten basket di sekolah nya yang lama."
Via mengernyitkan keningnya mendengar bisikan para siswi perempuan yang seperti tengah mengagumi seseorang. Dan Via rasa, sepertinya seorang siswa baru.
"Ini dia buburnya." Suara Naya membuat Via tersadar dari lamunannya.
"Wah. Makasih, Naya."Â
"Kamu tau gak sih, Via?" ucap Naya setelah membalas ucapan Via dengan anggukan. "Waktu kamu kecelakaan dan koma beberapa hari, aku kesepian. Kayak ada sesuatu yang hilang dari hari-hari aku."
Via terkekeh geli mendengar ucapan Naya. Astaga, puitis sekali Naya ini. "Iya, deh iya."
"Kok ketawa? Ini serius tau."
"Iya, Naya. Aku percaya," ucap Via terkekeh lagi.
Beberapa saat hening. Keduanya sibuk menghabiskan bubur ayam mereka. Setelah selesai, Via dan Naya memilih untuk kembali ke kelas. Berhubung bel masuk juga akan berbunyi sebentar lagi.
Namun saat melewati lapangan, Via menghentikan langkahnya karena menyadari jika ikatan tali sepatu nya terlepas.Â
Via berjongkok, berniat untuk membenarkannya kembali. Namun sial, sebuah bola basket melayang begitu saja mengenai kepala nya. Membuat Via merasakan kepala nya berdenyut sakit dan beberapa saat kemudian, ia kehilangan kesadaran.
***
"Via, bangun."
Suara lembut seseorang membuat Via mencoba membuka mata nya perlahan. "Selvia?"
Selvia tersenyum. "Via, aku rasa kamu sudah bertemu dengan dia."
Via merubah posisi nya menjadi duduk terlebih dulu. "Dia? Dia siapa?"
"Anak kecil yang menjadi saksi saat itu. Dia pasti ada di dekat kamu sekarang," jelas Selvia dengan senyum yang tak pudar sedari tadi.
"Kamu yakin?"
Selvia mengangguk. "Sangat. Karena kamu tau? Tangan ku berdenyut tiba-tiba dan itu tanda nya, kamu sedang berada di dekat dia."
Selvia lalu mendekat pada Via dan menggenggam tangannya. "Via, ayo segera temukan dia dan selesaikan misi kamu. Ingat, kita harus segera pulang."
Via menarik napasnya dalam-dalam. Dadanya sesak.Â
"Kamu- sudah sadar?" Tanya seorang laki-laki, membuat Via mengalihkan atensi nya.
UKS, sepertinya dirinya tengah berada di UKS. Oh, dan Via ingat jika tadi ia terkena bola basket dan kehilangan kesadarannya.
"Aku Sagara." Laki-laki itu memperkenalkan dirinya. "Dan maaf karena lemparan bola basket tadi, kamu jadi seperti ini."
Via tersenyum kemudian. "Oh, iya. Aku Elvia. Panggil saja Via. Dan soal tadi, gak apa kok. Aku sudah merasa baikan."
Sagara mengangguk-angguk kecil. Ia lalu tersenyum tipis. "Kalau begitu, aku duluan. Dan sekali lagi, maaf, ya Via."
Via hanya membalasnya dengan senyuman. Ditatapnya punggung Sagara yang mulai menjauh itu. Via mencoba menetralkan napasnya. Jantungnya, entah kenapa seperti memompa terlalu cepat. "Apa yang dimaksud Selvia itu adalah Sagara?"
[BAB 5 - Sebuah Asumsi]
Retta melipat kedua tangannya di bawah dada. Ia menatap Via dengan tatapan tajam. Namun bisa Via lihat, senyuman yang Retta lemparkan kepadanya itu sebuah senyuman licik.Â
"Keluarkan hasil ujian kamu, Via."
Via menghela napas. Jadi dirinya harus terpaksa bangun hanya karena Wira dan Retta ingin melihat hasil ujian nya tadi siang. Astaga, benar-benar aneh.
"Sembilan puluh," ucap Wira tak percaya saat matanya melihat nilai yang ada di lembar ujian Via.
Retta langsung terlihat gundah. Ia buru-buru mengambil kertas ujian milik Via di tangan Wira. Matanya memelotot, seperti tak percaya bahwa nilai Via cukup besar.
"Ayah akan tanya ke wali kelas kamu apakah ini benar atau cuma pembohongan kamu," ucap Wira lalu keluar dari kamar Via.
Kini tinggal Retta yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Tak lama kemudian, Retta lalu meremas kertas ujian itu dan melemparkannya ke wajah Via penuh emosi.
"Mana mungkin kamu dapat nilai besar, sedangkan otak kamu saja kosong, Via!"
Via terdiam lalu terkekeh pelan. "Kayaknya Ibu seneng banget kalau aku dihukum Ayah. Tapi maaf, ya Bu. Kali ini Ibu gak bisa lihat aku dihukum, karena nilai aku besar," ucap Via lalu mengambil kertas ujian miliknya yang tergeletak di bawah sana. Kertas ujiannya jadi kusut.
Via menarik napas dalam. "Via ngantuk, mau tidur. Ibu paham kan?"
Retta sontak membelalakkan matanya. Kenapa anak tirinya ini jadi seberani itu kepadanya? Biasanya Via hanya akan menundukkan kepala dan meminta maaf. Tapi kali ini, Via benar-benar berbeda dengan Via yang dulu.
Retta mengibaskan rambutnya dan melangkah keluar kamar. Tapi sebelum benar-benar menutup pintu, Retta menatap tajam pada Via. Seolah kebencian berada dalam kedua matanya, juga tatapannya saat ini.
***
Via memutar lagu berjudul Line Without a Hook dari Ricky Montgomery, setelah memasangkan earphone ke telinganya. Ia lalu menenggelamkan kepalanya di antara lipatan tangan nya di atas meja. Mencoba untuk tidur berhubung ini masih sangat pagi dan belum ada siswa yang datang.Â
Sengaja Via datang pagi sekali ke sekolah. Ia terlalu malas bertemu Wira, apalagi Retta.Â
"Hai."
Via sontak menegakkan badannya. Kebetulan ia tidak terlalu meninggikan volume nya. Sehingga suara masih bisa terdengar cukup jelas.
"Sagara?"
Sagara tersenyum, ikut duduk di samping Via dan tiba-tiba menarik salah satu earphone yang tengah Via kenakan. Ia mencoba ikut mendengarkan lagu yang tengah Via dengar. Ternyata Sagara ini satu kelas dengannya. Sungguh sebuah kebetulan.
"Enak lagu nya," ucap Sagara membuat Via tersenyum.
"Kamu suka?" Tanya Via dengan mata berbinar.
"Iya."
Lama keduanya saling tatap dalam jarak yang dekat. Sampai akhirnya Via merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bahkan napas Via sedikit sesak.
"Kenapa?" Tanya Sagara. Raut cemas mendominasi di wajah tampannya saat ini.
Via mengangkat tangannya, memberitahu agar Sagara tidak khawatir.Â
"Aku gak apa. Cuma sedikit sesak aja," jawab Via seraya terus mencoba menetralkan deru napasnya.
"Kamu ada asma?"
Via menggeleng. "Enggak ada. Emm, Gara, aku izin mau tidur sebentar, ya?"
Sagara mengangguk-angguk kecil. "Iya. Aku akan tunggu kamu sampai bangun."
Via mengembangkan senyum. Entah kenapa pipi nya jadi merasa panas. Lalu tak berapa lama, Via sudah masuk ke alam mimpi nya.
"Selvia."
Gadis yang dipanggil itu menoleh. Via melangkah menghampiri nya.
"Via, bagaimana? Kamu sudah temukan dia?" Tanya Selvia menggenggam tangan Via.
"Apa dia itu Sagara?" Bukan tanpa alasan Via menyebut Sagara. Karena sejak pertama kali bertemu, Via sudah merasa ada sesuatu yang aneh. Terutama saat jantung Via selalu tidak baik-baik saja saat berada didekat Sagara. Juga napasnya yang tiba-tiba menjadi sesak.Â
Selvia mengerutkan kening. "Sagara?" Ulang Selvia.
"Iya. Dia siswa baru di SMA Antariksa. Aku cuma selalu ngerasa aneh saat ada di dekat dia," ucap Via membuat senyum lebar muncul di wajah Selvia.
"Kamu yakin?" Tanya Selvia dengan tatapan mata yang berbinar.
"Nanti aku cari tau lagi."
Via membuka matanya. Dan langsung ia temui mata berwarna coklat yang nampak indah tengah menatapnya. Itu milik Sagara. Ternyata laki-laki itu masih berada di sampingnya.
"Tidurnya kok sebentar?" Tanya Sagara. Ia lalu melihat jam di tangannya. "Cuma lima menit loh."
Via tersenyum kikuk. Ia menggaruk tengkuknya kepalanya yang tak gatal. "Serius?"
Sagara mengangguk yakin. "Iya. Padahal aku masih ingin lihat wajah tenang kamu loh."
Via berdehem. Kenapa rasanya jadi canggung begini?
"Kalian jadian, ya?"
Keduanya sama-sama menoleh ke sumber suara. Naya berdiri di sana dengan berkacak pinggang. Tatapannya menginterogasi Via dan Sagara.
Via mendengus. "Enggak. Gak boleh fitnah tau, Nay."
Lain dengan Sagara yang tiba-tiba berdiri. "Aku ke kantin dulu, ya."
"Ck. Gara-gara kamu tuh. Aku jadi gak enak sama Sagara," ucap Via menghela napas. Namun Naya malah tertawa seolah tak punya salah.
"Kamu suka, ya sama Sagara? Lagipula kalian emang cocok, sih," ucap Naya dengan tawa diakhir kalimatnya.
[BAB 6 - Pentunjuk untuk Via]
Pak Juna memberi instruksi untuk segera memulai pemanasan. Walau sebenarnya pelajaran olahraga kali ini akan Pak Juna bebaskan. Entah itu mau bermain basket, bulu tangkis atau softball, Pak Juna tidak akan melarang.
Sepuluh menit berlalu, pemanasan selesai dan semuanya mulai mengambil alat-alat olahraga sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
"Basket?"
Via menoleh lalu menggeleng. "Aku gak bisa main basket."
"Biar aku ajarin."
Sagara mulai mendribble bola. "Coba rebut bola nya."
Via sedikit membungkukkan badannya. Menatap Sagara dengan serius. Lalu beralih menatap bola yang di dribble oleh laki-laki itu.Â
Berkali-kali Via hampir berhasil merebut bola tersebut. Namun selalu saja berujung gagal. "Susah, Gara."
Sagara terkekeh kecil. Tak lama ia melakukan shoot dan bola berhasil masuk ke dalam ring.
"Kata nya mau ngajarin aku. Barusan kayak main sendiri tau," ucap Via sebal.
"Hehe. Iya, iya." Sagara tersenyum. "Ayo sini. Coba kamu pegang bola nya."
Via melakukan apa yang Sagara perintahkan. Tangannya memegang bola basket yang sudah siap ia lemparkan ke dalam ring. Sedangkan tangan Sagara berada di atas tangannya, bermaksud untuk membantu Via mengarahkan bola nya.
"Coba fokus. Lihat ring nya. Kamu juga harus mengira-ngira lemparan kamu, supaya bola nya bisa masuk," jelas Sagara panjang lebar.
Via hanya mengangguk. Matanya kali fokus pada ring. Dan-
"Yeay, masuk!" Via berjingkrak senang. Selama ini ia melakukan shoot tapi tak pernah ada satu pun yang masuk. Walau kali ini sebenarnya ada bantuan Sagara yang ikut mengarahkan tangannya untuk melempar bola dengan benar.
Sagara ikut tersenyum senang. Sebelum akhirnya ia terdiam, menatap wajah Via yang masih saja terlihat begitu senang.
Tapi tak lama, Via kembali merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dadanya sesak. Dan Via jadi ingat sesuatu.
"Gara," panggil Via seraya mencoba mengatur napasnya.
Sagara menyadarkan dirinya dari lamunannya. "Ya?"
"Emm... kamu waktu kecil tinggal dimana?"
Sagara nampak berpikir. Keningnya juga mengernyit dengan sempurna. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"
Via tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Pertanyaan nya salah, ya?"
"Oh, enggak. Cuma agak sedikit aneh aja."
"Hayo loh! Lagi pacaran, ya?" Dari kejauhan sana Naya berteriak. Membuat Via dan Sagara yang tengah diam jadi menoleh ke sumber suara.
"Apa, sih Nay?" Via membalas dengan nada sebal. Lalu tatapannya beralih pada Sagara yang juga tengah menatapnya.
"Eh, jadi gimana? Bisa kamu jawab pertanyaan aku yang tadi?" Tanya Via berusaha membubarkan kecanggungan nya.
Sagara terlihat seperti tengah mengingat sesuatu. "Sebentar, aku ingat-ingat dulu."
Via mengangguk seraya menunggu ucapan Sagara. "Dulu, waktu kecil rumah aku di Jalan Cendrawasih."
***
Via menghela napasnya berkali-kali. Jawaban Sagara tadi pagi membuatnya terus berpikir. Rumah ini berada Jalan Cendrawasih. Jangan-jangan memang Sagara orang nya. Anak laki-laki yang menjadi saksi kejadian saat itu.Â
"VIA! BUKA PINTU NYA!"
Lamunan Via buyar begitu saja. Ia menatap ke arah pintu, di mana suara teriakan terdengar begitu keras. Itu suara Wira. Sebelum membukakan pintu, Via bertanya dalam pikirannya. Apa yang membuat Wira sampai berteriak malam-malam begini?
"Iya, Yah. Sebentar," ucap Via lalu membuka kunci.
Dan Wira langsung menerobos masuk, dengan tangan kanannya yang memegang sebuah dress berwarna hitam.
PLAK
Wajah Via tertoleh ke samping akibat dari tamparan Wira yang begitu kuat. Bahkan Via merasakan panas di pipi nya.
Mata Via berkaca menatap Wira. Lalu beralih pada seseorang yang ada di belakang, tengah tersenyum licik pada Via.
"Kamu lihat ini!"Â
Via kembali menatap Wira. Lalu tatapannya turun pada dress yang Wira tunjukkan. Dress itu rusak, terdapat beberapa lubang di sana.
"Kamu apakan baju Ibu kamu?" Tanya Wira dengan nada tinggi, membuat Via sedikit tersentak karena nya.
Via mengernyit. Ia sama sekali tak tau tentang dress ini. Bahkan melihatnya pun baru kali ini.
"Enggak. Via gak pernah pakai atau bahkan megang dress itu," bela Via karena memang itu kenyataannya.
Wajah Wira semakin terlihat marah. "Bisa-bisanya kamu bohong?!"
"Via gak bohong!" Ujar Via yang tidak terima dirinya dituduh seperti ini.
"Dia bohong, Mas. Kemarin dia minjem dress ini. Lalu tadi sore saat dikembalikan, dress nya rusak. Ini kan dress kesayangan aku, Mas," ucap Retta dengan air mata dusta nya.
Via mengernyit heran. "Ibu jangan adu domba aku dengan Ayah, dong Bu. Via gak pernah minjem dress itu," ucap Via dengan segala kekesalan dalam dirinya.
"Kamu seharusnya meminta maaf, Via. Ibu tidak percaya kamu tidak mau mengakui kesalahan yang kamu buat, Via." Tangis Retta semakin menjadi.Â
Astaga, drama sekali ternyata Retta ini.Â
Via menggeleng tidak percaya. Ini benar-benar menyebalkan. Wanita itu sengaja membuatnya dimarahi bahkan ditampar oleh Wira.
"Minta maaf, Via!" Suara Wira meninggi lagi.
"Tapi, Yah Vi-"
"Sekarang, Via!" Potong Wira dengan tatapan emosi nya menatap Via.
Via mendengus kesal. Haruskah ia meminta maaf untuk sesuatu yang bahkan tidak ia pernah lakukan?
"Maaf," ucap Via lirih.
Lalu Via lihat Retta tersenyum penuh kemenangan.
"Iya, Via. Lain kali jangan diulang, ya," balas Retta lalu menghampiri Via. Wanita itu memeluk Via. Tapi kalian tentu tahu jika itu hanyalah pura-pura. Agar Wira semakin percaya pada drama yang ia lakukan.
"Via, saya yang menang kali ini," bisik Retta membuat tangan Via mengepal kuat.
[BAB 7 - Bertemu Ibu]
"Gara," panggil Via pada Sagara yang tengah membaca sebuah komik. "Ganggu gak kalau aku tanya-tanya kamu?"
Sagara mengerutkan kening. "Enggak lah. Mau tanya apa?" Sagara mendudukkan dirinya di samping Via. Kelas kali ini masih kosong. Seperti biasa, mereka berdua yang datang paling awal.
"Eh, pipi kamu kenapa?" Tanya Sagara terlihat khawatir. Ia berniat mengusap pipi Via yang merah. Tapi tangan Via terangkat, seolah melarang Sagara untuk melakukannya.
"Enggak kenapa-kenapa."
Sagara sebenarnya tidak percaya dengan apa yang Via katakan. Tidak apa-apa bagaimana? Pipi Via terlihat merah, dan Sagara mengira-ngira jika itu adalah bekas tamparan seseorang. Tapi, siapa yang sudah menampar Via?
"Kamu waktu kecil, emm-" Via menggantung ucapannya.
"Iya, kenapa?" Tanya Sagara terlihat tidak sabaran.
"Kamu waktu kecil ingat sesuatu gak? Tentang anak kecil yang terjatuh dari lantai dua rumah nya. Di jalan Cendrawasih," ucap Via akhirnya.
Sagara seketika mengernyit. "Anak kecil yang jatuh?"
Via mengangguk. "Iya. Ingat gak?"
Tak berapa lama, mata Sagara membulat. Tanda jika ia sudah mengingat sesuatu. "Oh, iya. Waktu aku umur delapan tahun, aku pernah tidak sengaja merekam sebuah kecelakaan. Iya, anak kecil yang jatuh dari lantai dua rumahnya."
Via tersenyum senang mendengar ucapan Sagara. Berarti benar, dia itu adalah Sagara. Anak kecil yang mempunyai bukti atas kematian Serly, adik tiri nya Selvia.
"Serius? Apa rekaman nya masih ada? Aku butuh itu, Sagara."
Sagara nampak kembali berpikir. "Aku lupa simpan handycam itu dimana. Lagipula, memang nya untuk apa?"
"Nanti aku jelasin ke kamu."
***
"Pak Cecep, bisa kita ke jalan Mawar dulu gak?" Tanya Via pada supir nya.
Pak Cecep lalu mengangguk. "Baik, Non," ucap Pak Cecep mulai membelokkan mobil untuk menuju jalan Mawar, sesuai dengan apa yang diperintahkan bos kecil nya ini.
Via menghela napas. Ia rindu sekali pada Ibu nya. Maka dari itu, sekarang Via berniat untuk menuju rumahnya. Rumah yang sederhana tapi penuh kebahagiaan. Tidak seperti di rumah Selvia yang megah, tapi terlalu banyak hal pahit di dalam nya.
Beberapa menit berlalu, Pak Cecep menginjak rem mobil saat Via berkata untuk berhenti.Â
Bukannya langsung turun, Via malah diam cukup lama. Memerhatikan rumah yang nampak sepi itu.
"Pak Cecep, tunggu Via sebentar ya?"
"Baik, Non."
Via turun dan melangkah dengan perlahan. Mata nya berkaca mengingat banyak kenangan yang ada di rumah ini. Terutama kenangannya saat bersama Ibu nya.
Pasti beliau sangat sedih atas kematian Via.Â
"Siapa, ya?" Tanya seorang perempuan paruh baya yang baru saja membuka pintu.
Air mata Via jatuh membasahi pipinya. "Ibu," ucap Via lalu memeluk Dian- Ibu nya.
Tentu saja Dian mengernyit kebingungan. Ia tidak mengenal siapa gadis ini. Tapi kenapa ia memanggil dirinya dengan sebutan Ibu?
"Via kangen."
"Via?" Tanya Dian melepas pelukannya. "Kamu bukan Via. Lagipula anak saya sudah meninggal karena kecelakaan beberapa hari yang lalu."
Via tertegun. Ia lupa kalau saat ini dirinya berada di dalam tubuh seorang Selvia. Tentu saja Ibu nya tidak akan mengenal siapa dirinya. Tapi ingin sekali Via berkata bahwa ini dirinya, Elvia.Â
"Maap, Bu. Saya permisi," ucap Via lalu berlari dengan satu tangannya menutup mulutnya. Tak kuat ia menahan tangis. Karena setelah penyebab kematian Serly terungkap, jiwanya akan benar-benar pergi.
"Jalan, Pak," ucap Via lalu menatap rumah itu dengan Dian yang masih berdiri di sana dengan tatapan heran. "Ibu... Ini Via. Anak Ibu."
[BAB 8 - Via Terluka]
Via merasakan perutnya keroncongan. Sedari pulang sekolah sore tadi ia belum makan. Bahkan ia sama sekali tidak keluar dari kamar. Terlalu malas untuk bertemu dengan Retta. Wanita licik itu.Â
Tapi karena sudah terlalu lapar, dengan sangat terpaksa Via harus pergi ke dapur. Namun saat sudah sampai di dapur, ternyata sial nya ada Retta di sana. Tengah memegang sebuah apel. Wanita itu menatap Via dengan tatapan merendahkan. Pantas kah saat Selvia masih hidup memanggil wanita ini dengan sebutan Ibu? Karena Via rasa tidak. Bahkan sifatnya saja seperti seorang iblis. Kejam.
Berusaha menahan diri agar tidak melihat keberadaan Retta. Namun wanita itu malah menarik tangan nya. Membuat Via yang enggan, akhirnya harus menatap juga wajah Retta.
"Kamu sepertinya harus diingatkan lagi, Via. Seberapa hebat saya. Terutama untuk membuat kamu menderita," ucap Retta menaikkan sebelah alisnya.
Via melepas tangan Retta yang masih menggenggam pergelangan tangannya. "Kenapa? Kenapa harus seperti itu?"
Retta mendesis kesal mendengar pertanyaan Via. "Karena kamu sudah membuat anak saya meninggal."Â
Via terdiam.
"Kamu pikir saya hanya akan diam saja?" Retta lalu menarik tangan Via dan menekan nya kuat. Bahkan Via merasakan kuku tangan Retta menancap di kulit nya. "Rasa sakit hati saya harus terbalaskan dengan penderitaan kamu, Via! Saya tidak akan tinggal diam!"
Berusaha Via melepas genggaman Retta yang begitu menyakitkan. Tapi sulit. "Bukan aku! Serly itu terpeleset dan terjatuh sendiri."
"Bohong. Kamu yang udah dorong dia!" Retta berkaca. "Kamu udah buat anak saya meninggal, Via!"
"Ada apa itu?" Teriak Wira dari ruang tamu yang mendengar keributan dari arah dapur.Â
Lalu Retta tiba-tiba melepaskan tangan Via. Ia meraih pisau dan menggoreskan nya ke lengannya. Membuat darah segar mengalir dari sana.
Lain dengan Via yang membelalakkan matanya seraya menutup mulutnya yang terbuka karena tidak percaya dengan apa yang Retta lakukan.
"Ibu ngapain?" Tanya Via khawatir lalu menarik tangan Retta yang terluka.
Bertepatan dengan itu Wira datang. Tatapannya langsung terkunci pada darah yang mengalir dari tangan Retta.
"Astaga. Kamu kenapa?" Wira terlihat begitu cemas.
Retta menatap Via lebih dulu. Lalu entah sejak kapan mata nya sudah basah karena air mata. "Mas, Via..."
Bahkan belum sempat Retta menyelesaikan ucapannya, Wira sudah menampar pipi Via. Begitu keras hingga membuat wajah Via menoleh ke samping.
"Ayah..." Lirih Via.
"APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN, VIA?!" Teriak Wira teramat emosi.
"Aku enggak lakui-"
"Mas, udahlah. Mungkin Via kesal karena aku udah aduin kelakuan dia tentang dress itu. Makanya dia sampai tega lukai aku seperti ini," dusta Retta membuat Via menggelengkan kepalanya.
"Anak kurang ajar kamu! Harusnya kamu meminta maap, bukan malah bertindak seperti ini! Kamu harus Ayah kasih pelajaran lagi!" Ujar Wira lalu menarik tangan Via dan membawa nya hingga ke dalam kamar mandi. Ia lalu mendorong tubuh Via keras membuat punggung Via membentur dinding begitu keras.
"Aw." Via meringis sakit.
Dengan amarahnya, Wira mengambil satu gayung air dan menjatuhkannya ke tubuh Via.
Dingin bercampur rasa sakit. Itu yang Via rasakan saat ini.
Dan bukan hanya satu kali, Wira melakukannya berkali-kali. Bahkan permohonan Via saja tak Wira hiraukan. Ia malah mengunci pintu kamar mandi dengan Via yang masih berada di dalam nya.
"Buka, Ayah!" Via berusaha menarik knop pintu walau sebenarnya percuma. "Via gak lakuin itu! Itu semua bohong!" Ujar Via dengan menangis. Tapi tak satupun orang mendengarkan ucapannya. Semua nya menulikan pendengaran mereka.
Bi Inah sebenarnya sangat ingin membantu Via untuk keluar dari sana. Tapi ia terlalu takut berhadapan dengan Wira.
Via berhenti berteriak. Sekarang ia menenggelamkan wajahnya di antara lipatan kakinya. Via terisak hingga tertidur.Â
"Via," panggil seseorang yang tak lain adalah Selvia. Ia lalu menghampiri Via dan memeluknya. "Maaf karena sudah membuat kamu harus mengalami ini."
Via sedikit menyunggingkan senyumnya. "Gak apa. Lagipula, aku sudah menemukan anak itu. Dan benar, dia itu Sagara."
Selvia melepas pelukannya. Ia menatap Via dengan mata berbinar senang. "Itu artinya jiwa kita akan segera pergi dengan tenang, Via."
Via tersenyum, ikut senang walau sebagian hati nya masih menginginkan untuk berada di dunia. Ia sadar jika perasaannya sudah dimiliki Sagara, laki-laki yang belum lama ini datang ke kehidupannya. Juga karena Dian- Ibu nya. Jujur, Via masih ingin bertemu dengan Ibu nya. Tapi, ia tidak boleh egois dan harus menepati janji nya untuk membantu Selvia dan pergi dengan tenang.
[BAB 9 -Â Pulang]
"Kamu sakit?" Tanya Sagara sedikit panik seraya menyentuh kening Via. Panas. Dan bukan hanya itu, wajah Via juga terlihat sangat pucat.
"Emm... Sedikit," jawab Via tersenyum meyakinkan.
"Kalau begitu kamu harus ke UKS. Ayo aku antar." Sagara menawarkan bantuan. Dan setelah Via mengangguk, Sagara merangkul Via dan membawa nya ke UKS.
"Harusnya kamu tidak usah pergi sekolah kalau sedang sakit begini," ucap Sagara lalu membantu Via untuk duduk di brankar.
Via tersenyum. "Kamu khawatir?" Goda nya berhasil membuat Sagara salah tingkah.
"Iya," jawab Sagara jujur. "Salah memangnya?"Â
Via terkekeh geli melihat ekspresi Sagara. Ah, ia jadi tidak rela jika harus pergi dan meninggalkan Sagara. "Kamu lucu kalau lagi salah tingkah begitu."
"Eh? Kelihatan memang nya?" Sagara nampak panik.
Hal itu membuat Via semakin tertawa. Sakitnya jadi sedikit berkurang sekarang. Via jadi ingat kejadian kemarin malam dimana ia dikunci hingga tadi pagi. Hal itu yang membuat dirinya jadi sakit seperti ini.
"Gara, bagaimana soal handycam itu? Sudah ketemu?" Tanya Via.
"Oh, iya. Soal itu, ternyata handycam nya tidak bisa dihidupkan. Tapi kamu tenang saja, dari kemarin aku sudah bawa untuk di servis. File video nya juga tidak akan hilang."
Semula Via tegang sebelum akhirnya kalimat terakhir yang Sagara ucapkan membuatnya kembali lega.
"Baiklah. Terimakasih, Gara. Dan, aku mau bilang sesuatu sama kamu."
"Apa?"
"Aku sangat senang dan bersyukur karena sudah bertemu dengan orang seperti kamu, Gara."
***
Via menatap ke arah luar dari jendela kamarnya. Rintik hujan di luar sana entah kenapa membuat nya begitu tenang sore ini.
Sebelum akhirnya Via merasakan suatu keanehan. Jantungnya, Via merasakan jantungnya tidak baik-baik saja. Udara juga seakan menjauh dari sekitarnya. Via sesak. Ada apa ini? Padahal tidak ada Sagara di sini. Tapi kenapa Via merasakan seperti saat dirinya tengah berada di dekat Sagara?
"Via, cepat selesaikan misi kamu. Atau kita tidak akan pernah pergi dengan tenang."
Via mendengar bisikan yang ia yakini itu adalah Selvia. Dengan segera Via meraih ponselnya. Mencari nomor bernama Sagara di kontak nya.
Lalu tak lama setelah Via menekan tombol panggilan. Dering berubah menjadi kata halo yang diucapkan Sagara di seberang sana.
"Gara, bisa kamu segera bawa handycam itu ke rumah aku sekarang?"
"Bisa, kebetulan handycam nya sudah bisa menyala. Dan aku sudah cek, rekaman itu masih ada."
Via tersenyum di tengah kesibukannya mengatur napas. "Kalau gitu, aku minta tolong antarkan ke rumah aku, ya Gara? Aku sangat minta bantuan kamu."
Sagara mengiyakan walau dengan perasaan herannya karena Via yang terdengar seperti tengah terburu-buru.
***
"Ini handycam nya." Sagara mengulurkan handycam yang ia pegang.
"Terimakasih, Gara." Via tersenyum lalu kembali menutup pintu rumahnya.
Meninggalkan Sagara yang masih keheranan dan diam di luar sana.
"Gara," panggil Via yang kembali keluar. Ia lalu memeluk Sagara. Membuat laki-laki itu semakin terdiam dengan benaknya yang ramai berlalu lalang pertanyaan. Tapi tak urung, Sagara membalas pelukan yang Via berikan.
"Aku akan sangat merindukan kamu," ucap Via lalu melepas pelukannya.Â
"Sampai jumpa."
Dua kata terakhir yang Via ucapkan entah kenapa membuat Sagara merasa bahwa ini adalah terakhir kali nya ia bertemu dengan Via. Gadis yang baru-baru ini menempati hati nya, juga pikirannya.
Via kembali masuk ke dalam rumah dengan berlari. Mengabaikan teriakan Sagara yang terus memanggil nama nya.
Via mengusap ujung mata nya yang basah. Ia merasa tidak kuat dengan perpisahan yang terasa menyakitkan ini.
Di dalam kamarnya, sambil menunggu Wira dan Retta pulang dari acara kantor, Via terus mengatur napasnya yang masih saja terasa sesak.
Hingga beberapa jam kemudian, Wira dan Retta sudah berada di rumah.
Via segera turun ke bawah. Dengan handycam yang ia bawa.Â
"Ayah, Ibu," panggil Via.
"Kami sibuk. Lebih baik sekarang kamu kembali ke kamar kamu," ucap Wira mengacuhkan Via.
Via menahan tangan Wira. "Tunggu, Ayah. Aku harus segera pulang. Dan aku harus meluruskan semuanya."
Wira nampak tertarik dengan perkataan Via. Ia mengurungkan niatnya untuk meninggalkan Via. Tapi tidak dengan Retta, ia itu mendengus kesal.Â
"Sudahlah. Kami lelah, Via. Kami mau istirahat."
"Sebentar, Bu." Via berucap dengan mata memohon. Wajahnya saat ini bahkan sudah memucat.Â
Via lalu mengulurkan handycam milik Sagara yang ia bawa.Â
"Coba kalian lihat. Di sana ada video yang bisa membuktikan bahwa kematian Serly bukan karena aku dorong."
Wira menaikkan sebelah alisnya seraya mengambil handycam yang Via ulurkan.
Diputar nya video yang dimaksud oleh Via.
Sontak Wira dan Retta membelalak tak percaya. Ternyata selama ini mereka salah. Ternyata ucapan Via benar. Bukan hanya sebuah pembelaan.Â
"Via..." lirih Retta dengan mata berkaca. "Maaf karena sudah menyakiti kamu selama ini. Ternyata bukan kamu penyebab Serly meninggal," ucap Retta membawa Via ke dalam pelukan nya.
Wira ikut masuk ke dalam pelukan kedua nya. "Maafkan Ayah, Via."
Via tersenyum lega. Bibirnya semakin memucat. Dan sampai pada waktunya, jantungnya berhenti berdetak.
***
"Via."
"Selvia?"
Selvia menghampiri Via dan menggenggam tangannya. "Ayo kita pulang."
Kesalahpahaman yang selama ini menjadi penyebab luka dalam hidup Selvia sudah berakhir. Juga misi yang sudah Via selesaikan, membuat kedua wanita cantik itu bisa pergi dengan tenang. Ke tempat seharusnya di mana mereka berada. Yaitu akhirat.
[TAMAT]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H