"Ya, kalau begitu kenapa tidak Tan- eh Ibu saja. Lagipula itu kan memang tugasnya Ibu." Hampir saja Via memanggil wanita ini dengan sebutan Tante. Walau sebenarnya Via tidak yakin jika wanita di hadapan nya ini adalah Ibu dari Selvia. Karena memang tidak nampak seperti itu. Maka nya Via agak ragu.
Sedetik kemudian bibir Via jadi pucat kala melihat tangan wanita itu terangkat dan hendak menarik rambutnya. Mata nya memelot tajam menatap Via, sepertinya dia begitu kesal setelah mendengar ucapan sekaligus penolakan dari Via barusan.
"Eh, iya iya. Biar Via nanti langsung ke dapur. Ibu di sini saja, duduk-duduk manis," ucap Via sedikit diselingi kata-kata mengejek. Bahkan nada bicara nya juga. Dan Via memang sengaja melakukan itu.
Lalu tak menunggu lama Via langsung berjalan, sedikit berlari sebenarnya karena takut dengan tatapan wanita itu yang semakin menajam. Bahkan beberapa kali Via bergidik ngeri. Eh tapi, ia tidak tahu dimana letak dapur berada. Rumah ini terlalu luas.
"Bahkan dapurnya saja sebesar ruang tamu rumah ku. Tapi tetap saja, orang-orang nya aneh. Tapi omong-omong, aku jadi kangen sama Ibu. Dia pasti mengira aku sudah mati," ucap Via diakhiri helaan napas.
"Eh, Non Via. Sudah sembuh?" Tanya seorang wanita paruh baya yang tengah membawa pisau ditangannya. Sepertinya baru saja memotong beberapa sayuran.
Via mundur saat Bi Inah menghampirinya dan hendak memeluknya.Â
"Eh, kenapa Non?"
Via tersenyum kaku. Menatap tangan kanan Bi Inah. "Itu, Bi. Pisau nya simpan dulu kalau mau peluk, Via."
Sontak Bi Inah menepuk jidatnya. Aduh, ia lupa tidak menyimpan nya lebih dulu. Pantas saja majikan muda nya ini menjauh saat hendak ia peluk.
"Bibi selalu takut kalau Non Via gak akan kembali pulang ke rumah," ucap Bi Inah seraya membawa Via ke dalam pelukannya.